Pos

SEMARAK RAMADHAN, BUKAN KONSUMERISME

Oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA.

[Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Cendikiawan Muslim Indonesia]

 

“Di bulan Ramadhan konsumsi pasti mengalami peningkatan, tetapi itu tidak berarti juga peningkatan konsumerisme. Harus dibedakan antara peningkatan konsumsi dengan peningkatan konsumerisme. Contohnya, di bulan Ramadhan banyak orang yang merasa ada kelebihan rizki menyediakan makanan untuk ifthâr (buka puasa) atau sahur, baik di masjid maupun di rumah sendiri. Seperti saya dan keluarga yang kadang diminta oleh beberapa masjid di kampus dan lingkungan pertetanggaan untuk menyediakan makanan ifthâr atau sahur. Ketika saya melakukannya, konsumsi saya meningkat. Tetapi itu tidak ada kaitannya dengan konsumerisme. Saya dan keluarga hanya mencoba untuk berbagi dengan orang lain sebagai upaya meningkatkan kesalehan sosial.”

 

 

SAYA berasal dari Pariaman, Alam Minangkabau, yang sejak masa kemerdekaan menjadi Provinsi Sumatera Barat. Kalau Abak (ayah) berasal dari dusun Duku, Sungailimau, tidak jauh dari Pariaman, ibukota Kabupaten Padang/Pariaman. Sementara Amak (ibu) berasal dari dusun Cimpago, Kampungdalam, juga dekat kota Pariaman. Sekarang Sungailimau dan Kampungdalam menjadi dua kecamatan di Kabupaten Padang/Pariaman.

Para sejarawan hampir sepakat menyebut daerah Pariaman, wilayah pesisir barat, sebagai asal-muasal datangnya Islam. Islam menurut mereka datang pertama kali di Ulakan, tempat ulama besar Syaikh Burhanuddin, tokoh terkemuka Tarekat Syattariyah, yang makamnya di Ulakan sampai sekarang menjadi pusat ‘basapa’ (‘bersafar’) dan ibadah-ibadah lain para pengikut tarekat tersebut.

Sementara daerah pegunungan seperti Bukittinggi, Padangpanjang, Batusangkar, Payakumbuh, yang semuanya merupakan wilayah Bukitbarisan, disebut sebagai darek (darat, dataran tinggi, highland), tempat sumbernya adat. Sehingga orang-orang yang tinggal di daerah-daerah tersebut diklaim atau mengklaim diri sebagai masyarakat yang lebih beradat.

Berdasarkan pembagian Alam Minangkabau menjadi pasisia (pesisir) dan darek (dataran tinggi), maka ada ungkapan Minang, “Syara’ mendaki adaik menurun”. Maksudnya ungkapan ini adalah: Islam datang dari pesisir Pariaman, lalu naik ke dataran tinggi atau daerah pedalaman. Sedangkan adat turun dari wilayah dataran tinggi ke daerah pesisir.

Sekarang ini, kalau nama Pariaman disebut, ada orang-orang—apakah Minang atau non-Minang—yang berkomentar, “Wah, itu tempat di mana laki-laki dibeli, ya.” Saya sebagai orang Pariaman sulit membantah. Karena memang ada sebuah kebiasaan yang sudah ‘mentradisi’ di Pariaman yang menurut saya muncul belakangan, sekitar tahun 1970-an ke atas. Saat masih kecil di kampung pada 1960-an saya belum menemukan tradisi tersebut.

Tradisi yang saya maksud adalah dalam perkawinan, di mana keluarga calon mempelai perempuan memberikan sejumlah uang atau materi kepada mempelai laki-laki. Orang-orang Pariaman menyebut uang atau materi pemberian dari pihak perempuan itu dengan ‘uang hilang’. Besar-kecilnya tergantung status laki-laki calon mempelai; apakah ia sarjana atau tidak, kalau ia sarjana, maka sarjana apa. Kalau dokter, misalnya, jelas berbeda jumlah ‘uang hilang’-nya jika dibandingkan dengan SH, atau Drs.

Pihak mempelai laki-laki meminta ‘uang hilang’ tersebut dengan alasan—katanya—untuk biaya awal hidup berumah tangga. Misalnya, kalau kedua mempelai ingin mengontrak rumah, ya bisa diambil dari uang itu. Kata mereka, nanti uang tersebut akhirnya kembali juga kepada si mempelai perempuan. Tetapi kenyataannya tidak selalu begitu. Karena kemudian yang sering terjadi justru ‘uang hilang’ itu benar-benar ‘hilang’ diambil oleh pihak keluarga laki-laki. Di antaranya mungkin dipakai untuk biaya baralek (berhelat, walimah al-‘ursy resepsi pernikahan). Atau mungkin sebagian diberikan kepada anak laki-lakinya, sang pengantin.

Dalam tradisi itu, orangtua mempelai laki-laki mempunyai otoritas penuh dan hak untuk menentukan. Tidak bisa, misalnya, laki-laki dan perempuan menjalin hubungan ‘suka sama suka’ atau pacaran, lalu keduanya sepakat untuk menikah dan tidak ingin mengikuti tradisi yang berlaku tersebut, menikah tanpa ‘uang hilang’. Keduanya tetap harus mengikuti kemauan dan kesepakatan keluarga tentang ‘uang hilang’ tersebut. Tidak bisa tidak.

Banyak kritik terhadap tradisi ‘uang hilang’ tersebut, baik dari alim ulama, pemuka adat dan pemimpin pemerintahan. Tetapi tradisi itu sebagian besarnya nampak terus bertahan; dan nampaknya sudah menjadi semacam ‘gaya hidup’ dan ‘gengsi’.

Pada akhir 1940-an Abak dan Amak pindah ke Lubukalung, yang belakangan sering disingkat sebagai ‘LA’, yang terletak sekitar 25 km di selatan kota Pariaman, dan sekitar 30 km di sebelah utara kota Padang, di lintasan jalan raya Padang-Padangpanjang untuk terus ke Bukittinggi, Payakumbuh dan Pekanbaru; atau Padangpanjang untuk bisa terus ke Batusangkar, Solok dan wilayah timur Sumbar dan terus ke Jambi. Jadi, LA adalah wilayah urban, ramai dengan lalu lintas bus dan truk antar kota-antar provinsi.

Pada awal 1950-an Abak dan Amak dikaruniai dua orang anak laki-laki. Namun sayang, kedua kakak laki-laki saya ini tidak berumur panjang. Mereka meninggal sejak kecil. Setelah itu, sekitar tahun 1951, orangtua saya dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Raazni, yang setelah menikah sampai kini menetap di Jambi. Lalu pada tahun 1953 kembali dikaruniai anak perempuan yang diberi nama Azriati, yang sekarang menetap di LA. Dan setelahnya, tahun 1955 saya yang dilahirkan. Setelah saya masih ada lagi tiga orang adik; laki-laki, Azwirman, yang meninggal pada usia sekitar 20 tahun karena penyakit jantung bawaan; lalu adik perempuan, Azmailis, yang kini menetap di Parung, Kabupaten Bogor; dan terakhir Buyung Azril, yang menetap di LA. Jadi, putra-putri orangtua saya—dengan yang sudah meninggal—seluruhnya berjumlah 8 orang.

Di Lubukalung rumah kami berada di pinggir jalan raya Padang-Bukittinggi; di belakang rumah terdapat pasar yang hari pekannya adalah setiap hari Selasa. Artinya, kami tinggal di daerah yang sebetulnya bisa dibilang urban; bahkan di rumah sering menumpang tidur pedagang babelok, keliling dari satu pekan ke pekan lain. LA adalah salah satu wilayah urban di mana proses urbanisasi mengakibatkan realitas hidup sehari-hari tidak sepenuhnya sesuai dengan adat dan tradisi Minangkabau.

Yang paling jelas adalah Abak mengambil peran dan tanggungjawab sepenuhnya terhadap anak-anaknya. Kontras dengan tradisi di mana mamak (saudara laki-laki Amak) bertangungjawab pula terhadap para kemenakan (keponakan)nya. Sang mamak di wilayah urban seperti LA sebaliknya memikul tanggungjawab terhadap anak-anaknya sendiri. Paling banter, mamak hanya diberitahu hal-hal penting semacam rencana pernikahan; tetapi tidak mengambil keputusan. Saya punya dua mamak yang persis memiliki posisi seperti itu.

Hal penting lain, berbeda dengan tradisi di desa Minang zaman itu, saya sejak kecil tidak pernah tidur di surau seperti kalau tinggal di kampung. Saya tidur di rumah saya sendiri, tidak seperti anak-anak Minang lain yang suka tidur di surau. Tetapi, seperti lazim dalam tradisi Minang, anak laki-laki seperti saya di LA sekalipun tidak punya kamar sendiri; kamar hanya untuk anak-anak perempuan. Jadi, saya tidur di mana saja di dalam rumah, yang penting bisa berbaring.

Waktu itu adalah masa-masa yang sangat sulit secara ekonomi bagi masyarakat Sumatera Barat. Kita tahu di akhir kepemimpinan Bung Karno kondisi ekonomi Indonesia sangat memprihatinkan. Waktu itu saya ingat kami sekeluarga makan nasi bulgur (beras campur jagung). Itupun sangat susah untuk mendapatkannya, belum lagi lauk-lauknya yang juga tidak mudah didapat oleh masyarakat.

Abak pada waktu itu mendapatkan nafkah sebagai tukang kayu dan tukang batu. Bisa dibayangkan betapa susahnya menafkahi keluarga yang cukup besar berjumlah 12 orang: Abak dan Amak dengan enam anak kandung; dua anak tiri Amak; dan dua saudara sepupu, yang orangtuanya sudah meninggal. Tetapi Abak dan Amak tidak pernah mengeluh.

Dalam kesulitan berlapis itu, untuk makan sehari-hari, beras dan jagung dicampur lalu dimasak. Setelah matang dikepal-kepal dengan menggunakan minyak kelapa, lalu dikasih sedikit garam. Lauknya kadang ikan asin, atau kadang telur yang dicampur dengan parutan kelapa agar bentuknya menjadi lebih besar ketika digoreng sehingga bisa mencukupi untuk dimakan kami sekeluarga. Tidak ketinggalan juga sambel yang menjadi penambah selera.

