Serial Kajian “Islam Ramah Perempuan” – Fikih dan Masalah Perempuan

Sebagian besar pandangan fikih merepresentasikan kondisi zamannya. Sesuatu yang baik untuk zaman itu belum tentu baik untuk zaman saat ini.

1 – Legislasi di dalam al-Qur`an berkisar pada tiga tingkatan: al-fardh al-maktûb (kewajiban tertulis) atau al-awamir, kemudian al-nawâhîy (larangan) atau al-muharramât (hal-hal yang dilarang), kemudian apa yang ada di antara keduanya, yaitu al-mubah (yang boleh). Metode al-Qur`an dalam mengatur ketiga hal ini adalah menentukan al-furûdh (kewajiban) dan al-muharramât (hal yang dilarang) lalu membiarkan al-mubâh (yang boleh) terbuka untuk diperdebatkan. Jika sebelumnya terdapat peraturan yang melarang sesuatu, maka al-Qur`an hadir dengan hukum baru yang menghalalkannya. Sebagaimana firman Allah Swt., “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu,” [Q.S. al-Baqarah: 187].

Kemudian fikih hadir dengan interpretasi dan modifikasi kerangka legislasi dengan menambahkan dua tingkatan hukum yang diambil dari al-mubâh yang halal, yaitu: al-makrûh (yang tidak disukai/dibenci) dan al-mandûb/al-masnûn (yang disunnahkan). Makruh adalah suatu hal mubah yang perlu ditingalkan dan tingkatannya lebih rendah dari haram, sedangkan mandub/masnun adalah suatu hal mubah yang perlu dilakukan meskipun tidak wajib dan tingkatannya lebih rendah dari fardh/wâjib.

2 – Interpretasi dan modifikasi kerangka legislasi al-Qur`an ini menghasilkan dua hal:

Pertama, penambahan istilah-istilah baru yang sebenarnya bertentangan dengan al-Qur`an, yaitu makruh dan mandub. Misalnya, makruh di dalam terminologi al-Qur`an bukanlah mubah yang tingkatannya lebih rendah dari haram sebagaimana dikatakan para ulama fikih, melainkan merupakan jenis haram paling buruk. Allah Swt. berfirman,

 

وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ

Allah menjadikan kamu membenci kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan,” [Q.S. al-Hujurat: 7].

 

Kemudian, setelah mengharamkan pencurian, pembunuhan, kekafiran dan dosa-dosa besar lainnya di dalam surah al-Isra`, Allah Swt. berfirman tentangnya semua itu:

 

كُلُّ ذَٰلِكَ كَانَ سَيِّئُهُ عِنْدَ رَبِّكَ مَكْرُوهًا

Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Tuhanmu,” [Q.S. al-Isra`: 38].

 

Kedua, mempersempit ruang lingkup halal-mubah dan mengubahnya menjadi makruh yang tidak perlu dilakukan. Hal ini terjadi setelah menginterpretasikan kaidah-kaidah legislasi al-Qur`an:

1 – Di dalam al-Qur`an terdapat kaidah-kaidah legislasi yang jâmi’-mâni’ (memuat dan menolak), yaitu mengumpulkan hal-hal yang dilarang/diharamkan (al-muharramât) di dalam tembok tertentu dan mencegah seseorang untuk mengeluarkan darinya atau menambahkan apapun ke dalamnya, seperti hal-hal yang dilarang dalam pernikahan. Al-Qur`an menyebutkannya secara rinci kemudian berfirman: “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, [yaitu] mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina,” [Q.S. al-Nisa`: 24]. Artinya, perempuan-perempuan yang berada di dalam tembok ini seluruhnya diharamkan untuk dinikahi, sedangkan perempuan-perempuan di luar tembok tersebut seluruhnya halal untuk dinikahi. Tetapi pandangan fikih datang merubuhkan tembok tersebut dan menambahkan dengan qiyas (analogi) dua kaidah fikih dan menjadikan keduanya hadits yang dinisbatkan kepada Nabi, yaitu: “يحرم من الرضاع ما يحرم بالنسب” (apa yang diharamkan karena sepersusuan sama diharamkan karena keturunan) dan “لا تنكح المرأة على عمتها او خالتها” (Dilarang menikahi seorang perempuan beserta dengan bibi dari pihak ayah atau ibu). Oleh karena itu, jika seorang laki-laki ingin menikah dengan bibi kandung dari pihak ibu, maka hal itu diperbolehkan dalam aturan legislasi al-Qur`an namun diharamkan menurut pandangan fikih. Demikian juga, jika seorang laki-laki ingin menikah dengan sepupunya dari pihak ayah atau ibu, Allah Swt. berfirman boleh, tetapi para ahli fikih mengatakan haram.

