Rasisme

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Kamaliyah Babakan Ciwaringin Cirebon

 

DI zaman kolonial, Pemerintah Belanda membagi tiga kelompok masyarakat berdasarkan ras: (1). Eropa; (2). Pendatang (China/Arab), dan; (3) Bumi putra (pribumi). Segregasi kelas ciptaan kolonial ini menempatkan pribumi dalam posisi paling rendah, sehingga sedikit banyak memengaruhi mentalitas mereka yang merasa rendah diri (inferior coplexs), minder, dan subordinan (inlander).

Situasi mental seperti ini sayangnya terbawa dan diwarisi sampai sekarang. Secara mental banyak dari masyarakat kita yang merasa lebih rendah dalam hal apapun dari bangsa Eropa (Hal terkecil yang biasa kita jumpai: kalau ada bule meminta photo bersama). Juga, dalam masyarat santri, banyak yang merasa inlander di hadapan bangsa/keturunan Arab, hanya karena berhidung mancung, berpakaian a la Timur Tengah, apalagi diembel-embeli keturunan Nabi (meskipun diduga palsu, misalnya).

Menurut Frants Fanon, seorang teoritikus postcolonial, problem eksistensial seperti ini tidak muncul secara alamiah, melainkan dikonstruksi oleh kolonialisme. Karena merasa rendah diri di hadapan bangsa lain (the other), mereka akan meniru (mimikri) dan mengidentifikasi diri sebagai yang lain itu. Mentalitas inlander inilah yang tengah menghinggapi sebagian bangsa kita. Mereka tidak merasa bangga dengan identitas dan budaya sendiri dan memilih menggunakan identitas dan budaya orang lain. 

Sebelum pemerintah kolonial menciptakan segregasi kelas seperti itu, bangsa pendatang sebelum Eropa, seperti China dan Arab, mereka hidup menyatu dan berbaur dengan orang-orang pribumi, bahkan menjadi pribumi (pribumisasi). Kiai Abdurahman Wahid (Gus Dur) dalam “Membaca Sejarah Nusantara” menulis bahwa golongan keturunan Tionghoa masuk ke Nusantara ini melalui dua gelombang. Pertama, pada Abad ke-13 sampai Abad ke-16 ketika armada Tiongkok menguasai samudera Hindia dari kepulauan Madagaskar hingga lautan Pasifik di Pulau Tahiti. Angkatan laut ini dikuasai para perwira muslim, seperti laksamana Ma Chengho. Pada gelombang pertama ini orang-orang China yang datang dan menetap di Nusantara mayoritas beragama Islam. Gelombang selanjutnya dibawa oleh orang-orang Belanda. Mereka mendatangkan orang-orang China yang beragana Budha dan Konghucu dari Pulau Hainan dan dataran Tiongkok.

Begitu juga dengan bangsa Arab. Orang-orang Arab generasi awal, termasuk para keturunan Nabi, yang datang ke Nusantara tanpa membawa embel-embel “marga” (asyirah), mempribumikan diri, berbaur dan kawin-mawin dengan orang-orang pribumi. Gelombang kedua datang dengan membawa “marga” masing-masing. Jika golongan “sayyid” dikenal dengan al-Habsyi, al-Gadri, al-Sagaf, dll. Sementara “non-sayyid’ dikenali dengan Bawazier, al-Katiri, Baswedan dll.

Pendatang gelombang kedua, baik Arab maupun Tionghoa, bersamaan dengan kolonialisme. Politik kolonial, melalui kebijakan segregasi kelas, berusaha memisahkan pendatang dengan pribumi. Akhirnya, mereka bersikap ekslusif dan “rasis”. Hal ini bisa dilihat dari koloni-koloni  pendatang yang tersebar di beberapa daerah, seperti kampung China (pecinan) atau kampun Arab. Mereka kawin-mawin hanya dengan golongan mereka sendiri, membatasi diri, dan tidak mau berbaur dengan bangsa pribumi. Yang “habib” merasa paling habib dan menganggap rendah selain mereka. Di sinilah awal mula “petaka” itu datang.      

Mereka lupa bahwa negara kita sudah merdeka dan sudah menjadi satu bangsa. Segregasi kelas itu  sudah lama dihapus dan tidak berlaku lagi di zaman kemerdekaan ini. Satu-satunya ukuran dan sumber moral kita adalah kemanusiaan (sila kedua Pancasila) dan bagi orang beriman ditambah dengan ketakwaan dihadapan Allah (Q.S. al-Hujurat: 13).[]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.