Di samping kesulitan dalam hal ekonomi, juga ada problem politik. Pada akhir 1950-an sampai awal tahun 1960-an di Sumatera Barat terjadi pemberontakan PRRI. Saya ingat vividly, pada waktu itu adanya tentara—dikenal dengan tentara Jawa, karena mereka memang berasal dari Jawa—berseliweran di berbagai tempat di Sumatera Barat untuk meredam pemberontakan. Karena rumah saya berada di pinggir jalan, saya dapat melihat mereka bergerak dengan panser-pansernya yang suaranya menderum dan membuat bumi seolah bergetar.

 

Puasa Ramadhan

Kedua orangtua saya adalah orang-orang yang sangat taat dalam beragama. Abak adalah tamatan sekolah teknik rendah. Meski bukan dari sekolah agama tetapi beliau sangat rajin beribadah. Sehari-hari pekerjaan beliau mula-mula sebagai tukang kayu dan tukang batu, kemudian sebagai pedagang. Waktu itu saya ingat beliau berdagang cengkeh dan kopra. Dari situ beliau mendapatkan uang untuk menghidupi keluarganya. Sebagian beliau tabung agar bisa dimanfaatkan di masa-masa mendatang, misalnya untuk biaya pendidikan anak-anaknya.

Saya masih ingat menjelang pemberontakan G30S/PKI pada 1965, Abak menggali lubang yang cukup dalam di belakang rumah. Beliau mengatakan, penggalian lubang itu atas perintah pemerintah setempat, sebagai tempat berlindung yang aman ketika negara-negara Nekolim menyerbu Indonesia. Belakangan saya tahu, bahwa lubang itu adalah untuk Abak dan keluarganya jika PKI berhasil dalam kudeta; dan membasmi orang-orang yang mereka anggap taat beragama, termasuk Abak dan Amak. Tetapi—kita tahu semua—pemberontakan  PKI gagal, sehingga kami sekeluarga tetap selamat.

Sedangkan Amak adalah tamatan Madrasah Al-Manar di Kampungdalam, sebuah lembaga pendidikan yang dilihat dari namanya ada hubungannya dengan gerakan modernis Islam yang dicetuskan Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha di Kairo, Mesir. Dengan bekal ilmu dari Madrasah Al-Manar itu pada awal tahun 1960-an Amak menjadi guru agama PNS di sebuah SDN Jambak, sekitar 5 km dari LA setelah melalui seleksi UGA (Ujian Guru Agama) yang diselenggarakan di masa Menteri Agama Muhammad Dahlan.

Saya dan saudara-saudara saya belajar agama hanya kepada Amak di rumah. Maksudnya, kami belajar agama bukan di luar rumah seperti di masjid atau di surau sebagaimana anak-anak lain di pedalaman Sumatera Barat. Amak sepenuhnya bertanggungjawab dalam soal pendidikan dan pengajaran pengetahuan serta keterampilan praktis agama seperti membaca al-Qur`an, shalat, puasa dan lain sebagainya. Sementara Abak tidak banyak ikut campur. Paling banter beliau hanya melakukan koreksi bila mendapati salah seorang dari kami salah ketika membaca dan melafazhkan ayat-ayat al-Qur`an.

Menjelang Ramadhan kami, anak-anak, kadang pergi balimau (berlimau), yaitu mandi di sungai Batang Anai yang lokasinya tidak jauh dari rumah. Di sana, bersama para penduduk lainnya (laki-laki dan perempuan), kami membersihkan badan dengan air sungai yang sudah ditaburi daun-daun atau bunga-bunga wangi seperti mawar, melati, dan lain-lain. Tradisi mandi secara komunal ini sudah ada sejak dulu, yang hingga sekarang masih ada. Tujuannya adalah membersihkan badan dalam rangka menyambut bulan Ramadhan.

Ada beberapa ulama—yang biasa disebut ‘Buya’—di Sumatera Barat yang menolak tradisi balimau. Menurutnya, tidak pantas laki-laki dan perempuan bercampur dan mandi bersama-sama dalam satu sungai. Tetapi mereka tidak sampai membid’ahkan. Sebenarnya, kalau dilihat lebih cermat, laki-laki dan perempuan di sungai itu tidak bercampur-baur seperti yang mungkin dibayangkan sementara orang. Mereka terpisah oleh jarak tepian-tepian sungai yang lumayan jauh. Karena sungai Batang Anai itu panjang sekali. Sehingga antara mereka tidak bisa saling mendekat dan melihat.

Menjelang Ramadhan juga biasanya ada tradisi Pawai Obor. Puluhan atau bahkan ratusan anak-anak, remaja dan pemuda berjalan berkeliling kampung dengan membawa obor bambu. Kegiatan ini juga menunjukkan antusiasme masyarakat Muslim di sana dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan.

Nah, karena di Sumatera Barat sangat kental dengan tradisi Muhammadiyah, tradisi-tradisi seperti nyekar (ziarah) yang menjadi kebiasaan masyarakat Muslim di Jawa boleh dibilang hampir tidak ada. Saya sendiri, misalnya, tidak pernah diajak Abak atau Amak untuk berziarah ke kuburan kakek, baik sebelum maupun sesudah Ramadhan. Kebanyakan orang Minang sampai sekarang tidak biasa melakukan ziarah kubur; dan juga hampir tidak ada makam yang disucikan, atau dianggap sebagai kuburan ‘wali’.

Dalam mengajarkan puasa, Abak dan Amak boleh dibilang cukup keras. Di usia 5-6 tahun saya sudah harus bisa berpuasa penuh. Kedua orangtua saya itu, terutama Abak, tidak bisa menerima alasan apapun dari saya dan anak-anaknya yang lain untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Kalau ketahuan, pasti dia akan sangat marah.

Di sore hari, tidak ada yang kami lakukan di rumah selain terus membantu Abak bekerja seperti hari-hari di luar Ramadhan ditambah mengaji sedikit-sedikit pada habis Ashar untuk mengisi kekosongan menjelang berbuka. Dari Abak pula saya terus ingat pesannya sampai sekarang, “Awak kalau puaso jan puaso ula; malam jago, siang lalok taruih ndak ado karajo,” (Kita kalau puasa jangan puasa ular, malam terus bangun, siang tidur terus tidak melakukan apa-apa).

Belum ada televisi pada waktu itu untuk sekedar menghibur diri melepas kepenatan dan keloyoan. Tidak ada pula kegiatan yang dalam bahasa Sunda disebut ngabuburit, melewatkan waktu menunggu waktu buka puasa tiba. Orangtua melarang kami keluar rumah bermain-main. Mungkin maksudnya agar kami lebih mudah diawasi. Sebab, bukan tidak mungkin ketika berada di luar rumah, di luar pengawasan orangtua, puasa kami menjadi batal karena satu dan lain hal.

Saya mengalami, dalam soal makanan di rumah, antara bulan Ramadhan dan hari-hari biasa di luar bulan Ramadhan tidak banyak perbedaan. Hal ini terkait kondisi umum masyarakat Sumatera Barat yang pada waktu itu terbelit kesulitan ekonomi. Dalam keluarga saya, khususnya, baik untuk buka ataupun untuk sahur, makanannya sangat sederhana. Paling banter tambahannya cuma kolak dan minuman yang manis-manis; biasanya berbuka langsung makan.

Di bulan Ramadhan, kami tidak hanya berpuasa saja, tetapi juga melaksanakan ritual-ritualnya yang lain, seperti shalat Tarawih. Setelah buka dan shalat Maghrib di rumah, saya bersama keluarga pergi ke Masjid Raya Pasar Lubukalung untuk melaksanakan shalat Tarawih. Lokasi masjid tersebut tidak begitu jauh dari rumah—sekitar 500-an meter saja.

Masjid Raya LA, seperti umumnya di masjid-masjid lain di Sumatera Barat dalam hal shalat Tarawih mengikuti yang 11 rakaat; Tarawih 8 rakaat dengan dua kali salam. Ditambah witir 3 rakaat satu kali salam. Bacaan imamnya juga biasa dan datar saja, tidak cepat dan tidak lambat. Waktu itu belum lazim adanya kultum (kuliah tujuh menit) atau pemberian taushiyah seperti yang marak saat ini di masjid-masjid di seluruh Indonesia. Jadi, shalat Tarawih dilaksanakan langsung setelah shalat Isya`. Setelah shalat Tarawih para jamaah langsung pulang ke rumah masing-masing.

Agar malam-malam bulan Ramadhan tidak sepi, pengurus masjid mengadakan tadarus, yaitu mengaji bersama untuk mengkhatamkan al-Qur`an. Tadarus ini hanya diikuti oleh orang-orang yang sudah dewasa, yang kemampuan membaca al-Qur`annya cukup bagus. Tetapi, tadarusan ini tidak disiarkan melalui loudspeaker, seperti sering terjadi di masa sekarang. Lagi pula, anak-anak kecil tidak boleh ikut. Alasannya mungkin karena dikuatirkan mereka lebih banyak bergurau sehingga menimbulkan kegaduhan di masjid.

Jika waktu sudah menunjukkan pukul 1 malam, kami pun semua dibangunkan untuk makan sahur; tidak ada anak-anak dan remaja yang keliling pasar membunyikan kentongan sambil meneriakkan, “sahur, sahur, sahur”. Dengan nasi dan lauk seadanya kami makan. Tidak ada protes atau perasaan kecewa di dalam diri kami saat menyantap makanan yang itu-itu saja. Bisa makan saja setiap harinya kami sudah sangat bersyukur. Dapat dibayangkan, kami berpuasa mulai dari sesudah makan sahur (sekitar pukul 2 malam) sampai Maghrib (sekitar pukul 6 sore). Kalau dihitung-hitung, sekitar 17 sampai 18 jam kami berpuasa. Relatif lebih panjang puasanya dibanding mereka-mereka yang mulai bersahur di saat mendekati waktu Imsak (sekitar pukul 4 malam) seperti lazim sekarang ini. Setelah sahur kami tidak boleh tidur. Bagaimana pun kerasnya rasa kantuk menyerang harus bisa ditahan. Kami hanya dibolehkan untuk tidur setelah melaksanakan shalat Shubuh. Itupun kalau ada yang mau tidur.

