Risalah Jihad Hasan al-Banna
HASAN al-Banna lahir ketika dunia Islam jatuh. Ada banyak peristiwa besar mengiringi kehidupan al-Banna dan sedikit banyak memengaruhi pemikirannya: keruntuhan Turki Utsmani, dibubarkannya Khilafah Islamiyah, imperialisme Eropa di dunia Arab, dan berdirinya negara Israel.
Hasan al-Banna lahir di sebuah desa kecil, Mahmudiyah, sebuah kawasan Buhairoh, pada 14 Oktober 1906. Ayahnya, Ahmad Abdurrahman al-Banna, seorang pembaca hadis yang baik, bekerja sebagai tukang service jam dan membuka penjilidan kitab. (Musthofa Muhammad al-Tohan, al-Imam Hasan al-Banna, hal. 56)
Al-Banna sudah belajar hadis dan mulai menghapal al-Qur`an dibimbing langsung oleh ayahnya sebelum ia masuk sekolah di Madrasah I’dadiyah dan Madrasah Muallimin al-Awwaliyah di Damanhur.
Pada 1923 al-Banna melanjutkan studinya di Madrasah Darul Ulum di Kairo sambil seminggu sekali menghabiskan waktunya di Universitas al-Azhar. Tahun 1927 ia tamat dari Madrasah Darul Ulum dan mulai mengajar di sebuah sekolah pemerintah di Ismailiyah.
Di Ismailiyah inilah al-Banna mulai mengembangkan karir dakwahnya dan bersama kawan-kawannya mendirikan organisasi sosial keagamaan Ikhwanul Muslimin.
Pada perkembangan selanjutnya Ikhwanul Muslimin tak hanya bergerak dalam ruang lingkup sosial-keagamaan, melainkan terlibat aktif dalam dunia politik. Sebagaimana yang berulangkali ditegaskan Hasan al-Banna bahwa “Islam dan Politik” adalah satu.
Gerakan Ikhwanul Muslimin memulai langkahnya dari Propinsi Ismailiyah, namun kemudian kantor pusatnya berpindah ke Kairo. Pada akhir tahun 1940-an cabang Ikhwanul Muslimin mencapai 3000 dengan jumlah anggota sangat besar. (Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS, hal. 100)
Sore Sabtu, 12 Februari 1949, Hasan al-Banna berkunjung ke Kantor Pusat Organisasi Pemuda Islam ditemani al-Ustadz Abdul Karim Muhammad Mansur. Pukul 20.25 Hasan al-Banna memesan taxi untuk pulang ke rumahnya.
Al-Banna dan Abdul Karim keluar dari Kantor Pemuda dan masuk ke dalam taxi. Begitu pintu mobil ditutup tiba-tiba datang orang tak dikenal dan langsung menyerang al-Banna dengan sebuah senapan mesin. Tujuh peluru bersarang ditubuhnya. Al-Banna sempat dibawa ke rumah sakit tapi nyawanya tak tertolong. (Anwar al-Jundi, Hasan al-Banna, hal. 278)
***
Tulisan ini akan mencoba mengekplorasi pemikiran jihad Hasan al-Banna dalam “Rasâ`il Hasan al-Bannâ”—sebuah buku penting yang membicarakan banyak hal: Islam dan Politik, Negara Islam, Mayarakat Islam, Sistem Ekonomi Islam, Ikhwanul Muslimin, Sistem Tarbiyah dan Usroh, dll., termasuk di dalamnya membahas tentang jihad dan perjuangan dakwah membentuk sebuah masyarakat Muslim.
Hasan al-Banna menempatkan jihad sebagai salah satu rukun bay’at (prinsip dasar dan landasan perjuangan).
Pertama, pemahaman (al-fahm). Setiap anggota Ikhwanul Muslimin harus memahami sekaligus meyakini bahwa pemahaman dan pemikiran mereka tentang Islam pasti benar dan Islam adalah seperti yang mereka pahami.
Islam mencakup segala urusan kehidupan. Islam berkaitan dengan negara, pemerintahan, akhlak, kekuatan, rahmat dan keadilan. Islam juga mengatur undang-undang, ilmu pengetahuan, mengatur pendapatan dan kekayaan, harta benda. Islam juga mengatur tentang jihad, dakwah, ibadah, dan kesejahteraan rakyat.
Kedua, ikhlas. Seluruh dakwah dan perjuangan Ikhwanul Muslimin harus didasari keikhlasan. Setiap kata, tindakan, dan jihad hanya untuk mengharap pahala dan kerelaan (ridha) Allah SWT. Tanpa menginginkan harta, pujian, pangkat, dan kedudukan.
Ketiga, bekerja (al-‘amal). Untuk mewujudkan masyarakat Muslim, pertama-tama bekerja memperbaiki diri sendiri agar memiliki tubuh yang kuat, akhlak yang baik, berpendidikan, mandiri, rajin beribadah. Setelah itu mendidik keluarga dan masyarakat. Juga berjuang melepaskan campur tangan asing dalam politik, ekonomi, maupun budaya. Dan mengarahkan negara agar sesuai dengan nilai-nilai keislaman.
Keempat, jihad. Jihad diwajibkan bagi setiap muslim berlaku sampai hari kiamat. Jihad paling rendah adalah “mengingkari di dalam hati” (al-inkar bi al-qalb). Berpangku tangan terhadap kemunkaran dan kemaksiatan. Sedangkan jihad paling tinggi adalah berperang di jalan Tuhan. Di antara tahapan dan tingkatan Jihad adalah Jihad dengan lisan, tulisan, kekuasaan, dan menyatakan kebenaran di depan penguasa lalim.
Kelima, berkorban (al-tadhhiyah). Demi menunjang dakwah dan jihad dibutuhkan pengorbanan baik jiwa, harta, atau pun nyawa. Yang tidak mau berkorban untuk kepentingan dakwah dan jihad akan menanggung dosa.
Keenam, taat. Mematuhi dan melaksanakan segala perintah, baik dalam keadaan susah atau mudah, senang atau benci, rela atau terpakasa. Ketaatan tanpa reserve.
Ketujuh, tabah (al-tsabât). Seorang mujahid harus tabah dan sabar dalam menjalankan dakwah dan perjuangan, sampai ia mendapat dua kemenangan: sampai pada tujuan atau syahid di akhir perjuangan.
Kedelapan, persaudaraan (al-ukhuwwah). Yang dimaksud persaudaraan di sini adalah mempersatukan hati, ruh, dan akidah (keimanan). Persaudaraan yang didasari keimanan.
Kesembilan, percaya (al-tsiqah). Kepercayaan harus dibangun oleh pengikut terhadap pemimpinnya, prajurit terhadap atasannya. Percaya terhadap harga diri dan keikhlasan pemimpin sehingga menimbulkan cinta, hormat, dan patuh.
Kesepuluh, pemurnian (al-tajarrud). Memurnikan seluruh gagasan dan pemikiran sendiri, menafikan gagasan dan pemikiran orang lain. Andalah yang paling benar, paling mulia dan paling lengkap.
Jihad menempati posisi penting dalam pemikiran Hasan al-Banna. Al-Banna menyusun risalah tersendiri tentang jihad. Setidaknya ada 4 kitab yang memuat Risalah Jihadnya Hasan al-Banna: 1). Majmu’ah Rasa`il; 2). Risalah al-Ta’lim; 3). Allah fi al-Aqidah al-Islamiyyah; 4). Tsalats Rasa`il fi al-Jihad (Tiga Risalah Jihad yang ditulis al-Maududi, Sayyid Qutb, dan Hasan al-Banna).
Menurut Hasan al-Banna, jihad diwajibkan bagi setiap muslim. Kewajiban jihad berlaku sepanjang masa. Melepaskan Jihad dari Islam sama halnya mencabut ruh dari jasadnya. “Rasanya saya tak menjumpai agama apapun selain Islam yang memberikan perhatian cukup banyak terhadap jihad,” kata al-Banna. Jihad adalah pertahanan cukup baik dalam membela kebenaran.
Dalam Risalah Jihadnya Hasan al-Banna menghimpun ayat-ayat al-Qur`an maupun hadis yang berbicara tentang jihad. Juga beberapa pendapat ulama, baik klasik maupun modern, tentang keutamaan, kemuliaan, dan kewajiban jihad. Baginya, untuk memahami ayat ataupun hadis tentang jihad tak perlu membutuhkan banyak penafsiran. Semuanya sudah tampak terang benderang.
