Pos

Khutbah Fesbukiyah

Oleh Jamaluddin Mohammad

Waba’du (ingdalem sa’wise maca bismillah, alhamdulillah, salawat lan salam)
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah…

Akhir-akhir ini mata kita disuguhi banyak berita pejabat- pejabat yang terjerat kasus korupsi. Padahal, kalau melihat latar belakang kehidupan mereka bukanlah orang miskin. Mereka hidup berkecukupan, bahkan tak sedikit yang kaya raya. Lantas, kenapa mereka korupsi? Orang rakus, kata al-Imam Abu Hanifah, meskipun air laut diminum sampai habis tetap saja merasa kehausan. Jika dunia ini ibarat air laut, ia tak akan cukup mengisi perut orang-orang rakus dan serakah. Mereka akan terus mencari dan menumpuk harta dengan cara apapun, baik cara “biadab” (merampok) maupun “beradab” (korupsi). Untuk pejabat-pejabat rakus, gaji tinggi saja tidak cukup untuk menghentikan laju korupsi. Di sinilah perlunya merubah “mindset”, terutama mindset melihat dan memperlakukan dunia.

Dunia bukanlah segalanya dan bukan akhir tujuan kita. Dalam filsafat Jawa “urip mung mampir ngombe” (hidup hanyalah mampir sejenak untuk minum). Menurut al-Imam al-Ghazali, ada banyak pintu menuju akhirat. Kita baru berada di pintu pertama (dunia). Kita akan memasuki pintu kedua (kematian) dan pintu ketiga (akhirat). Jangan berhenti pada pintu pertama karena kita tak akan menemukan apa-apa.

Di sinilah pentingnya “zuhud”. Zuhud dalam makna paling moderat adalah bersikap “acuh”, “emoh”, “tak peduli” terhadap dunia, tapi tidak anti terhadap dunia. Jangan “baper” menghadapi dunia. Biarlah ia menjadi bagian dan berada di sekeliling kita, tapi bukan “diri kita” seutuhnya. Jika kebutuhan (basic need) manusia terdiri dari tiga tingkatan: dharuriyat (primer), hajjiyat (sekunder), dan tahsiniyat (tersier), maka zuhud paling moderat berhenti pada tingkat kedua; cukup sandang, pangan, dan papan. Jika butuh makan dan minum, makan dan minumlah secukupnya. Jika butuh rumah untuk berlindung dan berteduh, belilah rumah seadanya, dan seterusnya. Singkatnya, hiduplah sederhana. Tidak miskin dan tidak kaya. Kecuali miskin sebagai “pilihan”. Zuhud pada tingkat tertinggi terhenti pada dharuri.

Ketika di pesantren saya diajari hidup “prihatin”: menjalani hidup secukupnya. Prihatin adalah sejenis olah batin agar tidak rakus terhadap dunia. Prihatin adalah sebuah sikap dan prinsip hidup menghadapi kehidupan materi (dunia). Prihatin bukanlah “pasrah”,“menyerah”, atau “kalah” pada hidup. Jika hidup kita dikuasai dan dikendalikan dunia, maka perlu prihatin: mengolah dan memenej hati dan pikiran agar kembali pulih dan bisa menjaga jarak dengan dunia. Saya pernah diijazahi doa yang menurut saya penting: “Allahumma urzuqni rizqan Taliban ghaira matlub wa ghaliba ghaira maghlub”. Kita meminta kepada Allah SWT agar dikejar-kejar rejeki (dunia) dan bisa menguasainya.

Ma’asyiral muslimim rahimakumullah…

Harta tak perlu berlimpah yang penting “berkah”. Berkah (barakah) ini konsep abstrak tapi bisa dipahami dan bisa dimengerti secara kongkrit. Singkatnya begini, Anda hidup sederhana tapi bahagia. Berarti hidup Anda berkah. Jika ada orang kaya raya tapi selalu gelisah dan tersiksa, berarti harta benda dan hidupnya tidak berkah. Orang pesantren biasa memaknai berkah itu contoh sederhananya begini: makan satu “tabsi” (nampan besar terbuat dari besi atau pelastik) secara bersama-sama tapi sudah merasa kenyang dan nikmat (satu tabsi untuk 5-10 orang yang kalau diukur dengan piring paling-paling satu orang hanya kebagian sepertiga piring). Berarti makanan itu “berkah”, benilai, berkualitas, ziyadah al-khair (bertambah kebaikan).

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah…

Sampai di sini dulu khutbah fesbukiyyah kita semoga Anda terhibur. Jazakumullah ahsanal jaza. Wassalam