Saya berada di Lubukalung sampai tahun 1968 (setelah tamat SD dari tahun 1963 – 1968). Setelah itu, pada tahun 1969, saya pindah ke kota Padang untuk melanjutkan sekolah di PGAN 6 Tahun (1969 – 1975). Di kota Padang saya menempati rumah sendiri, yang dibeli Abak sekitar awal-awal tahun 1968. Ketika masih berada di Lubukalung, setiap sore di bulan Ramadhan saya paling hanya duduk-duduk saja di rumah tanpa aktivitas apapun selain mengaji sebentar.

Pindah ke kota Padang, saya banyak menyibukkan diri dengan membaca buku-buku cerita dan komik yang saya sewa di kios penyewaan di samping Bioskop Raya, Pasar Raya kota Padang. Kebetulan di sana ada tempat khusus untuk menyewa buku, khususnya buku-buku cerita dan komik. Di antara buku-buku yang pernah saya baca saat itu adalah serial cerita kependekaran seperti karangan Asmaraman S. Kho Ping Hoo, cerita detektif seperti “James Bond”, dan lain sebagainya.

Sebenarnya, membaca bukanlah hal baru bagi saya. Sejak masih di Lubukalung saya sudah terbiasa membaca potongan-potongan koran. Di Pasar Lubukalung saya temukan koran-koran bekas yang terbuang karena tidak terpakai lagi. Saya pungut dan saya baca. Bahkan jauh sebelum masuk SD saya sudah diajari membaca oleh Abak dan Amak. Mula-mula saya diajari mengeja huruf nama-nama bus antar kota yang lewat setiap waktu di depan rumah.

Dari situlah minat saya dalam membaca mulai tumbuh. Sebelum melanjutkan sekolah di PGAN Gunung Pangilun Padang saya sudah pernah membaca banyak novel dan cerita para pujangga baru. Di antaranya adalah “Salah Asuhan”, “Tenggelamnya Kapal Van der Wick”, dan banyak lagi.

 

Lebaran Idul Fitri

Tidak mudah bagi saya melupakan kenangan-kenangan di masa lalu, termasuk dalam soal Ramadhan dan lebaran. Istilah ‘lebaran’ tidak dikenal dalam masyarakat Minang di Sumatera Barat pada waktu itu. Istilah yang biasa dipakai adalah ‘Hari Rayo’ (hari raya)—tanpa Idul Fitri di belakangnya. Sedangkan untuk Idul Adha biasa digunakan istilah ‘Hari Rayo Haji’.

Saya ingat betul, sehari menjelang Hari Rayo, Abak pergi ke pasar untuk membeli daging. Itu adalah pemandangan sangat langka dalam masyarakat Minang; suami tidak lazim membantu istri pergi ke pasar berbelanja untuk urusan dapur. Itu adalah urusan kaum perempuan. Karena itu, Abak tidak setiap hari membantu Amak berbelanja ke pasar. Karena memang tidak lazim. Dalam setahun, beliau hanya sekali keluar rumah untuk berbelanja daging, yaitu menjelang lebaran, baik untuk keperluan sendiri ataupun untuk diberikan kepada kakak dan adiknya—rumah kakak dan adiknya itu yang ada di sebelah rumah kami. Hal ini kontras dengan kebiasaan masyarakat di daerah-daerah lain, katakanlah seperti di Jawa, di mana suami setiap harinya bisa saja membantu istri mencuci pakaian, masak, belanja, dan seterusnya.

Daging yang dibeli dari pasar itu nantinya dibuat rendang dan gulai oleh Amak. Saya sangat suka masakan Amak yang bagi saya amat enak. Di Minang tidak ada tradisi membuat ketupat Lebaran. Kalaupun ada, paling hanya membuat ketupat ketan, yang berpasangan dengan tapai (tape)—yang kemudian menjadi pasangan ‘tape-ketan’. Selain itu, Amak biasanya membuat kue-kue; seminggu sebelum lebaran beliau sudah mulai sibuk membuat berbagai macam kue. Kue yang paling beliau suka buat adalah kue sapik (kue jepit) yaitu kue dengan bahan dasar tepung beras dengan santan, gula dan kayu manis yang dijepit menggunakan dua buah besi bidang bundar di atas bara tempurung kelapa, yang kemudian digulung. Amak tahu saya sangat suka ‘kue sapik’, sehingga setelah saya pergi merantau ke Jakarta sejak akhir tahu 1975 beliau sering mengirimkannya; kebiasaan Amak ini terus berlanjut setelah saya berkeluarga; tidak jarang kue sapik itu sudah hancur sesampainya di Jakarta.

Setiap menjelang lebaran juga, Abak menyediakan baju baru untuk kami. Ini adalah di antara rutinitas tahunan beliau—setiap tahun pasti ada baju baru. Tetapi beliau tidak membelikan kami baju yang sudah jadi dan siap pakai, melainkan kain bal untuk bahan baju dan celana. Selanjutnya bahan kain itu dipotong oleh Abak dan dijahit oleh Amak. Saya benar-benar kagum kepada Amak, selain pintar masak beliau juga mahir menjahit dan membuat pakaian.

Di hari lebaran, sebelum pergi shalat Idul Fitri, kami sarapan terlebih dahulu. Makan nasi dengan rendang atau gulai. Dalam soal makan, Abak adalah orang yang sangat disiplin. Pagi-pagi diharuskan untuk sarapan. Setelah itu kami berangkat ke sebuah lapangan di sebelah utara Masjid Raya LA untuk melaksanakan shalat Idul Fitri. Masjid sendiri memang dikosongkan, tidak dipakai untuk shalat Idul Fitri.

Ritual berikutnya adalah bersilaturrahim ke para dunsanak (karib kerabat) dan tetangga. Tetapi Abak melarang saya dan saudara-saudara pergi lebaran keliling kampung atau pasar. Kami paling hanya diajak bersilaturrahim ke rumah kakak dan adik beliau, juga ke rumah kakak dan adik Amak. Alasannya, Abak kuatir kalau keliling-keliling itu motifnya adalah untuk mendapatkan ‘hadiah lebaran’ dalam bentuk uang kecil, yang sekarang di Jakarta kian sering juga disebut dengan menggunakan istilah Tionghoa sebagai ‘angpau’. Orang Minang memang memiliki tradisi seperti ini sudah sejak lama. Tetapi saya, sebagai anak kecil, jarang atau hampir tidak pernah mendapatkan duit seperti anak-anak lainnya dari orang lain. Sedangkan Amak selalu menyediakan uang-uang receh untuk diberikan kepada anak-anak kecil lain. Kebiasaan Amak ini sekarang diikuti istri saya, yang orang Sunda-Banten; ia selalu menyediakan uang kecil (Rp 2.000-Rp 50.000) untuk dibagikan kepada anak-anak—besar kecilnya tergantung pada usia anak masing-masing.

Biasanya, di setiap rumah kami selalu disuguhi makanan. Meskipun sedikit kami harus memakannya. Kalau kami tidak makan, tuan rumah biasanya marah karena merasa tidak atau kurang dihormati. Karena itu, perut selalu penuh pada Hari Rayo.

Dan biasanya, sehari atau dua hari setelah lebaran kami diajak pergi ke kampung tempat lahir Abak dan Amak di Sungailimau dan Kampungdalam. Sejak dulu pulang kampung ini disebut ‘mudiak’ (mudik); istilah terakhir ini telah sangat populer sekarang. Saya ingat beberapa kali ikut ke kampung Amak, di Cimpago, Kampungdalam. Dari LA kami berangkat naik kereta api lalu turun di Naras, stasiun kereta api yang terakhir. Dari sana kami naik bendi ke Kampungdalam. Kemudian dari sana kami menyeberang sungai dengan naik sampan. Nah, di seberang sungai itulah tempat kelahiran Amak, namanya Cimpago (Cempaka). Dan, kami menginap di rumah usali (asli, rumah asal) yang merupakan rumah panggung. Sampai sekarang masih segar bau rumah itu dalam ingatan saya.

Kegiatan kami selama berada di kampung Amak adalah bersilaturrahim mengunjungi dunsanak (kerabat). Dari Lubuk Alung Amak biasanya membawa oleh-oleh berupa makanan, kue-kue, bahan pakaian, dan kain sarung untuk dibagikan kepada keluarga dan saudara-saudaranya di kampung. Kedatangan kami disambut dengan kebahagiaan. Saya merasa senang sekali bisa kembali ke asal.

Saya melihat ada perbedaan antara masyarakat Kampungdalam dan Lubukalung. Kohesi sosial masyarakat Cimpago Kampungdalam lebih kuat dan erat. Karena mereka memang berasal dari satu daerah yang sama, di samping karena jumlah mereka yang sedikit, sehingga antara satu dengan yang lain bisa saling mengenal seperti satu keluarga. Sementara masyarakat LA tidak begitu, karena mereka berasal dari daerah yang berbeda-beda; ada yang dari Pariaman dan pesisir lain, Bukittinggi dan wilayah darek lainnya. Tentu saja, setiap daerah mempunyai adat masing-masing. Orang Pariaman, misalnya, dikenal dengan keterus-terangannya, suka bicara apa adanya. Jadi, di Lubukalung terdapat berbagai adat dan tradisi  kecil yang masih dipertahankan sebagai ciri khas dari asal masing-masing.

Suasana Ramadhan dan Lebaran yang khas di LA, dan juga di lingkungan Ciputat setelah saya alami sejak tahun 1975 akhir ketika melanjutkan pelajaran di IAIN Jakarta tidak saya temui di Amerika. Melanjutkan kuliah S2 dan S3, saya pertama kali pada Musim Panas 1986 pergi ke Southern Illinois University, Carbondale untuk memperkuat bahasa Inggris, dan itu pas Ramadhan. Waktu puasa sangat panjang, dari sekitar pukul 4 pagi sampai pukul 21.00. Dan mulai menjelang musim gugur, September 1986, saya pindah ke New York City untuk kuliah di Columbia University.

