Al-Syathibi, Bapak Ilmu Maqashid Syariah
JIKA Muhammad ibn Idris al-Syafi’i dianggap sebagai bapak “Ilmu Ushul Fikih”, meskipun ia tidak mengklaim itu, bahkan sampai wafat ia tidak mengenal istilah “Ilmu Ushul Fikih”, maka sama halnya dengan Abu Ishaq al-Syathibi yang dianggap sebagai bapak “Ilmu Maqashid Syariah”, meskipun ia tidak mengklaim itu dan tidak menggunakan gelar tersebut. Ia sangat identik dengan Maqashid Syariah, sehingga ia nyaris tidak disebut melainkan disebutkan juga bersama dengan Maqashid Syariah, dan Maqashid Syariah nyaris tidak disebut melainkan juga disebut bersamanya. Kemasyhurannya melonjak dan reputasinya menyebar. Banyak buku, penelitian, dan artikel yang telah ditulis tentangnya di zaman kita.
Semua orang yang percaya pada kemunculan Ilmu Maqashid Syariah dan keistimewaannya, atau menyakini urgensi, manfaat dan kegunaannya di dalam perumusan hukum-hukum Islam, atau sedang dalam perjalanan membuat inovasi baru, menganggap bahwa buku yang ditulis oleh al-Syathibi adalah karya dasar di bidang ini.
Muhammad al-Thahir ibn Asyur, yang dikenal sebagai sarjana pertama yang menyerukan pembentukan ilmu baru yang independen, terlepas dari Ilmu Ushul Fikih dan saling melengkapi satu sama lain, yaitu Ilmu Maqashid Syariah, mengatakan, “Dan sosok unik yang secara khusus bekerja di bidang ini adalah Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Syathibi al-Maliki, seperti yang hendak ditonjolkannya pada bagian kedua dari bukunya yang berjudul ‘Unwân al-Ta’rîf bi Ushûl al-Taklîf fî Ushûl al-Fiqh, dan ia memberi judul bagian itu dengan Kitâb al-Maqâshid.”
Karya al-Syathibi, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah, adalah sebuah buku yang sangat populer di dalam kajian ushul fikih. Buku ini merupakan representasi intelektual gagasan Maqashid Syariah pada masanya. Di masa kini buku ini hadir setelah diedit dan dicetak secara baik berkat upaya sungguh-sungguh dari seorang pembaharu Mesir yang semangat dan tak kenal lelah, yaitu Muhammad Abduh, dengan bantuan murid kesayangannya, Muhammad Rasyid Ridha. Ini menunjukkan seberapa besar hasrat atau antusiasme pembaharu besar Mesir ini, serta besarnya upaya yang dikerahkannya untuk menghidupkan karya-karya yang merupakan representasi rasionalisme dan pemikiran bebas di dalam tradisi Islam.
Kontribusi Muhammad Abduh sangat besar dalam “mengentaskan” karya-karya tersebut dari “dari lumpur-lumpur sejarah” dan menyebarkannya di dunia Islam. Kita contohkan Ibn Arabi yang oleh para ahli fikih dicemooh dan disingkirkan dari wilayah Islam. Namun ia mendapatkan pembelaan berupa apresiasi serta kekaguman yang mendalam dari Muhammad Abduh. Untuk membuktikan pembelaannya terhadap Ibn Arabi secara lebih jelas, Abduh telah mengakui salah satu teorinya tentang wahdah al-wujûd. Demikian juga yang dikakukannya terhadap Abu Ishaq al-Syathibi. Muhammad Abduh telah berhasil mengangkat manuskrip al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah dari “tong sampah” ketika ia berkunjung ke Tunisia pada tahun 1884 M. Kemudian ia mengerahkan segala daya dan upaya untuk menyebarkannya. Di sini kita melihat betapa penting posisi al-Syathibi.
