rumah kitab

Merebut Tafsir: Nasihat Gus Mus tentang Perkawinan

Oleh: Lies Marcoes-Natsir

 

DI umur kepala enam, tak terbilang walimah atau hajatan perkawinan yang pernah dihadiri. Menghormati yang mengundang itu jadi alasan utama. Jika tidak sedang ke luar kota saya berusaha menyempatkan hadir: bertemu para tetamu, suguhan dan kemeriahan hajatan adalah bonus yang menggembirakan. Namun yang tak kalah penting adalah mendengarkan nasihat perkawinan.

Di beberapa kawinan, nasihat atau khutbah nikah disampaikan langsung oleh Kepala KUA. Selain menasihati kewajiban suami-istri, menekankan menjadi istri salehah, tak jarang nasihat Pak Penghulu menyerempet guyonan tipis-tipis soal ranjang penganten. IiIhhh…

Namun di banyak kawinan, nasihat perkawinan sering disampaikan khusus oleh mereka yang diundang shohibul hajat. Nasihat biasanya dipersiapkan dengan baik, berisi perbekalan yang layak diingat dan dipersiapkan kedua mempelai dalam mengayuh biduk rumah tangga. Ketika Boris, anak bungsu kami menikah, nasihat disampaikan Prof. Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal. Nasihat yang lembut, dalam, menyentuh, menggugah hati, yang membuat kami, terutama saya dan Boris menitikkan air mata.

Pertengahan Juni 2022 saya menghadiri resepsi pernikahan putri Gus Adib Machrus, karib seperjuangan dalam pencegahan perkawinan anak dari Kementerian Agama. Seingat saya ini adalah acara kawinan meriah pertama yang saya hadiri setelah ruang perjumpaan sosial tertutup akibat Covid-19.

Acara digelar di pelataran atas Masjid Istiqlal dan ini benar-benar seperti reuni. Pelataran itu disulap jadi ruang pesta terbuka, udara cerah, dan meriah dengan iringan musik gambus yang membuat pendengarnya seperti ingin menari zapin.

Saya kebetulan duduk semeja dengan Gus Mus yang dikawal Ben dan Billy, dua kesayangan Mbak Ienas – Gus Ulil. Di meja itu ada Pak Lukman Hakim Saefuddin dan istrinya Ibu Willy, dan beberapa kolega Pak LHS. Meja ini bersebelahan dengan meja rombongan Menteri Agama Yaqut Cholil dan Ibu Eny Retno Yaqut.

Kedua meja itu praktis menjadi pusat kemerahan, selain di pelaminan. Orang bergantian menyalami Gus Mus dan Pak Lukman. Bu Willy kemudian mengajak kami pindah ke meja ketiga mengingat makin banyak tetamu yang ingin sowan dan selfie di meja Gus Mus.

Demikianlah, kemeriahan walimahan semakin gayeng ketika Gus Mus naik ke panggung pelaminan. Berbeda dari lazimnya menasihati kedua mempelai, Gus Mus melakukakannya dengan bersoal jawab. Kedua mempelai diberi pertanyaan dan berdasarkan jawaban itu Gus Mus melanjutkannya dengan nasihatnya untuk kedua mempelai.

Dari sekian pertanyaan yang diajukan, ada tiga hal yang begitu terkesan dari cara Gus Mus mengantarkan nasehatnya tentang esensi relasi yang dibina melalui perkawinan. Pertama-tama Gus Mus mengajukan pertanyaan untuk memastikan bahwa perkawinan itu bukanlah hal yang dipaksakan. Setelah teryakinkan, Gus Mus melanjutkan dengan pertanyaan yang dikutip dari Q.S. al-Hujurat: 13 (Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal).

Gus Mus bertanya, mengapa laki-laki dan perempuan yang begitu berbeda: fisiknya, sifatnya, karakternya, anggapan-anggapan sosial tentang kedudukan, peran, tanggungjawab perempuan dan laki-laki yang begitu berbeda dipersatukan dalam perkawinan. Di ujung ayat itu terdapat kunci jawabannya. Untuk saling mengenal. Namun, Gus Mus kembali bertanya secara skeptis, “Untuk apa saling mengenal?”. Bayangkan, demikian Gus Mus mengimajinaskan ada perbedaan bangsa-bangsa, lalu perbedaan suku-suku yang gampang menyulut sengkarut dan sengketa. Apalagi perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Sekali lagi Gus Mus mengajukan pertanyaan perenungan, mengapa dari makhluk yang begitu berbeda dipersatukan dalam perkawinan?

Berdasarkan ayat iu Gus Mus menegaskan bahwa kita dipersatukan dalam perkawinan untuk saling mengenal yang artinya kita mengakui bahwa kita berbeda. Jadi perkawinan itu merupakan fondasi untuk mengakui, menerima, menyadari PERBEDAAN!. (Tetiba ingat lagu Tulus, “Ku kira kita akan bersama. Begitu banyak yang sama…”)

Hal kedua, Gus Mus mengingatkan bahwa manusia bukanlah makhluk yang selamanya baik seperti malaikat dan selamanya buruk seperti setan. Karenanya perkawinan menurut Gus Mus harus berfungsi sebagai sarana memanusiakan manusia, agar masing-masing yang ada dalam ikatan perkawian itu tetap menjadi manusia. Karenanya rumah tangga harus dapat menjaga dan merawat martabat pasangan sebagai manusia.

Dan hal ketiga, dengan menyadari bahwa antara laki-laki dan perempuan itu berbeda, keduanya adalah manusia, maka hal yang harus diusahakan dan diperjuangkan oleh pasangan yang berbeda di dalam perkawinan itu adalah terus-menerus berbuat ma’ruf. Bukan sekali-sekali ma’ruf, bukan kadang-kadang ma’ruf, tetapi harus terus-menerus ma’ruf. Selamanya terus berbuat baik kepada pasangan. Dan itu adalah perjuangan di sepanjang perkawinan![]

25 Juni 2022

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.