Rethinking Khilafah Islamiyah; NIIS/ISIS Sebagai Misal
IDE Khilafah Islamiyah sampai hari ini masih terus digulirkan, dan bahkan oleh sebagian kalangan gerakan Islamisme dicoba untuk diaplikasikan dalam konteks negara. Untuk merealisasikannya seringkali dengan melalui jalan kekerasan dan perang. Pada 11 September 2001, gerakan radikal al-Qaidah menghancurkan WTC dan Pentagon USA. Belakangan muncul gerakan yang lebih sadis, lebih ekstrim dan ultra-radikal yang disebut dengan ISIS (Islamic State of Irak and Syam), di Timur Tengah dikenal dengan DAIISY (Darul Islam fi Iraq wa Syam), dan di Indonesia ada yang menyebutkan dengan NIIS (Negara Islam Irak dan Syam).
Gerakan NIIS juga sudah hadir di Barat, seperti NII mengaku bertanggungjawab atas insiden pengeboman dan baku tembak di Paris-Perancis pada 13 November 2015, 129 orang tewas, 352 orang terluka, dan 99 orang yang terluka dalam keadaan kritis.
NIIS lebih jumawa dari al-Qaidah, karena mereka merasa lebih baik lantaran—sebagai organisasi gerakan Islam yang mencita-citakan penegakan Khilafah Islamiyah—NIIS sudah memiliki wilayah kekuasaan, sebagian dari wilayah Irak dan sebagian dari wilayah Suriah. Sedangkan al-Qaidah tidak atau belum memilik wilayah kekuasaan.
Kalau kita menelaah sejarah awal Islam mencatat bahwa menjelang wafatnya Nabi, beliau tidak melakukan serah terima jabatan dengan salah satu sahabatnya. Justru yang diucapkan berkali-kali adalah “ummatku, ummatku, ummatku”. Seraya mengatakan, “Bagaimana nasib ummatku setelah kepergianku.” Dan suksesi kepemimpinan umat Muslim pasca Nabi tidak menggunakan mekanisme dan sistem yang baku, lantaran tidak ada aturan tertulis secara rinci dan detail.
Pada masa suksesi Abu Bakar, dengan menggunakan mekanisme pemilihan langsung oleh sahabat Muhajirin dan Anshar. Lalu menjelang wafatnya Abu Bakar, ia berwasiat agar Umar ibn al-Khattab yang melanjutkan tampuk kepemimpinan umat Muslim dengan pertimbangan bahwa Umar adalah tokoh kharismatik, disegani kawan dan lawan dan tegas serta figur yang tepat dalam kondisi sosial-politik umat Muslim yang dipenuhi dengan berbagai konflik seperti kasus adanya golongan sempalan yang memboikot tidak mau membayar zakat/pajak, keretakan antar golongan Muhajirin dan Anshar, dan belum lagi umat Muslim dalam berinteraksi dengan umat non-Islam.
Pasca Umar ibn al-Khattab, suksesi kepemimpinan dengan menggunakan mekanisme memilih beberapa kandidat atau balon (bakal calon) sekaligus sebagai Ahl al-Hall wa al-‘Aqd (dalam bahasa kita sekarang anggota DPR/MPR) yang berhak memilih salah satu dari balon, yaitu di antaranya Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Abdurrahman ibn Auf, Zubair ibn Awam, dan Zaid ibn Tsabit. Dari beberapa kandidat itu, Ustman bin ‘Affan lah yang mendapatkan suara terbanyak dari voting Ahl al-Hall wa al-‘Aqd dan akhirnya dinobatkan menjadi pemimpin. Sedangkan suksesi Ali ibn Abi Thalib dipilih langsung oleh sepertiga wilayah umat Islam, dikenal dengan bayat ahl al-Madinah. Pasca Abi ibn Abi Thalib, tampuk kepemimpinan umat Muslim diambil alih oleh Mu’awiyah dengan sistem monarki absolut, yaitu kerajaan.
