Pos

Seri 11 IWD 2021: Menengok Kembali Perempuan Kampungku Bekerja

Seri 11 IWD 2021 / Rumah KitaB / Muslimah Bekerja

Menengok Kembali Perempuan Kampungku Bekerja

Oleh: Mustika Al Adawiyah  

Menjelang Hari Perempuan Internasional, di Rumah Kitab kami membahas isu yang akan diangkat sebagai tema. Choose to Challenge sebagai tema umum HPI ini kemudian kami  fokuskan membahas tentang “Merayakan Ragam Pekerjaan Perempuan”. Untuk itu semua staf diminta berbagi cerita tentang “pekerjaan” perempuan yang kita amati di lingkungan kita sendiri. Buat saya rasanya aneh, sebab perempuan di kampung saya, perempuan di sekitar saya, memang perempuan yang bekerja. Terlepas dari ada atau tidak ada pendidikan, perempuan di kampung saya adalah pekerja, bahkan dapat dikatakan pekerja keras. Tapi saya baru menyadari betapa ragamnya pekerjaan-pekerjaan kaum perempuan di  kampung asal saya di Garut Selatan.

Saya lahir dari sebuah keluarga Sunda di wilayah Selatan Garut.  Bagi “urang Sunda”, perempuan itu memang harus bekerja!. Ada nyanyian sewaktu kecil yang mengajarkan bahwa bekerja itu memang kewajiban bagi perempuan. “Kawajiban awewe, kudu daek digawe” yang artinya kira-kira “ Kewajiban perempuan harus mau bekerja”. Tidak ada penjelasan dalam lagu itu pekerjaan apa yang dimaksud, namun dalam pemahaman saya, itu menunjuk kepada pekerjaan mengurus rumah tangga yang dianggap sebagai pekerjaan utama/ kewajiban utama  perempuan.

Namun di kampung saya, perempuan itu bekerja untuk mencari nafkah selain mengurus rumah tangganya. Secara geografis wilayah tempat saya tinggal  merupakan perpaduan antara pesisir di mana pendudukan kebanyakan menjadi nelayan atau buruh nelayan, sementara di sebelah utara merupakan wilayah pegunungan dan dataran tinggi, kebanyaakan penduduknya bekerja di sektor pertanian dan perkebunan.

Wilayah Garut, sebagaimana umumnya wilayah Priangan Timur, di kenal sebagai wilayah yang sangat subur. Mungkin karena dikepung gunung-gunung yang aktif dan beberapa kali dalam sejarahnya pernah meletus, tanah di wilayah Garut dikenal sangat subur. Beberapa buah-buahan seperti Jeruk Garut dan buah arben yang daunnya digunakan untuk ulat sutra pernah menjadi buah primadona sebelum diserbu buah-buahan dari luar.

Meskipun subur di banyak wilayah, seperti di kampung saya itu (Kabupaten Garut Selatan),  kebanyakan penduduknya tergolong menengah ke bawah.  Pekerjaan utama para warganya bertani dan melaut. Hanya sebagian kecil yang  menjadi pegawai, atau merantau ke kota dengan berbagai keahliannya. Di kota  kota besar di Indonesia, lelaki dari Garut dikenal keahliannya sebagai tukang pangkas rambut, Asgar- Asli Garut.

Karakter orang Sunda sering disebut someah, atau ramah. Tapi  karakter dari wilayah Selatan sering dianggap keras, ini terlihat dari cara bicaranya yang tidak sehalus orang Ciajuran  di wilayah  Barat  Jawa Barat yang dianggap lebih halus. Hal yang pasti watak keras itu dapat dilihat dari cara mereka gigih dalam bekerja, lelaki maupun  perempuan.

Sektor pertanian sebagai petani atau buruh tani tampaknya tidak lagi  menjadi pilihan anak muda dari wilayah Garut Selatan. Pekerjaan itu biasanya dilakukan oleh mereka yang telah selesai merantau dan kembali ke kampung halaman. Setelah tamat SMP atau SMA, umumnya perempuan-perempuan dari  kampung saya  merantau ke kota  menjadi “dongsih”.  Saya tidak tahu apa arti sebenarnya, konon itu singkatan dari “kadongdong beresih” buah kedondong yang bersih.  Tapi ada juga yang mengartikan “ngendong bersih”. Hal itu menunjuk kepada pembayaran upah bersih di mana pekerja (biasanya pekerjaan Asisten Rumah Tangga atau buruh) tidak lagi mengeluarkan biaya untuk penginapan/ ngontrak atau makan, karena mereka telah mendapatkan tempat tinggal untuk menginapnya (ngendong) dan untuk biaya makannya, sehingga upah yang diterima bersifat netto alias “bersih”.

Namun saat ini dongsih juga diartikan sebagai sebutan untuk para perempuan muda yang bekerja ke kota Garut, Bandung dan Jakarta sebagai buruh pabrik atau menjadi ART (Asisten Rumah Tangga). Sementara itu jenis pekerjaan pabrikan yang banyak diminati adalah pabrik makanan seperti dodol Garut, pabrik garmen, dan pabrik bulu mata palsu dan wig untuk ekspor ke Korea. Hanya sedikit yang mendapatkan kesempatan melanjutkan kuliah dan bekerja berdasarkan keahliannya. Namun sejak lama juga banyak perempuan yang bekerja menjadi tenaga kerja wanita (TKW) terutama ke negara-negara Arab.

Degan demikian, sejak kecil saya tidak pernah mendengar larangan terhadap perempuan untuk bekerja di luar rumah.  Sebaliknya saya sering mendengar Mama Ajengan (sebuatan untuk kyai dalam kebiasaan orang Sunda) mendorong untuk bekerja di mana saja yang penting halal dan tetap menjalankan kewajiban agama. Dengan bekerja, demikian sering saya dengar, kita jadi punya kesempatan bersedekah. Kalau Lebaran tiba, dan para perantau pulang, banyak sekali kegiatan-kegiatan untuk bersedekah seperti membangun madrasah, mesjid atau untuk membangun rumah untuk orang tua yang tetap tinggal di kampung. Jadi kalau sekarang ada ujaran-ujaran yang meminta perempuan sebaiknya tinggal tidak bekerja dan di rumah, buat saya itu seperti melawan kewajibannya yang selalu kita dengar sebagai nasihat dari orang tua.

Namun begitu saya juga melihat yang menjadi masalah adalah cara orang menghargai tenaga kerja perempuan dan lelaki yang dibeda-bedakan. Upah yang didapatkan buruh lelaki dan perempuan terutama dalam dunia pertanian dan melaut itu berbeda. Baik di pertanian maupun di laut upah perempuan selalu lebih rendah. Upah perempuan lebih kecil upahnya dengan alasan bahwa beban kerja laki-laki lebih berat daripada perempuan. Selisih upahnya lumayan jauh sekitar Rp15.000 sampai Rp20.000 untuk waktu kerja 6 – 7 jam kerja, Perempuan dibayar Rp 35.000,- laki-laki Rp 50.000,-. Sampai Rp60.000,- selain itu ada anggapan perempuan selalu mendapatkan nafkah dari suaminya sehingga status mereka dalam bekerja dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Padahal banyak perempuan  apapun status perkawinanya merupakan pencari nafkah utama. Dalam beberapa kasus, mereka merupakan kepala keluarga.

Persoalan lain, terutama bagi keluarga yang istrinya merantau jauh seperti menjadi TKW, tidak ada pendidikan bagi suami di kampung bagaimana menjadi suami dan bapak yang baik, setia dan menunjang perjuangan istrinya di rantau. Hal yang sering menjadi cerita umum adalah suaminya nyandung (poligami), uang dari istri dihambur-hamburkan  untuk membeli barang-barang kosnumtif dan tidak ada budaya menabung dan cara pengelolaan uang hasil kerja di rantau.

Namun ada juga yang berhasil dipakai untuk menyekolahkan anak, membangun rumah dan membeli sawah/ kebun untuk bekal perempuan sendiri di masa tuanya. Ketika mereka kembali ke kampung mereka tetap bekerja baik mengurus rumah tangganya, mengurus keluarganya sambil tetap mencari nafkah.  Sementara anak-anaknya melanjutkan kariernya di kota dan kembali sesekali ke kampungnya untuk menikmati jerih payahnya mereka dan orang tuanya bekerja.  Perempuan di kampung saya memang perempuan pekerja!

