Pos

Pernikahan siswi SD di Sulawesi Selatan batal, Ibu menangis histeris

Akad nikah dan resepsi perkawinan yang melibatkan siswi SD dan pemuda berusia 21 tahun di Sulawesi Selatan, dinyatakan batal oleh pihak keluarga, Selasa (08/05).

Dari pantauan di lokasi, panggung pelaminan beserta aneka macam hidangan serta acara hiburan untuk tamu undangan resepsi pernikahan kedua mempelai telah lengkap.

Namun, karena pernikahan batal, acara pun diganti menjadi resepsi sunatan adik bungsu SR, calon mempelai perempuan.

“Kami hanya bisa menghibur kedua orang tua SR atas pembatalan akad nikah ini. Kami ganti acara resepsinya jadi sunatan adik bungsu karena persiapannya juga sudah lengkap,” terang Ramli, kakek SR, kepada wartawan di Sulawesi Selatan, Zul Pattingalloang.

anak, sulawesi

 

Alasan pembatalan akad nikah yang sebelumnya bakal digelar di rumah keluarga mempelai pria di Kecamatan Taroeng, Kabupaten Jeneponto, terjadi karena tidak adanya penghulu yang berani menikahkan anak tersebut lantaran takut berbenturan dengan hukum mengingat usia anak itu telah diketahui dan viral di sejumlah media.

“Tidak ada penghulu yang mau nikahkan di Jeneponto karena katanya takut umurnya masih muda dan aturan hukum, apalagi sudah ramai di media,” ungkap Basri, ayah kandung SR di hadapan para wartawan.

Pihak keluarga pun hanya bisa pasrah atas pembatalan acara ini.

Suasana sempat gaduh ketika ibu SR histeris, meronta, dan menangis hingga sempat pingsan selama beberapa saat.

anak, sulawesi

 

Pelajar Sekolah Dasar

SR masih berstatus sebagai pelajar Sekolah Dasar, sementara Erwin merupakan pemuda yang telah beberapa tahun menjadi TKI bersama orang tuanya di perkebunan kelapa sawit Malaysia.

Dua tahun lalu dia pulang ke kampung halaman. SR dan Erwin masih bertalian darah sebagai sepupu.

“Mereka saling mengenal dua tahun lalu, karena sepupuan. Mereka sering telponan dan ketemu karena saling suka. Kami sekeluarga mendukung saja dari pada terjadi apa-apa kalau mereka ketemu, mending kami nikahkan saja,” ungkap Sinar, ibu SR.

Sementara itu, Basri, ayah SR, menyatakan harus menikahkan keduanya untuk menghindari hal yang tidak diinginkan antar keluarga.

“Ini kembali pada budaya Siri’ (malu) yang kami pegang di kampung, jangan sampai terjadi masalah dan ada korban sesama keluarga jika mereka terlihat berduaan oleh keluarga tanpa ada ikatan,” terang Basri.

 

anak, sulawesi

 

Saat ditanyakan tentang SR yang masih belum cukup umur untuk menikah, ibunya berkata, “Mau diapa lagi, mereka berjodoh. Saling suka, keluarga semua setuju,” kata Sinar.

Basri dan Sinar mengaku rencana pernikahan ini terjadi atas keinginan anak mereka tanpa adanya paksaan. Semula mereka hendak menikahkan SR di rumah mereka, di Kecamatan Sinjai Utara.

Namun, lurah setempat melarangnya sehingga rencana pernikahan dipindahkan ke rumah keluarga mempelai pria di Kecamatan Taroeng, Kabupaten Jeneponto. Ternyata di Jeneponto pun tidak ada penghulu yang mau menikahkan.

Secara terpisah, Lurah Balangnipa, Kecamatan Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, Muhammad Azharuddin menjelaskan mengapa dia melarang pernikahan SR dan Erwin.

“Awalnya dia minta nikah di sini, tapi saya selaku pihak pemerintah jelas tidak mengizinkan hal itu, karena melanggar aturan. Saya memberi peringatan, akad nikah jangan sampai berlangsung di Sinjai,” ungkap Azharuddin.

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan 1974, “perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 tahun”.

Profesor Ilham Oetama Marsis, dokter ahli kebidanan dan kandungan, pun menegaskan bahwa pernikahan di bawah umur sangat berbahaya bagi pengantin perempuan. “Itu sangat berbahaya,” kata Marsis pada BBC Indonesia.

Menurut Lies Marcoes, ahli kajian gender dan Islam sekaligus Direktur Yayasan Rumah Kita Bersama, tingkat pernikahan anak di Indonesia mencapai satu dari lima anak. Angka moderatnya pun satu di antara sembilan anak menikah di bawah usia 18 tahun, umur anak sesuai dengan Undang-undang Perlindungan Anak.

Menurut riset BPS dan Badan PBB Unicef, sekitar 300.000 ribu anak perempuan menikah sebelum berumur 16 tahun. Pernikahan anak di bawah umur di sisi lain mengakibatkan PDB turun 1,7 persen (2014).

“Negara harus mengakui ini krisis yang sangat serius. Pernikahan dini adalah alarm kematian yang sunyi karena menyumbang pada tingginya kematian ibu,” kata Lies pada BBC Indonesia.

 

Sumber: http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44036564

Tolak Perkawinan Anak!

DARI pelosok Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, 12 April 2018, Indonesia dikagetkan oleh kenyataan mengenaskan, yakni pernikahan sepasang anak usia sekolah menengah pertama. Mempelai anak-anak berusia 14 dan 15 tahun.
Ini bukan yang pertama. Kejadian perkawinan usia anak di Indonesia telah ribuan kali berulang, atas nama kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan, dan kini agama dan adat setempat juga ikut andil.
Seorang andung (adik nenek dalam kekerabatan Minang) saya yang telah almarhum, pernah berkisah, ia dinikahkan ketika baru menstruasi dan melahirkan anak yang sangat rapat jaraknya. Anaknya 12 orang.
Kini di tahun 2018, kita kemudian baru tertampar setelah media sosial memviralkan tatapan mata kedua korban yang teramat lugu dan polos, berpakaian pengantin. Media sosial pula yang membuat jarak 1.700 kilometer dari Jakarta ke Bantaeng itu seakan di depan mata kita.
Pengantin anak adalah korban. Sejatinya, seluruh hak mereka sebagai anak-anak telah hilang. Hak beroleh pendidikan setinggi mungkin dan jaminan kesehatan yang paling jelas, terutama untuk anak perempuan, menjadi pupus.
Anak perempuan yang mungkin baru saja mengalami menstruasi pertamanya menjadi sangat rentan kesehatan reproduksinya bila ia hamil. Anak yang dikandungnya pun boleh pasti menjadi stunting generation, generasi yang terhambat semua aspek perkembangan tubuh, terutama otak dan kesehatannya secara umum. Belum lagi bicara soal mental psikologis si ibu, yang melahirkan dan menimang buah hati di usia 14 tahun!
UNICEF pada 2016 sudah mengeluarkan pernyataan berdasar temuan di beberapa negara di dunia, yaitu komplikasi saat kehamilan dan melahirkan adalah penyebab kematian kedua terbesar untuk anak perempuan pada usia 15-19 tahun. Juga kenyataan global bahwa bayi yang lahir dari ibu yang berusia di bawah 20 tahun, berpeluang 1,5 kali lebih besar untuk meninggal sebelum usia 28 hari, dibandingkan bayi yang lahir dari ibu berusia 20-30 tahun.
Kembali ke kasus Bantaeng dan banyak kasus lain seantero Nusantara, siapa bertanggung jawab? Kita semua. Kalau kita diam saja, berarti kita “membunuh” jutaan anak pada masa depan Indonesia. Anak perempuan yang paling rentan menjadi korban.
Mengapa begitu? Karena bila terjadi perkawinan anak, maka anak perempuanlah yang terancam dalam segala lini kehidupan setelahnya. Karena ia harus melahirkan, menyusui dan membesarkan anak, dan kehilangan kesempatan bersekolah setinggi mungkin. Juga akses berikutnya, ia bisa menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Itulah sebabnya saya sangat setuju ketika kemarin, 24 April 2018, aktivis dan peneliti senior kajian Islam, isu perempuan dan gender, Lies Marcoes Natsir mengajak kita bergerak dan berbuat kebisingan agar setiap kita–lelaki dan perempuan–bergerak dalam kapasitas masing-masing dan merapatkan barisan.
Adalah dosa amat besar mengabaikan ini semua terjadi pada anak-anak perempuan di seluruh Indonesia.
Maka, paling tidak ada tiga langkah awal yang bisa kita lakukan.
Pertama, bicara, tulis, sebarkan. Dalam setiap upaya lakukan tiga hal itu terus-menerus. Ini bentuk kampanye yang paling dasar untuk membangun kesadaran bersama.
Kedua, yang dibicarakan, ditulis dan disebarkan adalah stop perkawinan anak. Dengan satu kata: fokus.
Ketiga, lakukan gerakan ini dalam sinergi. Bangunlah jaringan kerja. Jangan bicara kepentingan yang terkotak-kotak karena politik atau keyakinan agama. Berbuatlah karena kita orang Indonesia.
Setuju dengan Ibu Lies Marcoes, bekerja dan berbuatlah dalam semua tingkatan. Dari kampung/kelurahan sampai negara. Mari, bergandengan dan berbuat bersama. Kita selamatkan anak-anak yang kelak akan jadi pemimpin bangsa Indonesia.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Tolak Perkawinan Anak!”, https://nasional.kompas.com/read/2018/04/26/07050041/tolak-perkawinan-anak.

Editor : Laksono Hari Wiwoho

Persoalan di Balik Tingginya Angka Perkawinan Anak Indonesia

Jakarta, CNN Indonesia — Pernikahan pasangan remaja siswa SMP Bantaeng, Syamsudin (15) dan Fitra Ayu (14) membuat heboh beberapa waktu terakhir. Pernikahan ini menambah deretan pernikahan anak yang jadi sorotan nasional.

Dari sejumlah data, angka perkawinan anak di Indonesia tercatat masih tinggi. Berdasarkan data dari Unicef, State of The World’s Children tahun 2016, perkawinan anak di Indonesia menduduki peringkat ke-7 di dunia. Sementara, data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga tahun 2015 menunjukkan perkawinan anak usia 10-15 tahun sebesar 11 persen. Sedangkan perkawinan anak usia 16-18 tahun sebesar 32 persen.

Tingginya angka perkawinan anak di Indonesia ini menurut Arskal Salim, Direktur Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama, dipengaruhi oleh sejumlah faktor, dari mulai latar belakang pendidikan, ekonomi, sosiokultural, dan agama. Arskal menyampaikan hal itu dalam Seminar Nasional Program Berdaya yang digelar Rumah Kita Bersama, di Jakarta pada Selasa (24/4). 

Faktor pendidikan

Menurut Arskal Salim, orangtua anak yang memiliki latar belakang pendidikan yang rendah memiliki peluang lebih besar untuk menikahkan anak sebelum usia 18 tahun. Kurangnya pendidikan terhadap kesehatan organ reporoduksi atau kurangnya pendidikan seksual juga menyebabkan perkawinan anak. Lebih jauh, pendidikan yang kurang membuat remaja rentan terhadap kehamilan sebelum menikah.

Faktor ekonomi

Pendapatan atau ekonomi yang rendah membuat angka perkawinan anak meningkat. Orang tua dengan pendapatan yang rendah cenderung akan menikahkan anaknya karena dianggap akan meringankan beban ekonomi.

“Banyak orang tua yang merasa, dengan menikahkan anaknya mereka menjadi terbantu secara ekonomi. Hal itu dikarenakan sudah ada yang memberi nafkahi anaknya, jadi bukan tanggung jawab mereka lagi sebagai orang tua,” ungkap Ir. Dina Nurdiawati M Sc peneliti dari IPB yang memaparkan survei Indeks Penerimaan Kawin Anak.

Faktor sosiokultural

Indonesia yang memiliki beragam budaya juga melatarbelakangi terjadinya perkawinan anak. Pandangan mengenai perawan tua masih sering menjadi ketakutan bagi banyak orang, sehingga menikahan anak dengan usia yang sebelumnya dianggap menjadi solusi.

Budaya perjodohan juga masih kerap kali dilakukan oleh para orang tua. Perjodohan tersebut membuat anak tidak bisa menolak sehingga terjadi perkawinan anak. Beberapa budaya di Indonesia juga melakukan perkawinan anak karena nilai mahar. Nilai mahar yang tinggi membuat banyak orang merasa tergiur dan akhirnya menikahkan anaknya. Lingkungan sosial yang terpengaruh dengan budaya dari luar juga membuat anak mengalami seks bebas dan akhirnya menyebabkan kehamilan.

Faktor agama

Pernikahan anak yang marak juga dipengaruhi oleh faktor agama. Beberapa kelompok agama tertentu beranggapan menikah diusia muda menjadi hal yang wajar. Pernikahan tersebut juga dilakukan untuk menghindari zina.

Anak yang telah beranjak remaja kerab menjalin hubungan dengan lawan jenis. Agar tidak dianggap zina maka sebaiknya segera menikah. Selain itu, hal tersebut juga dilakukan untuk mengurangi kekhawatiran kehamilan di luar nikah.

