Pos

Perempuan Jangan Dihambat untuk Bekerja

JAKARTA (12/05/22)  – Sampai saat ini perempuan masih menemukan banyak sekali hambatan untuk berpartisipasi dan berkompetisi di dunia kerja. Hal ini terungkap dalam dalam acara “Forum Diskusi Para Pihak (Multi-Stakeholders) untuk Mendukung Perempuan Bekerja” yang diselenggarakan Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), Kamis, 12 Mei 2022, di The Margo Hotel Depok. Para peserta yang terdiri dari para pemangku kepentingan dan perwakilan media sepakat dengan pandangan yang menyatakan bahwa bekerja adalah hak dasar manusia, termasuk bagi perempuan.

Direktur Eksekutif Rumah KitaB, Lies Marcoes, dalam sambutannya menyampaikan keprihatinannya melihat situasi perempuan bekerja di Indonesia yang tidak mengalami peningkatan signifikan seiring dengan derasnya arus reformasi dan emansipasi. Menurutnya, salah satu hambatan perempuan bekerja di Indonesia adalah pandangan keagamaan yang memandang perempuan sebagai aurat dan fitnah sehingga membatasi ruang gerak perempuan hanya di wilayah domestik dan tidak boleh tampil di ruang publik untuk bekerja.

“Terdapat pandangan yang menyatakan bahwa perempuan adalah aurat dan fitnah. Pandangan ini menjadi salah satu faktor terbesar yang menghambat perempuan untuk tampil dan bekerja di ruang publik. Dulu ada seorang penceramah perempuan yang berbicara di televisi bahwa suara perempuan adalah aurat, padahal dia sendiri sedang bicara. Sayang sekali, saat lapangan pekerjaan semakin banyak, posisi perempuan ternyata tidak mengalami peningkatan dan sulit berkompetisi di dunia kerja,” papar Lies.

Lies juga menambahkan bahwa saat ini perempuan dimungkinkan untuk bekerja, tetapi bukan di sektor-sektor produktif, melainkan di sektor-sektor informal yang potensi untuk keluar dengan cepat sangat tinggi, lebih-lebih ketika sudah menikah dan mempunyai anak.

“Realitas saat ini bukan tidak memungkinkan bagi perempuan untuk bekerja, tetapi bukan di sektor-sektor produktif, melainkan di sektor-sektor informal yang tingkat kerentanannya atau potensi untuk cepat keluar dari pekerjaannya itu sangat tinggi. Kalau diperiksa lebih jauh, keluar-masuknya perempuan di dunia kerja sangat tinggi sekali. Saat masih gadis bisa kerja, tetapi ketika sudah menikah pindah ke rumah, dan ketika punya anak turun lagi dan seterusnya hingga tidak boleh bekerja,” lanjut Lies.

Lebih dari itu, menurut Lies, kalau dilihat dari sisi umur, yang menolak perempuan untuk bekerja adalah laki-laki berusia antara 18 – 24 tahun. Dan kalau ditelisik lebih dalam, ternyata itu adalah anak dari ibu yang bekerja, yang menunjukkan bahwa di dalam diri anak ini sudah terbangun sebuah persepsi bahwa perempuan yang baik bukan perempuan seperti ibunya. Kalau ibunya perempuan yang baik, harusnya ia selalu berada di rumah. Perempuan yang berada di luar rumah apalagi sampai pulang malam cenderung dianggap sebagai perempuan yang tidak baik. Kehormatan perempuan adalah keberadaannya di dalam rumah.

Fadilla Dwiyanti Putri, Manajer Program Rumah KitaB, memaparkan hasil penelitian dan analisis situasi yang dilakukan Rumah KitaB sepanjang Agustus – September 2020, yang menunjukkan sejumlah hambatan dan batasan bagi perempuan untuk bekerja.

“Norma gender menjadi pembatas perempuan bekerja, di antaranya, pertama, terkait dengan batasan fisik. Dibandingkan dengan pekerja laki-laki ternyata tempat kerja pekerja perempuan itu lebih dekat dengan tempat tinggalnya, tetapi waktu tempuhnya lebih lama daripada laki-laki, sebabnya bisa jadi karena perempuan terganggu dengan moda-moda transportasi atau kendala-kendala lainnya. Kedua, terkait dengan batasan simbolik, misalnya pakaian, di mana perempuan harus memakai dresscode atau berpakaian rapi, menarik, dan lain sebagainya, atau bahkan dipaksa memakai jilbab di tempat kerjanya. Ketiga, terkait peran dan posisi perempuan di dalam keluarga,” ujar Fadilla.

Menurut Fadilla, hambatan lain yang juga sangat berpengaruh adalah pandangan keagamaan yang diperoleh dari kajian-kajian yang iikuti perempuan bahwa sebaik-baiknya tempat bagi perempuan adalah di dalam rumah untuk mengurus dan mendidik anak-anaknya, melayani suami dan keluarga. Dari sini kemudian timbul keyakinan bahwa perempuan tidak boleh dan tidak berhak untuk tampil di ruang publik sehingga ia memilih untuk berhenti bekerja.

Dalam kesempatan yang sama, Manajer Kajian Rumah KitaB Ahmad Hilmi menyampaikan pendapat serupa mengenai norma gender yang mengecilkan kemungkinan perempuan untuk bekerja di ruang publik.