Sebagai gambaran awal, al-Syathibi menulis al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah setengah abad sebelum runtuhnya Granada yang merupakan kota umat Muslim terakhir di Andalusia guna menghidupkan kembali syariat; mengajak umat Muslim untuk lebih memprioritaskan maslahat umum, mengarahkan mereka untuk memperhatikan realita dan alam. Satu setengah abad sebelumnya Ibn Arabi juga melakukan hal serupa, melalui tasawuf ia berupaya menyatukan antara agama dan dunia, makrifat dan wujud, Allah dan alam, “aku” dan “orang lain”, imajinasi dan kenyataan, akal dan perasaan. (Hassan Hanafi, Maqâshid al-Syarî’ah wa Ahdâf al-Ummah, Qirâ’ah fî al-Muwâfaqât li al-Syâthibîy, dalam Jurnal al-Muslim al-Muashir, vol. 26. no. 103, Cairo-Egypt: 2002, hal. 66)
Semula al-Syathibi menamakan karyanya tersebut dengan “al-Ta’rîf bi Asrâr al-Taklîf”. Hingga pada suatu hari ia bertemu dengan seseorang syaikh. Syaikh itu berkata padanya, “Semalam aku melihatmu dalam tidur, kau pegang di tanganmu sebuah kitab yang telah kau susun, aku tanyakan kepadamu tentangnya, lalu kau katakan bahwa itu adalah kitab al-Muwâfaqât.” Syaikh itu kembali berkata, “Aku tanyakan kepadamu tentang penamaan yang bagus ini, dan kau katakan bahwa dengan itu kau ingin menyatukan antara mazhab Ibnu al-Qasim dan Abu Hanifah.” Sejak saat itu al-Syathibi menyebut karyanya dengan al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî`ah. (Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syarî’ah, komentar dan tahkik: Syaikh Abdullah Darraz, Cairo-Egypt: al-Hai’ah al-Mishriyah al-Ammah li al-Kitab, 2006, Juz I, hal. 19)
Namun demikian, al-Syathibi bukanlah sarjana pertama yang mencetuskan Maqashid Syariah. Sebelumnya banyak dari pakar ushul fikih yang telah menggagasnya. Walaupun tidak secara eksplisit, para sarjana seperti al-Tirmidzi al-Hakim, sebagai salah satu tokoh abad ketiga, Abu Manshur al-Maturidi (w. 333 H), Abu Bakr al-Qifal al-Syasyi (w. 365 H), Abu Bakr al-Abhari (w. 375 H), dan al-Baqillani telah memulainya. Sebab pencantuman terma “maqâshid” dalam berbagai kitab tidak berarti menganggapnya sebagai metode teoritis dan pemikiran, tetapi lebih dimaksudkan untuk memainkan peran dalam ranah fikih.
Dalam hal ini, pembahasan tentang al-‘ilal al-syar’îyyah, atau mahâsin al-syarî’ah, bisa dianggap sebagai sesuatu yang ikut menghantarkan munculnya maqâshid sebagai sebuah teori. Abu Abdillah Muhammad ibn Abdirrahman al-Bukhari telah mengarang kitab “Mahâsin al-Islâm”, ia wafat pada tahun 546 H, yaitu setelah wafatnya al-Juwaini (478 H) dan al-Ghazali (505 H), keduanya adalah orang yang pertama kali menggagas maqâshid sebagai sebuah teori. (Syaikh Ali Hobbellah, Dirâsât fî Falsafah Ushûl al-Fiqh wa al-Syarî`ah wa Nazhrîyyah al-Maqâshid, Lebanon-Beirut: Dar el-Hadi, cet. Ke-I, 2005, hal. 81)
Pembahasan tentang “al-‘ilal dan al-mahâsin” juga banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh lain, namun tidak seorangpun dari mereka yang merumuskannya sebagai teori. Syaikh al-Shaduq misalnya, ia mengarang kitab ‘Ilal al-Syarâ`i’, dan banyak lagi tokoh yang lainya, khususnya para pengikut Hanafiyah, tetapi karya-karya mereka sangat jauh dari pembahasan tentang teori Maqashid sebagaimana yang dilakukan al-Juwaini. Dari sini dapat dikatakan bahwa al-Juwaini merupakan penggagas pertama teori Maqashid, seperti yang nampak pada ulasan-ulasannya dalam kitab al-Burhân fî Ushûl al-Fiqh, di mana ia menisbatkan pembagian-pembagian al-mashâlih kepada dirinya, dan menjadikannya sebagai syarat mutlak bagi seorang mujtahid. (Syaikh Ali Hobbellah, hal. 81)
Al-Juwaini tidak membahas Maqashid secara khusus dalam satu bab seperti al-Syathibi, ia hanya menjadikannya sebagai bagian dari pembahasan mengenai ta’lîl dalam qiyas. Ini juga dilakukan oleh al-Ghazali dalam beberapa karyanya: al-Mankhûl, yang tidak jauh beda dari al-Burhân al-Burhân fî Ushûl al-Fiqh, bahkan bisa dikatakan sebagai ikhtisar saja. Kemudian Syifâ’ al-Ghalîl dan al-Mustashfâ, dalam kedua karyanya ini terdapat hal baru yang tidak ditemukan dalam karya al-Juwaini. Di dalam Syifâ’ al-Ghalîl misalnya, al-Ghazali membahas tentang al-amr al-maqshûd yang tak lain adalah maslahat. Menurutnya, maslahat adalah menjaga tujuan Syâri` (Allah) yang diketahui dan dipahami melalui al-Qur`an, sunnah dan ijma`. (Syaikh Ali Hobbellah, hal. 82)
