Pos

Serial Kajian

Serial Kajian “Islam Ramah Perempuan” – Sebuah Pengantar (4)

Pelepasan Hadits dari Konteksnya

 

RENTANG waktu antara era para sahabat—yang merupakan perawi hadits pertama—dan era munculnya shahih pertama (Shahîh al-Bukhârîy) adalah dua ratus tahun, dan selama periode itu banyak hadits yang ditransmisikan secara lisan dan diriwayatkan. Tidak diragukan lagi, ketergantungan ulama hadits pada “‘an‘anah” (rantai perawi hadits) dan keterampilan “al-jarh wa al-ta’dîl” (studi pribadi dan biografi perawi serta kepastian kelayakan dan integritasnya) telah mengurangi banyak rekayasa hadits (hadits mawdhû’/palsu), tetapi itu tidak serta-merta bisa melindungi tradisi Islam dari hadits-hadits mawdhû’ untuk tujuan atau maksud tertentu.

Diketahui bahwa Umar ibn al-Khaththab sangat berhati-hati dalam bersandar pada apa yang diriwayatkan dari Nabi Saw., meskipun ia hidup bersama beliau, karena ia takut menggunakan kata-kata beliau dengan makna dan maksud yang tidak sesuai dengan konteksnya, seperti yang sering terjadi setelah itu, dan ia adalah orang yang mengatakan dalam rekomendasinya kepada para pejabat bawahannya di daerah, “Sedikitkan [penggunaan] riwayat dari Muhammad.”[1] Sebaliknya, ia selalu lebih suka berpijak pada akalnya. Dan perubahan-perubahan yang terjadi pada masa-masa setelahnya, bahkan jika itu menyebabkan perubahan hukum, tetap sejalan dengan esensi akidah Islam.

Tinjauan terhadap hadits-hadits terkait perempuan menunjukkan adanya kontradiksi dalam beberapa hukum sebagai bukti nyata bahwa hadits-hadits tersebut dilepaskan dari konteksnya terkait peristiwa tertentu untuk digeneralisasikan sebagai hukum yang berlaku sepanjang masa untuk setiap waktu dan tempat. Dan kalau menelusuri sîrah nabawîyyah akan tampak bahwa Nabi hidup di rumahnya bersama istri-istrinya dengan kehidupan manusia normal yang dipenuhi dengan kesedihan, kegembiraan, keseriusan, lelucon, kesepakatan, ketidaksepakatan, bahkan kepuasan dan kemarahan, serta segala sesuatu yang dialami manusia dalam kehidupan mereka sehari-hari yang berbeda-beda dari menit ke menit dan jam ke jam, sesuai dengan perbedaan situasi dan kondisi. Karena itu, mengambil satu kalimat tertentu yang disabdakan oleh Nabi Saw. dengan melepaskannya dari konteks, keadaan, dan sebabnya untuk kemudian menggeneralisasikannya sebagai hukum definitif (qath’îy) sepanjang masa di segala situasi, itu tidak sesuai dengan logika dan akal, serta keinginan Nabi Saw. bahwa seorang Muslim harus bekerja dengan akalnya untuk berpikir dalam bertindak secara benar dan adil terkait segala urusan dunianya.

Dalam sebuah kejadian terkenal di mana Nabi Saw. memberi saran kepada umat Muslim saat itu untuk tidak menyerbukkan pohon kurma, dan ketika pohon itu tidak berbuah, beliau menyadari kesalahan dan menyampaikan sabdanya yang terkenal “أنتم أعلم بأمور دنياكم” (Kamu lebih mengetahui urusan duniamu).

