Pos

Manipulasi Data Perkawinan Anak

Salah satu problem dalam penelitian kawin anak adalah buruknya data. Dari Kemenag di Kabupaten XX, berdasarkan catatan peneliti Rumah KitaB, Anis Fuaddah dari Jawa Timur, data kawin anak berdasarkan dispensasi nikah yang diputus Pengadilan Agama tahun 2014 hanya terjadi di 3 kecamatan dengan total 13 kasus. Sementara data di PA, perkara dispensasi nikah tahun 2014 berjumlah 101 kasus, sebagian besar terkait perkawinan di bawah umur. Perkara yang diputus 94 kasus, selebihnya ditolak. Dispensasi terpaksa diberikan karena umumnya calon pengantin perempuan mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD) atau orangtua tidak bisa menolak lamaran pihak lelaki.

 

Catatan lapangan Anis Fuaddah, diolah oleh Lies Marcoes

Peran Hakim sebagai Penafsir Hukum

Ibu Hat binti Tal (nama samaran), seorang janda 36 tahun, pendidikan SD dan bekerja sebagai buruh yang memohon dispensasi untuk anak lelakinya, J Putra. Ia anak sulung dan akan menikah, tapi umurnya baru 17 tahun 9 bulan. Sementara calon menantunya Yuli berumur 16 tahun 6 bulan. Ibu dan anak lelakinya datang ke PA Makassar memohon dispensasi nikah setelah mereka datang ke KUA dan ditolak karena menyalahi UU Perkawinan tentang batas usia kawin bagi lelaki, yaitu 19 tahun.

Sebagaimana diceritakan hakim dan staf POSBAKUM, sang Ibu mengatakan bahwa anaknya sudah cukup dewasa. Selama ini dia menjadi “bapak” bagi adik-adiknya, telah menunjukkan sikap kedewasaannya dan tanggung jawabnya meski hanya sebagai buruh harian. Sang ibu mengatakan bahwa ia juga sayang kepada calon menantunya dan merasa tak ada alasan untuk menunda perkawinan mereka sampai 2 tahun ke depan menunggu anaknya dianggap cukup umur menurut UU Perkawinan. Hakim yang mengadili perkara menyatakan, ia tak melihat hal yang menghalangi untuk memenuhi permohonan dispensasi nikah. Setelah melakukan pemeriksaan syarat-syarat formal, hakim melihat pemohon memang siap menjadi suami. Permohonan itu tak didasarkan pada alasan yang mendesak (seperti hamil di luar nikah), melainkan keinginan untuk berkeluarga secara benar, mengikuti hukum agama dan negara.

Ibu hakim yang menyidangkan mengatakan ia justru merasa salut kepada ibunya; meskipun miskin tapi mau taat hukum, padahal bisa saja mereka kawin siri atau manipulasi data umur. Tapi dia memilih jalur hukum. Hari ini sidang belum diputus, tapi tampak bahwa hakim menggunakan berbagai pertimbangan sosiokultural sambil tetap tunduk pada rambu-rambu hukum.

Kasus ini banyak memperlihatkan pentingnya pemahaman sosiologi hukum; menimbang aturan dari pendekatan sosiologis untuk memberikan keadilan bagi pencari keadilan. Di sini peran ex officio hakim yang memiliki kewenangan penuh sebagai penafsir hukum sangat besar artinya dalam memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan. Sebagaimana studi Stijn van Huis di Cianjur, kajian yang melampau teks putusan sangat diperlukan untuk memahami kompleksitas persoalan. Kita tak bisa menilai rasa keadilan hanya dari pendekatan legal formal.

Catatan lapangan Lies Marcoes & Fadilla, Makassar, Februari 2015