Sementara, di luar itu, Indonesia memiliki peraturan hukum yang mengatur mengenai perkawinan. Menurut Undang-undang perkawinan tahun 1974 usia seseorang untuk menikah minimal 21 tahun. Namun juga ada dispensasi, jika menikah dengan seijin orang tua anak perempuan boleh menikah ketika berumur diatas 16 tahun dan anak laki-laki di atas 19 tahun. Perkawinan di Indonesia ini juga masih bisa dilakukan tanpa batas usia minumum jika dengan permohonan dispensasi atau pengecualian.

Lies Marcoes-Natsir, Direktur Rumah Kita Bersama (KitaB) menuturkan temuan di lapangan memetakan kelompok yang mendukung dan menolak kawin anak, serta menunjukkan pentingnya konsistensi kebijakan dalam melarang praktik kawin anak.

“Kebijakan yang tidak konsisten, ditambah nilai sosial budaya yang permisif, menimbulkan tantangan bagi pihak-pihak di masyarakat yang berupaya mencegah kawin anak,” ujarnya menambahkan, seperti disampaikan rilis resmi Rumah KitaB.

Melalui program Berdaya, Rumah KitaB meluncurkan tiga buku hasil temuan mereka, yang diberi judul: “Kawan & Lawan Kawin Anak: Catatan Asesmen Program Berdaya di Empat Daerah”, “Mendobrak Kawin Anak – Membangun Kesadaran Kritis Pencegahan Kawin Anak”, dan “Maqashid al Islam: Konsep Perlindungan Manusia dalam Perspektif Islam.”

Dampak perkawinan anak

Selain mengulik persoalan di baliknya, perkawinan anak juga memberi dampak yang patut jadi perhatian bersama. Data dari United Nation Children Fund, mengatakan perkawinan anak akan menyebabkan komplikasi saat kehamilan dan melahirkan. Hal tersebut merupakan penyebab terbesar kedua kematian pada anak perempuan berusia 15-19 tahun.

Selain itu, bayi yang terlahir dari ibu yang berusia di bawah 20 tahun memiliki peluang meninggal sebelum usia 28 hari. Perempuan yang menikah pada usia anak juga lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Di Indonesia sendiri perkawinan pada usia anak akan menyebabkan anak perempuan memiliki peluang empat kali lebih rendah untuk menyelesaikan pendidikan menengah. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia juga menurun. Perkawinan anak di Indonesia diestimasikan menyebabkan kerugian ekonomi 1,7 persen dari PDB.

Maraknya perkawinan anak ini bisa dicegah dengan melakukan berbagai upaya. Dina juga menjelaskan, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menolah perkawinan usia anak. Hal tersebut juga dapat terwujud dengan kerjasama bersama lembaga informal seperti keluarga, komunitas, dan lembaga keagamaan juga lembaga formal seperti sekolah, lembaga kesehatan, pemerintah dan sebagainya. (rah)

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180425133623-282-293415/persoalan-di-balik-tingginya-angka-perkawinan-anak-indonesia

Anak SMP “Ngotot” Menikah: Apakah Menikah Muda Cara Menghindari Zina?

SEPASANG anak SMP yang ingin menikah menjadi bahan perbincangan, apalagi dengan gerakan menikah muda yang semakin ramai. Dua anak SMP di Bantaeng, Sulawesi Barat mendaftarkan pernikahan mereka ke Kantor Urusan Agama. Calon pengantin wanita baru berusia 14 tahun 9 bulan, dan calon pengantin pria 15 tahun 10 bulan.

Sempat ditolak oleh KUA karena usia mereka masih di bawah umur, keduanya mengajukan permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama, dan mereka pun mendapatkan dispensasi itu. Karena usianya yang masih sangat muda, rencana pernikahan kedua anak ini pun mendapat banyak tentangan dari masyarakat dan warganet. Terlebih sejumlah media menuliskan bahwa penyebab kedua anak itu ingin menikah adalah karena calon pengantin perempuan takut tidur sendirian.

Menteri Agama Lukman Saifuddin pun ikut berkomentar. Lukman menjelaskan bahwa pernikahan di bawah usia 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki, tidak diperbolehkan. Kecuali, ada dispensasi dari Pengadilan Agama. Itu pun alasannya harus sangat kuat.

Menurut Lies Marcoes, ahli kajian gender dan Islam sekaligus Direktur Yayasan Rumah Kita Bersama, tingkat pernikahan anak di Indonesia mencapai satu dari lima anak. Angka moderatnya pun satu di antara sembilan anak menikah di bawah usia 18 tahun, umur anak sesuai dengan Undang-undang Perlindungan Anak.

Menurut riset BPS dan Badan PBB Unicef, sekitar 300.000 ribu anak perempuan menikah sebelum berumur 16 tahun. Pernikahan anak di bawah umur di sisi lain mengakibatkan PDB turun 1,7 persen (2014). “Negara harus mengakui ini krisis yang sangat serius. Pernikahan dini adalah alarm kematian yang sunyi karena menyumbang pada tingginya kematian ibu,” kata Lies pada BBC Indonesia.

Profesor Ilham Oetama Marsis, dokter ahli kebidanan dan kandungan, pun menegaskan bahwa pernikahan di bawah umur sangat berbahaya bagi pengantin perempuan. “Itu sangat berbahaya,” kata Marsis pada BBC Indonesia.

Selain itu, setelah menikah muda, akses ke pendidikan pun hilang. “Mau kerja apa tanpa pendidikan?” kata Lies.

Pernikahan dini terjadi di seluruh Indonesia, baik itu di kota dan desa. Tapi menurut penelitian Rumah Kita Bersama, daerah-daerah dengan krisis tanah, krisis ekologi, dan kesulitan ekonomi menjadi daerah dengan tingkat pernikahan anak yang paling tinggi.

“Angka pernikahan anak berkorelasi dengan kemiskinan struktural,” kata dia. Di tempat di mana laki-laki tergusur dari pertaniannya, angka pernikahan anak pun tinggi.

Pernikahan anak dinilai menjadi upaya untuk memindahkan kemiskinan orang tua kepada lelaki lain yang harus bertanggung jawab atas kemiskinan anak perempuannya.

Menurut riset Rumah Kita Bersama juga, pria dewasa adalah yang paling menerima perkawinan anak di bawah umur. “Itu ‘kan kurang ajar, tidak bertanggung jawab. Dia tidak merasakan hamil, makanya dia terima saja,” kata Lies. Adapun ibu anak-anak tersebut mengaku tidak menerima dan berusaha mencegah agar anak-anak mereka tidak kawin di bawah umur.

Aktivitas anak 14 tahun

Pegiat isu gender dan Hak Asasi Manusia Tunggal Pawesti mempertanyakan pemerintah yang melalui Pengadilan Agama begitu mudah memberikan dispensasi untuk anak yang belum cukup umur. “Seharusnya ada pendekatan lain yang bisa dilakukan, kenapa kejadian ini dibiarkan?” kata Tunggal.

Tunggal memulai tagar #14 tahun di Twitter untuk menunjukkan keprihatinannya pada perkawinan sepasang anak SMP ini. Tagar itu pun dibalas oleh warganet dengan aneka hal yang mereka lakukan saat berumur 14 tahun.

“Ada banyak sekali kegiatan yang dilakukan anak 14 tahun. Ini jadi bukti jika anak disediakan aktivitas dan fasilitas oleh pemerintah, keluarga, dan lingkungannya, maka dia akan terhindar dari keinginan dan tekanan menikah dini,” kata Tunggal.

Averil Patricia, pelajar kelas 1 SMP berumur 13 tahun, heran bahwa ada anak yang ingin menikah pada umur 14 tahun. “Aneh, itu terlalu muda. Saya saja tidak kepikiran, mending fokus ke sekolah,” kata Averil pada BBC Indonesia.

Sumber: https://lifestyle.okezone.com/read/2018/04/18/196/1888080/anak-smp-ngotot-menikah-apakah-menikah-muda-cara-menghindari-zina

Praktik Perkawinan Anak, Diam-diam tapi Berbahaya

Jakarta, CNN Indonesia — Praktik perkawinan anak masih terjadi di Indonesia. Bahkan, dari data UNICEF Indonesia disebutkan satu dari sembilan anak perempuan menikah di bawah usia 18 tahun. Ada 375 anak yang menikah setiap hari sehingga Indonesia masuk dalam 10 negara dengan jumlah praktik perkawinan anak tertinggi.

Ada banyak penyebab yang mendorong terjadinya praktik perkawinan anak, di antaranya faktor kemiskinan, tradisi yang berlangsung sejak dulu, sulitnya akses pendidikan, dan lainnya. Tak hanya itu, dari sebuah survei Yayasan Rumah Kita Bersama (YRKB) terhadap 52 anak yang menikah dini, diketahui 36 di antaranya ‘terpaksa’ karena kehamilan.

Survei Yayasan Rumah Kita Bersama pada sekitar 2015-2016 itu disampaikan Direktur, Lies Marcoes, dalam kesempatan diskusi ‘Akhiri Perkawinan Anak’ yang digelar AKSI bersama Unicef, Girls Not Brides dan Kedutaan Belanda, di Erasmus Huis, Jakarta, pada Kamis (8/3). Gelaran ini bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Internasional.

Menurut Lies, perkawinan anak yang terjadi karena mereka tidak punya alternatif lain untuk mengatasinya. Rata-rata, anak-anak tak memiliki akses informasi mengenai kesehatan reproduksi, dan tak juga tahu akan konsep perencanaan berkeluarga.

“Mereka tak mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi, dan sulit akses akan layanan terkait hal itu, sehingga menikah jadi satu-satunya jalan keluar,” ujar Lies.

Namun, itu hanya satu dari beberapa penyebab terjadinya praktik perkawinan anak di Indonesia.

Menurut Lies, faktor penyebab ini juga berbeda di masing-masing daerah, termasuk perbedaan antara di desa dan kota. Di desa, kata dia, anak di bawah usia 18 tahun ‘dipaksa nikah’ karena alasan yatim piatu sosial. Ada kekhawatiran akan anak sehingga segera saja dikawinkan.

Sementara, di kota, ada panic moral, atau kekhawatiran anak remaja yang beranjak dewasa.

Menambahkan hal itu, indeks survei yang dilakukan di Madura dan Sulawaesi Selatan menunjukkan penerimaan kawin anak lebih dominan diterima oleh pihak laki-laki, sementara rata-rata ibunya keberatan. Sementara, bapak khawatir akan nama baik keluarga, sehingga anaknya segera dinikahkan.

Praktik berbahaya

Praktik perkawainan anak, dari catatan UNICEF Indonesia masih cukup tinggi. Meski jumlah kasus perkawinan anak mengalami penurunan dari 10 tahun terakhir, praktik ini masih mengkhawatirkan dan mestinya bisa dihentikan.

Dari sebaran seluruh Indonesia, Kalimantan dan Sulawesi tercatat paling banyak terjadi praktik perkawinan anak. Begitu juga di Jawa dan Sumatera. Padahal, menurut Lauren Rumble, Deputy Perwakilan UNICEF Indonesia, hasil survei yang pernah dilakukan oleh lembaga tersebut menunjukkan anak perempuan sebenarnya tak ingin menikah muda.

“Hanya saja mereka mengalami akses yang sulit terhadap pendidikan,” tambah dia.

Sejalan dengan itu, Mabel van Oranje, Ketua Dewan organisasi Girls Not Brides asal Belanda mengatakan ada beberapa alasan kenapa kemudian banyak terjadi praktik perkawainan anak.

“Salah satu persoalannya adalah kemiskinan, dan masih minimnya akses pendidikan khususnya akan kesehartan reproduksi,” ujarnya.

Dari kunjungannya ke Lombok, Mabel van Oranje juga mendapati sejumlah remaja perempuan di sana yang tak mengetahui bagaimana proses seseorang bisa hamil. Selain itu, ada norma sosial tidak boleh berpacaran atau menjalin hubungan, sehingga banyak yang kemudian ‘dinikah paksa’.

Sementara, perkawinan usia anak sendiri, kata dia, adalah pelanggaran hak-hak anak dan memiliki dampak jangka panjang pada kesehatan dan kesejahteraannya. Perkawinan usia anak juga memiliki konsekusensi fatal, yang bisa meningkatkan risiko kematian, kelahiran bayi dengan berat badan rendah dari perempuan yang belum siap secara fisik untuk kehamilan, putus sekolah, membatasi kemampuan belajar dan membuat buruk kemiskinan lintas generasi.

Nadira Irdiana, anggota Komite AKSI menambahkan, persoalan tak sampai di sana. Dari riset yang pernah dilakukan, didapati adanya masalah ketaksetaraan gender. Anak perempuan masih melihat perempuan ideal itu ibu rumah tangga atau yang pintar memasak.

“Kita pernah bikin riset menanyakan, ‘tentang aspirasi atau cita-cita pada anak perempuan dan laki-laki, jawabannya, yang perempuan ingin jadi eprawat kalau laki-lakinya dokter atau menjadi ibu rumah tangga. Sementara laki-laki bercita-cita sebagai pengusaha, engineer atau sesuatu yang memberdayakan,” ujarnya.

Hal ini menurut Nadira patut juga jadi perhatian dalam upaya mengakhiri persoalan perkawinan anak.

Dalam kesempatan itu, AKSI turut mengundang sekitar 100 siswa sekolah dari Jakarta untuk bersama-sama membahas lebih jauh akan persoalan praktik perkawinan anak. Dengan catatan agenda ini turut membangun kesadaran akan bahaya perkawinan anak, serta bagaimana upaya mengakhirinya sehingga ke depan tak lagi ada perkawinan anak di bawah usia 18 tahun. (rah)

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180309051052-282-281621/praktik-perkawinan-anak-diam-diam-tapi-berbahaya

Korban Kawin Anak: “Kami Butuh Ijazah, Bukan Buku Nikah”

Data UNICEF tahun 2017 menunjukkan lebih dari 700 juta perempuan di seluruh dunia saat ini menikah ketika masih anak-anak. Agama, tradisi, kemiskinan, ketidaksetaraan gender dan ketidakamanan karena konflik menjadi alasan utama tingginya jumlah perkawinan anak.

