Moderasi Islam Membuka Ruang Interaksi yang Toleran
UMAT Muslim adalah umat yang berpijak pada akidah khusus, yang darinya muncul sistem, aturan, etika dan akhlaknya, yaitu akidah Islam, dan inilah makna mereka disebut “umat Muslim”; mereka adalah ummatan wasathan (umat moderat) yang menjadikan Islam sebagai cara hidup, konstitusi, sumber hukum dan pedoman bagi seluruh urusan kehidupan mereka, termasuk hubungan individu dan sosial, material dan moral, lokal dan internasional.
Umat Muslim meyakini, sebagaimana ditegaskan di dalam al-Qur`an, bahwa “Innâ al-dîna ‘inda Allâh al-Islâm” (Sesungguhnya agama yang diakui di sisi Allah adalah Islam). Tetapi, ini tidak berarti bahwa umat Muslim tertutup dalam seluruh elemen keyakinan yang mengikat mereka, sehingga mereka tidak terbuka atau tidak boleh membuka ruang-ruang interaksi dengan umat-umat lainnya.
Di dalam al-Qur`an telah dijelaskan mengenai dasar-dasar interaksi umat Muslim dengan umat-umat lainnya. Allah Swt. berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak [pula] mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil,” [Q.S. al-Mumtahanah: 8]. Di masa awal-awal Islam, Allah tidak melarang umat Muslim untuk bergaul dengan non-Muslim.
Kaum Ahli Kitab, misalnya, di dalam Islam mereka diperlakukan secara istimewa. Umat Muslim diizinkan untuk makan dan bergaul dengan mereka, bahkan menjadikan mereka sebagai keluarga, dan ini adalah puncak moderasi interaksi dalam beragama: seorang Muslim boleh mempunyai pasangan atau pendamping hidup dari kalangan non-Muslim, yang nantinya menjadi ibu dari putra-putrinya.
Al-Qur`an secara tegas menyebutkan tentang nilai moderasi terkait interaksi umat Muslim dengan orang-orang yang tidak sekeyakinan, yaitu bahwa Allah mewajibkan keadilan bagi semua orang. Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan [kebenaran] karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” [Q.S. al-Ma`idah: 8].
Nilai moderasi Islam melarang seorang Muslim hanyut dalam kebenciannya terhadap suatu kaum atau kebencian mereka terhadapnya, atau kebenciannya yang berlebihan terhadap mereka membuatnya berlaku tidak adil dalam membuat keputusan, memberi kesaksian, menyampaikan pendapat, atau melakukan suatu tindakan. Kezhaliman atau ketidakadilan termasuk hal yang sangat dilarang, baik bagi orang Muslim maupun non-Muslim, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang zhalim.
Di antara indikasi moderasi Islam di dalam al-Qur`an adalah firman Allah Swt. tentang “birr al-wâlidayn” (berbakti kepada kedua orangtua), “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik,” [Q.S. Luqman: 15].
Meskipun kedua orangtua membenci anaknya, yang diungkapkan oleh al-Qur`an dengan kalimat “jika keduanya memaksamu” yang menunjukkan upaya diam-diam keduanya untuk memalingkan si anak dari agamanya, tetapi Allah memerintahkan si anak untuk tetap bergaul dengan keduanya secara baik, berbakti kepada keduanya, memenuhi hak-hak keduanya, meskipun ia tidak menyetujui perbuatan keduanya.
Selain itu, al-Qur`an juga menggambarkan sifat umat Muslim di masa Nabi Saw., “Dan mereka (umat Muslim) memberikan makanan yang disukai kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan,” [Q.S. al-Insan: 8], dan, seperti yang kita tahu, pada masa itu yang menjadi tawanan adalah orang-orang musyrik yang membenci, memusuhi, menyakiti dan memerangi umat Muslim.
Di dalam al-Qur`an kita akan menemukan etika berdialog dengan suatu kaum yang tidak sekeyakinan dangan umat Muslim, yang intinya adalah perintah Allah kepada umat Muslim untuk fokus kepada “hal-hal yang mendekatkan” dan bukan kepada “hal-hal yang menjauhkan” atau “hal-hal yang dapat membuka ruang-ruang perselisihan dan permusuhan”. Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka, dan katakanlah, ‘Kami telah beriman kepada [kitab-kitab] yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri,” [Q.S. al-‘Ankabut: 46].
Para mufassir menyebutkan bahwa di masa Nabi Saw. ada beberapa orang Muslim mempertanyakan legalitas infak dan sedekah bagi orang-orang yang berhak dan kerabat mereka yang tetap dalam kesyirikan: bolehkah memberikan infak dan sedekah bagi non-Muslim? Kemudian Allah menurunkan firman-Nya kepada Nabi Saw., “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk [kepada] siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan [di jalan Allah], maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan),” [Q.S. al-Baqarah: 272]. Ayat ini mengisyaratkan bahwa niat infak dan sedekah adalah untuk memperoleh ridha Allah, meskipun infak dan sedekah itu diberikan kepada non-Muslim.[]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!