Ramadhan di New York tidak kelihatan; suasana puasa baru terasa ketika pada akhir pekan ada acara ifthâr yang diselenggarakan Muslim Student Association (MSA) dan Konsulat Jenderal RI (KJRI) New York. Selain berbuka puasa bersama juga diselenggarakan shalat Tarawih berjamaah. Ketika Lebaran datang, masyarakat Muslim New York biasanya mendapat undangan Konsul Jenderal dan Watapri di PBB dalam open house dan silaturrahim Lebaran.

 

Makna Puasa

Bagi saya, inti puasa adalah pengendalian diri sekaligus pembebasan dari cengkeraman hal-hal yang serba materi dan jasmani. Inilah makna puasa yang saya pahami dan saya hayati. Karena manusia sangat mudah terjerumus kepada hal-hal yang bersifat fisikal-material, seperti harta-benda, makanan, hubungan seksual, dan lain-lain. Nafsu untuk selalu memenuhi kebutuhan fisikal-material setiap saat menggoda manusia. Jadi, tujuan puasa adalah untuk melatih diri mengambil jarak atau distansi—bukan memutuskan—dari hal-hal yang bersifat material.

Sekarang banyak pejabat negara yang semestinya menjadi contoh, justru terjerumus ke dalam prilaku-prilaku yang tidak patut. Saya melihat itu karena ketidakmampuan mereka menjaga jarak antara diri mereka dan hasrat fisikal-material. Gejolak birahi yang tidak bisa ditahan, inilah yang mendorong mereka berselingkuh dan berzina dengan orang lain yang bukan pasangannya, atau juga memotivasi mereka untuk menikah lagi. Godaan untuk cepat kaya, punya rumah megah, mobil mewah, inilah yang membuat mereka melakukan korupsi.

Karena itu puasa merupakan latihan untuk mengendalikan diri; bersikap sabar, disiplin, dan puas diri (qanâ’ah) dengan rizki halal yang diberikan Allah. Inilah salah satu tantangan berat yang dihadapi umat Muslim sekarang ini karena dalam proses globalisasi yang terus berlangsung secara intens, kehidupan materialistik dan hedonistik terus menggoda dan menyeret orang ke dalam kehidupan yang serba affluent. Di tengah tantangan itu, puasa menawarkan kesempatan kepada umat Muslim untuk meningkatkan kualitas rohani, menuju maqâm (posisi) spritual yang lebih tinggi.

 

 

Semarak Ramadhan: Konsumsi dan Konsumerisme

Suasana Ramadhan di Indonesia sekarang ini jauh lebih heboh. Ada kesemarakan, baik dalam masyarakat, maupun yang bisa kita lihat pula di berbagai stasiun televisi. Walaupun tidak semua acara televisi sesuai dengan semangat Ramadhan. Tetapi itu mungkin merupakan konsekuensi yang tidak bisa dielakkan dari terjadinya komodifikasi Islam. Karena Islam di Indonesia terlalu besar untuk tidak tersentuh komodifikasi.

Tidak banyak yang bisa kita lakukan selain terus-menerus mengingatkan agar tidak berlebih-lebihan. Namun kita juga harus mensyukuri, tidak hanya melakukan kritik dan kecaman terhadap televisi. Bagaimanapun keberadaan televisi itu mempunyai peranan penting dalam proses peningkatan islamisasi dan santrinisasi, termasuk juga dalam kemeriahan Ramadhan.

Saya tidak menemukan suasana Ramadhan di negara Muslim manapun yang seheboh dan semeriah di Indonesia. Meskipun di siang hari ada warung-warung makan yang masih buka, tetapi menurut survei akademis yang dilakukan oleh para profesor berbagai universitas luar negeri, umat Muslim Indonesia adalah yang paling taat dalam menjalankan puasa, shalat Tarawih dan ritual-ritual lainnya di bulan Ramadhan.

Saya pernah mengumpulkan bahan mengenai tingkat kepatuhan pengamalan ‘formalitas’ keagamaan. Umat Muslim Indonesia menempati posisi paling tinggi dalam ketaatan menjalankan ibadah bila dibandingkan negara-negara dengan mayoritas Muslim seperti Arab Saudi, Malaysia, Mesir dan lain-lain. Kemudian dalam hal memberi dan berbagi (giving and sharing) yang juga sering disebut sebagai filantropi Islam, di bulan Ramadhan, antusiasme masyarakat Muslim Indonesia juga sangat tinggi. Sekali lagi, walaupun tentu saja ada ekses-eksesnya, yaitu komersialisasi dan komodifikasi Islam di televisi.

Suatu saat saya dalam dialog ‘live’ di sebuah saluran televisi, mereka mengatakan bahwa di bulan Ramadhan konsumsi mengalami peningkatan. Itu artinya, konsumerisme juga mengalami hal serupa. Saya katakan, di bulan Ramadhan konsumsi pasti mengalami peningkatan, tetapi itu tidak berarti juga peningkatan konsumerisme. Harus dibedakan antara peningkatan konsumsi dengan peningkatan konsumerisme. Contohnya, di bulan Ramadhan banyak orang yang kelebihan rizki menyediakan makanan untuk ifthar (buka puasa) atau sahur, baik di masjid maupun di rumah sendiri. Seperti saya dan keluarga yang rutin diminta beberapa pengurus masjid untuk menyediakan makanan ifthar atau sahur. Ketika saya melakukannya, maka konsumsi saya otomatis meningkat. Tetapi itu tidak ada kaitannya dengan konsumerisme, karena konsumsi saya sendiri dan keluarga hampir saja tetap sama. Saya hanya mencoba untuk berbagi dengan orang lain sebagai upaya meningkatkan kesalehan sosial, yang melibatkan penyediaan barang-barang konsumsi.

Makanan untuk berbuka puasa di dalam keluarga saya sejak dulu sampai sekarang juga tidak ada yang aneh-aneh atau berlebihan. Malah sangat sederhana. Paling yang ada—dan semua orang di dalam keluarga sukai—adalah gorengan buatan sendiri, seperti bakwan dan sejenisnya. Kolak saja kami jarang membuatnya. Saat berbuka hanya makan bakwan dan minum cendol. Kalau saya pribadi paling hanya ngopi atau ngeteh. Jadi, konsumsi antara di luar dan di dalam bulan Ramadhan tidak banyak berubah. Tetapi kalau konsumsi untuk para tetangga dan masjid di lingkungan sekitar memang meningkat. Kami tidak mungkin memberikan bakwan kepada para tetangga dan masjid. Selain makanan kecil untuk ta’jîl, minimal harus disediakan nasi plus telur, atau nasi plus daging, atau nasi plus ayam untuk jamaah yang melakukan ifthâr di masjid.

Banyak pula orang yang mengadakan ifthâr bersama hampir setiap hari di rumahnya. Hari ini mengundang saudara-saudaranya, besoknya mengundang kawan-kawan sekantornya, besoknya lagi mengundang kawan-kawannya yang lain, besoknya lagi mengundang anak-anak yatim, dan seterusnya. Semua ini meningkatkan konsumsi, tetapi tidak otomatis dapat dikatakan sebagai konsumerisme.

Begitu pula, orang mudik tentu tidak akan berangkat dengan tangan kosong. Ia pasti membawa oleh-oleh atau hadiah untuk dibagi-bagikan kepada keluarga, sanak-saudara dan tetangga-tetangganya di kampung. Kalau ia punya mobil, sudah pasti mobilnya itu penuh dengan barang bawaan, baik berupa pakaian ataupun makanan. Lagi-lagi, semua gejala ini tidak dapat disebut sebagai konsumerisme.

Saya dan keluarga di Jakarta juga begitu. Setiap menjelang lebaran kami selalu menyiapkan paket lebaran untuk dibagikan kepada para tetangga, setidaknya 100 – 150 paket. Di dalam masing-masing paket ada baju koko, sarung, beras, sirup, biscuit dan minyak goreng. Dengan demikian, pengeluaran dan konsumsi di dalam keluarga saya memang meningkat, tetapi itu sama sekali bukan konsumerisme.

Itulah yang sebenarnya terjadi di Indonesia. Dari tahun ke tahun, antara seminggu sebelum lebaran dan seminggu setelah lebaran, uang kecil yang beredar selalu mengalami peningkatan. Di tahun 2012, misalnya, dana dalam bentuk denominasi kecil yang disiapkan oleh Bank Indonesia untuk kepentingan lebaran sekitar 90 trilyun. Begitu banyak dana yang beredar sepanjang Ramadhan, Lebaran dan musim mudik. Tetapi, saya katakan sekali lagi, pada waktu-waktu ini, konsumsi memang meningkat, tetapi yang jelas bukan konsumerisme.

 

* Artikel ini termuat dalam buku Rumah KitaB yang diterbitkan oleh Mizan tahun 2013 berjudul “MOZAIK RAMADHAN DAN LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN [Menelusuri Jejak-jejak Tradisi Ramadhan dan Lebaran di Nusantara]”

Refleksi Distingsi Islam Indonesia

Oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA.

 

Hai, orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” [QS. al-Baqarah (1): 183].

 

Berpuasa. Inilah perintah Allah yang memiliki multidimensi: dimensi masa silam, masa kini, dan dimensi masa depan. Kalau kita mau menengok sejenak ke sejarah manusia pada masa silam, puasa sebenarnya adalah salah satu perintah Allah bagi setiap manusia beriman. Puasa merupakan salah satu ibadah paling awal dan paling luas tersebar di kalangan umat manusia yang beriman, meskipun bentuk dan cara puasa mereka mungkin berbeda. Perintah berpuasa telah ada sepanjang sejarah umat manusia. Sejarah puasa adalah sejarah manusia dan kemanusiaan.

