Pos

Menyuar Binar: Transisi Energi Berkeadilan yang Tersiar dengan Ikhtiar

Seorang sahabat Nabi mengatakan, saya pernah ikut berperang bersama-sama Nabi. Ketika itu, saya mendengar beliau bersabda, bahwa manusia itu sama-sama berhak (tidak boleh memonopoli) atas tiga hal, yaitu padang rumput, air, dan api” (H.R. Ahmad dan Abu Daud).

Lafaz hadis di atas menyuguhkan pesan larangan memonopoli sumber daya alam khususnya padang rumput, air, dan api. Islam sangat melarang adanya praktik penguasaan sumber daya alam yang dapat menyulitkan warga lain. Karena tiga hal tersebut merupakan kebutuhan primer semua umat. Lantas bagaimana penerapan energi di tengah gempuran zaman yang serba cepat ini? Apakah semua orang akan mendapat utilitas yang setara?

Bicara soal energi di zaman modern ini, realitanya menjadi kebutuhan primer yang memiliki esensi kuat dalam beragam aktivitas manusia seperti penerangan rumah, peralatan rumah tangga, dan transportasi. Jika menyelami jauh sebelumnya, pada zaman permulaan manusia masih menggunakan energi tradisional dan sederhana (hajiyah) seperti kayu bakar, arang, dan minyak tanah. Energi sejak lama tersebut masifnya digunakan di daerah yang memiliki keterbatasan sumber energi modern.

Kendati demikian, pentingnya kerangka energi berkeadilan yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga mengedepankan mutu inklusivitas dengan bijak. Dalam perspektif keagamaan, energi dicap sebagai resistensi dalam kehidupan spiritual, alam semesta, dan aksi manusia yang diturunkan oleh Tuhan untuk kita jaga secara bijak.

Jika ditilik lebih lagi, dalam Islam terdapat konsep khalifah yang berarti manusia harus mampu merepresentasikan sebagai pemimpin di bumi yang selalu menjaga nilai keberimbangan alam dan tanggung jawab moral (mizan). Dibalik itu, pada ayat 30 surat al-Baqarah juga menekankan peran manusia dalam menjaga tanggung jawab dan keseimbangan alam dengan tidak menciptakan sesuatu secara sewenang-wenang yang belum tentu diterima oleh khalayak ramai (Rasyad, 2022).

Selain itu, perlu juga menyuntikkan asas keadilan dan keberlanjutan dalam aksi nyata pemanfaatan sumber daya, khususnya energi. Namun, kesiapan setiap daerah khususnya di Indonesia dalam menempuh transisi energi ini masih menjadi tantangan yang signifikan.

Dilansir dari Theconversation.com, hasil analisisnya memaparkan beberapa daerah yang tidak siap seperti Kepulauan Bangka Belitung, Papua Barat, Kalimantan Utara, Bengkulu, Maluku, Jambi, Papua, dan Sulawesi Tengah. Faktor daya serap pemerintahan yang terbatas, kekebalan ekonomi yang kecil, dan dorongan inisiasi energi bersih yang minim merupakan karakteristik dari daerah-daerah tersebut. Seperti yang agama anjurkan krusialnya mengedepankan hak-hak kelompok marjinal.

Hal ini mengisyaratkan bahwa semua golongan masyarakat memiliki hak yang sama dalam pemenuhan akses energi bersih terjangkau. Berkaca dari daerah saya tepatnya di Kota Tangerang, pemerintah telah meluncurkan penggunaan Penerangan Jalan Umum (PJU) panel surya upaya meminimalisasi emisi dengan tujuan bergeser ke energi terbarukan yang lebih eco friendly.

Terdapat dua program yakni Tangerang Terang dengan 33.448 titik dan Kampung Terang dengan 97.872 titik. Program tersebut digalakan oleh Dishub dan pihak kecamatan setempat. Di samping nilai plus dari ramah lingkungan, PJU ini pastinya memiliki kekurangannya tersendiri yakni perlu pengecekan ketika cuaca ekstrem, proses penggantian baterai secara berkala, dan perlunya biaya instalasi yang overpriced.