 

Menalar Choose to Challenge Dengan Spirit Isra’ Mi’raj: Catatan Reflektif Feminis Sufistik

Tahun 2021 ini International Women Day (IWD) yang diperingati setiap tanggal 8 Maret berdekatan dengan peringatan Isra’ Mi’raj yang jatuh pada tanggal 11 Maret, tiga hari setelahnya. Bagi masyarakat muslim yang perhatian dengan isu perempuan dan keagamaan tentu menarik untuk menggali makna keduanya.

Tema IWD kali ini adalah Choose to challenge, memilih untuk melawan, menggelorakan keberanian perempuan untuk bangkit dari ketidaksetaraan, bias dan stereotipe serta mewujudkan dunia yang inklusif. Kampanye yang diharapkan mampu mengajak semua pihak untuk turut serta menciptakan kehidupan yang ramah.

Isra’ Mi’raj selalu diperingati karena dianggap sebagai tonggak utama ajaran Islam. Mengenang perjalanan Nabi Muhammad pada malam 27 Rajab dari Masjidil Haram di Mekah menuju Masjidil Aqsha di Palestina yang berjarak sekitar 1.500 Km, pada zaman itu bisa ditempuh selama 40 hari dengan menunggang unta.

Dari Palestina perjalanan masih berlanjut menembus langit ke Sidratil Muntaha. Wajar jika kemudian kaum kafir Quraish menganggap perjalanan Isra’ dan Mi’raj hanyalah bualan, karena secara empiris bahkan sampai hari ini memang irasional.

Peristiwa Isra’ Mi’raj umum dimaknai sebagai urgensi sholat bagi umat Islam karena instruksi pelaksanaannya disampaikan sendiri oleh Allah, tidak lagi melalui Jibril sebagaimana risalah-risalah lain. Dalam kajian ilmu kalam, Isra’ Mi’raj menjadi polemik pada soal apakah perjalanan Rasulullah tersebut bersifat materi atau spirit. Hanya ruh atau wadag beliau juga turut menyapa nabi-nabi terdahulu pada tiap langit yang disinggahi, lantas berdialog dengan Allah di Sidratil Muntaha.

Keajaiaban Isra’ Mi’raj tersebut menjadi dalil kehebatan Islam sebagai agama futuristik. Capaian teknologi lambat laun membuktikan rasionalitas Isra’ secara kosmologis, meski demikian mamahami Mi’raj tetap membutuhkan pelibatan intuisi karena sifatnya yang mistik. Dalam cakrawala supra rasional demikian, muncul pertanyaan mungkinkah menemukan benang merah spiritualitas antara ujaran untuk bangkit melawan ketidak adilan yang diusung IWD dan hikmah peristiwa Isra’ Mi’raj?

Memaknai Isra’ Mi’raj dalam narasi keperempuanan adalah hal langka.  Setidaknya baru Lies Marcus yang dalam acara Ngaji Keadilan Gender Islam bersama Nur Rofi’ah pada malam 12 Maret lalu yang secara tegas menyampaikan bahwa, sebagai Feminis peristiwa Isra’ Mi’raj baginya bermakna pembebasan bagi perempuan.

Kalimat ini memantik refleksi lebih mendalam terkait perjalanan kemanusiaan perempuan sebagai hamba Allah yang ternyata masih sangat memprihatinkan. Rentan terpinggirkan dari ketauhidan, mudah tersesat dalam belantara penghambaan dan menuhankan berbagai hal selain Allah.

Kehidupan perempuan lekat dengan status yang menuntut perhatian besar, sebagai istri, ibu, anak atau pekerja sering melalaikan bahwa dirinya adalah hamba Allah semata, bukan yang lain. Terlebih jika hidup tanpa pemahaman keagamaan yang mumpuni tak jarang perempuan dengan mudah menjadi pengabdi bagi penindasnya.

Tidak sedikit perempuan yang patuh secara mutlak kepada suami atau tradisi yang telah berlaku tidak adil padanya karena mengira begitulah takdir menggariskan. Menghempasnya dari hakikat eksistensial manusia, bahwa keberadaanya di dunia ini seluruhnya hanyalah untuk menyembah Allah Yang Esa.

Rasulullah di-Isra’Mi’raj-kan ketika mengalami penistaan dan penindasan dari kaum Qurays yang tidak lain adalah kerabatnya sendiri. Saat sedang berada di puncak duka karena kematian istrinya Siti Khadijah dan pamannya Abu Thalib, orang-orang tercinta yang selalu melindungi dan membela.

Kepedihan berlapis-lapis yang hanya bisa diluruhkan oleh pengalaman maha dahsyat, bertemu dengan Allah. Hal ini dianalogikan dengan kondisi pilu perempuan yang termarjinalkan dan hanya bisa diatasi dengan memutus rantai kedzaliman penghambaan dengan mendekatkan perempuan hanya kepada Allah Tuan sejatinya.

Isra’ dalam cakrawala feminis sufistik melambangkan perjalanan melawan kedzaliman dan penindasan di ruang historis. Usaha membenahi sifat hubungan di wilayah praktis horizontal yang sebelumnya timpang. Jika diperlakukan tidak adil, perempuan harus berani mengambil sikap dan melawan. Meminta bantuan, berjuang menghadapi dan bekerja sama merubah sistem yang tidak manusiawi.

Perempuan harus mampu melihat dirinya sebagai manusia utuh. Hidup setara dan adil dalam keragaman semesta, dengan laki-laki, anak-anak, difabel dan kelompok rentan lain sebagai sesama hamba Allah. Relasi horizontal ini harus diperbaiki karena menjadi jembatan penghubung dengan relasi vertikal antara perempuan dengan Tuhan. Bercermin pada peristiwa Isra’ yang dianggap mustahil tapi harus diimani, maka merombak sistem patriarki yang seolah tidak mungkin jika beriman niscaya bisa tercapai. Toh tidak ada yang sulit dalam Kemahakuasaan Allah.

Memaknai Isra’ Mi’raj dengan spirit IWD adalah upaya mengejawantahkan cinta dan kasih sayang Allah kepada perempuan.  Memerdekakannya dari segala bentuk penghambaan dan penindasan yang selama berabad-abad disahkan oleh kuasa negara, budaya dan agama. Sholat adalah perintah bagi perempuan untuk meletakkan peran-peran kesementaraan, hadir dengan bersih di hadapan Allah dari watak kemelekatan dunia. Mengingat bahwa sesungguhnya dirinya adalah hak dan milik Allah semata.

Lebih jauh, dalam nalar Feminis sufistik Mi’raj merupakan visi bahwa keintiman perempuan dengan Sang Pencipta adalah mungkin. Pembaruan sifat relasi vertikal antara perempuan sebagai hamba dengan Allah sebagai satu-satunya Ilah (Tauhid) yang patut disembah. Perempuan harus melepaskan diri dari segala unsur penyekutuan yang merupakan dosa besar dan menodai kesucian hubungannya dengan Allah. Saat dia telah terbebas, maka dia sebagai dirinya sendiri yang murni hadir menjumpai kekasih sejati, dia Mi’raj menyingkap hijab antara dirinya dengan Allah. Wallahu a’lam bishawab.

Daftar rujukan

Etin Anwar, 2017, Jati Diri Perempuan dalam Islam, Bandung: Mizan.

Faqihudin Abdul Kodir, 2017, 60 hadis Hak-hak Perempuan dalam Islam, Cirebon: Umah Sinau Mubadalah & Aman Indonesia.

Haedar Bagir, 2019, Mengenal Tasawuf Spiritualisme dalam Islam, Bandung: Mizan.

Baca Juga  Konglomerat Itu Bernama “Muhammadiyah”

https://www.kompas.com/tren/read/2021/03/08/151500165/hari-perempuan-sedunia-2021-ini-tema-dan-sejarahnya?page=all diakses 17 Maret 2021

https://www.republika.co.id/berita/qpsc11366/kapankah-peristiwa-isra-dan-miraj-terjadi-part1 diakses 17 Maret 2021