Contoh lainnya adalah makanan-makanan haram yang disebutkan berulang-ulang di dalam al-Qur`an: Q.S. al-Baqarah: 173, Q.S. al-Ma`idah: 3, Q.S. al-An’am: 145, Q.S. al-Naml: 115, yaitu bangkai, darah, daging babi, dan segala sesuatu yang dipersembahkan kepada berhala. Meskipun ada peringatan al-Qur`an untuk tidak menambahkan makanan-makanan terlarang baru ke dalamnya: Q.S. al-Ma`idah: 87, Q.S. Yunus: 59-60, Q.S. al-Nahl: 116-117, Q.S. al-Tahrim: 1, para ahli fikih tetap menambahkan larangan pada banyak makanan halal yang menghiasi lembaran-lembaran kitab fikih.

2 – Terdapat aturan legislasi al-Qur`an yang ditegaskan dengan qashr-hashr (pembatasan), seperti firman Allah Swt.: “Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah [membunuhnya], kecuali dengan [alasan] yang benar,” [Q.S. al-Isra`: 33, Q.S. al-An’am: 151]; “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah [membunuhnya] kecuali dengan [alasan] yang benar,” [Q.S. al-Furqan: 68]. Artinya, di dalam Islam tidak dibolehkan membunuh kecuali dengan landasan legislasi al-Qur`an yang benar, yaitu sesuai dengan teks-teks al-Qur`an dalam bentuk qishash, baik dalam bentuk kejahatan (Q.S. al-Baqarah: 178), atau dalam peperangan (Q.S. al-Baqarah: 194). Namun, para ahli fikih datang menghapuskan aturan yang mengikat ini dan menambahkan pembunuhan terhadap orang murtad, orang sesat, orang yang meninggalkan shalat, dan rajam terhadap orang yang berzina, kemudian meluas hingga menjadikan seorang imam berhak untuk membunuh siapapun yang menentang kekuasaannya.

3 – Terdapat aturan legislasi al-Qur`an yang ditegaskan dengan segala bentuk penekanan, seperti perintah membuat wasiat bagi ahli waris dan bukan ahli waris dalam firman Allah Saw.: “Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, [sebagai] kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa,” [Q.S. al-Baqarah 180]. Penekanan pada wasiat dihadirkan dalam berbagai bentuk dan sangat tegas, seperti  “Diwajibkan atas kamu”,  “jika dia meninggalkan harta”,  “dengan cara yang baik”,  “[sebagai] kewajiban”, dan “bagi orang-orang yang bertakwa”. Kemudian ayat-ayat setelahnya mengatur tentang kaidah-kaidah wasiat.

Di dalam surah al-Nisa` terdapat perintah mengenai wasiat yang harus dilakukan sebelum penandatanganan warisan (sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat dan sesudah dibayar hutangnya, [Q.S. al-Nisa`: 11]). Meskipun kedua orangtua mempunyai hak atas waris dan juga hak atas wasiat, dan meskipun kaidah-kaidah waris dan wasiat adalah ketentuan Allah yang haram untuk dilampaui (Q.S. al-Nisa`: 13, 14), hanya saja fikih menghapuskan wasiat bagi ahli waris berdasarkan kaidah fikih yang dijadikan hadits Nabi Saw.: “لا وصية لوارث” (Tidak ada harta wasiat bagi ahli waris) dan mengatakan bahwa ini telah me-naskh (menghapus) ayat-ayat al-Qur`an yang bertentangan dengannya.