Dengan melihat ketidak ajeg-an dan ketidak bakuan sistem kenegaraan yang dipraktikkan para sahabat—bahkan dipraktikkan secara fleksibel dan kontekstual—maka kita dapat menyatakan bahwa sistem negara dalam Islam termasuk persoalan ijtihadi yang bersifat dinamis (mutaghayyir) dan menerima perobahan sesuai dengan kemaslahatan dan relevansinya dengan konteks tempat dan masa. Hal ini juga senada dengan hadits Nabi, “Antum a’lamu bi-umûri dunyâkum,” (Kalian lebih memahami persoalan dunia kalian). Yang sudah pasti ajeg dan permanen (tsawâbit) dalam Islam adalah nilai-nilai syûrâ (musyawarah dalam berbagai persoalan), keadilan (‘adâlah), egaliter (musâwâh), menciptakan kemaslahatan, dst. Dan nilai-nilai itulah yang dijadikan tujuan. Sedangkan perangkat berupa sistem dan mekanismenya adalah bersifat mutaghayyir (dinamis dan kontekstual) asalkan berorientasi pada tercapainya tujuan itu.
Para ulama memberikan standar kepemimpinan yang dalam kaidah fikih dikatakan, “Tasharruf al-imâm ‘alâ al-ra’iyyah manûth bi al-mashlahah,” (kebijakan seorang pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan bagi rakyat). Tanpa menyebutkan dan mengharuskan bentuk sistem tertentu.
Sistem khilafah Islamiyah yang sedang diterapkan oleh golongan ISIS pun sejatinya tidak selaras dengan arti khilafah yang sesungguhnya. Syaikh Ali Abdurraziq, ulama Al-Azhar Mesir pada sekitar tahun 1924, menyatakan bahwa khalifah merupakan kata yang berakar dari khalf yang artinya pengganti, setelah, sesudah, atau belakang. Dalam sejarah dinyatakan bahwa Umar ibn al-Khattab satu hari dipanggil oleh salah satu umatnya, “Wahai khalifah.” Umar menjawab, “Bukan, saya bukan khalifah. Tapi saya adalah Amîr al-Mukminîn (Pemimpin kaum beriman). Yang layak dipanggil khalifah hanya Abu Bakar. Sebab Abu Bakar lah sebagai pengganti langgsung Nabi, pemimpin umat Muslim setelah Nabi. Pada semasa hidupnya, Utsman dan Ali ibn Abi Thalib pun tidak atau enggan dipanggil khalifah.
Dalam al-Qur`an juga, kata khilafah bukan bermakna sebuah sistem kepemerintahan, melainkan bermakna Adam dan anak keturunannya sebagai representasi Tuhan yang menganugerahkan alam ini agar mendapatkan perawatan yang memadai yang menghidupkan nilai-nilai luhur dan menjaga alam semesta dari kerusakan. Seraya Tuhan mengamanatkan alam semesta ini kepada umat manusia agar dikelolah dan dijaga dengan baik.
NIIS juga tidak selaras atau bahkan tidak sesuai dengan apa yang telah dipraktikkan oleh Nabi dan sahabatnya dalam hal kekerasan dan peperangan atas nama Islam. Kalau Nabi dan sahabat berperang bertujuan membela diri dari teror, ancaman, diskriminasi dan tantangan perang dari golongan kafir—disebut dengan harb al-difâ’îy (perang defensif). Dalam peperangan pun Nabi dan sahabat menggunakan etika peperangan, seperti melarang merobohkan atau membakar tempat ibadah non-Muslim, tidak membunuh warga sipil, anak-anak, perempuan dan jompo, tidak boleh merusak lingkungan alam. Sedangkan NIIS sebaliknya, yaitu perang bersifat agresi (penyerangan) dan mengabaikan etika perang: merusak, membunuh warga sipil tanpa pandang bulu baik non-muslim ataupun muslim jika tidak mengikuti NIIS dan tidak berbaiat pada Abu Bakar sebagai khilafah, menghalalkan bom bunuh diri, menegakkan hukum yang tidak sesuai dengan hukum syariat dan HAM seperti melaksanakan jihad seks dengan melegalkan homo sex dan melegalkan penyerahan tubuh perempuan untuk disetubuhi secara bebas oleh para militer NIIS sebagai salah satu kanal jihad.[]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!