Indonesia merupakan negara ketujuh dengan tingkat perkawinan anak tertinggi di dunia. Menjelang Hari Perempuan Internasional 8 Maret, VOA Siaran Indonesia akan menurunkan beberapa laporan terkait hal tersebut. Dalam laporan pertama hari ini, Eva Mazrieva melaporkan tentang kondisi muram di Indonesia dan bagaimana lembaga-lembaga swadaya masyarakat lewat berbagai cara mengatasi perkawinan anak.

“Saya merasa ketika itu menikah tidak seindah yang digambarkan pada saya. Tidak seperti yang saya bayangkan. Saya sering bertengkar dengan suami karena hal-hal sepele, misalnya beda pendapat atau tidak ada uang, atau beda keinginan, atau karena adanya orang ketiga – yaitu mertua atau tetangga – yang selalu ikut campur dalam urusan rumah tangga saya. Suami suka memukul. Saya saat itu juga tidak tahu bagaimana mengurus anak. Beberapa tahun setelah menikah saya punya bayi dan saya bingung karena tidak tahu harus bagaimana. Suami juga waktu itu tidak bekerja dan hanya mengandalkan pemberian orang tuanya yang hanya cukup untuk sehari-hari saja.”

Demikian penuturan Megawati, korban perkawinan anak di desa Pijot, kecamatan Keruak, kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Adat istiadat setempat yang mendorong anak perempuan usia 14 dan 15 tahun menikah muda, membuat keluarga Megawati menikahkannya ketika berusia 16 tahun.

“Saya pun sudah dianggap ketuaan (terlalu tua.red). Saya menikah usia 16 tahun karena di desa saya itu anak-anak gadis harus menikah pada usia 14-15 tahun, kalau terlambat terus jadi pergunjingan. Saya sempat dianggap telat menikah dan tiap hari diolok-olok, dianggap “gak laku”, “ketuaan”. Memang sudah budayanya begitu Mbak. Dulu kami tidak bisa menolak jadi mau tidak mau saya harus menikah, atau jadi pergunjingan di desa. Mempermalukan keluarga begitu,” tambahnya.

Indonesia, Negara Ketujuh dengan Jumlah Kawin Anak Tertinggi di Dunia

Megawati merupakan potret suram sebagian anak perempuan di Indonesia, negara dengan angka perkawinan anak tertinggi ketujuh di dunia, dimana satu dari lima perempuan yang berusia 20-24 tahun telah melakukan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun. Survei UNICEF menunjukkan bahwa agama, tradisi, kemiskinan, ketidaksetaraan gender dan ketidakamanan karena konflik merupakan alasan utama tingginya jumlah perkawinan anak.

Sosiolog di Universitas Indonesia Dr. Ida Ruwaida menyoroti kuatnya budaya patriarki yang membuat posisi perempuan sangat lemah.

“Budaya patriarki yang masih kuat dianut menempatkan posisi tawar perempuan lebih rendah dan lebih lemah. Selain itu juga ditopang oleh kultur kolektivitas yang masih kuat. Sebagai ilustrasi, masih hidup dan bertahannya praktek perjodohan oleh kerabat dan tokoh agama – di suatu wilayah perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah – yang membuat anak tidak mampu menolak perjodohan itu. Bahkan orang tua dan keluarga si anak pun cenderung tidak berdaya. Di Jawa Barat, faktor ekonomi yang menjadi pendorongnya,” kata Ida.

Ida Ruwaida, yang memusatkan pada studi sosiologi gender, mengatakan di sebagian daerah lain, gabungan faktor budaya dan agama memperumit isu perkawinan anak.

‘’Sulitnya mengubah hal ini karena budaya dikaitk dengan agama. Di wilayah Papua dan NTT, faktor dominan terjadinya kawin anak adalah budaya dan adat. Sementara di wilayah lain yang umumnya beragama Islam, faktor budaya ini berkelindan dengan agama,” tukasnya.

Sejumlah ibu di Lombok Timur, NTB, belajar di “Sekolah Perempuan” tentang berbagai isu kesetaraan perempuan, kesehatan reproduksi, jaminan sosial hingga isu perkawinan anak. (Courtesy: Institut Kapal Perempuan)

Prevalensi Pernikahan Anak Turun

Menurut data yang dirilis UNICEF, Selasa (6/3), prevalensi pernikahan anak secara global menurun. Beberapa negara bahkan mengalami penurunan signifikan. Secara keseluruhan proporsi perempuan yang menikah ketika masih anak-anak turun 15 persen dalam sepuluh tahun terakhir. Dari 1 pada 4 perempuan, menjadi 1 pada lima perempuan.

Asia Selatan juga merasakan penurunan terbesar angka pernikahan anak dalam sepuluh tahun terakhir ini. Risiko anak perempuan yang dinikahkan sebelum usia 18 tahun turun lebih dari sepertiga, dari hampir 50 persen menjadi 30 persen, sebagian besar karena kemajuan yang luar biasa di India. Meningkatnya pendidikan bagi anak perempuan, investasi proaktif pemerintah pada remaja perempuan, pesan yang kuat tentang praktik perkawinan anak ilegal dan dampak yang ditimbulkan merupakan faktor yang mendorong keberhasilan menurunkan angka pernikahan anak.

Ratusan Juta Perempuan Nikah Sebelum Usia 18 Tahun

Menurut data baru UNICEF, jumlah anak perempuan yang dinikahkan ketika masih anak-anak mencapai 12 juta per tahun. Angka baru ini menunjukkan akumulasi pengurangan global angka pernikahan sekitar 25 juta lebih sedikit dibanding yang diantisipasi sepuluh tahun lalu. Namun untuk benar-benar mengakhiri praktik ini pada 2030 – sesuai target yang ditetapkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’) harus tetap dilakukan percepatan upaya menurunkan perkawinan anak, karena tanpa hal itu akan ada tambahan 150 juta perkawinan sebelum usia 18 tahun pada 2030.

Di seluruh dunia diperkirakan ada 650 juta perempuan yang menikah ketika masih anak-anak. Penurunan terbesar dalam sepuluh tahun terakhir terjadi di Asia Selatan, namun peningkatan terjadi di sub-Sahara Afrika, yang kini menjadi 1 dari 3 anak perempuan, dibanding sepuluh tahun lalu yang 1 dari 5 anak perempuan.

Aktivis dan Guru Selesaikan Isu Pernikahan Anak

Beberapa tahun terakhir ini sejumlah aktivis dan organisasi swadaya masyarakat berinisiatif untuk bekerja langsung di daerah-daerah terpencil dimana jumlah pernikahan anak paling banyak terjadi.

Institut Kapal Perempuan yang dikomandoi Misi Misiyah membuka “Sekolah Perempuan” yang mendidik para perempuan yang selama ini tidak berani bersuara, dan sebagian diantaranya bahkan buta baca tulis. Guna mendorong mereka berani menyampaikan isi pikiran, “Sekolah Perempuan” membatasi jumlah laki-laki yang ingin bergabung menjadi hanya 10-20 persen saja.

“Ini memang standar yang kami patok karena 20 persen laki-laki pun sangat menguasai forum, padahal kita ingin para perempuan ini punya keleluasaan untuk bicara dan berpikir, dan mengurangi ketidakpercayaan diri ketika harus berhadapan dengan laki-laki. Saya mendapati banyak perempuan mundur ketika belum apa-apa sudah berhadapan dengan laki-laki dalam jumlah banyak dan suaranya menguasai forum,” ujar Misi Misiyah.

“Sekolah Perempuan” Didik Perempuan di Alam Terbuka

Proses pendidikan juga tidak dilakukan di dalam ruang, tetapi di alam terbuka, misalnya di pinggir sawah, di sawung, di tepi sungai atau pantai, atau di halaman rumah atau balai desa.

“Pertama, belajar dari alam yang seadanya tidak berarti membuat orang tidak bisa membuat apa-apa. Metode-metode di luar kelas membuat situasi lebih informal dan orang lebih leluasa membangun gagasan dan kepercayaan diri. Kedua, memberi “pelajaran” kepada pemerintah yang semestinya aware dengan proses pendidikan sepanjang hayat dan memberikan fasilitas serta kesempatan pada mereka dalam program-program pemerintah, karena program ini ada tetapi tidak bisa diakses oleh orang-orang paling miskin, terutama perempuan,” imbuh Misi.

Para perempuan yang sebagian besar di antaranya buta baca tulis dan bahkan tidak pernah bicara di depan publik, didorong mengemukakan pendapat di “Sekolah Perempuan” di NTB. (Courtesy : Institut Kapal Perempuan)

Korban Pernikahan Anak Kini Jadi Aktivis dan Juru Kampanye

Sebagian perempuan yang belajar di “Sekolah Perempuan” ini adalah korban perkawinan anak yang kemudian dilatih menjadi aktivis. Diantaranya Megawati, korban perkawinan anak yang kini tidak saja ikut berkampanye menolak perkawinan anak di desa-desa NTB, tetapi bahkan berani mendatangi keluarga yang diketahui akan menikahkan anak perempuannya pada usia dini.

“Kalau saran saya.. sekolahkan dulu anaknya. Kita butuh ijazah bukan buku nikah! Sekolahkan dia setinggi-tingginya, jangan seperti saya. Dulu sebenarnya orang tua saya ingin saya sekolah, tetapi keadaan berkata lain, saya harus mengikuti tradisi dan adat di desa saya. Ijazah lebih penting untuk masa depan, tapi buku nikah gampang saja. Bahkan kalau sudah S1, S2, dan S3 kita bisa mendapatkan buku nikah, bahkan memilih siapa yang kawin dengan kita, bukankah begitu. Tapi kalau sekarang, jika kita butuh ijazah setelah menikah, tidak mungkin. Apalagi banyak diantara kita yang baru beberapa minggu atau beberapa bulan sudah bercerai. Bagaimana mungkin kita mendapatkan ijazah,” tukas Megawati.

Guru Datangi Keluarga yang Ingin Kawinkan Anak Perempuan

Upaya serupa juga dilakukan Dian Misastra, guru di Tegalwaru, Jawa Barat yang mendatangi rumah siswi yang diketahui akan dinikahkan. Henny Soepolo, Ketua Yayasan Cahaya Guru, suatu LSM yang memberikan pelatihan para guru, menyampaikan hal ini.

“Ada satu sekolah dasar di mana 50% siswa perempuan tidak melanjutkan ke SMP. Mereka hanya ditunggu lulus SD dan kemudian dikawinkan. Pak Dian ini datang dari satu rumah ke rumah lain, melakukan sosialisasi dengan mengajak orang tua berpikir panjang dengan pertanyaan2 antara lain : jika kamu mengawinkan anakmu, berapa mulut yang berkurang untuk diberi makan? OK berkurang satu. Tapi kalau anakmu cerai – karena memang angka perceraian tinggi – lalu anakmu pulang kembali ke rumah, maka berapa mulut yang kini harus diberi makan? Cukup anakmu saja atau anakmu plus cucumu? Jadi berapa uang yang kamu habiskan. (Argumen) Ini jadi lebih make sense. Yang menarik dengan pendekatan dari rumah ke rumah ini, pada tahun 2011 sudah 100 persen anak di SD di mana Pak Dian ini mengajar, akhirnya anak perempuan melanjutkan pendidikan ke SMP. Artinya orang tua bisa jadi terbiasa mengambil jalan pintas tanpa berpikir panjang. Mereka tidak berpikir bahwa kalau anak perempuannya dikawinkan, tidak saja berpotensi berkurangnya jumlah mulut yang dikasih makan, tetapi juga berpotensi anak bercerai dan pulang dengan membawa cucu sehingga justru bertambah mulut yang diberi makan. Pendekatan ini menarik dan saya kira seharusnya bisa menjadi gerakan bersama,” ujar Henny.

Perempuan-perempuan yang sebagian besar di antaranya buta baca tulis dan bahkan tidak pernah bicara di depan publik, didorong mengemukakan pendapat di “Sekolah Perempuan” di NTB. (Courtesy: Institut Kapal Perempuan)

“Ibu Nyai’’ Pasang Badan Lindungi Anak Perempuan yang akan Dikawinkan

Pendekatan serupa juga dilakukan di Lombok dan Madura. Aktivis perempuan yang juga peneliti gender dan Islam, serta pendiri ‘’Rumah Kita Bersama’’ atau kerap disebut ‘’Rumah Kitab’’, Lies Marcoes-Natsir menyampaikan hal ini.

