BAHAGIA KALA CORONA
Oleh Zainul Maarif
Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Jakarta
zainul.maarif@paramadina.ac.id
Pada tataran tertentu, pandemi Corona ini memang menyulitkan. Di ranah pendidikan, misalnya, pertemuan langsung sempat diliburkan. Proses pembelajaran diselenggarakan secara daring. Tak semua orang memilki ponsel pintar dan internet lancar. Beberapa orang perlu merogoh saku lebih dalam demi memenuhi kebutuhan yang sebelum ini bukan primer, tapi kini mendekati kebutuhan pokok, yaitu kuota internet. Hal tersebut menyulitkan.
Saat pertemuan langsung hendak dilakukan kembali, berbagai prosedur baru diselenggarakan. Lembaga pendidikan diharuskan mengurangi separuh jumlah peserta didik dalam satu kelas l. Tempat duduk antar siswa diberi jarak, bahkan pada beberapa sekolah dibuat aklirik di setiap meja siswa. Guru dan murid harus menggunakan masker bahkan mika pelindung wajah. Di pesantren, santri diharuskan melakukan test kesehatan sebelum masuk. Tak semua anak mau ditusuk jarum, dan tak semua test kesehatan gratis. Selain perlu peralatan tambahan dalam belajar, seperti masker dan mika penjaga wajah, perlu juga suplemen makanan penjaga imun. Semua itu hal yang merepotkan dan menelan biaya tambahan.
Di ranah peribadatan, tempat ibadah seperti masjid dan mushalla sempat diliburkan berbulan-bulan. Tak ada shalat jamaah rawatib, shalat jumat, shalat tarawih dan shalat id. Semua muslim diminta shalat di rumah masing-masing. Setelah kondisi dinyatakan new normal, shalat-shalat tersebut kembali diselenggarakan dengan cara baru. Biasanya tak ada jarak antarmakmum. Kini, jarak itu ditetapkan. Tak ada lagi salaman pasca shalat. Sebelum shalat pun, beberapa masjid besar mengetest suhu badan para jamaah. Itu semua merepotkan.
Kerepotan juga menjalar ke ranah sosial-ekonomi. Interaksi antar manusia kini dibatasi. Beberapa tempat belanja sempat tutup, bahkan gulung tikar, karena minim pengunjung dan transaksi. Hingga kini beberapa kawasan perdagangan masih menerapkan sistem ganjil genap dalam hal buka tutup toko. Semua itu mengurangi pemasukan, dan pada tataran tertentu memicu amarah atau kesedihan.
DAMAI
Pandemi ini memang menghadirkan suasana gelap. Tapi haruskah kita sama-sama mengutuk gelap dan membiarkan diri di dalamnya? Tak seharusnya kegelapan kondisi diiringi dengan kegelapan diri. Justru sebaliknya, dalam kondisi gelap sekalipun, diri harus bercahaya bahkan berupaya menyinari kegelapan yang ada.
Jika kegelapan kondisi diiringi kegelapan diri, maka yang terjadi adalah kegelapan yang memekat. Dalam pandemi Corona ini, kegelapan berlipat itu adalah jiwa pengeluh atau pemarah di saat kondisi serba sulit. Hal ihwal di sekitar diri saat ini memang tak menyenangkan. Bila kondisi itu disikapi dengan kemarahan atau kesedihan, maka kesulitan akan terasa berlipat ganda.
Sebaliknya, keadaan menyebalkan yang disikapi dengan tenang akan terasa tawar. Tak ada amarah atau sedih yang muncul merefleksikannya. Ketenangan yang membuat tawar kondisi yang sulit sekalipun justru dapat menimbulkan pendar cahaya pada diri dan sekitar. Hal itulah yang diperlukan saat ini.
Dalam kondisi pandemi ini, yang pertama-tama diperlukan adalah kedamaian diri. Tak perlu terlalu takut pada penyakit, tapi juga tak perlu terlalu gegabah untuk mengabaikannya. Efek yang ditimbulkan pandemi ini diterima saja dengan lapang dada. Penerimaan semacam itu merupakan cahaya diri di masa pandemi. Filsafat menyebut penerimaan itu sebagai amor fati, sedangkan agama Islam menyebutnya ikhlas. Amor fati atau ikhlas adalah cahaya diri berupa rasa damai.
POSITIF DAN KREATIF
Pasca damai terasa, pandangan positif seyogianya senantiasa mengemuka. Islam mengajarkan bahwa setiap kesulitan selalu diiringi oleh kemudahan. “Inna ma`a al-`usri yusran”. (QS. Al-Syarh: 6) Sesungguhnya kesulitan “bersama” kemudahan. Kemudahan dinyatakan hadir “bersama” kesulitan, bukan “setelah”nya. Motivasi itu seyogianya mendorong kita untuk mencari kemudahan macam apa yang menemani kesulitan yang ada? Apa sisi positif di balik sisi negatif pandemi corona?
Saat semua orang disuruh untuk di rumah saja, orang-orang menjadi lebih dekat dengan keluarga. Orang yang tadinya jarang masak menjadi rajin masak. Masakannya pun tak monoton, melainkan variatif. Rumah dibersihkan, tanaman dirawat. Semua itu positivitas yang muncul dari program di rumah saja saat pandemi Corona.
Saat batasan diberlakukan di mana-mana, kreativitas juga bisa muncul pada orang yang damai dan positif. Karena masyarakat membutuhkan masker, kini beragam motif masker dibuat. Bisnis online pun lebih bergeliat. Para pemikir giat menulis dan berbicara via online. Seminar via internet diberlangsungkan dengan narasumber dari berbagai tempat. Para teknisi membuat berbagai alat yang cocok dengan kondisi masa kini, seperti tempat cuci tangan dengan sistem injak. Para ilmuwan berusaha keras untuk menemukan obat mengatasi corona. Semua itu menyelarasi kaidah ushul fikih “Al-Amr idza dhaqat ittasa`at”. Sesuatu yang dipersempit niscaya meluas.
Orang yang bisa berdamai dengan kondisi pandemi, bahkan senantiasa berpikiran positif sampai batas menghasilkan kreativitas bisa dipastikan berbahagia. Apa yang dicari manusia selain bahagia? Bila bahagia saat Corona bisa dibayangkan dan direalisasikan, haruskah Corona dihadapi dengan amarah atau duka?[]
Rabu, 22 Juli 2020