Nama lain yang tidak kalah penting adalah Saifuddin al-Amidi (w. 631 H) dengan karyanya, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. Walaupun kitab itu sebatas ikhtisar dari tiga kitab sebelumnya; al-Mu`tamad karya Abu Hasan al-Bashri, al-Burhân fî Ushûl al-Fiqh karya al-Juwaini, dan al-Mustashfâ karya al-Ghazali, hanya saja ia membahas Maqashid dengan menjadikannya sebagai cabang dari qiyâs hingga ke tingkat kemungkinan melakukan tarjîh antara beberapa qiyâs berdasarkan Maqashid. Al-Amidi ini adalah sarjana pertama yang membagi al-dhâruriyyât menjadi lima yang nantinya mempengaruhi pemikiran al-Syathibi. (Syaikh Ali Hobbellah, hal. 83)
Setelah tiga abad kemudian, al-Syathibi (w. 790 H) kembali menggagasnya secara lebih detail dalam mahakaryanya, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî`ah. Bahkan secara khusus menyediakan satu jilid lengkap dari karyanya itu dengan diberi judul “Kitâb al-Maqâshid”. Setelah merunut pendapat para pendahulunya, ia mengajukan dua masalah baru; pertama, menyusun maqâshid; kedua, metode menyingkap maqâshid. (Syaikh Mahdi Mahrizi, Maqâshid al-Syarî`ah fî Madrasah Ahl al-Bayt, dalam jurnal Qadhaya Islamiyyah Mu`ashirah, No. 13, Cairo-Egypt: 2000, hal. 220)
Sesuatu yang sangat menarik adalah bahwa teori Maqashid yang digagas al-Syathibi dimaksudkan untuk memproduksi ushul fikih. Berbeda dengan para pakar ushul fikih lainnya yang menempatkannya pada posisi yang marjinal; salah satu bagian dari ushul fikih.
Dapat dipahami melalui munculnya terma “al-maqâshid” dan perkembangannya, bahwa teori al-Syathibi tentang Maqashid adalah orisinil. Sebelumnya memang telah muncul gagasan tentang al-dharûriyyât al-khams atau al-mashâlih al-‘âmmah, tetapi belum terkristalisasi dalam sebuah konsep Maqashid yang utuh dan menjadi salah satu pilar dalam merumuskan ilmu ushul fikih. Al-dharûriyyât al-khams atau al-mashâlih al-‘âmmah itu hanya menjadi bagian kecil dalam ijtihad atau qiyas dan menjadi salah satu cabang dari al-istidlâl al-mursal dengan nama al-istihsân atau al-istishhâb atau dalîl al-‘aql atau al-mashâlih al-mursalah. Pernah juga dianggap sebagai al-qiyâs al-hurr yang tidak tunduk pada logika qiyâs yang tegas, melepaskan hukum dari dasarnya (al-ashl) untuk kemudian ditarik kepada cabangnya (al-far’) dikarenakan ada kesamaan antara keduanya dalam hal al-‘illah, sebagaimana dalam al-Mustashfâ min ‘Ilm al-Ushûl karya al-Ghazali. (Hassan Hanafi, hal. 66)
Dalam kitab al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî`ah, al-Syathibi tidak menjelaskan definisi Maqashid Syariah, baik secara etimologis ataupun terminologis. Sebabnya kembali kepada kejelasan makna etimologis dan terminologisnya dalam karya-karya para pendahulunya. Atau barangkali al-Syathibi melihat bahwa pembagian-pembagian definisi yang bakal disebutkannya nanti akan menghilangkan pemahaman tujuan Maqashid Syariah, sehingga menjadi karya yang hanya memuat definisi-definisi tanpa penjelasan komprehensif dan formulasi yang tegas sebagaimana yang dilakukan oleh para pendahulunya setiap kali membicarakan Maqashid. Mereka hanya menyajikan definisi, bahkan kadang terlalu berlebihan ketika menjelaskan batasan-batasannya, sehingga merekapun terjebak dalam sistem ushuliyah yang jauh dari tujuan-tujuan dibentuknya ilmu ushul fikih. Mereka terjebak dalam penjelasan kata-kata dan komentar-komentar dalam bentuk syarh (penjelasan) dan kemudian ikhtishâr (ringkasan). Hal ini berlangsung cukup lama, sehingga membebani ‘ilm al-ushûl dan menjadikannya tidak memiliki faedah sama sekali.
Sebagai sebuah teori, Maqashid Syariah oleh al-Syathibi tidak hanya diorientasikan untuk berperan dalam ranah fikih Islam, tetapi juga dijadikan sebagai pemberontakan dan revolusi terhadap bentuk-bentuk kalimat yang dominan di dalamnya. Dari sini dapat dipahami kenapa metode al-Syathibi terlihat berbeda dari metode para pendahulunya. Ia berusaha menghentikan akumulasi dalam ranah Maqashid untuk kemudian melakukan lompatan kualitas, akumulasi yang tertawan oleh metode tunggal serta wawasan-wawasan ilmiah yang terbatas dengan sisipan-sisipan yang terlampau banyak sejak al-Juwaini, namun pengaruhnya dalam fikih dan ilmu ushul fikih sangat sedikit—untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali.[]