Sebelum perang Badar berkecamuk, Nabi Saw. bergerak bersama bala tentaranya mendahului kaum musyrik untuk menguasai mata air Badar dan menghalangi mereka dari usaha untuk menguasainya. Beliau segera mengambil posisi di Asya, yang merupakan sumber air paling rendah dari sumber air di Badar. Al-Habbab ibn al-Mundzir, salah seorang ahli militer, berdiri seraya berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu, apakah ini adalah posisi yang ditentukan Allah untukmu sehingga kita tidak boleh maju ataupun mundur, ataukah hanya suatu pendapat (bagian dari strategi) perang dan tipudaya?” Beliau menjawab, “Ini hanya sekedar pendapat (bagian dari strategi) perang dan tipudaya.” Al-Habbab berkata lagi, “Wahai Rasulullah, jika demikian, ini bukanlah posisi yang tepat. Karenanya, bangkitlah bersama orang-orang hingga kita mendatangi sumber air yang paling dekat dari posisi [pasukan] Quraisy, lalu kita menempatinya dan merusak sumur-sumur yang ada di belakangnya. Berikutnya kita membuat telaga dan mengisinya dengan air, setelah itu barulah kita memerangi mereka. Dengan begitu, kita bisa minum sementara mereka tidak bisa melakukannya.” Beliau kemudian bersabda, “Kau telah memberikan pendapat yang tepat.” Kemudian beliau bersama orang-orang mukmin melakukan apa yang dikatakan oleh al-Habbab.

Dalam hadits lain disebutkan bahwa beliau bersabda, “Nanti setelahku, kalian akan melihat orang-orang yang mementingkan diri sendiri dan hal-hal yang akan kalian ingkari.” Para sahabat bertanya, “Apa perintahmu, Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tunaikanlah hak mereka, dan memintalah hakmu kepada Allah.”

Dalam kejadian serupa lainnya, kita melihat Nabi Saw. dengan kebijaksanaannya menerima pendapat umat Muslim, dan beliau menarik kembali pendapatnya jika pendapat lain itu lebih meyakinkan, bahkan meskipun itu bertentangan dengan pendapatnya sendiri tanpa merasa enggan sedikipun. Beliau juga terbiasa berdebat dengan orang-orang dan mengambil pendapat mereka dalam urusan dunia mereka. Tetapi saat ini, setelah lebih dari seribu empat ratus tahun, kita tidak memiliki hak untuk mendiskusikan masalah agama dengan ahli fikih mana pun dan berbeda pendapat dengannya!

Beberapa tahun setelah wafatnya Nabi Saw., kontradiksi muncul dalam periwayatan hadits yang berkaitan dengan perempuan. Diketahui bahwa sebagian besar hukum yang terkait dengan perempuan, yang menjadi sandaran para ahli fikih, diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang meriwayatkan 5300 hadits—sebagian besarnya berhubungan dengan perempuan dan kehidupan sehari-hari individu Muslim—selama tiga tahun ia menemani Nabi Saw., tahun-tahun di mana Nabi Saw. menghabiskan sebagian besar waktunya dalam peperangan, sehingga tidak ada ruang untuk meriwayatkan banyak hadits terkait perempuan. Di sini perlu dicatat bahwa Nabi Saw. terlibat langsung dalam dua puluh enam perang selama sepuluh tahun setelah hijrah.[2]

Sayyidah Aisyah ra. telah beberapa kali meminta Abu Hurairah untuk berhati-hati dengan apa yang diriwayatkankannya atas nama Nabi Saw., dan ia berdebat dengannya lebih dari sekali, memaksanya untuk menarik kembali riwayat-riwayatnya pada waktu-waktu tertentu.

Umar ibn al-Khaththab ra., sahabat Nabi Saw. yang terkenal sangat keras, pernah mengancam untuk mengusir dan mengasingkan Abu Hurairah karena ia terlalu banyak bicara atas nama Nabi Saw., dan juga memperingatkannya untuk tidak menjadi berdusta atas nama Nabi Saw. Saat itu Umar ibn al-Khatthab ra. berkata, “Hendaknya ia (Abu Hurairah) tidak mempunyai keraguan”.

Pada masa kekhalifahan Marwan ibn al-Hakam, Abu Hurairah mengeluarkan fatwa tentang suatu masalah. Maka Marwan ibn al-Hakam mengirim utusan kepada Sayyidah Aisyah dan Ummu Salamah—Allah senantiasa meridhai keduanya—dan keduanya mengatakan kebalikan dari apa yang dikatakan Abu Hurairah. Kemudian Abu Hurairah berkata, “Aku dulu mengira dan aku dulu menyangka [bahwa aku mempunyai cukup ilmu].” Marwan ibn al-Hakam berkata kepadanya, “Dengan ‘aku dulu mengira dan aku dulu menyangka’ kau lantas [merasa cukup] memberi fatwa kepada manusia?”