“Di Lombok, di Madura dan beberapa daerah lain, “Ibu Nyai” (istri kiai yang memimpin suatu pesantren) bisa menjadi orang yang pasang badan ketika berhadapan dengan kultur dan orang tua yang memaksa anak untuk kawin. Ibu Nyai yang bernegosiasi dengan orang tua di setiap semester, ketika mereka datang untuk menjemput anaknya dari pesantren. Ketika mereka menjemput, Ibu Nyai biasanya sudah curiga bahwa “pasti anak akan dikawinkan”. Nah si Ibu Nyai ini kemudian tidak saja bernegosiasi dengan orang tua, tetapi juga dengan komunitas masyarakat di mana orang tua berada, yang mengkondisikan kawin anak itu. Bagusnya di pesantren – dan berbeda dengan sekolah umum – biasanya di akhir negosiasi, jika si Ibu Nyai “kalah”, ia akan mengijinkan anak dijemput untuk dikawinkan, tetapi mendesak supaya anak diijinkan kembali lagi untuk menyelesaikan pendidikannya. Artinya sang anak tetap bisa melanjutkan sekolah. Ini masih lebih baik karena biasanya masalah utama yang dihadapi anak yang dikawinkan muda itu adalah mereka jadi berhenti sekolah. (Berarti pesantren dalam hal ini jauh lebih moderat dibanding sekolah umum karena tetap mau menerima kembali anak-anak untuk bersekolah meski sudah dikawinkan?) Betul! Karena otoritanya ada pada Ibu Nyai dan Kyai di pesantren. Pertanyaannya kini adalah berapa besar kapasitas yang dimiliki para tokoh ini untuk mencegah perkawinan anak? Berapa banyak anak yang bisa ia lindungi setiap tahun?,” tutur Lies.

Misi Misiyah, Henny Soepolo dan Lies Marcoes-Natsir tidak menunggu pemerintah. Itikad serius untuk mengakhiri masalah perkawinan anak mendorong mereka menemukan cara dan metode beragam untuk menyelesaikan isu ini, langsung di daerah-daerah dengan tingkat perkawinan anak tertinggi di Indonesia. [em/al]

Sumber: https://www.voaindonesia.com/a/korban-kawin-anak-kami-butuh-ijazah-bukan-buku-nikah-/4283261.html

Merebut Tafsir: Multi Dimensi Persoalan Kawin Anak

Penelitian-penelitian Rumah KitaB sejauh ini sampai pada kesimpulan bahwa praktik perkawinan anak merupakan sebuah tragedi kemanusiaan namun berlangsung sunyi. Terjadi sebagai implikasi yang sangat masif dari proses pemiskinan struktural yang berakar pada perubahan-perubahan ruang hidup, sumber kehidupan akibat krisis ekologi dan agraria di lingkup perdesaan. Situasi itu merembet pula pada perubahan relasi sosial dan gender akibat kegugupan menghadapi modernisasi.

Praktik itu seharusnya mampu mengetuk hati para pemerhati isu anak-anak. Namun, usaha gerakan untuk menolak praktik itu terasa jauh dan sayup-sayup. Praktik itu sebegitu jauh tak berhasil menumbuhkan kegemparan publik untuk melawannya. Praktik kawin anak antara lain dianggap biasa, urusan domestik sebuah keluarga, atau bahkan dianggap bukan persoalan publik yang serius.

Penelitian-penelitian Rumah KitaB mencatat bahwa perkawinan usia anak-anak merupakan sebuah fenomena di mana anak perempuan menyerupai anak yatim piatu (secara) sosial. Karakteristik yatim piatu yang dikenali secara umum dapat ditemui dengan jelas dalam karakteristik perempuan yang dikawinkan dalam usia muda: tidak mandiri, jaringan sosial lemah, daya dukung lemah, tanpa perlindungan, tanpa kasih sayang, dan miskin.

Banyak perempuan yang masuk dalam perkawinan anak datang dari keluarga miskin, orangtua mereka kehilangan kesanggupannya sebagai orangtua tempat anak dapat tumbuh kembang secara sehat, aman, dan bermartabat. Orangtua mereka kehilangan daya dukung alam dan kehilangan dukungan sosial akibat perubahan ruang hidup dan penghidupan mereka serta perubahan hubungan-hubungan sosial dalam masyarakatnya. Perkawinan anak adalah fenomena yatim piatu sosial ketika orangtua, kaum kerabat, dan lingkungan sosial disekitarnya lebih mengutamakan kepentingan dan posisi mereka. Orang-orang dewasa disekitar mereka berkutat dengan soal makan dan penjagaan nama baik atau bahkan memanfaatkannya untuk bertahan hidup melalui perkawinan anaknya.

Perkawinan anak kami sebut sebagai fenomena yatim piatu sosial karena negara juga setengah hati dalam menimbang mereka sebagai prioritas program dan mengalah pada program pembangunan fisik infrastruktur atau pada pembiaran kepada pandangan-pandangan agama dan kelembagaan sosial, hukum, adat, dan tradisi melanggengkannya.

Membangun jalan, jalan tol, dan jembatan penting, namun tak kalah penting membangun jembatan kehidupan![Lies Marcoes]

Diskusi Forum Warga Tentang Pernikahan Usia Anak di Panakkukang – Belajar dari Pengalaman Indonesia dan Australia

AIPJ2, MAKASSAR – Pernikahan usia anak bukan hanya persoalan statistik. Tingginya angka pernikahan usia anak di Indonesia, yang mencapai 23% pada 2015 (menurut data Badan Pusat Statistik dan UNICEF) sekaligus mencerminkan hilangnya kesempatan bagi remaja perempuan dalam mengembangkan potensi diri. Kemiskinan dan budaya, menjadi beberapa faktor yang berkontribusi pada tingginya angka pernikahan anak, termasuk di Tammamaung dan Sinrijala, Kecamatan Panakkukang, Makassar.

Topik penanggulangan pernikahan usia anak menjadi fokus dialog antara warga, perwakilan pemerintah dan lembaga nonformal bersama Dr. Sharman Stone, Duta Besar Australia Untuk Perempuan dan Anak pada 1 November 2017. Mitra Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2), Lies Marcoes dan tim dari Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), memfasilitasi diskusi termasuk memaparkan temuan-temuan dari riset di lapangan.

Jika hampir semua kasus pernikahan usia anak di wilayah desa berawal dari kemiskinan (termasuk tingkat pendidikan yang rendah) dan tradisi, penelitian Rumah KitaB menemukan faktor lain untuk wilayah urban yaitu persoalan keterbatasan ruang gerak untuk berinteraksi dan meningkatnya nilai konservatif yang mewujud dalam rasa malu/aib.

“….Orang tua menjadi panik dan tekanan terhadap anak perempuan untuk menikah semakin besar. Hamil dan tidak hamil, dipaksa menikah,” ujar Nurhady Sirimorok, peneliti Rumah KitaB.

Pemerintah Australia, menurut Dr Stone, menjamin kehidupan anak yang lahir dari pernikahan usia dini. Namun demikian, Dr Sone juga menyepakati bahwa kehamilan yang tidak diinginkan adalah mimpi buruk bagi semua pihak, terutama bagi anak perempuan yang harus putus sekolah dan menghadapi tantangan mendapatkan pekerjaan yang layak.

