Merebut Tafsir: Merindu A-amina W-wadud
Hal rutin setelah si mahluk mikroskopis menyetop gerak dunia adalah jalan pagi. Sebelumnya, saya hanya melakukannya di kala sempat. Itu pun hanya weekend. Namun sejak April 2020, hampir setiap hari, kecuali hujan, saya jalan kaki antara tiga sampai empat ribu langkah di tempat kami tinggal di pelataran Gunung Salak, Bogor Selatan.
Saya jalan tatkala matahari terbit. Kaki saya belang di batas garis sepatu dan di bagian lengan. Belakangan, terutama setelah sang virus makin galak, saya mengubah adwalnya menjadi lebih pagi. Apalagi di bulan Puasa. Saya pastikan jalan pagi ketika burung Murai Batu mengirim salam dari pohon Mangga di depan rumah. Mereka tak pernah ingkar janji. Kicaunya terdengar nyaring tepat jam 5.30 pagi.
Seperti pagi yang lain, pagi ini saya mulai turun dari rumah setelah menderas Al-Quran beberapa ‘ain. Saya kenakan baju kesayangan almarhum suami, hem hijau pupus, katun India berlengan panjang yang telah koyak di ujung bawahnya. Karena udara masih begitu dingin saya biarkan ujung lengannya menjuntai sampai menutup ujung jemari yang bergerak ritmik memutar tasbih. Jalan pagi membuat perasaan bebas karena tak perlu memakai masker.
Demikianlah pagi ini, ritual jalan dilalui. Sambil jalan, biasanya saya mengulang- ulang wirid atau bacaan surat Al Fatihah. Bagi saya ini sangat membantu pernafasan dan rasa senang karena merasa ada manfaat lain dari jalan kaki. Biasanya, sambil jalan otak saya juga berputar; berpikir tentang suatu konsep atau tulisan atau bahkan merangkai kalimat yang biasanya terlintas deras.
Pagi ini, saya berjalan agak jauh melintasi jalan paralel di belakang rumah. Itu adalah jalan menuju rumah yang pernah ditempati Prof. A-amina W-wadud ( demikian cara menulis namanya sesuai dengan pilihan beliau karena dalam Bahasa Arab tidak dikenali huruf besar kecil). Rumah itu letaknya di atas jalan dan di hoek. Karenanya sangat nyaman tata cahaya dan udaranya. Itu sebetulnya sebuah rumah yang telah lama ditinggalkan pemiliknya dan tak ada yang menyewa. Namun A- amina tetap memilihnya dan menyulapnay menjadi rumah mungil yang sangat cantik. Rumah itu tak jauh dari Mesjid. Di bulan Ramadhan, sebelum ada Covid, setiap malam kami bertemu untuk sama-sama menjalankan shalat tarawih di Mesjid Al Muhaajirin di kompleks kami. (Tentang Tarawih bersama Ibu A-amina, Insha Allah akan saya tuisan dalam bagian lain).
Jika kami janjian, biasanya kami bertemu di jalan atau saya menyambanginya. Dan pagi ini, alangkah rindunya seperti berharap melihat bayang-bayang A-amina berjalan dengan langkah-langkah panjang mendekat. Kami biasanya berjalan beriringan sambil memungut bunga kemboja kuning yang setiap hari ia lakukan untuk menghiasi meja altarnya tempat pernak-pernik ‘amulet”, lilin berapi kecil dan dupa yang berkerlip. Ruangannya selalu harum oleh wewangian bunga kering yang ia bawa dari San Fransisco atau dari Bali.
Sudah satu tahun ini A-amina di Indonesia lagi sebagai pensiunan. Namun jarak terasa begitu jauh terhalang oleh virus. Saya dan Amanda Damayanti selalu mendapakan kabar tentang beragam kegiatannya. Ia tetap aktif melayani pertemuan-pertemuan dengan para akademisi, peneliti dan aktivis perempuan. Alangkah beruntungnya perguruan tinggi di anapun di dunia yang menerima sedekah ilmu dari A-amina tentang gender dan Islam dan isu lain seperti seksualitas dan belakangan kajiannya yang mendalam terkait queer.
Sambil berjalan saya mencoba mengingat kembali pertemuan pertama dengan Amina. Mungkin itu di tahun 1989 atau 1990 ketika WLuML menyelenggarakan pertemuan regional di Kuala Lumpur Malaysia. Kala itu saya masih anak ingusan sementara A-amina telah menjadi profesor dan menerbitkan disertasinya menjadi buku yang fenomenal “Qur’an and Women”.
Setelah itu beberapa kali kami bertemu dalam forum- forum terkait isu gender dan Islam. Seingat saya kami bertemu lagi di Malaysia untuk acara Islam and Reproductive Rights di tahun 1995 yang diselenggarakan Sisters in Islam, lalu pertemuan terbatas mitra-mitra internasional sebuah lembaga interasional di Nepal tahun 2003, dan belakangan kami hampir setiap tahun bertemu di Kuala Lumpur. Dalam forum- forum itu saya “naik pangkat” menjadi fasilitator training m dan feminisme bersama Rozana Isa untuk jariangan Musawah global network. Sementara Prof. A-amina, Zaina Anwar, Mbak Dr. Nur Rofiah, Dr. Ziba Mir Husaeini dan Prof. Khalid Mas’ud menjadi nara sumbernya.
Dalam 10 tahun terakhir A-amina menjadi lebih sering tinggal agak lama di Indonesia. Baginya Islam Indonesia adalah Islam yang ramah kepada perempuan. Ia merasa berada di rumah kedua yang selalu mengajaknya masuk bukan hanya sebagai tamu.
Ketika sabbatical di Jakarta beberapa tahun lalu, kami menjadi lebih sering bertemu di rumah sahabat kami, Amanda Damayanti. Kehadiran A-amina bagi kalangan yang sangat terbatas menjadi semacam perekat persaudaraan. Saya, Ulil Abshar Abdallah dan Mbak Ienas, Trisno dan Evelyn serta Aminda menjadi ‘kluster” persahabatan tersendiri dengan A-amina. Beberapa kali kami ziarah dan berkunjung ke beberapa pesantren di Crebon dan Taksimalaya.
Dihitung-hitung mungkin saya adalah orang Indonesia paling lama yang telah berteman dengan A-amina. Saya sangat senang ia telah mendapatkan izin tinggal dan memiliki kesempatan menyelam di berbagai pulau tersembunyi. Bayangkan, ia telah menyelam di Karimunjawa sementara setua ini saya belum pernah mencobanya. Ia begitu mencintai rembulan dan selalu mengagumi tanda-tanda Kekuasaan Allah dari pergantian siang dan malam, peredaran planet bintang-bintang dan matahari. Kami pernah mengejar gerhana matahari di Jambi serta menunggu purnama di sebuah pura di kaki Gunung Salak. Itulah yang membuat saya begitu rindu pagi ini. Ketika segaris lengkung rembulan menampakkan diri bak senyuman di bulan Ramadan menyambut hari ke enam.
Pada akhirnya, persahabatan adalah hal terbaik dari sebuah pertemuan. Jagalah selalu persahabatan karena kita tak selalu punya sahabat baik. Namun ketika kita mendapatkannya jagalah, jangan menyakiti dan mengkhianatinya. Terimalah kelebihan dan kekurangannya secara timbal balik. Di sana kita akan selalu menyimpan dan memiliki rindu. Tak sulit menjaga persahabatan, hormati dan jagalah. A-amina sayang, sehat selalu ya…
#Lies Marcoes, 7 April 2022.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!