Disebutkan bahwa dua orang laki-laki datang menemui Sayyidah Aisyah ra., keduanya berkata, “Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi Saw. berkata sesungguhnya kesialan itu ada pada perempuan, rumah, dan binatang kendaraan.” [Mendengar ini] Sayyidah Aisyah ra. sangat marah sehingga seolah-olah bagian tubuhnya terbang ke langit dan sebagian terbang ke bumi. Kemudian ia berkata, “Demi Zat yang telah menurunkan al-Qur`an kepada Abu al-Qasim (Nabi Saw.), beliau tidak berkata begitu, tetapi berkata, ‘Orang-orang Jahiliyah biasa mengatakan bahwa kesialan itu ada pada perempuan, rumah, dan binatang kendaraan.”[3]

Perselisihan antara Abu Hurairah dan Sayyidah Aisyah ra. telah mencapai titik di mana mereka bentrok dalam beberapa kesempatan. Sayyidah Aisyah ra. menuduh Abu Hurairah tidak berhati-hati dalam meriwayatkan hadits dari lisan Nabi Saw. dan mengatakan sesuatu yang tidak didengarnya. Sementara Abu Hurairah untuk memberikan sanggahan bahwa dirinya menghafal hadits di saat Sayyidah Aisyah ra. sibuk dengan celak dan cermin.

Perselisihan itu tidak hanya terjadi antara Abu Hurairah dan Sayyidah Aisyah ra., tetapi meluas hingga melibatkan semua istri Nabi Saw. Mereka menentangnya dan menyangkal beberapa hadits yang disampaikannya mengenai kehidupan pribadi Nabi Saw., yang memaksanya menarik kembali ucapannya dan mengakui bahwa ia tidak mendengar hadits tersebut langsung dari Nabi Saw., melainkan dari al-Fadhl ibn al-Abbas yang pada saat itu sudah meninggal.

Abu Hurairah bukan satu-satunya orang yang meriwayatkan hadits-hadits anti perempuan, tetapi masih banyak selainnya, yang memaksa Sayyidah Aisyah ra. dan istri-istri Nabi Saw. yang lain menentang dan melawan banyak hadits palsu dan terlibat dalam pergulatan tanpa henti hingga hari-hari terakhir kehidupan mereka. Salah satu contohnya adalah apa yang diriwayatkan di dalam Shahîh al-Bukhârîy bahwa disampaikan kepada Sayyidah Aisyah ra. sebuah hadits, “Hal yang dapat menyela shalat adalah anjing, keledai, dan perempuan,” sehingga ia menjadi marah dan berkata, “Kalian telah menyamakan kami dengan keledai dan anjing!” atau, “Betapa buruknya kalian memperlakukan kami seperti seekor anjing dan keledai! Padahal aku pernah melihat Nabi Saw. shalat sementara aku berbaring di tempat tidur antara beliau dan kiblat. Ketika aku ada suatu keperluan dan aku tidak ingin duduk hingga menyebabkan Nabi Saw. terganggu, maka aku pun pergi diam-diam dari dekat kedua kakinya.”[4]

Ribuan buku telah menggambarkan secara lebih rinci kehidupan sehari-hari di dalam rumah tangga Nabi Saw., yang terkadang sangat mencolok sehingga terkesan melanggar privasi kehidupan sebuah rumah tangga. Seperti penggambaran mengenai pertengkaran antara istri-istri Nabi Saw. dan persekongkolan sebagian mereka untuk melawan sebagian yang lain, yang mempengaruhi dan mengganggu kehidupan pribadi Nabi Saw., sehingga terkadang beliau menunjukkan perilaku tertentu atau mengatakan beberapa kalimat yang kemudian dijadikan kaidah hukum umum tanpa mempertimbangkan keadaan atau kejadian saat itu, meskipun beliau pernah bersabda, “Sesungguhnya aku membuat perjanjian dengan Tuhanku, lalu aku berkata, ‘Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, aku bisa rela sebagaimana manusia rela, dan aku pun bisa marah sebagaimana manusia marah. Oleh karena itu, siapa saja dari kalangan umatku yang aku doakan [dengan kejelekan] padahal ia tidaklah pantas mendapatkannya, hendaklah Allah jadikan hal itu sebagai pembersih, penyuci, dan qurbah yang akan mendekatkan dirinya [kepada Allah] pada hari kiamat,” [H.R. Muslim].