Yang menarik justeru ketika ayat dan hadis tentang jihad dimaknai dan dipahami oleh para ulama, sebagaimana yang dikuti Hasan al-Banna:
Penulis “Maj’maal Anhar fi Syarh Multaqa al-Abhar”—penulisnya seorang ulama Hanafi—mengatakan, “Secara bahasa Jihad artinya mengarahkan segala kemampuan, baik berupa ucapan atau tindakan. Jihad menurut syariat adalah membunuh orang kafir, atau semacamnya, seperti memukul, menjarah harta bendanya, merusak tempat ibadahnya. Jihad bertujuan melindungi agama dari ancaman harbiy atau dzimmiy.
Jihad hukumnya fardhu kifayah jika musuh berada di luar negara Islam dan ada seseorang yang mewakili melaksanakan jihad. Sebaliknya, jika orang kafir masuk dan menyerbu negara Islam, maka hukumnya wajib ‘ayn (wajib individu)—baik anak-anak, wanita, orang tua semuanya wajib mengangkat senjata.
Karena itu, kata al-Banna, bagi keadaan umat Muslim saat ini yang tertindas dan terjajah oleh bangsa lain, dengan mengikuti hukum kafir, kehormatannya terampas, maka hukum jihad baginya wajib ayn.
Jihad, kata al-Banna, bukan bertujuan untuk permusuhan, melainkan di dalamnya mengandung pesan perdamaian. Dalam jihad terkandung pesan agung (risalah kubra), yaitu memberikan hidayah dan keadilan. Hal ini sejalan dengan Abu Bakar ibn Syata dalam “I’anah al-Thalibin” bahwa jihad hanyalah wasilah, sarana, atau metode. Tujuan utamanya adalah memberikah hidayah atau petunjuk pada orang kafir. Oleh karena itu, demi menjaga kemurnian dan kemuliaan jihad, seorang mujahid harus tulus dan ikhlas dalam berjihad.
Di akhir risalahnya al-Banna melakukan kritik terhadap hadis yang menyebut bahwa jihad dalam arti peperangan termasuk jihad kecil. Jihad besar adalah melawan hawa nafsu. Hadis ini masyhur dikalangan umat Muslim dan berpotensi melemahkan semangat umat Muslim dalam berjihad. Berdasarkan penelusuran perawi hadis ini ternyata ia bukan hadis, melainkan ucapan Ibrahim ibn Ablah.
Islam Agama Damai
Islam agama perdamaian (din al-salam) dan agama kasih sayang (rahmah). Nama “Islam” sendiri diambil dari akar kata “al-Islam”. Pengikutnya disebut “muslim” (QS. al-Hajj:78; QS. al-Baqarah:112; QS. Al-Baqarah:131; QS. al-An’am 71). Islam menyebarkan kedamaian, keselamatan, dan kasih sayang kepada umat manusia.
Meskipun begitu, Hasan al-Banna mengajukan sendiri sebuah pertanyaan: Jika Islam sebagai agama perdamaian dan kasih sayang, bagaimana dengan jihad dan perang? Bukankah hari ini Islam dikenal sebagai agama pedang?
Islam dan Perang
Dalam Islam perang hanya dibolehkan ketika dalam keadaan darurat (dharurah al-ijtima’). Kata al-Banna, Islam menyukai ketenangan, kedamaian, dan keamanan. Namun, terkadang Islam juga berhadapan dengan realitas yang bertentangan dengan cita-cita dan prinsip dasar Islam sebagai agama rahmat, agama kasih sayang, mencintai perdamaian. Meskipun seringkali terjadi perceraian antara harapan dan kenyataan, Islam tak pernah lari dari kenyataan.
Dalam dunia nyata Islam berhadapan dengan kezhaliman, penindasan, dan ketidakadilan. Karena itu, perang untuk menegakkan kebenaran, melawan kezhaliman, segala bentuk penindasan dan ketidakadilan.
Jihad dan perang memiliki tujuan mulia. Tujuan mulia tersebut tak boleh dikotori nafsu dan kepentingan duniawiyah. Oleh sebab itu, kata al-Banna, jihad dan perang harus memenuhi 5 tujuan utama.
Pertama, membela diri dari serangan musuh. Menjaga nyawa, keluarga, harta, tanah air dan agama (QS. al-Baqarah:190; QS al-Hajj: 39)
Kedua, menjaga kebebasan beragama dan keyakinan umat Muslim dari gangguan orang kafir (QS. al-Baqarah:217; QS. al-Baqarah: 193)
Ketiga, memelihara dakwah Islam agar sampai dan merata pada seluruh umat manusia (QS. Saba: 28). Segala bentuk rintangan yang berpotensi menghalang-halangi dakwah Islam harus disingkirkan.
Keempat, memberikan pelajaran (ta’dib) atau sanksi militer kepada kelompok (pemberontak/kafir mu’ahad) yang melanggar perjanjian damai dengan umat Muslim (QS. al-Taubat:13; QS. al-Hujurat:9)
Kelima, memberikan pertolongan kepada orang-orang lemah dan tertindas (mazhlumin) di manapun mereka berada.
Menurut al-Banna kelima tujuan jihad tersebut harus betul-betul diperhatikan sebagai dasar pertimbangan sebelum diputuskan jihad. Tidak mudah memutuskan Jihad tanpa didasari alasan dan pertimbangan yang kuat. Jihad adalah pilihan terakhir ketika tak ada lagi pilihan lain yang lebih maslahat dan tak menimbulkan madharat bagi kemanusiaan.
Apakah Islam Ditegakkan dengan Pedang?
Menurut Hasan al-Banna, tuduhan tersebut sengaja dihembuskan musuh-musuh Islam untuk memojokkan dan memperburuk citra Islam. Islam sama sekali terbebas dari tuduhan-tuduhan tak berdasar tersebut. “Islam tak pernah memaksa orang masuk Islam. Islam juga tak pernah menaruh pedang di atas leher orang agar membaca dua kalimat syahadat,” ujar al-Banna
Jika membaca kembali sejarah awal-awal Islam, kata al-Banna, terutama ketika Nabi Muhammad SAW berada di Makkah, kurang lebih selama 23 tahun, beliau tak pernah menabuh genderang perang. Bahkan beliau tetap sabar menerima perlakuan buruk orang-orang kafir Quraisy.
Dalam al-Qur`an sendiri tegas dinyatakan bahwa tak ada paksaan dalam beragama (QS. al-Baqarah: 256; QS. al-Kahfi: 29; QS. al-Taubat: 6). Iman tak bisa dipaksakan. Iman harus berdasarkan kesadaran, penalaran, dan kerelaan hati. (QS. al-Hujurat: 14). Dengan sendirinya bukti-bukti sejarah meruntuhkan anggapan dan tuduhan tersebut.
Hasan al-Banna juga mengatakan bahwa doktrin “perang” atau “jihad” tak hanya dimiliki umat Muslim. Hampir semua agama dan bangsa-bangsa memiliki doktrin yang sama. Hanya, mungkin penekanannya berbeda.
Kasih Sayang dalam Perang
Sebelum dicetuskan hukum humaniter internasional, Islam sudah mengenalkan adab dalam peperangan. Perang tak boleh didasarkan pada kebencian, permusuhan, juga semangat menguasai dan menundukkan bangsa atau orang lain.
Perang dalam Islam ditunjukkan untuk menjunjung tinggi panji-panji Islam, “Tujuan mulia harus dengan cara-cara mulia,” kata al-Banna. Karena itu, dalam perang tak boleh merusak lingkungan (menebang pohon), merusak harta benda, tak boleh membunuh anak-anak, wanita, orang tua, tawanan atau warga sipil (non kombatan).
Pengaruh Hasan al-Banna di Indonesia
Pengaruh Hasan al-Banna paling kuat terasa di Indonesia adalah pada Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai ini mengadopsi pemikiran dan gerakan Ikhwanul Muslimin. Bahkan sejak embrio partai ini melalui aktivis-aktivis masjid (Imdad, Ideologi Politik PKS, hal. 97).
Dalam soal rekrutmen dan pengkaderan anggota, PKS menggunakan sistem Usroh atau Tarbiyah). Dalam Rasa’il Hasan al-Banna menyebut bahwa Usroh adalah sistem kekeluargaan yang tujuannya untuk mengikat satu anggota dengan anggota lainnya. Ada tiga rukun usroh: 1). Ta’aruf (saling mengenal); 2). Tafahum (saling memahami), dan; 3). Takaful (saling menanggung). Setiap anggota diikat oleh tiga rukun ini.
Usroh adalah sel terkecil dalam sebuah organisasi Ikhwan. Satu sel akan terhubung dengan sel-sel lainnya. Setiap sel memiliki penanggung jawab yang disebut murabbi. Tampaknya pola jaringan seperti ini diadopsi dari sistem tarekat. Pengalaman Hasan al-Banna mengikuti tarekat Hasafiyah diwujudkan dalam Ikhwanul Muslimin. Belakangan sistem Usroh juga dipakai kelompok teroris dalam merekrut dan mengkader angota-anggotanya.[]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!