Pos

Merebut tafsir: Bias

Oleh Lies Marcoes

Seorang lelaki yang tampaknya sebagai petugas haji dengan terkekeh-kekeh memberi komentar atas peristiwa “lucu” di mana temannya, seorang petugas layanan haji “diserang” lelaki tua pengguna kursi roda yang tak mau dipisahkan dari istrinya. Menurutnya, lelaki tua itu “cemburu” karena sang istri yang juga menggunakan kursi roda didorong petugas haji lelaki muda. Dalam vlog itu memang tampak sang kakek gelisah, terus memegang tangan istrinya dan tak mau pisah, bahkan sang kakek menyerang kepada pendorong kursi roda istrinya yang tampaknya akan memisahkan mereka.

Bagi sebagian orang mungkin peristiwa itu lucu, dan itu pula yang tampaknya dilihat oleh sang lelaki pembuat vlog dengan ucapannya berkali -kali si kakek cemburu.

Saya kesal dengan “enyekan” si pembuat vlog itu. Tapi kemudian saya merasa kekesalan itu tak ada guna karena si lelaki pembuat vlog ini tampaknya tak faham bagaimana menangani lansia.

 

Hal yang dia tahu adalah yang biasa dalam pikiran dan perilakunya sendiri sebagai lelaki muda. Mungkin dalam benaknya ia berpikir ” Kalau kejadian itu terjadi pada saya, sikap itu merupakan bentuk kecemburuan saya”. Dari sisi itu enyekan dan tertawaan dia merupakan hal yang ia ketahui dan ia alami sebagai lelaki muda. Di sini terjadi proses bias. Ia telah mengandaikan apa yang terjadi pada lelaki tua itu persis yang ia mungkin akan lakukan jika ia dipisahkan dari istrinya.

Dalam bahasa psikologi dan gender sikap lelaki itu BIAS lelaki muda, mungkin anak kota. Ia telah menerjemahkan sebuah peristiwa berdasarkan tafsiran dan subyektivitasnya sendiri. Menjadi bias adalah wajar karena setiap orang memiliki subyektivitasnya. Namun persoalannya jika dengan bias itu seseorang merasa sudah benar dan ia punya kuasa untuk melakukan tindakan, maka ia telah melakukan tindakan diskriminatif yang berangkat dari bias dan prasangkanya.

 

Bagaimana caranya untuk keluar dari bias serupa itu? Dalam studi gender yang basisnya pemikiran kritis feminis, seseorang harus berpikir kritis dan memiliki empati. Jika si lelaki pembuat vlog itu mau keluar dari subyektivitasnya dan berpikir kritis dia akan sampai kepada referensi lain tak hanya terbatas kepada apa yang dialaminya sendiri yaitu rasa cemburu. Caranya dia harus keluar dari ego dan subyektivitasnya dan menyeberang kepada sang kakek. ” Bagaimana kalau aku seusia dia, bagaimana kalau itu terjadi kepada kakek nenekku ?”.

Seandainya dia tahu bagaimana lelaki ditumbuhkan dalam budaya Indonesia ia akan paham, lelaki itu umumnya menjadi tak berdaya karena mereka lebih banyak “multi-asking” daripada “multi-tasking”. Karenanya sangat wajar tingkat ketergantungannya kepada istrinya menjadi lebih tinggi di saat ia menjadi tua/lansia. Lelaki yang tak terbiasa mengurus dirinya sendiri dan secara budaya dan agama dibenarkan untuk selalu diladeni, ia pasti akan ketakutan kalau dipisahkan dari pendampingnya. Jadi, bukan urusan sepela seperti rasa cemburu, melainkan hilangnya rasa aman. Belum lagi dignity-nya sebaga lelaki, misalnya kalau ngompol bagaimana? Si kakek tua itu niscaya ketakutan berpisah dari istrinya. Dan rasa takut itu yang tidak terbayangkan oleh lelaki muda yang dalam segala hal masih bisa melakukannya sendiri.

 

Studi-studi tentang lansia dengan analisis gender menunjukkan hal itu. Dan makin miskin pasangan itu akan semakin besar ketergantungan kepada istrinya yang melayaninya tanpa pamrih.

Dari sana akan terbit sikap empati dan pembelaan.

Pengetahuan merupakan kunci yang akan mengantarkan pada pemikiran yang melahirkan empati.
Saya yakin, si pemuda pemberi layanan haji itu tak dibelaki pengetahuan bagaimana melayani lansia dari ragam budaya, latar belakang kebiasaan desa kota, sampai psikologi lansia. Karenanya cara dia bereaksi sekonyol itu.

Dalam kajian feminsime, membangun empati lahir dari kesadaran kritis atas penindasan manusia oleh manusia lain, alat ukurnya adalah mengritisi relasi timpang, stereotyping dan bias.

Saya tak harus menjadi orang Papua , Cina, waria, Kristen, Ahmadiyah, disable untuk berempati kepada mereka yang dalam struktur masyarakat kita mereka adalah kelompok yang “diminoritaskan” untuk mengakses keadilan. Tapi pengalaman sebagai perempuan dengan kesadaran kritis atas penindasan yang dialaminya dapat mengantarkan saya kepada lahirnya empati dan pembelaan kepada mereka atas hak-haknya sebgaia manusia atau minimal warga negara. Tiap diri niscaya memiliki bias, tapi pengetahuan dan kesadaran kritis dapat mengikisnya dan berubah menjadi empati bahkan pembelaan [].

Bogor 19 Juli 2019

Merebut Tafsir: Bias dan Prasangka

Oleh Lies Marcoes

Dari refleksi pengalaman hidup orang dapat mengenali bagaimana bias dan prasangka di dalam pikiran dan tingkah laku bekerja.


Ketika menjadi asisten peneliti Martin van Buinessen di Bandung, saya mendapatan pertanyaan yang mengherankan tentang mengapa program KB begitu populer di daerah penelitian kami di Sukapakir. Meskipun fenomena yang ditanyakan itu benar adanya, saya bertanya balik dari mana kesan itu ia peroleh. Rupanya hampir setiap hari ia menguping pembicaraan para tetangga, mereka sering bicara KB, bahkan dalam percakapan sehari-hari. Usut punya usut ia memaknai kata “ kabeh” (semua- dalam bahasa Sunda/Jawa) yang ia sangka sebagai kata KB. Kecurigaan itu relevan di mata seorang peneliti karena program pemerintah dalam sosialisasi KB gencar sekali. Dan penelitian ini memang untuk mengamati perubahan-perubahan sosial ekonomi di kota yang berdampak kepada pemiskinan. Di negara-negara miskin lain seperti di India, Amerika Latin, program family planning merupakan salah satu pil ajaib yang dibayangkan para ahli pembangunan sebagai obat mengatasi kemiskinan: mengurangi pelahap kue pembangunan.

Ketika menjadi asisten Julia Suryakusuma, saya mendapat kesimpulan yang sangat menarik dari para perempuan informan kami tentang perbedaan “pangkat” antara saya dan Julia. Salah satunya mereka nilai dari model sepatu boot yang kami gunakan. Punya Julia lebih tinggi dan berwarna hijau pupus mirip seragam tentara, sepatu boot saya lebih pendek warna hitam seperti sepatu anak sekolah. Tapi yang lebih mengherankan, mereka menafsirkan kepangkatan itu dari asesoris yang kami gunakan. Telinga Julia ketika itu ditindik tiga lubang sehingga ia menggunakan subang/ suweng tiga, sementara saya pakai satu pakai suweng kecil. Cara baca mereka tentang kepangkatan cocok belaka dengan alam pikiran para penyadap karet itu. Kehidupan sehari-hari mereka sebagai buruh kecil selalu berhadapan dengan hierarki sosial yang bertingkat-tingkat sangat tajam dan berimplikasi kepada kehidupan mereka: mandor kebun, kepala kebun, asisten kepala kebun, kepala pengepul, kepala kantor (ADM), sampai pemilik yang mereka sebut nyonya atau tokeh. Demikian juga dalam kehidupan sehari hari: ada menak, ada aden, dan seterusnya. Dalam kehidupan sehari-hari yang senantiasa berhadapan dengan sistem hierarki yang menentukan bagaimana cara mereka berbicara dan bertingkah laku sangat masuk akal mereka mengenali kami, pendatang dari luar dengan cara pandang kepangkatan.

Pengalaman lain ketika saya mengajak kyai Husein Muhammad menjadi bagian dari program fiqh an-Nisa. Salah satunya kami membahas isu kesehatan dan gangguan reproduksi dan kami berdiskusi dengan ibu-ibu di pesantren Cipasung. Dengan sangat serius Pak Kyai Husein menyajikan makalah berdasarkan bacaannya dari sejumlah kitab dalam tradisi Syafii bab haidl. Berdasarkan bacaanya, beliau menjelaskan ciri-ciri darah haidl untuk dibedakan dengan darah penyakit. Menurut referensi yang beliau baca (bukan tanya istri) darah penyakit dan dahar haidl dapat dibedakan dari warna dan jangka waktu keluarnya haidl. Ketika kyai menjelaskan darah penyakit dengan karakter “waktu” keluarnya darah susulan setelah masa haidl seharusnya selesai, seorang peserta bertanya” apakah menurut pak kyai kita bisa merasakan darah haidl keluar sehingga dapat mengenali batas waktunya selama 24 jam. “ “Saya pikir begitu, bukankah kalian bisa merasakan haidl itu kapan keluar dan berhenti seperti mau kebelet pipis”, ujar Kyai Husein. Dan meledaklah tawa seisi ruangan. Dari pengalaman itu Pak kyai Husein mendapatkan pelajaran maha penting soal betapa biasnya pengetahuan agama yang disusun oleh para lelaki yang sok tahu atas pengalaman perempuan.

Banyak bias dan prasangka yang saya sendiri alami dan rasakan. Dan itu selalu hadir setiap saat utamanya dalam perjumpaan-perjumpaan sosial.

Kami sekeluraga memiliki sahabat yang sudah seperti keluarga, mereka adalah pasangan gay dari Belanda. Hampir dua tahun sekali mereka tinggal di rumah, seperti tahun lalu. Setelah mereka pulang segera saya tutup kamar sebelum dibersihkan ART. Saya khawatir ada tanda-tanda yang membingungkan ART terkait dengan perilaku seksual mereka. Hari sebelumnya ART ABG rumah kami mendapati salah satu pasangan lehernya merah merah secara sangat menyolok. Dia mengatakan, “Itu Om Mak masuk angin”. Karenanya saya memeriksa kamar dengan seksama sebelum ART membersihkan kembali. Di rak kamar mandi saya melihat sebuah benda sebesar botol kecap kecil. Bagian ujung benda itu berbentuk lancip lembut menyerupai ujung corong air ukuran kecil. Di ujung lain ada alat pompa. Otak mesum saya langsung berpikir ini adalah alat untuk mengisi lubrikan, dan saya pun sms ke mereka mumpung belum terlalu jauh. Tapi mereka katakan itu bukan benda milik mereka. Kamar itu adalah kamar tamu yang biasa diisi bergantian oleh anak-anak kalau libur. Saya pun sms mereka. Anak perempuan saya membalas “ O itu pompa balon Ma, kemarin pinjem untuk ultah.”

Aiiih ini sebenarnya siapa sih yang punya otak mesum? Tiap diri niscaya punya bias dan prasangka, tapi pengetahuan bisa memupusnya!