“Identitas keperempuanan menjadi salah satu yang menonjol dalam menghambat perempuan untuk bekerja. Perempuan yang dianggap sebagai makmum atau yang diimami selalu mendapat stigma di masyarakat bahwa ia sebaiknya berada di rumah. Sangat sulit menemukan di masyarakat yang ditopang oleh norma sosial dan agama yang ketat sebuah ruang yang memberi kebebasan kepada perempuan untuk aktif dalam partisipasi-partisipasi publik,” ungkap Hilmi.

Hilmi menyampaikan bahwa ada dua sektor bagi perempuan untuk bekerja, yaitu sektor formal dan non-formal. Di sektor formal hambatannya jauh lebih besar, karena sektor formal ini dianggap sebagai pekerjaan utama sehingga peran perempuan dipandang sebelah mata dan bahkan dianggap tidak penting. Ketika perempuan ingin meniti karir ke jenjang yang lebih tinggi, karena keperempuanannya, ia akan dianggap tidak layak meskipun ia mempunyai kualitas dan kapasitas. Sementara di sektor non-formal, perempuan jauh lebih bisa diterima karena itu bukan pekerjaan utama, misalnya berjualan di pasar atau berjualan di rumah atau aktivitas-aktivitas lain yang membuat perempuan tidak meninggalkan rumah.

Hadir bersama Ahmad Hilmi yaitu Nurasiah Jamil selaku Manajer Operasional Rumah KitaB yang mengingatkan soal rendah dan tingginya pendidikan yang berpengaruh pada diterima atau tidaknya perempuan di dunia kerja.

“Jangan lupa juga soal pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin besar pula kemungkinannya untuk diterima di dunia kerja. Sejauh ini kalau kita lihat, pendidikan perempuan masih rendah, sehingga kemungkinannya untuk diterima bekerja di sektor produktif sangat kecil. Identitas sebagai perempuan, ditambah dengan tingkat pendidikan yang rendah, tidak ada yang bisa dilakukan kecuali segera menikah dan berada di rumah untuk melayani suami dan mengasuh anak-anaknya,” ujar Nurasiah.

Nurasiah menambahkan bahwa perempuan yang ingin menempati posisi-posisi kepemimpinan akan mendapatkan tekanan yang jauh lebih besar daripada laki-laki karena ia harus benar-benar bisa menunjukkan kualitasnya supaya ia berhasil saat menjadi pemimpin. Dan ketika terdapat laki-laki dan perempuan yang sama-sama berkompeten untuk menduduki posisi tersebut, biasanya laki-laki yang akan diprioritaskan untuk dipilih. Hal ini terlihat seperti lingkaran setan yang sejak awal memandang bahwa perempuan tidak berkompeten untuk menduduki posisi yang lebih tinggi daripada laki-laki.

Melanjutkan apa yang disampaikan Nurasiah, Program Officer Rumah KitaB Nur Hayati Aida mengungkapkan tentang beban ganda perempuan bekerja. Menurutnya, perempuan kerap mendapatkan beban ganda. Di tempat kerjanya ia harus melakukan pekerjaannya dengan baik, sementara di rumah, terlebih yang sudah menikah, harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, seperti mengasuh anak, melayani suami, mengantar anak ke sekolah, memasak, mencuci pakaian, dan seterusnya.

“Dan yang lebih parah lagi, perempuan terkadang juga mendapatkan beban ganda di tempat kerjanya. Ada suatu kasus di mana seorang perempuan cuti melahirkan, kemudian beban kerjanya itu dibagi ke dua orang di divisinya, laki-laki dan perempuan. Tetapi pada kenyataannya beban kerjanya itu hanya dilimpahkan kepada pekerja perempuan, sedangkan yang laki-laki tidak mengambil alih sama sekali. Sehingga pekerja perempuan itu mengalami beban ganda, selain mengerjakan pekerjaannya sendiri ia juga mengerjakan pekerjaan temannya yang cuti melahirkan,” ungkapnya.

Rina, salah seorang peserta yang mewakili media, mengungkapkan perbedaan upah yang diperoleh laki-laki dan perempuan di dalam dunia kerja jurnalisme.

“Saya mengalami ini sendiri. Saya mengetahui ini setelah resign dari tempat kerja yang lama setelah empat tahun bekerja sebagai jurnalis. Suatu saat saya chat dengan seorang kawan jurnalis laki-laki, dan dia masuk kerja dengan saya dalam waktu yang sama di tempat kerja yang lama. Kebetulan saat itu dia sudah menikah dan saya belum. Dalam chat itu saya tahu bahwa gaji dia ternyata lebih besar dari gaji saya dengan alasan dia sudah menikah dan harus menafkahi keluarganya. Saya sendiri, waktu itu, meskipun masih single, membiayai ibu saya dan juga adik saya yang sedang kuliah,” ujarnya.

Rina juga menambahkan perempuan sulit untuk menduduki posisi-posisi yang tinggi di bidangnya. Saat ini, seluruh posisi top leader management di media dan dunia jurnalisme diduduki oleh laki-laki, tidak ada perempuan yang menduduki posisi itu.

“Hal yang perlu diingat adalah anggapan bahwa dunia jurnalisme itu adalah dunia laki-laki. Banyak anggapan bahwa perempuan tidak cocok atau kurang fight untuk bekerja sebagai jurnalis karena mobilitas jurnalis yang sangat tinggi. Saya kira ini tidak tepat, justru yang harus diperbaiki dan dibenahi adalah sistem kerja supaya merangkul semua orang untuk bekerja dalam posisi yang sama tanpa diskriminasi, baik laki-laki dan perempuan, sesuai dengan kapasitas dan kualitas yang dimiliki,” pungkasnya.[]