Dengan demikian, kita dapat menafsirkan banyak kalimat yang diucapkan Nabi Saw. dalam kehidupan beliau sehari-hari, ketika beliau kesal atau marah, atau tidak puas dengan suatu kejadian, atau bercanda, atau berdebat dengan salah seorang dari istri-istrinya yang biasa mempertanyakan banyak persoalan kepadanya, bahwa tidak semua tindakan dan ucapan Nabi Saw. bisa dijadikan aturan atau hukum umum yang berlaku sepanjang masa.

Para ahli fikih mengkodifikasi adat-kebiasaan dan tradisi pada zaman mereka dalam kerangka sistem keagamaan yang ketat, dan menyimpulkan hukum-hukum tentang perempuan dari kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada zaman itu. Tetapi yang berbahaya adalah, mereka memberinya status kesucian, dengan melepaskan banyak hadits Nabi Saw. dari konteks dan asbâb al-wurûd-nya, dan kemudian menjadikannya sebagai aturan-aturan yang berlaku untuk setiap zaman. “Karena itu, para ahli fikih merasa perlu mengkristalisasi metode deduksi dan ijtihad yang tetap untuk dapat membangun struktur hukum lengkap yang berasal dari teks-teks agama, dengan terlebih dahulu memasukkan di dalam bangunan fikih mereka aturan-aturan, adat-adat dan praktik-praktik sosial lama yang Islam sendiri tidak menentukan larangan atau pengharaman”.[5]

Itu menjelaskan perbedaan pendapat di antara para ahli fikih, dan bahkan mungkin dalam satu kitab yang ditulis salah seorang ahli fikih, “Penggunaan dualisme al-‘umûm (keumuman) dan al-khusûsh (kekhususan) sebagai alat interpretasi (al-ta`wîl) dan interpretasi yang berlawanan (al-ta`wil al-mudhâdd) bukanlah proses yang efektif dalam mengungkap maksud/arti (al-dalâlah). Dualisme ini kedudukannya sama dengan dualisme-dualisme interpretasi lainnya seperti al-nâsikh dan al-mansûkh, al-muhkam dan al-mutasyâbih, yang mungkin menghasilkan makna dan kebalikannya sekaligus.”[6]

Beberapa pemikir Muslim yang tercerahkan juga mengandalkan dualisme ini, untuk memperlihatkan hak-hak yang diberikan Islam kepada perempuan, yang menyebabkan beberapa dari mereka, seperti al-Shadiq al-Naihum menafsirkan ayat “وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ” (Dan perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka)[7] dengan mengatakan bahwa kata “اضْرِبُوهُنَّ” (pukul mereka), sebelum pemberian tanda baca al-Qur`an adalah “اعزبوهن” (tinggalkan mereka), tetapi karena kekeliruan dalam pemberian titik maka menjadi “اضْرِبُوهُنَّ” (pukul mereka). Sebagaimana Muhammad Syahrur menafsirkannya bukan dalam arti memukul secara fisik, tetapi menggunakan kekuatan untuk mencabut qiwâmah (hak mengurus rumah tangga) dari mereka, dan ia menafsirkan nusyuz sebagai kesombongan perempuan atas laki-laki, yang menunjukkan dengan jelas kepada bahwa mengadopsi pendekatan ini akan membawa kepada rangkaian pertempuran terus-menerus yang tidak berdampak apapun selain menambah kebingungan di dalam kesadaran individu Muslim. “Dan jika kita harus melakukan tugas yang sama—tugas membuka topeng ideologi pemalsuan kesadaran—dengan wacana agama juga, maka kita harus, di samping itu, menghindari kontroversi ideologis dengannya dengan menggunakan senjata halus yang sama, yaitu senjata interpretasi teks dan sikap-sikap keagamaan”.[8]

“Masalah-masalah ini tidak akan selesai dengan interpretasi (al-ta`wîl) dan interpretasi yang berlawanan (al-ta`wil al-mudhâdd), melainkan itu akan menemukan solusi sejatinya dengan memahami teks dalam konteks produksi sosial dan historisnya.”[9]

Pada bagian berikutnya akan disebutkan contoh-contoh sikap Islam, yang sekali-kali tampaknya memuliakan perempuan dan sekali-kali tampak merendahkannya menurut riwayat-riwayat yang ada. Dan seperti yang telah disingggung di atas, hal ini terjadi karena hadits-hadits dilepaskan dari konteks dan asbâb al-wurûd-nya, serta generalisasi suatu kejadian khusus dan menjadikannya hukum yang berlaku secara umum.[]

__________________
[1]. Ibn Jarir al-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk (Juz 2), Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997, hal. 576
[2]. Ibid., hal. 207
[3]. Kisah ini tercatat dengan redaksi serupa di dalam kitab-kitab hadits. Lihat, misalnya: Musnad Ahmad.
[4]. Shahîh al-Bukhârîy, dalam “Kitâb al-Shalâh”, bab “Abwâb Sutrah al-Mushallîy” tentang “Man Qâla lâ Yaqtha’ al-Shalâh Syay`”.
[5]. Nasr Hamid Abu Zaid, Dawâ`ir al-Khawf: Qirâ`ah fî Khithâb al-Mar`ah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 2004, hal. 163
[6]. Ibid., hal. 197
[7]. Q.S. al-Nisa`: 34
[8]. Nasr Hamid Abu Zaid, Dawâ`ir al-Khawf: Qirâ`ah fî Khithâb al-Mar`ah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 2004, hal. 86
[9]. Ibid., hal. 302

Serial Kajian

Serial Kajian “Islam Ramah Perempuan” – Sebuah Pengantar (2)

Sebuah pertanyaan besar muncul:

Apakah Islam anti-perempuan?

Dari sini kemudian muncul beberapa pertanyaan:

Bagaimana cara menghilangkan puing-puing dalam jumlah besar yang telah terakumulasi selama berabad-abad penuh dengan konflik politik yang merusak, di mana agama digunakan untuk melayani kelompok ini atau itu, dan aturan baru diciptakan oleh keadaan dan kepentingan?

Bagaimana Islam digunakan—sementara ia hadir untuk membela kebenaran dan keadilan, melawan penindasan dan ketidakadilan—sebagai alat di tangan otoritas tirani yang membunuh, menguasai dan mengendalikan nasib negara dan rakyat atas namanya?

Bagaimana Islam berubah menjadi penindas dan penganiaya para budak dan perempuan selama berabad-abad, padahal ia datang membawa ajaran-ajaran revolusioner untuk membebaskan mereka dan mengembalikan kemanusiaan mereka yang terbuang, yang menjadikan para budak dan perempuan itu termasuk di antara mereka yang pertama kali beriman kepada ajarannya, bergerak memperjuangkannya, menanggung semua jenis siksaan dan kemartiran untuk membelanya?

Pertanyaan-pertanyaan ini selalu muncul. Tetapi kita terkadang takut untuk mencari jawabannya, terutama ketika membaca salah satu fatwa yang didasarkan pada pendapat para ahli fikih. Menyelami referensi-referensi mereka sepertinya akan menghabiskan seluruh usia kita, tetapi pencarian kebenaran harus terus dilakukan, dan untuk itu kita harus siap membaca dengan teliti kata-kata dan bahkan tangisan kebenaran yang keluar dari pada pemikir yang jujur, yang diabaikan oleh keterbelakangan umat atas nama ‘kesucian dan kemurnian agama’. Mereka, para pemikir itu, adalah yang mulai mencari dan berjuang mengembalikan ciri pertama Islam: agama yang benar, yang membawa risalah perlindungan bagi orang-orang teraniaya dan tertindas dari setiap ras, suku, dan warna kulit. Mereka tidak takut menyampaikan kebenaran meski kerap mendapatkan hujatan dan hinaan, bahkan beberapa orang dari mereka harus rela ‘membayar mahal’ untuk setiap perjuangan yang mereka lakukan sepanjang sejarah Islam.

Perjalanan para martir ‘kalimat kebenaran’ tidak berhenti sejak zaman Abu Dzar al-Ghifari sampai hari ini. Pengkafiran, penumpahan darah, ancaman keamanan, dan pencemaran nama baik tidak menghalangi para pemberani ini untuk terus menyampaikan kebenaran. Dengan dimulainya renaisans Islam pada abad ke-19, kegelisahan mulai meningkat yang kemudian berubah menjadi suara-suara, lalu aliran-aliran, mengobrak-abrik buku-buku fikih dan sejarah, menyusun akal dan logika, serta menyeru seluruh umat Muslim menggunakan akal dan pikiran untuk kemajuan mereka sendiri.

Kembali ke pertanyaan besar di atas: Apakah Islam benar-benar anti-perempuan? Apakah kekerasan terhadap perempuan yang menjadi ciri masyarakat-masyarakat patriarkhis dari umat Muslim, yang bahkan diatur di dalam undang-undang mereka, mempunyai landasan yang kuat di dalam syariat?

Pelayaran harus dilakukan! Sebagaimana Prof. Fatimah Mernissi yang berdiri dengan takjub di pinggir pantai, kita juga berdiri dengan takjub dan kagum pada lautan referensi agama yang luas itu, lalu sebuah pertanyaan spesifik muncul di kepala: di mana kita harus memulai? Dan untuk itu kita perlu berlayar, dalam perjalanan panjang yang mungkin akan memakan waktu bertahun-tahun atau bahkan seumur hidup. Kita mungkin keluar darinya dengan sia-sia dan tanpa menghasilkan sesuatu yang baru, tetapi setidaknya kita sudah bekerja keras dan ini adalah hak kita; jika kita benar, kita mendapatkan dua pahala. Dan jika kita salah, kita akan mendapatkan satu pahala untuk kerja keras kita. Tetapi kita harus mengucapkan kata-kata yang dapat membuat kepala kita berdengung karena takut ditenggelamkan oleh keheningan.

Pertanyaan mendesak lainnya: haruskah kajian dibatasi pada masalah-masalah syariat berdasarkan pandangan para ulama agama, ataukah hak kita—khususnya kaum perempuan yang menerima hukum berlandaskan pendapat-pendapat yurisprudensial dari berbagai referensi dan orientasi—untuk mengkaji dasar-dasar hukum yang membatasi hidup perempuan dan mendiskriminasi mereka?

Jawabannya, ini bukan hanya hak kita, tetapi kewajiban kita, selama kita mampu menelusuri dasar-dasar tersebut. Kitalah yang hidup di zaman ini, dan kitalah yang dituntut untuk menghadapi tantangan di sebuah negara di mana mayoritas penduduknya menganut agama Islam, dan peradaban Arab-Islam menjadi sumber utama yang mempengaruhi cara pandang dan pola hidup mayoritas masyarakat Muslim di dalamnya.

Apa metode yang benar untuk digunakan dalam kajian? Apa cara untuk menemukan yang benar dari yang salah, hukum yang bersifat sementara dan hukum yang bersifat permanen, yang muhkam dan yang mutasyâbih? Bukankah akal dan logika adalah ukurannya?

Proses pengaburan dan pemalsuan terbesar telah dipraktikkan kepada perempuan di dalam masyarakat kita. Beberapa orang mengutip potongan dari sebuah perkataan yang diucapkan di sana-sini, tanpa menempatkannya dalam konteks umumnya, atau sebuah peristiwa dalam konteks historisnya, dan kemudian disebarluaskan sebagai teks-teks suci yang membenarkan praktik-praktik kekerasan terhadap perempuan yang berlangsung selama lima belas abad.

Pendekatan yang mungkin bisa digunakan dalam mempelajari hukum Islam dan petunjuk-petunjuknya yang terkait dengan perempuan adalah:

Pertama, tidak ada keraguan bahwa al-Qur`an adalah konstitusi pertama yang menjadi landasan hukum Islam. Untuk memahaminya, harus mengetahui ayat-ayat al-muhkamât dan al-mutasyâbihât, serta mengetahui asbâb al-nuzûl dan konteks historis.

Kedua, mengadopsi hadits dan apa yang disebutkan di dalam sîrah nabawîyyah (sejarah hidup Nabi) dengan cara yang tidak bertentangan dengan al-Qur`an dan esensi keyakinan yang berlandaskan keadilan.