Aturan mengenai wasiat dan anjuran terhadapnya merupakan wujud dari keadilan Islam. Bagian warisan ditentukan setengah, seperempat, seperenam, sepertiga, seperdelapan, dan tidak dapat diubah. Penerapannya saja dapat menimbulkan ketidakadilan di antara para ahli waris. Mungkin di antara mereka ada yang berhak mendapatkan bagian tambahan karena keadaan khusus yang menderanya. Di sinilah wasiat muncul untuk mengatasi masalah tersebut di bawah pandangan dan kendali masyarakat sesuai dengan tanggungjawab orang yang meninggal di hadapan Allah Swt. dalam pembagian wasiat sesuai dengan apa yang tercantum di dalam ayat-ayat wasiat. Misalnya, dengan wasiat seseorang dapat memberikan anak perempuan bagian yang sama dengan anak laki-laki selama ia layak mendapatkannya.

4 – Interpretasi fikih terhadap legislasi al-Qur`an yang ketat dan mengikat menghasilkan dua hasil sekaligus:

Pertama, penambahan makna yang bertentangan dengan istilah-istilah di al-Qur`an. Misalnya, “naskh” di dalam al-Qur`an dan bahasa Arab berarti penetapan, penulisan dan pencatatan. Namun dalam pandangan fikih, “naskh” berarti penghapusan, pembatalan dan penggantian.

Kedua, para ahli fikih menjadikan fatwa-fatwa dan hadits-hadits fikih mereka yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw. membatalkan aturan-aturan di dalam al-Qur`an dan menghapusnya.

 

Pengabaian Kaidah-kaidah Legislasi al-Qur`an dan Tujuan-tujuan Besarnya

Secara umum, hukum-hukum dalam legislasi al-Qur`an adalah perintah-perintah yang mempunyai maksud dan tujuan umum. Legislasi di dalam al-Qur`an dimulai dengan perintah-perintah yang disertai kaidah-kaidahnya. Tujuan-tujuannya bisa muncul di dalam ayat itu sendiri, atau di dalam konteksnya, atau muncul secara terpisah. Di sini kita tidak berada dalam lingkup untuk merinci hal ini yang membuat kita abai terhadap bahasan dalam tulisan ini. Namun memberi contoh dapat membantu pemahaman.

Kita mulai dengan tujuan legislasi al-Qur`an, yang terangkum dalam istilah “al-taqwâ” (ketakwaan) dan “khasyatullâh” (rasa takut kepada Tuhan), atau dalam ungkapan kontemporer “hati nurani yang hidup” (al-dhamîr al-hayy) yang tidak cukup hanya dengan menyesali kesalahan dan bertekad untuk tidak mengulanginya, namun sebelum itu seseorang harus berusaha agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan (Q.S. al-A’raf: 201, Q.S. al-Imran: 133 – 136). Ketakwaan memadukan keimanan tulus kepada Allah Swt. dan Hari Akhir dengan terus mengerjakan amal saleh, yaitu ibadah dan mu’amalah. Oleh karena itu, tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang bertakwa. Iman saja tidak cukup, dan amal saleh saja tidak cukup.

Dalam legislasi al-Qur`an, ketakwaan dihadirkan dalam konteks peraturan itu sendiri dan terkadang terpisah darinya karena merupakan nilai yang lebih tinggi. Perintah untuk bertakwa diulang-ulang kepada Nabi Saw. dan orang-orang yang beriman, dan terkadang muncul di awal surah al-Nisa`, al-Ahzab, dan al-Hajj. Ketakwaan hadir dalam konteks legislasi al-Qur`an untuk menekankan perlunya menghubungkan penerapan hukum Tuhan oleh manusia dengan menghidupkan hati nurani, memuliakan dan mensucikan jiwa, serta meningkatkan hubungan langsung antara manusia dengan Tuhan yang mengetahui tipu daya mata dan apa yang tersirat di dalam dada.

