Merebut Tafsir: Hewan Qurban
REZA, anak sulung saya bertanya soal binatang sembelihan di Hari Raya Haji/Idul Adha/Idul Qurban. Dengan usia menjelang 30 tahun tentu ia telah mendengar berulang kali dalam khutbah di setiap shalat Id kisah keteguhan Ibrahim as. dan kebaikan Tuhan yang telah memerintahkan untuk mengganti anaknya, Ismail dengan seekor kambing sebagai binatang sembelihan qurban. Ia juga telah mendengar kisah teladan Siti Hajar mencari air demi Ismail yang berlari-lari dari bukit Safa ke butik Marwa dan lahirlah cerita sasakala (asal usul) air Zamzam.
Ia hanya tak habis pikir soal kewajiban menyembelih binatang ternak berkaki empat utamanya sapi dan kambing di Hari Raya Qurban itu. Ia punya pengalaman sedih di masa kecilnya; ia melihat kakak sepupunya menangis karena kambing yang dibeli dari uang sunatnya dan telah dipelihara berhari-hari sebelum disembelih pada akhirnya harus dipotong di Hari Raya Qurban. Reza dan Tasya pernah pulang menjerit-jerit karena ada kambing yang belum selesai dipotong lari mengembik-embik dengan kepala miring dan dikejar-kejar jagalnya. Mereka melihat hal yang menyedihkan dari peristiwa penyembelihan hewan qurban.
Saya jadi ingat cerita ibu soal abang saya yang menangis di atas pohon mangga menyaksikan kambingnya disembelih padahal kambing itu ia pelihara dan telah bernama. Abang saya tak mau turun dari pohon dan tak ikut riang gembira membakar “pelor” yang biasa jadi rebutan anak-anak lelaki dan lelaki dewasa untuk menunjukkan semangat kejantanan. Ibu saya menghibur abang bahwa alangkah mulianya kambing itu karena dimakan oleh manusia beriman dan manusia punya kehendak untuk berbuat baik dan menyembah Tuhan. Ibu saya menambahkan binatang yang menjadi qurban derajatnya lebih mulia dari binatang yang dimakan di hari-hari biasa atau mati sia-sia karena sakit atau bencana.
Penjelasan sederhana ibu saya mendapatkan penyempurnaannya ketika saya belajar antropologi. Adalah Mary Douglas, antropolog pintar dari Inggris generasi awal yang memperkenalkan teori natural symbolism tentang praktik ritual sebagai tindakan menjaga keseimbangan dalam human cultural. Mary Douglas adalah peletak dasar konsep analisis stuktural yang menghubungkan kelompok dan individu secara dinamis dalam sebuah ritual sebagalai bentuk keseimbangan, termasuk ritual kurban.
Bangsa Arab tempat di mana agama langit turun dan berkembang adalah bangsa nomaden, yang menggantungkan hidupnya dari penggembalaan. Kisah simbolik tentang penggembala dan gembalaannya secara metafor kerap dikisahkan dalam tradisi Biblika untuk menunjukkan betapa penting hidup bersama, berkelompok dan saling membantu di dalamnya. Umat yang sesat kerap dimisilkan pada kambing yang terpisah dari kelompoknya dan karenanya rentan diterkam serigala. Untuk mempertahankan kelompok, ritual kolektif seperti membagi binatang ternak sembelihan menjadi niscaya dan masuk akal.
Memelihara keseimbangan adalah konsep penting dalam kajian antropologi. Keseimbangan alam, populasi, membutuhkan ritual yang merasionalkan hal-hal yang sebetulnya irrasional. Bayangkan jika tidak ada ritual qurban, bangsa nomaden Arab akan kesulitan menjaga keseimbangan ternak peliharaan mereka, namun dengan adanya ritual qurban populasi kambing unta bisa berkurang secara sistematis, berlangsung setiap tahun dengan jumlah sembelihan yang juga akan terus bertambah dengan bertambahnya jumlah umat Muslim di dunia.
Fikih telah mengatur siapa yang berhak dan bagaimana cara membaginya. Namun ketimpangan sosial yang tajam, pengelompokan komunitas yang tidak lagi berbaur antara kaya miskin pemberi dan penerima qurban akibat hancurnya inti keseimbangan seperti keseimbangan dalam lingkungan, air, sumber daya alam, tanah, serta sumber penghiduan membuat sembelihan bagi sebagian kelompok terasa hanya demi sembelihan itu sendiri sementara bagi yang lain tak juga sanggup menyelamatkan keseimbangan.
Dalam perubahan kehidupan yang dahsyat serupa itu tidakkah ada kebutuhan untuk memberi makna yang lebih subtantif dari sekedar riual simbolik penyembelihan qurban itu? Sebab agama tak bisa berhenti hanya pada simbolisme belaka sebagaimana ditegaskan oleh Mary Douglas. Ritual harus berguna sebagai simbol yang menghubungkan grup dan individu, dan menggerakkan stuktur.
Dengan cara itu kesedihan orang seperti Reza yang tak tega melihat mata sapi atau kambing menangis, kelojotan dan mengembik bisa terjelaskan maknanya. Beragama tak bisa berhenti pada ritus dan simbolisme sementara hal yang sebaliknya dalam kehidupan nyata justru sedang terjadi.[]
I have noticed you don’t monetize your site, don’t waste your traffic,
you can earn additional bucks every month because you’ve got hi quality content.
If you want to know how to make extra bucks, search for:
Mrdalekjd methods for $$$