Ketiga, tidak mungkin menerima upaya-upaya interpretatif/ijtihadi yang bertentangan dengan teks suci, akal, dan logika.

Keempat, menggunakan pembacaan kontekstual historis, yaitu dengan memahami makna dengan perspektif yang luas dari seluruh konteks sejarah dan sosial di masa awal dakwah Islam. Dengan pembacaan ini, maka dimungkinkan untuk membedakan “dalam kerangka hukum dan syariat, misalnya antara apa-apa yang muncul karena turunnya wahyu dan apa-apa yang merupakan bagian dari adat dan norma agama atau sosial pra-Islam. Dimungkinkan juga untuk membedakan antara apa-apa yang diterima Islam sepenuhnya beserta seluruh perkembangannya, seperti haji, misalnya, dan apa-apa yang diterimanya sebagian sembari menunjukkan pentingnya melakukan pembaharuan bagi umat Muslim, seperti masalah perbudakan, masalah hak-hak perempuan, dan peperangan”.[1]

Pendekatan ini telah dikembangkan oleh para pemikir abad renaisans Islam. Saat itu “interpretasi rasional yang dirintis oleh Muhammad Abduh menjadi pintu masuk bagi para pembaharu untuk memahami Islam. Dari sini Qasim Amin melihat kebutuhan akal dalam memahami agama kepada prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan keadaban”.[2] Sekitar tiga puluh tahun setelah Qasim Amin, al-Thahir al-Haddad muncul mengembangkan wacana tentang perempuan dan melakukan lompatan besar dengan menghadirkan interpretasi yang sama sekali berbeda atau pembacaan lain terhadap Islam dan teks-teksnya, serta menawarkan konsep relativisme historis sebagai interpretasi terhadap hukum-hukum mengenai perempuan.[3]

Nasr Hamid Abu Zaid mengembangkan konsep ini sembari mengajak untuk melakukan “pembacaan baru yang berangkat dari landasan kokoh yang merupakan tujuan esensial syariat, yaitu keadilan”, dan mengajak untuk menemukan sesuatu yang esensial dan yang tetap di balik realitas yang terus mengalami perubahan.[4]

Telah banyak pemikir yang berusaha mengurai masalah-masalah hukum Islam sebagai hasil ijtihad para ulama sesuai zamannya, pelepasan peristiwa historis dari konteksnya, dan interpretasi teks tanpa melihat sebab-sebab dan motif-motifnya, sehingga membuat setiap individu Muslim tenggelam di dalam lautan ratusan ribu atau bahkan jutaan buku fikih, yang menjadikan usahanya untuk memahami agamanya hampir mustahil. Karenanya ia meminjamkan akalnya kepada para ahli fikih yang pandangan dan penafsiran mereka mengenai agama naik tingkat dari yang semula hanya berupa produksi nalar manusia menjadi teks-teks suci. Dan saat ini pandangan-pandangan mereka diterapkan terhadap seluruh umat Muslim tanpa perdebatan atau diskusi, bahkan meskipun bertentangan dengan teks-teks suci. Siapapun yang berani menggunakan akalnya dalam suatu masalah, bahkan walaupun itu bersifat duniawi, akan dituduh kafir dan pelaku bid’ah.

Semua orang terdiam, pikiran mereka membeku, dan kita sekarang diatur oleh ijtihad manusia, yang telah ditutup seribu tahun lalu, yang berarti bahwa pemikiran Islam dibekukan selama periode ini, yang melahirkan kaidah bahwa pembahasan mengenai hukum-hukum terkait masalah-masalah baru duniawi dan perkembangannya semata-mata hanya dikembalikan kepada teks-teks fikih, bukan kepada al-Qur`an yang merupakan dasar dan sumbernya.