Jika manusia mengetahui bahwa Allah Swt. melihatnya, maka ia harus bertakwa kepada-Nya dan berusaha mencari keridhaan-Nya, bahkan sekalipun berada di bawah jaminan keamanan otoritas manusia dan pengawasan polisi. Karena peran takwa begitu agung, kita menemukan perintah bertakwa menghiasi seluruh ayat legislasi di dalam al-Qur`an. Kita berikan salah satu contohnya: Allah Swt. berfirman tentang perceraian, yang menekankan pada terpeliharanya hak-hak perempuan: “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang maruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang maruf [pula]. Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu kitab dan hikmah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu,”  [Q.S. al-Baqarah: 231].

Q.S. al-Baqarah 231 tersebut mengandung dua pesan penting. Pertama, tentang pilihan bagi suami—yang telah menceraikan istrinya dan telah sampai diakhir masa iddahnya—antara mempertahankan dan melindungi istrinya dengan syarat ia harus memperlakukan istrinya dengan baik atau benar-benar melepaskan dan berpisah dengannya—dijelaskan bahwa talak yang dalam hukum al-Qur`an hanyalah sekedar masa peninjauan dan bukan perpisahan—, tetapi juga harus dengan cara yang baik dan tidak merugikan. Selain itu, sang suami tidak boleh berniat mengembalikan istrinya ke dalam perlindungannya (rujuk) dengan maksud mempermalukannya. Kedua, pesan bagi suami untuk senantiasa bergaul bersama istri dengan memberikan peringatan, teguran, nasihat, bimbingan dalam ketakwaan. Di sini kita melihat pertentangan antara hukum talak di dalam al-Qur`an dan pandangan fikih, di mana hukum al-Qur`an lebih mengedepankan pemenuhan hak-hak perempuan dan hak-hak asasi manusia.

Seluruh aturan keluarga di dalam al-Qur`an bertujuan untuk melestarikan dan menguatkannya sebagai tujuan paling luhur. Namun kebiasaan buruk fikih adalah hanya fokus pada perintah dan mengabaikan kaidah dan tujuan (maqashid). Dalam masalah keluarga, misalnya, al-Qur`an menekankan, “Dan bergaullah dengan mereka (istri-istrimu) secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, [maka bersabarlah] karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak,” [Q.S. al-Nisa: 19]. Dalam aturan ini, cara suami berinteraksi dengan istri yang membangkang (nusyûz), yaitu menghancurkan rumah tangganya padahal semua haknya terpenuhi dan suaminya mengurusnya dengan baik (qiwâmah)—istilah qiwâmah dalam al-Qur`an berarti merawat, menjaga, memikul tanggungjawab terhadap istri dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan baik—adalah mendisiplin istri yang durhaka dengan menasihati, lalu pisah ranjang, lalu memukul. Allah memberikan peringatan kepada suami untuk tidak menyalahgunakan aturan ini sehingga menimbulkan penindasan terhadap istri yang taat (Q.S. al-Nisa`: 34). Namun pandangan fikih cenderung mengabaikan maksud dan tujuan dari hukum Allah dan lebih fokus perintah “pemukulan istri” (dharb al-zawj).

Mengenai masalah kesucian moral, perintah syariat datang bagi laki-laki dan perempuan untuk tidak melihat hal-hal yang dilarang, tidak mendekati zina dan juga kesopanan dalam berpakaian (Q.S. al-Nur: 30-31, Q.S. al-Isra`: 32). Namun pandangan fikih memusatkan perhatian pada perintah ini sampai pada titik ekstrim; mengubah kerudung yang seharusnya hanya menutupi dada dan tidak menutupi wajah serta rambut menjadi niqab yang membebani perempuan dan membungkus seluruh tubuhnya dengan kain hitam suram—dan ini melampaui batasan yang telah ditetapkan Allah—, menyia-nyiakan kesaksian perempuan dan perannya di dalam masyarakat Muslim, melarangnya membuka dan memperlihatkan wajah padahal itu dibolehkan menurut hukum Islam. Diketahui bahwa niqab adalah salah satu elemen terpenting menyebarnya dekadensi moral, karena perempuan dapat bersembunyi di dalamnya dan melakukan apa pun yang mereka inginkan tanpa ada yang menyadarinya.