Beralih ke aksi yang lebih spesifik, kita dapat bercermin pada Kegiatan Program Kemitraan Masyarakat yang digalakan oleh Christine Widyastuti, Oktaria Handayani, dan Tony Koerniawan mahasiswa Fakultas Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan, Institut Teknologi PLN. Mereka merangkai aksi ini sebagai wujud energi mandiri listrik di Masjid Al-Falah Serua Ciputat, Tangerang Selatan yang berupa pemasangan Penerangan Jalan Umum dengan pemanfaatan tenaga surya di tiga titik penempatan yang strategis yaitu jalan menuju masjid.

Selain itu, mereka juga berhasil menganalisis dari segi ekonomi dengan cara menggarap perbandingan pengeluaran antara lampu PJU tenaga surya dan lampu PJU dengan sumber listrik rumah tangga. Hasil perhitungan dan pengoperasian lampu pijar selama tiga tahun mereka menunjukan lampu PJU tenaga surya lebih minim pengeluaran biaya dibandingkan PJU listrik rumah tangga. Karena biaya untuk lampu PJU listrik rumah tangga memerlukan sebesar Rp 1.211.055,2, sedangkan lampu PJU tenaga surya hanya memerlukan biaya Rp 900.000,00. Sebagian biaya PJU lampu pijar digunakan untuk membayar biaya listrik.

Selain itu, peran komunitas lokal juga super penting dalam pengembangan demokratisasi energi. Karena hal itu telah menjadi sendi utama dalam proses peralihan dari energi tidak terbarukan ke energi terbarukan. Lantas komunitas atau masyarakat lokal bisa berkontribusi dengan cara apa? Lalu apa hak mereka? Merujuk pada Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) pasal 59, masyarakat berhak aktif menyuarakan saran atau inisiatif penyediaan dan pemanfaatan energi dalam penyelengaraan transisi energi tersebut. Tidak hanya itu, masyarakat juga berhak mendapatkan informasi, manfaat ekonomi, dan kesempatan kerja dalam penyelengaraanya. Oleh karena itu, pada aktivitas pembangunan termasuk transisi energi diperlukan keterlibatan penuh dari komunitas lokal agar upaya mencapai demokrasi energi itu semakin dekat.

Pada hakikatnya, sebagai umat beragama seyogianya memiliki kesadaran dan tanggung jawab moral yang penuh untuk mengurangi dampak lingkungan yang negatif berasaskan nilai keadilan dalam transisi energi tersebut. Program yang digalakkan mahasiswa tadi bisa menjadi refleksi bagi para pemuda terutama mahasiswa untuk mengusung aksi nyata berdampak terhadap masyarakat, khususnya daerah yang masih tertinggal dengan fenomena transisi energi tersebut serta mengedepankan critical and creative thinking. Saya juga percaya bahwa aksi yang berhasil itu tidak selalu langsung gerakan yang besar, tetapi aksi yang berani memulainya.

 

Referensi

Achmad Hanif Imaduddin, Researcher. (2024, October 20). Studi: 94% provinsi di Indonesia belum SIAP melakukan Transisi Energi terbarukan. The Conversation. https://theconversation.com/studi-94-provinsi-di-indonesia-belum-siap-melakukan-transisi-energiterbarukan-235443#:~:text=Daerah%20yang%20paling%20tidak%20siap&text=Mereka%20adalah%20Kepulauan%20Bangka%20Belitung,inisiatif%20energi%20bersih%20yang% 20minim

Akbar, M. R. U. (n.d.). Transisi Energi berbasis komunitas Lokal. detiknews. https://news.detik.com/kolom/d-7398095/transisi-energi-berbasis-komunitas-lokal

Irfan, A. (2024, July 13). Penggunaan Pju Tenaga Surya di tangerang bisa turunkan emisi. Antara News.