Kalau kita membaca pasal-pasal di dalam undang-undang ahwâl syakhshîyyah di seluruh negara berpenduduk mayoritas Muslim, kita menemukan semuanya merujuk kepada teks-teks fikih. Fikih berarti ketetapan-ketetapan manusiawi yang telah menjadi teks-teks suci dari waktu ke waktu dan membekukan akal, tidak dapat diubah atau dilanggar. Sebagian besar ketentuan umum dirumuskan berdasarkan pendapat-pendapat fikih yang hukumnya bersumber dari suatu peristiwa khusus dalam kehidupan Nabi, atau dari cara salah seorang Khulafâ` Râsyidîn (Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali) dalam menyelesaikan suatu masalah, tanpa melihat bahwa hukum berbeda-beda dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya, sebab cara penanganan suatu perkara berbeda-beda dari satu kondisi ke kondisi yang lain.

Dalam konteks ini, al-Thahir al-Haddad mengatakan, “Sekitar dua puluh tahun dari kehidupan Nabi Saw. dalam merintis Islam, mencabut dan bahkan membatalkan teks itu harus dengan teks, dan hukum harus dengan hukum.”[5]

Perubahan keadaan meniscayakan perubahan hukum. “Hukum apapun yang dibuat sebagai pengakuan atau perbaikan terhadap suatu keadaan, akan tetap ada selama keadaan itu masih ada. Jika keadaan itu pergi, maka hukumnya akan pergi bersamanya, dan kepergiannya sama sekali tidak merugikan Islam. Dan itu seperti masalah perbudakan, poligami dan semacamnya, yang bahkan tidak bisa dianggap sebagai bagian dari Islam.”[6]

Tujuan utama dari adanya penafsiran-penafsiran adalah keadilan, kesesuaian hukum dengan situasi terkini, dan esensi Islam. Dalam hal ini kita harus menetapkan prinsip-prinsip dasar berikut dalam melakukan pembahasan terkait persoalan hukum:

Pertama, prinsip dasar yang harus diperhatikan adalah bahwa keyakinan adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, tujuannya adalah keadilan antar manusia, dan tidak boleh membawa kezhaliman kepada siapapun. Sehingga aturan apa pun yang di dalamnya terlihat ketidakadilan yang menindas manusia, harus dibaca dan dipahami kembali dalam kerangka situasi dan kondisi yang melingkupinya.

Kedua, prinsip dasar ini telah memanggil sejumlah ulama untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an dengan berpijak pada asbâb al-nuzûl, sebagaimana beberapa pengumpul hadits menyatakan pendapat mereka tentang suatu hadits, menggambarkannya sebagai shahîh (benar) atau dha’îf (lemah), berdasarkan keyakinan mereka bahwa hadits tersebut sesuai dengan cara hidup Nabi atau tidak, dan berdasarkan prinsip al-jarh wa al-ta’dîl untuk menyelidiki sejauh mana kredibilitas para perawi yang kepada mereka rantai transmisi dikaitkan. Inilah kaidah yang harus diadopsi untuk melihat validitas suatu hadits, yaitu sejauh mana kesesuaian hadits itu dengan akidah Islam secara keseluruhan.

Ketiga, perjalanan hidup Amirul Mukminin, Umar ibn al-Khatthab, sebagai pemelihara urusan umat Muslim, patut ditiru. Ia berpendapat bahwa hukum-hukum sementara (al-ahkâm al-mu`aqqatah) tidak bisa bertahan lama karena perubahan keadaan, dan tidak dapat mengikuti perkembangan peristiwa, sehingga harus diubah, selama kaidah dalam melakukannya adalah untuk menjaga tujuan-tujuan syariat yang adil (maqâshid al-syarî’ah al-‘âdilah).

Keempat, fase sejarah, kondisi-kondisi dan tantangan-tantangannya harus dilihat. Apa-apa yang ada pada masa awal dakwah Islam tentu berbeda dari hari ini dengan kadar sekitar seribu empat ratus tahun dari perkembangan dalam kehidupan manusia.

_______________

[1]. Nasr Hamid Abu Zaid, Dawâ`ir al-Khawf: Qirâ`ah fî Khithâb al-Mar`ah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 2004, hal. 202
[2]. Ibid., hal. 65
[3]. Ibid., hal. 67
[4]. Ibid., hal. 68 – 69
[5]. Al-Thahir al-Haddad, Imra`atunâ fî al-Syarî’ah wa al-Mujtama’, Kairo: Dar al-Kitab al-Mishri; Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 2011, hal. 31
[6]. Ibid., hal. 39