Pangku: Potret Perempuan Humanis di Tengah Kerasnya Pantura

Sartika (Claresta Taufan) menyeka peluh di pipinya. Ia terus melangkah hati-hati setelah diturunkan paksa oleh sopir yang ditumpangi di Jalan Raya Pos atau Pantura (Pantai Utara Jawa).

Tahu dirinya hamil tua, Tika harus mencari tempat untuk beristirahat. Meski ia tak punya penghasilan, bahkan tak tahu siapa bapak dari janin yang menjembul di perutnya, Tika tak menggugurkan kandungannya, ia merawat sepenuh hati.

Tanah tandus mengepul, langkah Tika terlihat tertatih. Semakin dalam Tika berjalan, jalan tak gelap lagi, ada warung remang berlampu warna-warni dan bunyi dangdut riuh rendah dari dalam. Di warung remang-remang ini, tampak perempuan-perempuan duduk santai, berpakaian seksi menyembulkan asap rokok di mulut sambil melirik langkah gontai Tika. Tika hanya melewatinya, dan berhenti tepat di warung milik Ibu Maya (Christine Hakim).

Perut membuncit, waktu larut malam dan suasana tak menentu, menjadi alasan Bu Maya menolong Tika. Rumah sederhana yang penuh dengan daur ulang sampah hasil mulung Pak Jaya (suami Bu Maya), berani menampung Tika. Tika yang hamil tidur di tempatnya Pak Jaya (Jose Rizal Manua), sampai melahirkan Bayu (Shakeel Fauzi).

Rumah Bu Maya gratis, tapi tak seratus persen. Sebab Tika harus membayar dengan cara menjadi pelayan Warung Kopi Pangku milik Bu Maya. Sebenarnya Tika keberatan, tapi dia harus melihat jasa Bu Maya yang telah merawatnya.

Pasca Reformasi 1998 ekonomi Indonesia buruk, pekerjaan susah. Tika mau tidak mau harus kerja, siang dia kerja ke sawah bersama Pak Jaya, malam hari dia menjadi pelayan warung Pangku milik Bu Maya.

Sebagai pelayan warung, Tika berdandan layaknya pelayan warung Pangku panturaan (Anyer–Panarukan). Sambil menjaga anaknya, Tika belajar melayani tamu, dan melakukannya penuh kegetiran. Dia melayani tamu dengan membuat kopi, senyum, bercerita, mijat, dan dipangku. Hanya inilah yang bisa Tika lakukan dalam dunia penuh onak dan duri zaman itu.

Hari-hari terus berjalan. Tika terkenal di jajaran kopi Pangku panturaan. Warungnya terus ramai. Mobil truk hilir mudik mampir. Dan pada pertemuan yang kesekian kali, Tika kepincut dengan pemuda bernama Hadi (Fedi Nuril). Pemuda ini datang tidak hanya membawa lamunan dan keluh kesah, dia juga membawa cerita, kehangatan dan oleh-oleh ikan sisa. Akhirnya Tika jatuh ke pelukan Hadi. Dan Bayu, anaknya, tampak setuju kalau Hadi jadi bapaknya.

Kemarau hati Tika seperti menemukan rintik hujan yang pas untuk membasahinya.

Potret Perempuan Humanis

Di film Pangku ini, tergambar dinamika kehidupan masyarakat miskin (struktural), tapi tergambar kehidupan humanis. Dua tokoh perempuan ini tak pernah mengeluh. Bu Maya yang hanya mengandalkan warung Pangku yang (awalnya) sepi, ia terus melanjutkan hidup bersama Jaya, suaminya bekas PHK pabrik plastik. Sementara, Tika yang harus membesarkan anaknya seorang diri juga pantang menyerah. Dua perempuan ini terus menjalankan takdir hidup sebagaimana digariskan Tuhan.

Kerjaan sehari-hari mereka berada di garis tubir dosa (dilihat dari perspektif agama). Tapi mereka tahu tak punya pilihan banyak. Zaman Soeharto yang penuh tirani dan ketimpangan tak berpihak kepada masyarakat kecil, ekonomi menjadi blangsak tak karuan. Dan dua perempuan tangguh ini tetap harus melanjutkan hidup sebagai tulang punggung keluarga, tanpa alasan apa pun.

Dapur dua perempuan ini harus tetap ngebul. Mereka tak peduli bagaimana caranya mengantisipasi ketika dihujat akibat pekerjaannya, yang mereka tahu “bagaimana cara mengatasi kelaparan dan bagaimana melanjutkan hidup parau keluarganya”.

Hadi sebagai laki-laki asing yang datang ke hidup Tika tak berperan banyak. Justru ia layaknya lelaki (para sopir) yang kesepian ditinggal istrinya. Hadi hanya mampir singgah, lalu pergi ke gua pertapaan terdahulunya.

Riset dan Keberpihakan

Reza Rahadian dibantu Felix K. Nesi menulis kisah Pangku ini tak terjebak pada teknik rutinitas film-film Indonesia yang meromantisasi kemiskinan dan eksploitasi perempuan. Mereka melompati itu dengan mencoba membawa jati diri perempuan yang mandiri dan tangguh.

Sebagaimana terlihat pada sosok Bu Maya dan Tika, mereka menyiratkan perempuan tegar di tengah kungkungan hidup yang tak layak. Menjadi ibu tunggal, Tika tak mengabaikan anak. Dia merawat, menyekolahkan, dan mencukupi segala kebutuhan termasuk kasih sayang dan mental. Kita tahu kemiskinan berakibat pada kesehatan (kehamilan). Hidup dalam jurang kemiskinan dua perempuan ini mampu bertahan. Mereka tak mengeluh. Dan ini benar-benar dilihat sendiri oleh Reza saat riset bersama kru film.

“Waktu saya ngobrol sama mereka, gila, mereka enggak punya waktu buat mengeluh. Kayak mereka ini sadar enggak ya mereka ada dalam community seperti apa dan pekerjaan yang quite heavy gitu? The way they carry themselves as persons, itu buat saya kayak, ‘kok bisa gini ya?’ kayak, ‘Hey, Mas,’ ngobrol sama yang lain dan biasa aja. Enggak ada momen di mana kayak, ‘ya namanya kita orang susah, Mas,’ itu enggak ada kalimat itu. Mereka di situ kerja, yang penting bisa makan. Mereka punya anak dan anak harus makan. Kebetulan, suami nelayan, pulang sebulan sekali. Jadi kalau bisa kerja, kenapa enggak?” terang Reza dikutip dari HistoriA.

Perempuan dalam Pangku selain kuat juga humanis. Bu Maya yang mau menolong Tika dan perempuan-perempuan lain, dan Tika yang mau bertanggung jawab terhadap nasib Bayu. Kita tahu, hidup dalam krisis moneter 1998 itu tak mudah. Apalagi pelabelan negatif terhadap pekerjaan mereka yang berbeda.

Tapi mereka tak menyerah. “Di Pantura saya ngobrol langsung dengan mereka yang profesinya sama dengan Sartika dan juga ibu (pemilik) warung supaya bisa engage. Saya bisa lebih mengerti perspektif kehidupan di Pantura dari mereka langsung. Mereka tahu (hidup mereka) itu tidak mudah tapi mereka tidak mengeluh, tidak menyalahkan keadaan, tidak menyalahkan orang lain. Mereka perempuan yang bisa diambil sisi positifnya soal bertahan hidup,” timpal Claresta sembari menambahi Reza.

Film Pangku yang memotret kehidupan keras Pantura pantas diganjar penghargaan dari Busan International Film Festival (BIFF). Dari sisi produksi dan teknis sangat cermat. Reza bekerja sama dengan Teoh Gay Hian (sinematografer), Gita Fara dan Arya Ibrahim. Mereka menghadirkan pendekatan realis yang jujur tentang kehidupan warung pangku. Tapi film yang disebut sebagai “surat cinta” Reza untuk ibunya ini tak sempurna. Ia juga pantas dikritik.

Pernyataan Reza bahwa film ini bukan untuk protes bisa diterima. Tapi ketika melihat keadaan latar sumber riset yang dipotret sekadar dijadikan film layar bergerak, lalu didiamkan saja, kita seperti melanggengkan kemiskinan. Apa keberpihakan kita pada realitas kemiskinan?

Kemiskinan tak pandang gender, bisa dirasakan oleh kelompok laki-laki dan perempuan. Tapi kemiskinan dampaknya tak netral gender. Ia lebih banyak dirasakan oleh kelompok perempuan. Apabila tak ada keberpihakan menyuarakan pada hal ini sekadar lewat kesenian, efek dominonya menular, ia tidak hanya menjadi pengantar seperti surat cinta Reza pada ibunya, tapi juga berlangsung terhadap generasi ke generasi berikutnya.

Pendiaman dan ketidakberpihakan ini berlangsung lama. Belanda pernah melakukannya. Pada masa itu kemiskinan dibiarkan tetapi praktik prostitusi dilanggengkan. Bahkan Belanda (1852) membuat aturan tentang Peraturan Pelaksanaan Prostitusi. Belanda hanya berpihak pada jalannya warung esek-esek karena menguntungkan secara ekonomi, tetapi dia membiarkan ekonomi masyarakat Pantura tetap remuk.

Kemiskinan dan perempuan hanya menjadi etalase, komoditas dan objek ekonomi, yang kemudian menjadi infrastruktur sosial.

Chiara Formichi dalam Domestic Nationalism: Muslim Women, Health, and Modenity in Indonesia (Stanford University Press, 2025), menyebut bahwa perempuan Indonesia masih terkungkung dalam narasi proyek “domestic nationalism” dan hanya dijadikan sebagai papan iklan palsu negara. Bahkan ia hanya menjadi frontline proyek: di satu sisi diberi keleluasaan, tapi di sisi lain perempuan dieksploitasi dalam profesi yang tampak memberdayakan. Di masa Kolonial disebut jugun ianfu.

Karena inilah penting adanya keberpihakan seratus persen pada kemiskinan dan perempuan. Kemiskinan dan perempuan tidak boleh dijadikan sebagai objek ekonomi, objek karya, dan frontline proyek narasi nasionalisme dan kemajuan, tapi ia harus dicarikan solusi humanismenya. Tapi takkan ada solusi tanpa keberpihakan.

 

Deskripsi Film:

Judul: Pangku | Sutradara: Reza Rahadian | Produser: Arya Ibrahim, Gita Fara | Pemain: Claresta Taufan, Fedi Nuril, Christine Hakim, Shakeel Fauzi, Jose Rizal Manua, TJ Ruth, Muhammad Khan, Nazyra C. Noer, Devano Danendra, Nai Djenar Maisa Ayu, Lukman Sardi, Happy Salma, Arswendy Bening Swara | Produksi: Gambar Gerak | Genre: Drama | Durasi: 100 Menit | Rilis: 6 November 2025.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses