Pos

Kisah para perempuan Afganistan yang ‘melawan tradisi’ demi hak atas identitas pribadi

  • Mahjooba Nowrouzi
  • BBC News Afganistan
Afghan women wait to cast their ballot at a polling station in Mazar-i-sharif April 5, 2014.
Mayoritas perempuan Afganistan mengenakan burka untuk menutup wajah mereka.

Seorang perempuan di kawasan barat Afganistan, sebut saja Rabia, mengalami demam tinggi. Dia memeriksakan diri ke dokter, lalu didiagnosis mengidap Covid-19.

Rabia pulang ke rumah dalam kondisi lemah dan demam. Dia memberi resep dokter kepada suaminya agar dia bisa segera meminum obat.

Namun ketika suaminya melihat nama Rubia tertera di resep itu, dia langsung memukulinya. Alasannya, Rubia memberi tahu namanya kepada laki-laki yang tak dikenal.

Kisah Rubia, yang dikisahkan kepada BBC melalui temannya, bukan satu-satu di Afganistan. Di negara itu, keluarga sering memaksa perempuan untuk merahasiakan nama dari orang asing, termasuk dokter.

Mengungkap nama perempuan kepada publik dianggap perbuatan keliru dan bisa dikategorikan pehinaan. Banyak laki-laki Afganistan menolak menyebut nama saudara perempuan, istri, atau ibu mereka.

Perempuan pada umumnya hanya disebut sebagai ibu, anak perempuan atau saudara perempuan laki-laki tertua dalam keluarga mereka.

Hukum Afghanistan menyatakan, hanya nama ayah yang harus dicatat dalam akta kelahiran seorang bayi perempuan.

Masalah dimulai ketika seorang bayi perempuan dilahirkan. Butuh waktu lama baginya untuk diberi nama.

Ketika seorang perempuan menikah, namanya tidak tertera di undangan pernikahannya. Ketika sakit, namanya tidak muncul di resep dokter.

Dan saat dia meninggal, nama perempuan itu tidak muncul pada sertifikat kematiannya, bahkan di atas batu nisannya.

Namun beberapa perempuan Afghanistan kini membuat gerakan agar bisa menggunakan nama mereka secara bebas. Mereka menggunakan slogan ‘Where Is My Name?’ atau ‘Di mana nama saya?’.

Kampanye itu dimulai tiga tahun lalu, ketika Laleh Osmany sadar bahwa dia muak dengan wanita tidak mendapatkan apa yang dia anggap sebagai ‘hak dasar’.

“Gerakan ini semakin dekat untuk mencapai tujuan, yaitu membujuk pemerintah Afghanistan mencatat nama ibu pada akta kelahiran,” kata Osmany, 28 tahun.

Laleh Osmany

Laleh Osmany memulai gerakannya tiga tahun lalu.

Gerakan ini sepertinya mulai meraih hasil positif dalam beberapa minggu terakhir.

Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani, disebut telah menginstruksikan Pusat Otoritas Pencatatan Sipil Afghanistan (Accra) mempertimbangkan revisi Undang-Undang Registrasi Penduduk.

Kabar itu muncul dari seorang pejabat dekat sang presiden.

Revisi beleid itu disebut akan mengizinkan perempuan mengungkap nama mereka pada kartu identitas dan akta kelahiran anak-anak mereka.

BBC mengetahui bahwa beleid itu telah diubah dan sudah diteruskan ke Kantor Urusan Administrasi Presiden (OAA).

Fawzia Koofi, aktivis hak perempuan sekaligus mantan anggota parlemen Afghanistan menyambut baik perkembangan itu. Ia berkata, perubahan itu seharusnya terjadi bertahun-tahun yang lalu.

“Memasukkan nama perempuan pada kartu identitas nasional di Afghanistan bukanlah masalah hak perempuan, itu adalah hak hukum, hak asasi manusia,” ujarnya.

“Setiap individu yang ada di dunia ini harus memiliki identitas.”

Namun para perempuan pengusung gerakan ini khawatir upaya mereka ditentang secara keras oleh anggota parlemen yang konservatif. Beberapa dari mereka telah menyatakan ketidaksetujuan.

Laleh Osmany sepakat dengan perintah presiden untuk revisi undang-undang tersebut. Namun dia berkata, itu bukanlah akhir dari pertarungan.

“Bahkan jika parlemen mengesahkan undang-undang dan Presiden Ghani mengeluarkan dekrit pengesahan pencantuman nama ibu di KTP, kami akan terus berjuang sampai rasa malu hilang dari perempuan,” kata Osmany.

Campaign poster for WhereIsMyName?

Gerakan yang digagas Osmany bertujuan agar perempuan meraih kembali hak atas identitas mereka.

Tiga tahun lalu, setelah Osmany memulai kampanyenya tiga tahun lalu, selebritas Afghanistan mulai memberikan dukungan, termasuk penyanyi dan produser musik Farhad Darya serta penulis lagu Aryana Sayeed.

“Ketika kita merujuk perempuan berdasarkan peran mereka, identitas asli mereka hilang,” kata Darya.

“Ketika pria menyangkal identitas perempuan, lama-kelamaan perempuan mulai menyensor identitas mereka sendiri,” tuturnya.

Sayeed, seorang aktivis perempuan dan salah satu penyanyi paling terkenal di Afghanistan, menyebut perempuan berhak atas identitas independen.