Cobalah kita perhatikan kutipan ayat al-Qur`an di atas. Kutipan ayat, “kamâ kutiba ‘alâ al-ladzîna min qablikum” (sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu), mengisyaratkan, kewajiban puasa telah diperintahkan kepada “orang-orang sebelum kamu”. Dalam perspektif al-Qur`an, yang dimaksud dengan “orang-orang sebelum kamu” di dalam ayat tersebut adalah para pemeluk agama-agama samawi yang secara historis dan doktrinal memiliki keterkaitan langsung dengan Islam; yakni Yahudi dan Nasrani. Bahasa al-Qur`an menyebutkan, kedua komunitas umat beragama ini; Yahudi dan Nasrani, sering dikategorikan sebagai Ahl al-Kitâb. Seperti umat Muslim, mereka juga memiliki kitab suci yang jelas dan berbeda; orang-orang Yahudi berpegang teguh kepada Taurat sebagai kitab sucinya, dan orang-orang Nasrani meyakini Injil sebagai kitab suci mereka. Bagi Mukmin-Muslim, wajib meyakini keberadaan kitab-kitab suci ini; termasuk salah satu rukun iman.

Karena itu, bagi sebagian ulama, semua agama samawi (Yahudi, Nasrani, dan Islam) yang jelas dan tegas datang dari Allah memiliki banyak kesamaan dan afinitas dalam beberapa aspek ajaran: banyak kesamaan dalam prinsip-prinsip pokok akidah, syariat, dan akhlak. Tidak heran karena ketiga agama tergabung dalam agama Nabi Ibrahim, Abrahamic Religion, atau dalam bahasa al-Qur`an, millah Ibrâhîm. Semua agama Ibrahim, sebagai agama-agama samawi, sama-sama mengajarkan keesaan Allah, kenabian, hari akhir, penyembahan kepada Tuhan (dalam Islam, shalat), derma (dalam Islam, ZIS), dan termasuk juga puasa. Ajaran tentang ibadah puasa, menurut agama samawi, tersebar dalam berbagai bagian kitab-kitab suci mereka.

Sekali lagi, teks ayat al-Qur`an, “Orang-orang sebelum kamu”, mengandung dimensi masa lampau, yang memiliki dimensi keberlanjutan perintah agama dengan masa sesudahnya. Perintah berpuasa bagi umat beriman (Muslim)—“seperti orang-orang sebelum kamu” merupakan perintah Allah yang berkesinambungan dari suatu umat ke umat beragama sebelumnya. Hal ini membuktikan dan menegaskan, kehadiran Islam bagi umat Muslim—yang salah satu ajarannya adalah ibadah puasa—merupakan kelanjutan dan penyempurnaan agama-agama samawi sebelumnya. Hal ini dipertegas firman Allah, bahwa al-Qur`an (ajaran Islam) datang memberikan pembenaran dan penyempurnaan sebagian ajaran agama kaum Yahudi dan Nasrani  [QS. Ali ‘Imran (3): 3; QS. al-Ma`idah (5): 48, dan; QS. al-An’am (6): 92].

Puasa tidak hanya menyangkut sejarah umat manusia terdahulu, tetapi juga berkaitan dengan sejarah manusia masa kini dan masa depan. Seperti dicontohkan “orang-orang terdahulu”, puasa menjadi salah satu cara terbaik untuk melatih pengendalian diri. Puasa sendiri, yang dalam bahasa al-Qur`an disebut sha-wa-ma memiliki makna “menahan”, “berhenti” atau “tidak bergerak”. Dengan demikian, untuk konteks masa kini dan mendatang, berpuasa secara esensial mengandung arti “menahan dan mengendalikan diri”. Proses pengendalian diri ini menjadi salah satu cara meningkatkan kualitas ketakwaan, yang menjadi tujuan puasa itu sendiri, la’allakum tattaqûn.

Di dalam pengendalian diri itu, mereka yang berpuasa (shâ`imîn dan shâ`imât) perlu memperbanyak ibadah lain. Misalnya, memperbanyak amal saleh, beramar makruf dan bernahyi mungkar, mempererat tali silaturrahim, memberi sedekah, mendirikan shalat Tarawih dan shalat-shalat sunnah lainnya, bertadarus al-Qur`an, beri’tikaf, berdoa, memperingati Nuzul al-Qur`an, ‘mencari’ Lailatul Qadar, mengeluarkan zakat fitrah pada akhir Ramadhan, dan lainnya. Bila ibadah-ibadah ini dijalankan dengan baik sepanjang Ramadhan dan dilanjutkan pada bulan-bulan berikut, ada harapan peningkatan kualitas takwa bisa dicapai di masa kini dan mendatang. Sebab, puasa seperti digarisbawahi al-Qur`an, menjadi bagian tak terpisahkan dari perintah Islam secara keseluruhan, dengan tujuan—sekali lagi—“agar kamu bertakwa” [QS. al-Baqarah (2): 183].

Ibadah puasa dan latihan-latihan pengendalian diri lain, yang oleh kaum sufi disebut sebagai riyâdhah jasmânîyyah wa riyâdhah rûhânîyyah, latihan fisik dan spiritual ke arah penyucian jiwa (tazkîyyah al-nafs), pada gilirannya dapat mengembangkan unsur lâhût (ketuhanan) dalam diri manusia. Jika ini berhasil dicapai, manusia bukan hanya akan dapat membuka “tabir” (hijâb) yang membatasi dirinya dengan Tuhan, tetapi sekaligus bisa memiliki ma’rifah, yang memungkinkannya lebih arif dalam memandang diri, masyarakat, dan lingkungan alam.

Sekali lagi, berpuasa sebagai proses latihan pengendalian diri selama Ramadhan diharapkan dapat membawa ke derajat takwa. Takwa merupakan derajat atau maqâm (tingkat kerohanian) yang sangat didambakan setiap Muslim. Sosok atau figur “orang-orang bertakwa” memiliki ciri-ciri umum, seperti digambarkan dengan jelas dalam al-Qur`an, “Kitab (al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa; (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat; dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka; dan mereka yang beriman kepada kitab (al-Qur`an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat,” [QS. al-Baqarah (2): 2-5].

Ciri-ciri umum al-muttaqûn di atas; beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat, beriman kepada kitab-kitab Allah, dan yakin kepada dunia-akhirat mengandung dimensi vertikal (habl min Allâh)—hubungan manusia dengan Allah. Sedangkan mendermakan rizki mengandung dimensi horizontal (habl min al-nâs)—hubungan manusia dengan manusia. Takwa  memiliki implikasi yang bersifat keimanan dan kemanusiaan. Dengan kata lain, al-muttaqûn adalah orang-orang beriman (‘âmanû) dan beramal saleh (‘amilû al-shâlihât). Karena itu, istilah îmân, ‘amal, dan taqwâ memiliki kaitan erat dalam pemaknaannya.

Orang-orang bertakwa kepada Tuhan dengan implikasi kemanusiaan, misalnya bersikap adil terhadap sesama manusia. “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” [QS. al-Mâ’idah (5): 8]. Penegakan keadilan di tengah masyarakat adalah kewajiban agama yang harus dilaksanakan setiap umat manusia. Keadilan adalah kebutuhan umat manusia.

Ketidakadilan yang merajalela di dalam masyarakat melekat dengan penindasan, kesewenang-wenangan, penyelewengan, dan berbagai kezhaliman lainnya. Ketidakadilan dalam berbagai bidang kehidupan dapat memunculkan kekecewaan dan ketidakpuasan dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk umat Muslim. Sebab, ketidakadilan dapat berakibat rusak dan porak-porandanya nilai-nilai kemanusiaan. Kerusuhan, pembakaran, pemboman, permusuhan, dan peperangan yang mencemari kehidupan bermasyarakat dan bernegara, juga berakar pada menjamurnya ketidakadilan dalam masyarakat.

Dengan demikian, penegakan keadilan tidak bisa ditunda-tunda, apalagi dimundurkan. Berlaku adil yang merupakan hasil ibadah puasa, dapat mengantarkan seseorang menjadi bagian dari orang-orang bertakwa. Kaum al-muttaqûn, seperti dijanjikan Allah dalam al-Qur`an, akan meraih kemenangan dan keberuntungan, “Sesungguhnya orang-orang bertakwa mendapat kemenangan. (Yaitu), kebun-kebun dan buah anggur, dan gadis-gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yang penuh (minuman),” [QS. al-Naba`(78): 31-34]. Mereka akan menempati surga yang penuh dengan kenikmatan [QS. al-Dzariyat (51): 15; QS. al-Thur (52): 17; QS. al-Qamar (54): 54; QS. al-Qalam (68): 34; dan QS. al-Mursilat (77): 41].

Dengan demikian, ibadah puasa memberikan kesempatan istimewa bagi umat Muslim, termasuk di Indonesia, untuk mencapai janji Allah, yaitu orang bertakwa yang dapat meraih kemenangan di “hari kembali ke kesucian” (‘îd al-fithr). Berpuasa mengantarkan kaum Mukminin-Mukminat/Muslimin-Muslimat menjadi orang-orang menang dalam meraih kembali kesucian (fithrah).

Kedatangan hari kemenangan “kembali ke kesucian” (‘îd al-fithr) selalu dirayakan umat Muslim, khususnya di Indonesia secara besar-besaran. Perayaan hari fitri dengan meriah, bukan karena mereka telah bebas dari kewajiban puasa yang berat. Lebih dari itu, karena mereka telah kembali kepada kesucian mereka. ‘Îd al-fithr, kembali kepada fithrah, kesucian, kembali kepada keadaan semula ketika manusia pertama kali dilahirkan ke muka bumi. Karena itu Hari Raya Idul Fitri juga disebut sebagai “hari kesucian”, kadang pula disebut “hari kemenangan”, karena orang yang berpuasa menang mengendalikan diri dari berbagai nafsu setani.

“Hari kesucian” atau “hari kemenangan” yang dirayakan setiap tahun seharusnya menjadi momentum bagi pemaafan yang tulus dari berbagai kalangan anak bangsa, sehingga ishlâh, rekonsiliasi, dan perdamaian kembali terwujud di masa kini dan mendatang. Inilah salah satu ciri orang berpuasa yang mampu meraih derajat takwa dan menjadi orang yang suci, menjadi muttaqin yang fitri.

