Merebut Tafsir: Mengapa perlu Etnografi Feminis ?
Dalam penelitian tentang kawin anak di sembilan Kabupaten di Indonesia Rumah Kitab memutuskan menggunakan riset feminis yang datanya dikumpulkan secara etnografis.
Riset itu bertujuan untuk memetakan magnitute kemiskinan yang dialami perempuan yang hanya bisa dirasakan dengan mendengarkan langsung suara mereka mengingat alat ukur kemiskinan yang standar (survei, riset ) tak selalu mampu menangkap suara itu. Bukan saja frekwensinya berbeda tapi instrumen yang hendak dipakai mengukur juga tak selalu sama.
Penelitian dengan etnografi ini dibutuhkan agar bisa mendengar mereka yang tak terdengar akibat penelitiannya bias gender (yang diwawancarai hanya lelaki sebagai kepala keluarga), bias kelas (hanya bertanya kepada pamong, tokoh dan mereka yang bisa bersuara atas nama rakyatnya), bias status perkawinan ( hanya bertanya kepada yang punya status perkawinan ” jelas”/ legal formal) atau bias umur ( hanya meminta informasi dari mereka yang telah berkeluarga atau di atas usia kawin).
Di lapangan, kenyataan perempuan dengan status dan keadaan kemiskinannya begitu ragam. Penelitian etnogafi feminis memiliki kesanggupan unttuk menangkap makna dari data yang hilang dalam statistik; soal rasa!.
Satu orang miskin yang dicatat dalam statistik bisa menceritakan seratus wajah dalam etnografi non-feminis. Ketika satu orang miskin itu perempuan maka wajah kemiskinannya bisa berlipat ganda.Namun gambarnya bisa hilang terhapus oleh bias gender instumennya atau ketidak waspadaan penelitinya. Etnografi feminis, bukan hanya menyempurnakan cara penggalian datanya tetapi sering berfungsi untuk mengoreksi informasi, cara baca dan cara ungkapnya.
Dalam etnografi feminis “tidak ada suara adalah suara itu sendiri”. # Lies Marcoes, 8 Agustus 2021.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!