Pemerintah Indonesia telah menerapkan batas minimum usia menikah berdasarkan UU no 1/1974 pasal 6 yaitu 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun laki-laki. Namun hal ini tidak menutup terjadinya pemalsuan usia. Seorang mantan hakim peradilan agama Makassar, Ibu Harijah, menyatakan peradilan agama seringkali terdesak oleh permintaan dispensasi oleh orang tua untuk menghindari aib. Situasi ini terkesan sebagai proses ‘pembenaran’ pernikahan usia anak di mata hukum.

Persoalan akte lahir kerap menjadi pendorong untuk menikahkan perempuan remaja yang hamil. Salah satu pembelajaran yang bisa ditarik dari pengalaman Australia adalah bagaimana remaja perempuan yang hamil tidak mengalami stigma sebagai orang tua tunggal serta memperoleh dukungan biaya perawatan anak dari pemerintah. Namun sebesar-besarnya dukungan pemerintah, keluarga berperan penting untuk memaksimalkan potensi remaja perempuan. “Kami ingin semua perempuan punya kesempatan yang setara,” ucap Dr Stone.

Dari berbagai lembaga advokasi, upaya mencegah pernikahan usia anak dimulai dengan memberikan keterampilan menjadi orang tua (parenting skills), mendaftarkan anak-anak putus sekolah untuk menjadi peserta program pendidikan non-formal (Paket A,B,C), dan pertemuan rutin dengan warga. Kegiatan keterampilan juga diberikan untuk remaja putus sekolah untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Program-program pemasaran untuk membantu agar produk-produk hasil karya remaja sangat diperlukan karena seringkali mereka sulit menjajaki kelompok pembeli.

Di akhir sesi, Dr Stone menyimpulkan bahwa adanya perbedaan dan persamaan situasi di Indonesia membuat kerjasama penanggulangan menjadi sangat penting. Dr Stone juga mengapresiasi upaya para tokoh agama, budaya, lembaga non-formal, dan pemerintah setempat di Makassar untuk mengatasi permasalahan ini.

Source: http://www.aipj.or.id/in/disability_inclusion/detail/community-forum-discussion-of-child-marriage-at-panakkukang-learning-from-indonesian-and-australian-experience

Penyusunan Modul Pencegahan Perkawinan Anak Melalui Penguatan Kelembagaan Formal dan non Formal

 

Program BERDAYA (Pemberdayaan Kelembagaan Formal dan Non Formal) Rumah KitaB  menyelenggarakan lokakarya Penyusunan Modul Pencegahan Perkawinan Anak melalui penguatan Kelembagaan Formal dan non Formal pada 17 Januari 2018 di Jakarta. Lokakarya ini didukung Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) dengan tujuan untuk mendapatkan masukan atas naskah yang terdiri dari enam  modul. Draft modul ini disusun Tim Rumah KitaB dibawah koordinasi Ibu Lies Marcoes dan enam rekan  penulis. Sesuai rencana, modul ini akan dipakai oleh fasilitator BERDAYA di 4 wilayah kerja program ini yaitu di Bogor, Cirebon, Jakarta Utara dan Sulawesi Selatan.

Acara lokakarya dihadiri oleh staf BERDAYA, Rumah KitaB dan narasumber yang mewakili berbagai institusi, antara lain Bapak Adib Machrus, Kasubdit Pembinaan KUA dan Keluarga Sakinah Kementerian Agama, Ibu Rohika dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dr Nur Rofiah dari Alimat/ KUPI(Kongres Ulama Perempuan Indonesia), Bapak Mohammad Noor dari Pengadilan Agama Cilegon, Ibu Dani dari Rahima, Bapak Marzuki Wahid dari Fahmina serta ibu Irene, perwakilan dari DFAT Australia. Total peserta berjumlah sekitar 20 orang.

Lies Marcoes, Direktur Rumah KitaB

Dalam pengantarnya Ibu Lies Marcoes menjelaskan latar belakang kegiatan program BERDAYA dan relevansinya dengan kegiatan penyusunan modul ini serta pelatihan yang kelak dilaksanakan dengan menggunakan modul ini. Penelitian Rumah KitaB 2014-2016  memperlihatkan keterhubungan antara kawin anak dengan melemahnya peran ekonomi lelaki akibat perubahan ruang hidup, hilangnya akses kaum lelaki kepada sumber daya, terutama pekerjaan dan tanah. “Adanya permintaan akan tenaga kerja perempuan (istri) tidak dengan sendirinya mengubah status peran lelaki (suami) sebagai kepala keluarga. Pada waktu yang bersamaan, para lelaki kehilangan otoritasnya dan mereka memperkuat statusnya dengan peran-peran penjagaan moral,” tutur Ibu Lies dalam paparannya.  “Pemerintah telah berupaya mengatasi perkawinan anak, namun peran aparat seperti KUA dan PA menjadi lebih berat karena dorongan praktik kawin anak datang dari para lelaki yang kehilangan peran ekonominya,  tapi makin kenceng dalam menjaga moral tradisional di mana mereka masih punya peran”. Hal ini diperkuat oleh perubahan lanskap otoritas keagamaan yang cenderung lebih puritas. Survei indeks penerimaan perkawinan anak di Probolinggo dan Sumenep, Jawa Timur (2017)  yang diselenggarakan Rumah KitaB dan UNICEF memperlihatkan sikap kaum lelaki yang lebih menerima praktik perkawinan anak.

Muhammad Adib Machrus, Kepala-Subdirektorat-Bina-Keluarga-Sakinah-Direktorat-Bina-KUA-dan-Keluarga-Sakinah-Direktorat-Jenderal-Bimbingan-Masyarakat-Islam-Kemenag

Atas situasi itu, kurikulum pelatihan dikembangkan dengan kerangka untuk memperkuat kelembagaan-kelembagaan yang bekerja dalam pencegahan perkawinan anak melalui pemberian pemahaman tentang fakta perkawinan anak, hak-hak anak yang telah disepakati dalam UU Perlindungan Anak, dan metodologi pembacaan teks yang berpeluang untuk menafsirkan ulang dominasi bapak dalam memaksakan perkawinan anak. Kegiatan ini juga berupaya untuk menjelaskan bahwa pemenuhan hak-hak anak dan kepatuhan kepada hukum positif adalah sebuah jalan untuk menghindari dualisme hukum yang selama ini menjadi masalah dalam persoalan perkawinan anak. Dualisme hukum ini  telah mengakibatkan banyaknya praktik perkawinan yang ilegal secara hukum positif namun dianggap sah menurut penafsiran.

Lokakarya ini menghasilan alur kurikulum yang menyerap seluruh usulan dari para peserta yang akan ditindaklanjuti dengan penulisan ulang pada beberapa bab atau revisi untuk bab-bab yang dianggap telah cukup memadai. Program BERDAYA akan mengujicoba modul pelatihan ini pada Maret 2018 usai proses revisi sesuai rekomendasi lokakarya ini. [Lies Marcoes/ Seto Hidayat]