“Seorang perempuan, pertama-tama, adalah manusia, kemudian istri, saudara perempuan, ibu atau anak perempuan Anda. Dia memiliki hak untuk mendapat pengakuan atas identitasnya,” kata Sayeed.

Namun Sayeed khawatir gerakan itu bakal menempuh jalan panjang untuk mencapai target.

Farhad Darya and his wife, Sultana

Farhad Darya dan istrinya, Sultana, tinggal di Amerika Serikat. Mereka berkampanye soal hak-hak perempuan Afganistan.

Selain dukungan, Osmany menerima banyak komentar kritis di media sosial. Beberapa orang mengklaim menyembunyikan nama saudara perempuan untuk menjaga kedamaian keluarga mereka.

“Lakukan apa yang menurut Anda paling penting,” tulis seorang warganet.

Sejumlah laki-laki menuduh Osmany ingin namanya tertera di kartu identitas anak-anaknya karena dia tidak tahu siapa ayah mereka.

Banyak perempuan Afganistan juga tidak mendukung gerakan itu.

“Saat seseorang menanyakan nama saya, saya harus memikirkan kehormatan saudara laki-laki saya, ayah saya dan tunangan saya,” kata seorang wanita dari Provinsi Herat, yang berbicara kepada BBC tanpa menyebut nama.

“Saya ingin disebut sebagai putri ayahku, saudara perempuan kakakku,” katanya. “Dan di masa depan, saya ingin disebut sebagai istri suamiku, kemudian ibu dari putraku.”

‘Bulan dan matahari belum melihat mereka’

Afghanistan terus menjadi negara yang menyanjung patriarki. Sosiolog asal Afghanistan, Ali Kaveh, menilai ‘kehormatan laki-laki’ memaksa perempuan tidak hanya menyembunyikan tubuh, tapi juga nama mereka.

“Dalam masyarakat Afghanistan, perempuan terbaik adalah mereka yang tidak terlihat dan didengar. Seperti kata pepatah, ‘matahari dan bulan belum melihatnya’,” kata Kaveh.

“Laki-laki yang paling keras dan paling tangguh adalah yang paling dihormati dan terhormat di masyarakat. Jika anggota keluarga perempuan mereka liberal, mereka dianggap tidak bermoral dan tidak terhormat.”

Maryam Sama checking her 2018 election campaign leaflets

Anggota parlemen Afganistan, Maryam Sama, mendukung gerakan menutut hak identitas para perempuan.

Agar perempuan Afghanistan bisa memiliki identitas independen, mereka perlu kemandirian di bidang finansial, sosial, dan emosional, serta dukungan dari parlemen.

Anggapan itu diutarakan Shakardokht Jafari, seorang fisikawan medis asal Afghanistan yang bekerja di Surrey Technology Centre, Inggris.

“Di negara seperti Afghanistan, pemerintah harus mengambil tindakan hukum terhadap mereka yang menyangkal identitas perempuan,” kata Jafari.

Sejak rezim Taliban jatuh dua dekade lalu, komunitas nasional dan internasional berusaha membawa perempuan kembali ke kehidupan publik.

Namun perempuan seperti Rabia masih dilecehkan oleh suami karena memberi tahu nama mereka kepada dokter. Ada risiko yang dihadapi perempuan Afganistan jika mereka berbicara secara terbuka menentang tradisi.

Di Afganistan, para perempuan akan memiliki opsi lebih baik saat keluar negeri. Farida Sadaat adalah seorang pengantin anak. Dia melahirkan bayi pertamanya pada usia 15 tahun.

Sadaat dan suaminya kemudian berpisah. Dia lantas pindah ke Jerman dengan keempat anaknya.

Sahar Samet holding a poster promoting the WhereIsMyName? campaign

Sahar Samet, seorang pengungsi asal Afganistan di Swedia, menyatakan mendukung gerakan ini dari jauh.

Sadaat berkata kepada BBC, suaminya tidak hadir dalam kehidupan anak-anaknya, baik secara fisik maupun emosional. Dia yakin tidak memiliki hak untuk menuliskan namanya pada kartu identitas penduduk Afghanistan.

“Saya membesarkan anak-anak saya sendirian. Suami saya menolak menceraikan saya sehingga saya tidak bisa menikah lagi,” katanya.

“Saya meminta presiden Afghanistan untuk mengubah undang-undang dan mencatat nama ibu pada akta kelahiran dan kartu identitas anak.”

Sahar, seorang pengungsi Afganistan di Swedia, pernah bekerja sebagai jurnalis lepas tetapi sekarang bekerja di panti jompo.

Sahar berkata, dia mendukung gerakan ini dari jauh, sejak kampanye hak perempuan itu dimulai. Ketika Sahar pertama kali mendengar gagasan itu, dia memutuskan untuk mengirim pesan di media sosial.

“Saya bangga menulis bahwa nama saya Sahar,” tulisnya. “Nama ibuku adalah Nasimeh, nama nenek keibuanku adalah Shahzadu, dan nama nenek dari pihak ayahku adalah Fukhraj.”

Sumber: https://www.bbc.com/indonesia/dunia-53535709?at_custom3=BBC+Indonesia&at_custom4=547788DC-CF95-11EA-9E7A-EEC3923C408C&at_custom2=twitter&at_medium=custom7&at_custom1=%5Bpost+type%5D&at_campaign=64