Status Anak di Luar Nikah

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Kamaliyah Babakan, Ciwaringin, Cirebon

 

Jika hari-hari ini marwah Mahkamah Konstitusi (MK) sedang merosot dan menghilangkan kepercayaan publik karena keputusan batas minimal Capres/Cawapres yang dinilai sarat muatan politik untuk meloloskan calon tertentu, MK saat dipimpin Mahfud MD pernah menorehkan sejarah penting menyangkut nasib anak yang dilahirkan di luar nikah atau melalui pernikahan sirri (pernikahan yang tak dicatat negara). Apakah anak tersebut memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya atau tidak.

Dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 42 disebutkan:  “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Selanjutnya pada Pasal 2 ditegaskan kembali: “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Karena dianggap mereduksi hak-hak konstitusional anak, pasal ini diajukan ke MK oleh Aisyah atau lebih dikenal dengan Macicha Muchtar, istri sirri Moerdiono, mantan Sekneg era Soeharto. Dari pernikahan itu dikaruniai seorang anak yang tidak diakui oleh Moerdiononya sendiri. Karena itulah Macicha akhirnya mengadukan pasal tersebut ke MK.

Macicha masih beruntung karena anak yang dilahirkan melalui pernikahan sah secara agama, sehingga, setidaknya menurut agama, anak tersebut masih memiliki pertalian nasab (intisab) dengan ayah biologisnya. Kasusnya akan berbeda ketika anak tersebut dilahirkan bukan melalui pernikahan yang sah, baik agama maupun negara. Nasab anak tersebut hanya tersambung kepada ibunya. Karena agama (fikih) hanya mengakui nasab seorang anak berdasarkan pernikahan (al-waladu li al-firasy). Inilah salah satu problem fikih kita. Keputusan ini tidak hanya melanggar dan menghilangkan hak-hak konstitusi anak (menyalahi pasal 28B ayat (1) UUD 1945) melainkan juga bertentangan dengan maqasid syariah, terutama hak atas nasab atau identitas (hifzh al-nasl).

Pendekatan maqasid syariah ini penting untuk membaca kembali hak-hak anak (huquq al-awlad) berdasarkan hak dan kebutuhan anak, bukan semata melalui perspektif orangtua. Apalagi Islam tidak mengakui dosa warisan. Kesalahan yang dilakukan orang tua tidak sepatutnya dibebankan kepada anak. Meskipun dihasilkan dari hubungan terlarang, anak tetap suci dan tidak membawa dosa kedua orangtuanya. “Kullu mawlud yuladu ala al-fithrah,” (Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci), kata sebuah hadits Nabi. Jadi, istilah “anak haram” sebetulnya tidak tepat dan sangat pejorative.

Dengan demikian, sesungguhnya keputusan MK sejalan dengan pandangan agama bahwa seorang anak masih memiliki hubungan perdata dengan orangtua biologisnya. Dalam putusan MK disebutkan: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukummempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”

Kita butuh keputusan MK yang mencerahkan seperti ini, bukan keputusan yang membuat mendung dan menggelapkan langit hukum kita. [JM]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses