Islam dan Demokrasi
HUBUNGAN Islam dan demokrasi menjadi bahan dialog dan perdebatan di dunia Islam sejak Muhammad Ali Pasha mengirim ratusan mahasiswa Mesir antara tahun 1813-1849 ke Prancis, Inggris, Italia, dan Austria. Di antara mahasiswa tersebut yang mempunyai nama besar adalah Rifa’ah Rafi’ al-Thahthawi, yang setelah kembali dari Prancis ia membawa gagasan mengenai demokrasi dan nasionalisme. Al-Thahthawi merupakan tokoh pembaharu pertama dalam sejarah Mesir modern. Ia memandang bahwa pengiriman ratusan mahasiswa ke negara-negara Eropa itu merupakan upaya untuk mentransformasikan nilai-nilai demokrasi dalam sistem Barat ke dunia Islam. Dan ia melihat bahwa kepentingan umum yang merupakan bagian dari syariat relatif lebih terpenuhi di dalam struktur permusyawaratan yang membangun sistem demokrasi (saat itu belum ada kebijakan-kebijakan politik di negara-negara demokrasi yang memicu kontroversi besar, seperti hak-hak homoseksual).
Karena demokrasi menduduki posisi puncak di arena global dengan berpijak pada pemikiran liberal yang terkait dengan Eropa dan Amerika, sebagian dari umat Muslim mencoba membandingkannya dengan prinsip keadilan dan syûrâ dalam Islam—yang dari sana kemudian lahir istilah “demokrasi Islam”—, hingga kemudian mereka mengklaim bahwa Islam sebenarnya telah terlebih dahulu menjalankan sistem demokrasi tanpa melihat titik-titik persamaan dan perbedaan antara antara istilah “Islam” dan “Barat” dengan prinsip “tidak masalah dalam terminologi”. “Keadilan dan syûrâ di dalam ajaran Islam adalah demokrasi,” kata mereka. Mereka menulis banyak buku dan artikel yang memuji demokrasi dan kelebihannya serta kesesuaiannya dengan agama. Belakangan muncul istilah “demokrat konservatif” di Turki yang merujuk pada sistem yang dianut oleh para politisi Turki, sebagaimana digambarkan oleh pakar hukum konstitusi Amerika Noah Feldman bahwa tren demokrasi Islam akan penguasai arena politik di masa depan karena agama dan demokrasi adalah teknik kemasyarakatan untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan, sehingga wajar bila keduanya berjalan seiring dan tidak berseberangan.
Sebagian yang lain memandang bahwa demokrasi tidak layak dibandingkan dengan Islam. Sebab, menurut mereka, Islam adalah agama yang memiliki sistem lengkap dan integral yang memandang alam semesta dan kehidupan secara menyeluruh dan komprehensif, sedangkan demokrasi merupakan ekspresi praktis dari metode pemikiran liberal yang lebih menonjolkan pandangan umum tentang alam semesta dan kehidupan. Berbeda dengan pandangan agama, demokrasi lebih fokus pada individu manusia dan kebebasannya tanpa memandang batas nilai, masyarakat dan kekuasaan kecuali dalam batas-batas duniawi semata. Oleh karena itu, dalam pandangan mereka, tidaklah objektif membandingkan suatu bagian dari satu sistem dengan sistem yang lain, karena bagian tersebut tidak akan dapat menjelaskan konsep-konsepnya kecuali melalui posisinya di dalam struktur sistem yang menjadi pijakannya. Dari sini maka perbandingan antara Islam dan demokrasi seperti yang populer di kalangan intelektual Muslim dan lainnya jelas merupakan kesalahan fatal.
Dalam konteks inilah kajian referensi-referensi klasik mengenai nilai-nilai universal Islam menjadi sangat penting. Sebab hanya dengan cara ini pemikiran ulama dan pemikir Muslim bisa dipelajari, begitu juga dengan referensi-referensi kontemporer yang terbit di berbagai negara di Timur Tengah yang banyak memberikan pengaruh di Indonesia. Pengaruh referensi-referensi tersebut terkait pandangan mengenai Islam dan demokrasi belakangan ini kembali mengemuka dan menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat, ulama, dan akademisi seiring semakin menjamurnya gerakan fundamentalisme, ekstremisme, dan radikalisme yang menopang Islamisme politik.
Problem hubungan antara agama, negara dan demokrasi sebenarnya tidak eksklusif hanya untuk situasi dunia Islam. Eropa telah lebih dulu mempersoalkannya, karena problem ini mendominasi pemikiran Kristen sejak awal kemunculan agama Kristen, tetapi problem ini bisa diselesaikan pada awal era Renaissance dan kemudian dengan cara yang bervariasi antara kekerasan dan perang saudara di satu sisi, dan perdebatan intelektual yang mengarah kepada konsensus-konsensus rasional realistis yang menentukan batas-batas gereja dan negara di sisi lain. Demokrasi yang didasarkan pada kewarganegaraan dan kemitraan politik untuk semua mendapat tempat yang baik di dalam konsensus-konsensus ini, dan hasilnya adalah stabilitas dunia Kristen di atas kemapanan-kemapanan dan sumber-sumber yang hari ini menjadi bagian bersama antara semua masyarakat Kristiani Barat yang sekuler, liberal dan demokratis, atau negara sipil, dengan beberapa pengecualian di sana-sini.
Hubungan antara agamawan dan politisi dalam masyarakat Kristiani dapat dijelaskan dengan melihat sifat agama Kristen yang memisahkan antara iman Kristen di satu sisi dan politik dan negara di sisi lain, sebagaimana dikatakan, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah,” [Matius 22: 21]. Selain itu, fakta bahwa al-Masih tidak mendirikan negara atau menjalankan pemerintahan, menjadi teladan luhur bagi masyarakat Kristiani untuk tidak mencampuradukkan antara agama dan negara.
Pertimbangan-pertimbangan lain yang membantu mengokohkan posisi demokrasi di dalam masyarakat Kristiani Barat adalah kebangkitan intelektual, industri dan sains, serta kuatnya posisi kaum intelektual atau kelas intelektual yang tercerahkan, juga kesadaran dan kematangan masyarakat Kristiani Barat yang pernah mengalami penderitaan akibat dominasi gereja dan ketiadaan akal. Ketika agama Kristen diadopsi sebagai agama resmi Kekaisaran Romawi selama pemerintahan Kaisar Konstantin pada abad ke-4 Masehi, peradaban Kekaisaran Romawi pada saat itu sudah sangat tinggi yang diwarisi dari pendahulunya, yaitu peradaban Yunani.
Kesadaran ini telah menanamkan di dalam diri setiap orang kepercayaan kepada diri sendiri, kepercayaan kepada rakyat, serta kemampuan rakyat untuk menyelesaikan masalah-masalah duniawi mereka tanpa memerlukan bantuan Tuhan dalam setiap urusan kecil maupun besar, yang membuat mereka yakin bahwa urusan negara dan sistem pemerintahan beserta kebijakan-kebijakan ekonomi dan sosialnya bersifat profan untuk kepentingan manusia bukan untuk kepentingan Tuhan di langit, dan bahwa apa yang menjadi kebaikan bagi rakyat dan diterima oleh rakyat tentu juga akan diridhai oleh para penghuni langit karena Tuhan sendiri pasti menghendaki yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya.
Perlu dijelaskan bahwa sekularisme Barat-Kristen tidak hanya melihat agama semata, tetapi posisi agama itu sendiri di dalam masyarakat, juga fungsi dan hubungannya dengan bidang-bidang kehidupan yang lain, sebagaimana demokrasi telah mengembalikan kepada warga negara Barat kemanusiaannya, mengukuhkan kewarganegaraan yang membatasi sektarianisme dan sukuisme, dan mengubah hubungan antara pemerintah dan yang diperintah dari hubungan pemimpin dan yang dipimpin menjadi hubungan kewarganegaraan yang menetapkan hak dan kewajiban bagi pemerintah dan warga negara, menghormati kehendak rakyat dan hak mereka melakukan revolusi guna mengganti penguasa, dan melepaskan dari para penguasa monopoli religius dan sakralitas atau untuk berbicara atas nama Tuhan, artinya sistem demokrasi melepaskan legitimasi agama dari para penguasa.
Di lain pihak, pengalaman sejarah Islam tentang hubungan Islam dengan negara dan hubungannya dengan demokrasi, sikap dan pandangan bermunculan dan masih hangat hingga sekarang. Puluhan bahkan ratusan seminar dan konferensi ilmiah diselenggarakan yang melibatkan para intelektual dan cendekiawan dari semua latar belakang politik dan pemikiran. Perdebatan ini semakin meningkat di bawah naungan kekacauan Arab Spring, terutama tentang negara sipil (al-dawlah al-madaniyyah).
Sebelum menguatnya Islamisme politik, pendapat yang paling bisa diterima adalah tidak adanya pertentangan antara Islam dan pembangunan negara modern juga antara Islam dan demokrasi sebagai sistem dan mekanisme untuk mengatur kehidupan masyarakat di dalam negara, atau kemungkinan memasuki dunia demokrasi tanpa berbenturan atau bertentangan dengan agama Islam, karena masing-masing dari keduanya memiliki bidang dan coraknya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain. Para pemikir era kebangkitan Arab-Islam di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah yang paling matang dalam mendekati persoalan ini.
Munculnya Islamisme politik seiring dengan lahirnya Al-Qaeda dan kemudian ISIS beserta apa yang mereka praktikkan di wilayah-wilayah yang mereka kuasai, juga ledakan konflik-konflik sektarianisme dan sukuisme, menjelaskan bahwa banyak masalah yang belum terselesaikan di dunia Islam. Dalam pandangan kelompok ini, demokrasi adalah sistem kafir berdasarkan pada konstitusi positif yang menjadi acuan bagi umat, dan pemerintahan rakyat bertentangan dengan konsep hâkimîyyah (kedaulatan Tuhan) atau pemerintahan dalam Islam. Kaitan erat demokrasi dengan pengalaman politik dan peradaban Barat yang sekular menjadi alasan mereka untuk mewaspadai dan bahkan menolak demokrasi. Banyak kelompok keagamaan di dalam Islam yang memandang demokrasi sinonim dengan sekularisme dan sekularisme sinonim dengan ateisme! Kelompok-kelompok ini mengadopsi pemikiran Wahabi, organisasi Al-Qaeda, ISIS dan lain-lain.
Terdapat pandangan lain yang tidak menolak demokrasi secara prinsip, tetapi melihat demokrasi ada dalam Islam melalui prinsip syûrâ. Menurut pandangan ini dimungkinkan untuk menciptakan ruang pertemuan dan koeksistensi antara Islam dan demokrasi. Pandangan ini diadopsi oleh beberapa negara seperti Maroko, Turki dan lainnya, serta kelompok-kelompok dan tokoh-tokoh pemikir seperti Hassan al-Turabi di Sudan, al-Raisuni di Maroko, Hizbun Nahdhah di Tunisia, dan bahkan Ikhwanul Muslimin belakangan ini.
Terlepas dari semua yang telah terjadi beberapa tahun terakhir, yang pasti demokrasi dan Islam tidak dapat dijauhkan dari pembangunan negara, dan ini berlaku bahkan untuk negara-negara yang belum tersentuh api kekacauan Arab Spring. Demokrasi dan kemitraan politik untuk semua adalah syarat utama untuk membangun kembali negara pada fase post-Arab Spring, keduanya merupakan jaminan kehidupan yang layak dan kebebasan dalam segala bentuknya, jaminan penghormatan terhadap keyakinan agama rakyat, serta jaminan budaya, identitas dan agama mayoritas, bukan aturan individu atau segelintir orang yang menyatakan diri berbicara atas nama Islam dan umat Muslim, atau atas nama sekte atau etnis tertentu.
Tetapi itu tidak berarti bahwa kita harus meniru model demokrasi dan sekularisme Barat, yang diperlukan adalah menyesuaikannya agar selaras dengan budaya dan ciri khas kita, seperti yang dilakukan bangsa-bangsa lain seperti Jepang, Korea Selatan, dan beberapa negara Afrika, juga beberapa negara Islam seperti Malaysia dan Turki sampai batas tertentu, karena demokrasi tidak selalu berarti westernisasi melainkan modernisasi dan modernitas sistem politik. Sama halnya dengan sekularisme yang tidak berarti melawan agama, tetapi lebih merupakan upaya mengatur hubungan antara agama dan negara dengan menghormati dan mengatur bidangnya masing-masing.
Pertanyaannya: bisakah Islam menjadi demokratis? Bisakah partai Islam demokratis dibentuk? Kedua pertanyaan ini menempati area yang sangat luas di dalam berbagai dialog karena transformasi besar yang dialami masyarakat Muslim di tingkat sosial, politik dan ekonomi. Transformasi ini telah membuka cakrawala dialog dan diskusi tentang tema-tema yang sangat kompleks dan sangat urgen yang memerlukan solusi yang efektif.
Kembali ke dua pertanyaan tersebut, Islam, seperti halnya agama lain, punya kontribusi besar dalam menata masyarakat yang berada di bawah naungannya. Dan seiring dengan perjalanan waktu, perkembangan masyarakat serta tumpang-tindihnya kepentingan ekonomi dan politik, Islam melampaui peran sosialnya, dan dengan sangat cepat berubah menjadi salah satu bentuk penyelenggaraan negara (mencakup pengelolaan kepentingan ekonomi dan politik warga-warganya). Undang-undang dan peraturan disusun berdasarkan kepentingan kekuatan yang berkuasa dengan memberikan tafsir-tafsir yang bertentangan dengan agama. Dan bersamaan dengan perkembangan sistem ketatanegaraan dan mekanisme peralihan kekuasaan secara damai, mereka yang bertugas mengembangkan instrumen-instrumen pemerintahan dalam Islam gagal menyelaraskannya dengan negara modern. Akibatnya, agama hanya menjadi alat untuk memperoleh kekuasaan dan filosofi untuk mengatur dan menundukkan masyarakat.
Berbeda dengan demokrasi yang sejak awal merupakan alat untuk mengatur kepentingan politik dan ekonomi, kekuasaannya diperoleh dari kehendak bebas warga negara, hingga kemudian berkembang menjadi alat paling penting untuk peralihan kekuasaan dan penyelenggaraan negara melalui aturan dan mekanisme tertentu. Demokrasi adalah ideologi negara yang diciptakan oleh akal manusia yang otoritasnya diperoleh dari kehendak bebas manusia. Menggabungkan atau mencampuradukkan demokrasi dengan Islam atau agama lain akan menciptakan bentuk administrasi yang terdistorsi, dan segala bentuk harmonisasi di antara keduanya memerlukan perubahan radikal dan mendalam pada salah satu atau kedua-duanya secara bersamaan.
Mengenai keberadaan partai-partai Islam, tidak ada yang menghalangi eksistensinya di dalam sistem demokrasi, atau partai-partai tersebut memiliki agenda politik terkait isu-isu etika dan budaya keagamaan yang berdimensi sosial serupa dengan partai-partai demokrasi Kristen yang tersebar di Eropa, tetapi tanpa sedikitpun “menyentuh” dan “mengganggu” bentuk negara, nilai-nilai dan peraturan-peraturannya yang dihasilkan dari konsensus bersama, atau bahkan netralitas negara terhadap komponen-komponennya, terutama yang bersifat religius, dan tidak dibolehkan menggunakan mimbar keagamaan sebagai tempat propaganda partai. Dulu Gereja di Eropa berusaha untuk mengontrol seluruh sendi negara. Akibatnya sangat tragis dan berdimensi destruktif, sehingga masyarakat Eropa tidak dapat bangkit sampai mereka memisahkan agama dari negara.
Pembagian peran yang damai antara kekuasaan dan aliran-aliran politik membutuhkan inkubator yang mampu menampung semua orang dan menyediakan lingkungan yang aman bagi penegakan hukum supaya peralihan kekuasaan berlangsung secara baik demi terciptanya negara netral yang melindungi kepentingan warganya jauh dari kekuasaan politik. Dan saat ini, tidak ada inkubator yang lebih baik daripada demokrasi yang dapat menampung keragaman dan perbedaan di masyarakat, karena demokrasi tidak menghapuskan afiliasi (kepada kelompok apapun) atau membeda-bedakan orang karena perbedaan ras, suku, dan agamanya, melainkan menyamakan semua dan membuat negara berdiri pada jarak yang sama dari setiap orang tanpa diskriminasi.
Oleh karena itu, demokrasi harus menjadi tujuan dasar bagi semua kekuatan politik, bahkan kekuatan Islam, karena demokrasi merupakan sistem yang mampu melindungi kepentingan setiap orang dan memberi setiap orang kesempatan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan tanpa membedakan satu pihak dengan mengorbankan yang lain. Demokrasi mampu memberikan hak yang sama kepada seluruh warga negara untuk menjalankan keyakinan dan ritual agama mereka tanpa diskriminasi, agresi, atau preferensi terhadap satu agama di atas yang lain.[]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!