Bahkan ibadah, yang sekedar merupakan perintah yang wajib kita laksanakan untuk mencapai tujuan akhir, yaitu ketakwaan (Q.S. al-Baqarah: 183, 196 – 197) atau sebagai sarana ketakwaan yang dengannya kita bisa menjauhi perbuatan keji dan mungkar (Q.S. al-Ankabut: 45)—Inilah makna hakiki dari mendirikan shalat dan menunaikan zakat, yakni menyucikan diri dan menyempurnakan akhlak melalui ketakwaan—semua itu diabaikan sama sekali dalam pandangan fikih. Shalat, zakat, puasa dan haji dijadikan tujuan itu sendiri. Seakan fikih hendak mengatakan, “Jika kamu menunaikan shalat, meskipun kamu bermaksiat, shalatmu akan menghapuskan dosa-dosamu,” atau “Cukup kamu mengucapkan dua kalimat syahadat, lalu menebar kerusakan di muka bumi, dan kamu pasti masuk surga karena kamu adalah umat Nabi Muhammad.” Artinya, padangan fikih mengubah ibadah menjadi religiusitas yang dangkal dan mengubah moral menjadi rawa kemunafikan, kebohongan, dan penipuan.

Adapun terkait hubungan kita dengan orang lain, fikih mengubahnya dari perdamaian menjadi kekerasan, terorisme, dan agresi karena hanya fokus pada “perintah” (al-amr) dan mengabaikan kaidah dan maksud/tujuan dari legislasi al-Qur`an. Perintah untuk berperang, “قاتلوا”, “جاهدوا”, “انفروا”, merupakan bentuk pembelaan diri dan pembalasan atas agresi, atau dalam ungkapan al-Qur`an “fî sabîlillah” (di jalan Allah). Tujuan akhirnya adalah untuk mewujudkan kebebasan beragama dan mencegah persekusi dalam beragama, agar setiap manusia dapat memilih apa yang diyakini dan dipercayainya; ia memilih suatu keyakinan dan hidup tenteram dan aman dengan keyakinannya, dan kemudian ia mempertanggungjawabkan pilihannya yang bebas di hari kiamat tanpa ada paksaan dalam beragama.

Allah Swt. berfirman: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, [tetapi] janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas,” [Q.S. al-Baqarah: 190]. Jadi perintahnya di sini adalah “perangilah” dan kaidahnya adalah “di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, [tetapi] janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. Kaidah ini diulangi dalam firman-Nya yang lain: “Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu,” [Q.S. al-Baqarah: 194]. Adapun maksud atau tujuannya ada pada firman-Nya yang lain: “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah,” [Q.S. al-Baqarah: 193]. Artinya mencegah fitnah adalah tujuan utama dari perintah “perang”. Fitnah dalam istilah al-Qur`an berarti pemaksaan dalam memeluk agama atau penindasan dalam memeluk agama yang biasa dilakukan oleh orang-orang musyrik di Makkah terhadap umat Muslim. Allah Swt. berfirman: “Dan berbuat fitnah lebih besar [dosanya] daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka [dapat] mengembalikan kamu dari agamamu [kepada kekafiran], seandainya mereka sanggup,” [Q.S. al-Baqarah: 217]. Dengan menegakkan kebebasan beragama dan mencegah fitnah atau pemaksaan dalam beragama, maka seluruh agama adalah milik Allah Swt., dan Dia sendiri yang akan mengadilinya pada hari kiamat tanpa ada yang merampas kekuasaan-Nya di pengadilan dan penganiayaan terhadap mereka yang berbeda pendapat. Itulah makna firman Allah: “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah,” [Q.S. al-Anfal: 39].