https://www.antaranews.com/berita/4196466/penggunaan-pju-tenaga-surya-di-tangerang-bisa-turunkan-emisi

Lala, L. (2023, January 17). Memandang Energi Terbarukan Dalam Perspektif islam. Mubadalah. https://mubadalah.id/memandang-energi-terbarukan-dalam-perspektif-islam/

Rasyad, R. (2022). Konsep Khalifah Dalam al-Qur’an (Kajian Ayat 30 Surat al-Baqarah Dan Ayat 26 surat shaad). Jurnal Ilmiah Al-Mu’ashirah, 19(1), 22–22. https://doi.org/10.22373/jim.v19i1.12308

Septania, N. R. (2023, February 28). Kelebihan Dan Kekurangan Lampu Pju Solar Cell. Philips Bekasi.

https://philipsbekasi.id/kelebihan-dan-kekurangan-lampu-pju-solar-cell/#:~:text=Mudah%20 Dipasang%20dan%20Dirawat,dilakukan%20pengecekan%20dan%20pembersihan%20lampu

Widyastuti, C., Handayani, O., & KOERNIAWAN, T. (2021). Implementasi Teknologi Energi Surya Sebagai Wujud Mandiri Energi Listrik di masjid al-falah serua ciputat Tangerang Selatan. TERANG, 4(1), 98–98. https://doi.org/10.33322/terang.v4i1.1139

Peran Kekhalifahan Keluarga dalam Krisis Iklim


Manusia sebagai Khalifah di Bumi: Tanggung Jawab Menjaga Lingkungan dalam Islam

Dalam ajaran Islam, manusia diberi amanah oleh Allah SWT sebagai khalifah di bumi. Ini berarti manusia bertugas memelihara dan menjaga kelestarian bumi beserta isinya. Dalam menghadapi ancaman krisis iklim yang semakin parah, keluarga menjadi tempat pertama dan utama untuk menanamkan tanggung jawab menjaga lingkungan. Tindakan ini harus selaras dengan nilai-nilai Islam yang merupakan fitrah manusia. Literasi iklim yang berlandaskan nilai-nilai Islam dapat melahirkan generasi yang tidak hanya peduli terhadap lingkungan, tetapi juga meyakini bahwa menjaga alam adalah bentuk syukur kepada Allah SWT yang bernilai ibadah—hablum minal alam.

Literasi Iklim: Upaya Menjalankan Amanah dari Allah SWT

Berbagai ayat dalam Al-Qur’an menekankan pentingnya menjaga kelestarian bumi. Salah satu ayat yang relevan adalah Surah Al-Baqarah ayat 30, yang menjelaskan peran manusia sebagai khalifah di bumi. Allah SWT menjadikan manusia sebagai representasi-Nya di bumi, bertugas untuk menjaga alam dan memastikan kelestariannya. Menanamkan literasi iklim di rumah adalah salah satu cara untuk menjalankan amanah besar ini.

Langkah awal untuk melahirkan generasi masa depan yang tangguh dalam menghadapi krisis iklim adalah melalui literasi iklim di rumah. Dengan memperkenalkan nilai-nilai keberlanjutan dan tanggung jawab terhadap lingkungan, keluarga dapat menjadi agen perubahan dalam mengupayakan adaptasi dan mitigasi terhadap krisis iklim. Anak-anak yang tumbuh dengan pemahaman tentang isu ini diharapkan lebih siap berkontribusi dalam menjaga kelestarian bumi.

Di rumah, literasi iklim dapat ditanamkan melalui kebiasaan sehari-hari, seperti menghemat air, bijak dalam menggunakan listrik, tidak menyia-nyiakan makanan, memilah sampah, dan mengurangi penggunaan barang sekali pakai. Peran orang tua, baik ibu maupun ayah, sama pentingnya dalam mengajarkan kebiasaan ini. Pendidikan perubahan iklim yang dimulai dari keluarga memberikan pemahaman kepada anak-anak bahwa menjaga bumi bukan hanya tugas pemerintah atau organisasi lingkungan, tetapi tanggung jawab setiap individu sebagai wujud syukur kepada Allah SWT atas segala sumber daya yang diberikan.