 

Ramadhan Embedded: Distingsi Islam Indonesia

Ibadah Ramadhan dan Idul Fitri (lebaran) tidak hanya sekedar pelaksanaan ajaran normatif Islam, tetapi sekaligus juga menghasilkan berbagai gejala sosial-budaya keagamaan. Dalam konteks Islam Indonesia, ibadah puasa Ramadhan dan Lebaran merupakan contoh sangat baik tentang refleksi sosio-kultural Islam Indonesia yang sangat distingtif.

Berbeda dengan Islam di kawasan Dunia Islam lain, dalam tradisi sosio-kultural keagamaan Islam Indonesia, Ramadhan dan Lebaran—dengan tradisi mudik—telah dan kian embedded dalam kehidupan. Bahkan dalam dasawarsa terakhir, ibadah Ramadhan dan Lebaran tidak hanya menimbulkan kesibukan keagamaan, tetapi juga sosial, budaya, ekonomi, dan pemerintahan.

Gejala sosial, budaya dan keagamaan Ramadhan dan Idul Fitri di Indonesia sangat kaya dan colorful. Bisa dikatakan, setiap kelompok etnis, suku bangsa dan lokalitas memiliki tradisinya dalam menyambut dan merayakan Ramadhan dan Lebaran. Perbedaan-perbedaan itu dapat dilihat jelas dalam buku “Mozaik Ramadhan dan Lebaran di Kampung Halaman” ini.

Kalangan antropolog banyak tertarik pada gejala sosial, budaya, dan keagamaan Ramadhan dan Idul Fitri. Salah satu karya sangat menarik dalam hal ini adalah karya Andre Moller, “Ramadhan in Java: The Joy and Jihad of Ritual Fasting”, yang semula merupakan disertasi pada Jurusan Sejarah dan Antropologi Agama, Universitas Lund, Swedia, 2005. Saya tahu, terjemahan bahasa Indonesia buku ini juga telah diterbitkan. Karya asli dalam bahasa Inggris setebal 446 halaman ini menarik karena beberapa alasan.

Pertama, inilah salah satu di antara sangat sedikit buku atau artikel yang mengkaji ibadah puasa dari berbagai segi, khususnya bagaimana ibadah puasa dalam realitas dan aktualitas masyarakat Muslim Jawa. Moller pertama-tama berangkat dari ajaran normatif Islam tentang ibadah puasa, dan kemudian membahas wacana publik tentang puasa dalam media massa. Bagian yang paling penting adalah pembahasannya tentang pengamalan puasa secara sosiologis dan antropologis dalam masyarakat Jawa, dan perbandingan Ramadhan di Jawa dengan beberapa kawasan lain di Dunia Muslim.

Kedua, meski berfokus pada ibadah puasa Ramadhan, karya ini lebih daripada sekedar itu. Karya ini dalam batas-batas tertentu menggambarkan dinamika Islam umumnya dalam masyarakat Jawa kontemporer. Dan, karena itu, “Ramadhan in Java” menunjukkan potret Islam yang tengah dan terus berubah di Jawa Tengah; dan saya kira juga di daerah-daerah lain di Jawa.

Karya Moller ini merupakan kecenderungan terbalik dari apa yang ditunjukkan Karel Steenbrink dalam bukunya “Dutch Colonialism and Islam” (1993). Menurut Steenbrik, sejak masa kolonial, para sarjana, peneliti, dan administratur Belanda secara sistematis berusaha melakukan pengecilan dan marjinalisasi Islam dalam berbagai kehidupan masyarakat Indonesia. Dasar-dasar asumtif maupun teoritis tentang Islam yang ‘marjinal’ tersebut selanjutnya dituangkan ke dalam kebijakan-kebijakan politik kolonial yang supresif dan diskriminatif terhadap Islam dan ‘het inlanders’, kaum pribumi yang identik dengan umat Muslim.

Pendekatan yang disebut sejarawan William Roff sebagai ‘pengkaburan’ Islam (Islam obscured) tersebut terus berlanjut dalam masa paska-kolonial. Yang paling utama tentu saja adalah antropolog Amerika Clifford Geertz melalui karyanya yang sangat berpengaruh, “The Religion of Java” (1960). Dalam kerangka Clifford Geertz dan Geertzian, Islam hanya menduduki posisi marjinal dalam masyarakat Jawa; Islam di Jawa pada dasarnya adalah ‘Islam sinkretik’, yang tidak murni, dan sangat lokal. Namun, sejak akhir 1970-an sarjana-sarjana lain sejak dari MC Ricklefs, Mark Woodward, M. Bambang Pranowo dan banyak lagi membuktikan semakin tidak relevannya kerangka Geertzian untuk menjelaskan fenomena dan dinamika Islam dalam masyarakat Jawa.

Berbeda dengan kecenderungan Geertz, setelah mengamati pengamalan ibadah puasa dalam masyarakat Jawa, Moller berkesimpulan, Ramadhan di Jawa adalah fenomena luarbiasa (extraordinary). Setelah membandingkannya dengan Ramadhan di kalangan Muslim lain di Maroko, Yordania, Turki, Arab Saudi, dan kawasan Swahili Afrika Timur, Moller menyimpulkan, “…the observance of Ramadhan in Java belongs to the more scrupulously and joyously performed rituals in the Muslim world.”

Berpuasa Ramadhan adalah ibadah; tetapi—tulis Moller—sepatutnya lebih cocok menyebut puasa Ramadhan sebagai ‘ritual complex’, karena ia mengandung banyak ‘sub-ritual’. ‘Ramadhanic ritual complex’ itu sebagiannya mungkin tidak berhubungan dengan berpuasa secara fisik, tetapi ia merupakan bagian dari selebrasi Ramadhan. Ibadah puasa itu sendiri memang hanya sebulan penuh, tetapi dengan keseluruhan selebrasinya, rangkaian Ramadhanic ritual complex itu berlangsung tidak kurang dari tiga bulan.

Ramadhanic ritual complex dalam masyarakat Muslim Jawa bermula sejak bulan Ruwah (Sya’ban). Dalam bulan ruwah (dari bahasa Arab, arwah) ini, berbagai ruwahan dilakukan untuk menyambut kedatangan Ramadhan. Ruwahan itu bisa berbentuk pengajian, slametan, saling mengirim makanan, ziarah ke kuburan (nyekar), dan lain-lain. Belakangan ini, acara ‘nishf Sya’bân’ juga semakin populer. Lalu, pada bulan Ramadhan, yang selain ibadah puasa pada siang hari juga diikuti sejumlah ibadah dan kegiatan keagamaan, sejak dari shalat Tarawih sampai memukul bedug keliling kampung menjelang makan sahur.

 

Mudik: Kembali ke Axis

Yang paling distingtif dari Ramadhanic ritual complex di banyak tempat lain di Indonesia adalah lebaran, perayaan Idul Fitri yang, baik sebelum dan sesudahnya, ditandai dengan ‘pulang mudik’. Idul Fitri, mengutip almarhum Nurcholish Madjid, adalah puncak kehidupan sosial-keagamaan umat Muslim Indonesia. Pulang mudik tidak hanya merupakan pergerakan manusia terbesar dari kota ke desa, tetapi juga pemerataan sosial-ekonomi, dan tak kurang pentingnya merefleksikan ‘perjalanan anak manusia Muslim Indonesia kembali ke akar eksistensial mereka’, kembali ke Axis.

Mudik atau pulang kampung menjelang Hari Raya Idul Fitri sangat unik Indonesia (uniquely Indonesian). Dalam observasi saya di berbagai negara Muslim, tidak ada negara berpenduduk mayoritas Muslim lain yang mengalami kehebohan luar biasa terkait mudik Lebaran. Banyak negara di Dunia Muslim lainnya tentu saja juga merayakan Idul Fitri, tetapi jelas tingkat keramaian, kemeriahan, dan kehebohan seputar perayaan Idul Fitri termasuk mudik lebaran, tidak dalam skala seperti Indonesia.

Di kalangan masyarakat lain juga ada tradisi mudik. Dalam masyarakat Amerika Serikat, dan Kanada, misalnya, mudik biasa dilakukan pada hari Thanksgiving—kesyukuran. Di AS thanksgiving dirayakan pada Kamis keempat November, dan di Kanada pada Senin kedua Oktober. Perayaan yang berakar dari tradisi kaum imigran Protestan yang semula hijrah dari Eropa merupakan kesyukuran kepada Tuhan atas hasil panen yang diberikan-Nya. Thanksgiving ditandai dengan berkumpulnya seluruh anggota keluarga yang bersama-sama memakan daging kalkun. Dalam akhir pekan menjelang dan sesudah perayaan thanksgiving 2011 misalnya sekitar 42 juta warga Amerika mengadakan perjalanan mudik dengan jarak tempuh rata-rata 75 kilometer.

Tetapi tidak semua warga Amerika dan Kanada merayakan thanksgiving. Penduduk asli yang di AS disebut sebagai native Americans atau di Kanada dikenal sebagai first nation sebaliknya ‘merayakan’ apa yang mereka sebut sebagai ‘unsgiving day’. Perayaan yang di AS berpusat di Alcatraz—yang terkenal sebagai penjara paling angker di Amerika—adalah untuk mengenang warga pribumi yang menjadi korban kedatangan imigran Eropa baik secara sosial, kultural, ekonomi dan politik.

Sebaliknya, agaknya tidak ada warga yang memprotes tradisi mudik dalam masyarakat Muslim Indonesia. Pulang mudik dan perayaan di seputar Idul Fitri meski mendatangkan banyak kerepotan berbagai pihak, tetap menyenangkan bagi semua warga Indonesia—Muslim dan non-Muslim. Setidaknya, semua warga menikmati libur terpanjang dalam setahun, yang pada 1433H/2012 M mencapai enam hari, sejak 17 Agustus sampai para pegawai dan pekerja harus kembali bekerja pada 23 Agustus 2012.

Sulit mendapatkan angka pasti berapa jumlah warga Indonesia yang mengadakan perjalanan mudik dari tahun ke tahun. Tetapi menurut berbagai estimasi pada 2011 diperkirakan sekitar 20 juta orang melakukan mudik. Bisa dipastikan, perkiraan ini jauh lebih rendah daripada angka sesungguhnya; dan bisa dipastikan pula, jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya jumlah mereka yang secara ekonomis mampu melakukan perjalanan mudik.