Para ahli fikih hanya fokus pada perintah untuk melakukan jihad dan perang dan mengabaikan kaidah untuk berperang atau satu-satunya alasan yang membenarkannya, yaitu bahwa perang hanya bersifat defensif. Akibatnya, perang menjadi bukan demi Allah untuk menegakkan kebebasan beragama dan mencegah pemaksaan dalam beragama, dan bukan sekadar untuk membela diri secara sah, melainkan untuk melegitimasi agresi terhadap orang lain, menjadikannya tidak hanya sebagai sesuatu yang mubah (boleh) tetapi bahkan sebagai sesuatu yang wajib dalam Islam.

Umumnya para ahli fikih hidup di Abad Pertengahan yang membanggakan diri atas pendudukan dan pernyerangan terhadap orang lain. Ini adalah ciri-ciri Abad Pertengahan dan dunia hingga saat ini. Orang-orang Arab di era pra-Islam (Jahiliyah) tidak terlepas dari budaya ini, bahkan mereka melakukan pemaksaan yang tak henti-hentinya, di mana perampokan, penjarahan dan penindasan menjadi cara beragama yang lazim. Karena Islam, dalam arti kedamaian dengan segenap nilai luhurnya, menolak hal ini, tentu saja membuat tidak senang orang-orang di masa itu. Dan kemudian, orang-orang Arab harus kembali kepada apa yang biasa mereka lakukan, namun dengan perubahan yang besar dan memalukan, yaitu menggunakan nama Islam untuk menyerang bangsa-bangsa lain. Hal inilah yang dilakukan oleh kaum Quraisy setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. dalam serangan-serangannya yang secara salah disebut sebagai al-futûhât al-Islâmîyyah (penaklukan Islam). Para sejarawan kemudian menulis biografi Nabi berabad-abad setelah beliau wafat dengan memasukkan ke dalamnya semua ciri zaman mereka, termasuk pertempuran ofensif, pembunuhan politik dan teroris, serta penyimpangan moral. Kemudian muncullah hadits-hadits yang menggambarkan potret zaman itu melalui rantai sanad/transmisi palsu kepada Nabi Saw., lalu mereka menjadikannya sebagai agama yang mereka namakan Sunnah dan mengklaim bahwa itu berdasarkan wahyu dari Allah. Dari sini para ahli fikih yang sebagian besar juga adalah ulama hadits merasa perlu untuk menciptakan legislasi baru yang hukum-hukumnya tidak sesuai dengan kaidah dan tujuan legislasi al-Qur`an.

Di atas telah diulas mengenai hubungan permanen antara legislasi al-Qur`an dan ketakwaan, di mana seorang Muslim menjadi pengawas bagi dirinya sendiri sebelum masyarakat, otoritas, atau polisi menjadi pengawas bagi dirinya. Kendati demikian, kita tidak menemukan hubungan itu di dalam fikih, baik dalam fikih ibadah maupun muamalah. Dengan menanggalkan aspek esoteris ini atau aspek spiritual fikih, dalam perkembangan intelektualnya, berfokus pada religiusitas dangkal dengan detail-detail yang terkadang tidak masuk akal memenuhi banyak kitab fikih. Misalnya: Apa hukumnya orang yang membawa kantung air di punggungnya? Apakah itu membatalkan wudhunya atau tidak?; Orang yang lapar di padang pasir dan tidak menemukan apa-apa selain jenazah salah satu nabi, apakah boleh memakannya?; Apa hukum seseorang yang berzina dengan ibunya di siang hari bulan Ramadhan di dalam Ka’bah? Dan apa dosanya?; Apa hukumnya seorang laki-laki yang kemaluannya bercabang dua lalu ia berzina dengan seorang perempuan melalui vagina dan duburnya? Apakah ia dikenakan satu hukuman atau dua hukuman?[]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.