Kesetaraan Gender dalam Islam: Tanggung Jawab Bersama dalam Literasi Iklim

Islam menekankan kesetaraan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks keluarga, baik ibu maupun ayah memiliki kewajiban yang sama dalam mendidik anak. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ini berarti tanggung jawab menjaga kelestarian bumi juga merupakan tanggung jawab bersama, antara laki-laki dan perempuan.

Dalam pendidikan literasi iklim, ayah dan ibu dapat berperan aktif dan kolaboratif. Ayah dapat menjadi panutan dalam menjalankan gaya hidup ramah lingkungan, seperti bertanggung jawab dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Ibu dapat mengajarkan bahwa menjaga alam adalah implementasi dari hablum minal alam (hubungan dengan alam), yang penting dipahami sejak dini. Dengan demikian, kesetaraan gender tidak hanya berlaku dalam peran domestik, tetapi juga dalam menjalankan amanah kekhalifahan di muka bumi.

Krisis Iklim dan Larangan Berbuat Kerusakan di Bumi

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT secara tegas melarang manusia berbuat kerusakan di bumi. Surat Al-A’raf ayat 56 berbunyi, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah [diciptakan] dengan baik; dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut [tidak akan diterima] dan harapan [akan dikabulkan]. Sesungguhnya rahmat Allah SWT dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” Ayat ini menjadi dalil bagi umat Islam tentang kewajiban menjaga kelestarian alam dan mencegah kerusakan, seperti eksploitasi sumber daya secara berlebihan.

Dalam pendidikan literasi iklim di rumah, ayat ini dapat dijadikan pegangan untuk mendidik anak-anak agar senantiasa menjaga kelestarian alam dan menggunakan nikmat Allah dengan bijaksana. Mengajarkan anak-anak untuk tidak boros dalam mengonsumsi energi, air, dan sumber daya adalah implementasi dari ajaran Al-Qur’an.

Keluarga sebagai Madrasah Pertama dalam Literasi Iklim

Peran ibu dalam mendidik anak-anak sangat penting, seperti yang diungkapkan oleh Hafiz Ibrahim: “Al-umm madrasatul ‘ula, idza adadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq,” yang berarti, “Ibu adalah sekolah pertama; jika engkau mempersiapkannya dengan baik, maka engkau akan mempersiapkan generasi yang baik pula.” Ungkapan ini merupakan pengakuan teologis atas peran perempuan, terutama pada masa ketika perempuan sering mengalami diskriminasi.

Islam mengajarkan bahwa tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara ibu dan ayah. Kolaborasi dalam mendidik anak, khususnya dalam literasi iklim, mencerminkan kesetaraan yang diajarkan dalam Islam. Peran ibu dan ayah diakui dan dihormati secara teologis oleh Islam.

Pendidikan di rumah bertujuan untuk mempersiapkan generasi yang tidak hanya paham tentang tanggung jawab terhadap lingkungan, tetapi juga tangguh dalam menghadapi krisis iklim dengan mengamalkan nilai-nilai Islam.

Kesimpulan

Dalam menghadapi krisis iklim, keluarga memiliki peran strategis sebagai tempat pertama dalam menanamkan literasi iklim, yang selaras dengan ajaran Islam. Islam menekankan peran manusia sebagai khalifah di bumi, yang bertugas menjaga kelestarian dan keseimbangan alam.

Dengan menanamkan literasi iklim yang berlandaskan nilai-nilai Islam dan mempraktikkan kesetaraan gender, keluarga dapat melahirkan generasi yang bertanggung jawab dalam menjaga bumi. Generasi ini akan cerdas secara intelektual dan moral, serta memahami bahwa menjaga alam adalah bagian dari fitrah manusia dan ibadah kepada Allah SWT yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab serta prinsip keadilan.