Bisa juga dipastikan, banyak kesulitan dan kesengsaraan yang dialami para pemudik di Indonesia karena keterbatasan infra-struktur dan alat transportasi publik mulai dari kemacetan total berjam-jam sampai kepada kerawanan mengalami kecelakaan. Karena itulah dari tahun ke tahun kian banyak saja pemudik yang menggunakan sepeda motor untuk pulang kampung—menempuh jarak ratusan dan bahkan ribuan kilometer. Akibatnya, korban terus berjatuhan; dari lebih 855 kecelakaan fatal sepanjang musim mudik 2011, hampir 80 persen adalah pengendara sepeda motor.

Namun, sekali lagi, pulang mudik boleh saja mendatangkan kehebohan, dan dalam batas tertentu, kesengsaraan. Tetapi begitu pemudik sampai ke kampungnya semua rasa capek, letih, dan sengsara seolah hilang begitu saja. Sebaliknya mereka tenggelam dalam rasa suka cita berkumpul dan sekaligus berbagi dengan sanak keluarga dan karib kerabat.

Pulang mudik dari perspektif sosial-budaya merupakan kesempatan merekat kembali dan memperkokoh kohesi sosial di antara warga. Mudik adalah kesempatan untuk saling memberi dan berbagi (giving and sharing). Para pemudik bisa dipastikan membawa ‘buah tangan’ untuk sanak saudara berupa pakaian baru, makanan kering, dan bahkan ‘amplop’ berisi uang.

Dalam hal terakhir ini perlu dicatat, Bank Indonesia (BI) pada musim Ramadhan dan mudik 2011 mengeluarkan dana sebesar Rp. 81 trilyun lebih untuk kebutuhan warga; dan pada tahun 2012 diperkirakan meningkat mencapai sekitar Rp. 90 trilyun. Dana sangat besar ini memberikan kontribusi signifikan kepada peningkatan gerak ekonomi, yang melibatkan banyak warga yang di luar musim Idul Fitri dan mudik berada dalam kesulitan ekonomi.

Mudik yang melibatkan demikian banyak dana, dan juga kesulitan dalam perjalanan adalah ‘kembali’ ke asal, ke akar eksistensial, ke Axis yang hakiki. Para pemudik adalah mereka yang berada di rantau—dalam diaspora, mengapung di tengah berbagai masalah dan tantangan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka merindukan asal, akar eksistensial dan Axis-nya. Karena itu, mudik menjadi kebutuhan eksistensial.

Adalah kebutuhan eksistensial manusia untuk berkumpul dengan lingkungannya yang paling dekat; apakah sanak famili maupun karib kerabat. Karena berbagai alasan, kebutuhan ini tidak selalu bisa dipenuhi di luar musim Ramadhan dan Idul Fitri. Mudik adalah kesempatan yang sangat boleh jadi hanya merupakan waktu satu-satunya untuk memperkuat kembali tenunan kohesi sosial yang melonggar di luar waktu tersebut.

Karena itu, negara-bangsa Indonesia sepatutnya merasa mendapat berkah dengan tradisi mudik. Pada saat yang sama, sepatutnya pemerintah berbuat lebih serius dan sungguh-sungguh memfasilitasi perjalanan mudik eksistensial yang sangat bermakna bagi penguatan kohesi sosial dan kepaduan negara-bangsa.

 

 

Ramadhan Berkah

Ramadhan berkah, Ramadhan mubârak bagi umat Muslim karena Ramadhan membawa barakah. Berkah pula karena ibadah puasa Ramadhan merupakan kesempatan sangat terbuka bagi shâ`imîn dan shâ`imât menggapai derajat ‘takwa’. ‘Takwa’ adalah maqâm—tingkat spiritualitas tertinggi dalam Islam. Menurut kaum Sufi, mereka yang mencapai maqâm ini bakal terpelihara dalam pemikiran dan perbuatannya selaras dengan ajaran Islam.

Hidup penuh berkah selalu menjadi harapan para muttaqîn. Dengan berkah, kehidupan menjadi lebih bermakna baik secara pribadi maupun sosial. Tanpa berkah, kehidupan menjadi hampa tanpa makna. Berapa banyak orang yang memiliki kekayaan melimpah, tetapi miskin spiritual karena tidak mampu mengendalikan harta benda, yang boleh jadi dia peroleh melalui cara tidak halal. Banyak orang memiliki harta seadanya, tetapi hidupnya terlihat damai dan tenteram. Ini tidak lain karena hartanya itu sendiri berkah.

Banyak pula orang yang menduduki jabatan tinggi dan terhormat, tetapi tidak memperoleh kebahagiaan karena tidak mampu mengendalikan diri; menggunakan kedudukan untuk memperkaya diri, menindas orang lain, dan melakukan ketidakadilan. Kedudukan dan kekuasaan seperti ini tidak mendatangkan berkah, malah berujung pada siksaan dan kenestapaan baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Berkah Ramadhan tidak datang dengan sendirinya. Tetapi mesti diperjuangkan melalui ibadah puasa dan ibadah-ibadah lain. Untuk mendapatkan barakah, ibadah puasa hendaknya dikerjakan penuh keimanan dan kecermatan (ihtisâb-an). Jika tidak, puasa hanya menghasilkan lapar dan haus; tidak memberikan dampak apa-apa.

Ibadah puasa memberikan peluang bagi peningkatan kesalehan personal; karena hanya orang bersangkutan yang tahu persis tentang apakah dia berpuasa dengan benar atau tidak. Dia juga paling tahu tentang apakah ibadah puasa yang dia kerjakan dari tahun ke tahun dapat menghasilkan dampak positif dan mengantarkannya ke maqâm muttaqîn. Jika yang bersangkutan merasakan belum ada dampak positif dari ibadah puasanya, sepatutnya dia melakukan muhâsabah—evaluasi.

Tetapi Ramadhan lebih daripada sekedar ibadah untuk mencapai kesalehan personal; tetapi sekaligus kesalehan sosial. Ibadah puasa mengandung latihan (riyâdhah) jasmaniah dan rohaniah untuk mengalami lapar dan haus yang dirasakan kaum miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan makan minum. Karena itu, jika secara personal, ibadah puasa merupakan penguatan habl-un min Allâh (hubungan dengan Allah SWT), secara sosial mempererat habl-un min al-nâs, hubungan antar-manusia. Islam mengajarkan, hubungan pribadi dengan Allah tidak bisa sempurna kecuali hubungan sesama manusia terjalin baik.

Berkah Ramadhan seyogyanya terwujud tidak hanya pada bulan puasa dan Idul Fitri. Tetapi juga dalam masa pasca-puasa—sepanjang sebelas bulan berikutnya sampai Ramadhan tahun selanjutnya. Jika ini bisa diwujudkan para muttaqîn, Islam juga benar-benar menjadi berkah bagi mereka yang berkubang dalam lumpur kemiskinan dan penderitaan.

Ramadhan jelas juga dapat menjadi momen berkah bagi mereka yang masih belum beruntung, yang jumlahnya puluhan juta di tanah air. Berkah Ramadhan dapat terwujudkan tidak hanya dalam bentuk solidaritas lapar dan haus, lebih-lebih lagi dalam aktualisasi kedermawanan sejak dari pemberian makanan untuk sahur dan berbuka (ifthâr), pembagian zakat, infak dan sedekah.

Ramadhan bulan meningkatnya konsumsi masyarakat: pangan, sandang, dan dana perjalanan. Agaknya tidak ada bulan lain di mana tingkat konsumsi masyarakat demikian tinggi, sehingga hukum pasar pun berlaku; karena tingginya tingkat kebutuhan dan permintaan, harga pangan, sandang dan barang-barang lain juga meningkat tajam. Pemerintah yang seharusnya mampu menetralisasi harga seolah tidak berdaya mengendalikannya.

Dengan meningkatnya konsumsi sepanjang Ramadhan dan Idul Fitri, apakah gejala ini menunjukkan ‘konsumerisme’ di kalangan umat Muslim? Apakah ibadah seperti puasa Ramadhan juga menampilkan komodifikasi agama?

Pertanyaan itu dan gejala yang ada mencerminkan kontradiksi. Karena ibadah puasa mengandung makna ‘menahan’ (imsâk) dari berbagai godaan duniawi khususnya kebendaan (materi). Jadi, umat Muslim seharusnya dapat menghindarkan diri daripada terjerumus ke dalam ‘konsumerisme’.

Pada segi lain, Ramadhan dan Idul Fitri sulit dielakkan dari meningkatkan konsumsi. Ini berkaitan dengan adanya dorongan perintah Islam bagi umat Muslim untuk mampu berbagi dan memberi (sharing dan giving). Umat Muslim yang punya kelebihan rizki dianjurkan menyediakan makanan sahur dan ifthâr, karena pahalanya senilai dengan pahala orang puasa. Karena itu, banyak dermawan Muslim, organisasi Islam dan lembaga lain menyediakan nasi kotak untuk sahur dan ifthâr dan melakukan buka puasa bersama dengan anak-anak yatim-piatu dan kaum dhu’afa lain.

Kalangan Muslim berpunya juga memberikan kepada dhu’afa di lingkungannya ‘paket lebaran’ yang biasanya terdiri dari kain sarung, baju koko, mukena, beras, sirup dan kue-kue, dan semacamnya. Tujuannya tidak lain agar kaum dhu’afa dapat juga menikmati Ramadhan dan Idul Fitri dengan bahagia.

Peningkatan konsumsi juga terjadi karena sepanjang Ramadhan, umat Muslim yang mampu mengeluarkan ZIS (zakat, infaq dan shadaqah). Sebagian ZIS ini disalurkan langsung kepada mereka yang berhak; dan sebagian lagi disampaikan melalui UPZ (Unit Pengumpul Zakat) dan lembaga amil lain di lingkungan pertetanggaan. Bagi kaum dhu’afa, ZIS yang mereka terima dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, khususnya pangan, pakaian dan bahkan pendidikan.

Dari segi ini, peningkatan komsumsi tidak terelakkan; ia merupakan konsekuensi langsung dari ajaran Islam bagi umat Muslim yang mampu untuk mewujudkan kedermawanan—berbagi dan memberi kepada mereka yang kurang beruntung dalam kehidupan ekonomi dan sosialnya. Mengingat Ramadhan selalu datang setiap tahun, sepatutnya pemerintah senantiasa membuat perencanaan dan penanganan sistematis dan programatis untuk mengantisipasi peningkatan konsumsi—dan karena itu, mestinya tidak selalu ‘kedodoran’.

Pada segi lain, Islam melarang konsumerisme; apalagi kalau konsumerisme itu menjadi gaya hidup. Konsumerisme itu bisa mengambil bentuknya dengan misalnya melakukan ifthâr di hotel-hotel mewah, yang mengiming-imingi konsumen Muslim dengan paket-paket berbuka yang serba wah. Melakukan hal seperti ini jelas merupakan tabdzîr, pemborosan yang bertentangan dengan semangat solidaritas kepada mereka yang sulit memperoleh makan dan minum dalam kehidupan sehari-hari.

Ramadhan menekankan semangat kesederhanaan dan konsumsi yang tidak berlebihan; dan karena itu, umat Muslim hendaknya tidak terjerumus ke dalam konsumerisme. Sikap ini sepatutnya terus dipertahankan pada masa pasca-Ramadhan. Wallâh-u a’lam bi al-shawâb.

 

* Artikel ini termuat dalam buku Rumah KitaB yang diterbitkan oleh Mizan tahun 2013 berjudul “MOZAIK RAMADHAN DAN LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN [Menelusuri Jejak-jejak Tradisi Ramadhan dan Lebaran di Nusantara]”

Indonesia adalah Sebuah Mukjizat

Dalam perayaan setengah abad LIPI, Azyumardi Azra terpilih sebagai ilmuwan yang pantas menerima penghargaan ilmu pengetahuan paling bergengsi di Indonesia.

“Indonesia adalah sebuah mukjizat. Indonesia is a miracle karena kompleksitas keragaman dan kebinekaannya,” ujar Azyumardi Azra dalam sambutannya sebagai penerima anugerah LIPI Sarwono Award 2017.

Azyumardi dikenal sebagai cendekiawan muslim dan guru besar bidang sejarah dan peradaban Islam di Fakultas Adab UIN Syarif  Hidayatullah, Jakarta. Lelaki berusia 62 tahun ini juga dikenal memiliki dedikasi tinggi dan konsisten dalam bidang ilmu pengetahuan dan pemikirannya, khususnya dalam melihat pola budaya dan peradaban Islam.

Berbagai perbedaan peradaban umat Islam di Indonesia dan negara-negara  timur tengah telah menjadi kajian pemikirannya. Umat Islam yang berada di Indonesia, menurutnya, adalah umat Islam berkemajuan, budaya Islamnya sudah melebur dengan budaya-budaya Nusantara.

Dia juga melihat munculnya budaya positif  yang merekatkan persaudaraan—namun tidak terjadi di negara-negara Timur Tengah, termasuk Arab Saudi.  Menurutnya, banyak warna-warni yang muncul dalam pembangunan persaudaraan dan peleburan budaya Islam—mulai dari kegiatan tahlilan, ziarah kubur, bahkan budaya mudik yang tidak hanya diikuti umat Islam semata. Fenomena ini, menurut Azyumardi, menunjukkan bahwa Islam Indonesia adalah Islam yang melekat dengan budaya. Sementara, budaya Indonesia adalah toleran atau bertenggang rasa.

Azyumardi, dalam forum LIPI Sarwono Award, mengungkapkan harapannya bahwa kaum muda muslim harus memiliki pandangan yang luas. Tidak doktrinal dalam melihat agama, melainkan memiliki kaitan dalam bidang kebudayaan.

“Hanya dengan interaksi ilmu-ilmu agama—ilmu-ilmu yang bersifat teologis— dengan ilmu-ilmu pengetahuan sosial, ilmu-ilmu humaniora, atau ilmu kemanusiaan,” ujar Azyumardi,  “kita bisa berharap munculnya generasi muda Muslim yang memiliki perspektif intelektual yang luas. Tidak doktriner dalam melihat agama.”

Atas pemikiran tersebut, pada awal dekade pertama di abad ini dia memprakarsai perubahan nama perguruan tinggi tempat dia berkarya—dari “Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah” menjadi “Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.”

Sebagian aktivitasnya tercurah sebagai anggota Akademi ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Dewan Riset Nasional. Selain itu, dia juga menjabat sebagai pemimpin redaksi berbagai jurnal nasional dan internasional yang berkaitan dengan studi agama dan kemanusiaan.

Bagaimana dia mampu menyelesaikan sekeranjang pekerjaannya—tugas birokrasi kampus, menulis, seminar, dan tetap berkarya?

“Saya beretrospeksi terhadap diri sendiri,” ujarnya. “Itu karena sikap istiqomah, teguh, terus-menerus berkarya, sikap untuk selalu menjawab tantangan, menghadirkan tantangan dalam berkarya. Di situlah kuncinya.”

LIPI Sarwono Award merupakan kegiatan keilmuan yang diselenggarakan di setiap tahun sebagai puncak rangkaian acara hari ulang tahun Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Penghargaan tahun ini bertepatan dengan perayaan tahun emas lembaga tersebut.

Sebagai lembaga keilmuan yang terbesar dan terkemuka di Indonesia, LIPI sangat peduli terhadap prestasi ilmiah dan dedikasi peneliti Indonesia dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Inilah penghargaan bergengsi kepada warga negara Indonesia yang telah menunjukkan prestasi yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan dan kemanusiaan.

“Kami memandang ilmuwan Indonesia yang berprestasi global pantas dan layak untuk mendapatkan penghargaan ilmiah tertinggi, yaitu LIPI Sarwono Award,” kata Bambang Subiyanto, selaku Pelaksana Tugas Kepala LIPI.

Bambang menuturkan tentang sosok peraih anugerah LIPI Sarwono Award tahun ini. “Profesor Azyumardi Azra merupakan tokoh pemikir yang tak pernah diam.” Kemudian dia melanjutkan, “Obsesinya yang besar untuk mengembangkan pemikiran Islam di Indonesia telah dicurahkan oleh karya-karyanya, baik yang telah dimuat di artikel media massa maupun sejumlah buku yang telah diterbitkan.”

“Kita selaku warga negara Indonesia sangat bangga atas jasa beliau dalam proses pemahaman dan hubunagan antaragama dan peradaban,” sambung Bambang. “Reputasi beliau yang telah menjadi perhatian internasional sehingga Ratu Elizabeth II pun dengan bangga memberi penghargaan kepada beliau the Commander of the Order of British Empire.”

Kerajaan Inggris menganugerahkan gelar itu karena sumbangan pemikiran Azyumardi soal hubungan antarkeyakinan dan toleransi di Indonesia. Penghargaan  itu sekaligus menahbiskan Azyumardi sebagai orang Indonesia pertama yang mendapat sebutan “Sir”.

Dalam kesempatan yang sama, LIPI juga menyelenggarakan Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture, yang disampaikan seseorang yang sudah mumpuni dibidangnya—baik di kalangan ilmuwan maupun para praktisi yang sudah terbukti pemikirannya dalam kontribusi kepada Tanah Air. Penceramah ilmiah dalam Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture ke-17 adalah Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Tajuk ceramahnya, Arah Kebijakan Pembangunan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk Meningkatkan Daya Saing Bangsa.

Dua tahun silam, Azyumardi berkesempatan juga memberikan ceramah ilmiah dalam Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture ke-15. Tajuk ceramahnya, Toleransi Agama untuk Persatuan Negara-Bangsa Indonesia. Menurutnya, agama bukanlah faktor pencetus perseteruan dan perpecahan, melainkan faktor pemersatu penting dalam keragaman suku dari Sabang sampai Merauke.

“Agama itu menjadi faktor pemersatu penting dalam keragaman suku,” ujar Azyumardi. Orang Islam di Aceh merasa bersaudara dengan orang Islam di Jawa atau orang Islam di Bugis karena seiman. Begitu juga alasan mengapa orang Kristen di Tapanuli merasa dekat dengan Kristen di Minahasa, atau dengan Kristen di Ambon. “Dari segi budaya sama sekali berbeda, tetapi memiliki solidaritas yang ikatannya agama.”

Kawasan Timur Tengah, dalam pandangan Azyumardi dalam ceramahnya dua tahun silam, memiliki corak budaya dan sejarah yang berbeda dengan di Indonesia. Islam di Indonesia pun memiliki pengalaman berbeda dengan pengalaman Islam di Timur Tengah, Asia Selatan, atau Anak Benua India. Sederet kawasan tersebut, hemat Azyumardi, mengalami penundukan politik oleh kuasa militer Muslim dari Arabia. Sementara, Islam tersiar ke pelosok Nusantara lewat penyebaran secara damai. “Proses semacam ini,” ungkap Azyumardi, “memberikan warna cukup khas bagi Islam di Indonesia, yakni Islam yang akomodatif dan inklusif.”

Pada akhir sambutannya dalam LIPI Sarwono Award 2017, dia mengungkapkan bahwa peranan pengemban ilmu pengetahuan memerlukan orang-orang yang berkomitmen penuh, berintegritas di dalam memajukan ilmu pengetahuan, dan menghasilkan inovasi . “Saya kira hari ini dan ke depan, kita berharap LIPI memainkan perannya semakin besar: menjadi motor penghasil pengetahuan baru dan juga inovasi baru.”

Ketika perhelatan ini masih berlangsung, saya mengunggah kutipan inspiratif dari Azyumardi, yang menunjukkan bahwa mukjizat Indonesia adalah kebinekaan. Seorang warganet pun berkomentar, “Keberagaman perlu dirayakan, tapi setelah itu, apa?” Beberapa saat berselang, warganet lainnya menanggapi pertanyaan tadi, “Dimanfaatkan sebagai hal yang positif.”[Mahandis Yoanata Thamrin]

Source: http://nationalgeographic.co.id/berita/2017/08/indonesia-adalah-sebuah-mukjizat