Merebut Tafsir: Memahami Pengaduan Kekerasan Seksual (2/2)

Oleh: Lies Marcoes, Direktur Eksekutif Rumah KitaB

 

DALAM bagian satu dari tulisan saya tentang “Pengaduan Kekerasan Seksual” (Kompas, 26 Agustus/MT 27 Agustus 2022), dikemukakan argumen bahwa kekerasan seksual adalah soal relasi gender bukan soal tubuh/seks.

Artinya ini bukan soal yang satu punya alat kelamin jantan dan yang lain punya alat kelamin betina. Ini adalah interpretasi budaya atas perbedaan kelamin yang dimaknai menjadi perbedaan kuasa: kuat-lemah, aktif-pasif, pemimpin-dipimpin, berkuasa-dikuasai, rasional-irasional, dan seterusnya.

Dalam makna itu, maka logikanya kekerasan seksual hanya mungkin terjadi karena ada relasi kuasa timpang di antara dua pihak; yang satu punya kuasa lebih dari sisi sosial, ekonomi, jabatan maupun pengaruh, yang lain sebaliknya.

Karenanya penanganan pengaduan kekerasan seksual harus diiringi pemeriksaan secara saksama tentang seberapa timpang relasi kuasa di antara dua pihak itu. Semakin timpang relas di antara keduanya semakin kecil kemungkinan terjadi kekerasan oleh pihak yang dilemahkan. Tapi apakah tidak mungkin terjadi yang sebaliknya?

Tulisan ini mengurai soal kemungkinan dan ketidak-mungkinanya dengan tetap menggunakan teori gender tentang analisis kuasa. Kekerasan seksual bukan mustahil terjadi dalam situasi yang sebaliknya: pihak yang dianggap lemah melakukan kekerasan kepada yang kuat.

Dalam sejumlah kasus pembalikan situasi itu dimungkinkan ketika setting power baik mikro maupun makro di antara dua pihak mengalami perubahan dahsyat. Dalam situasi itu, mereka yang semula dianggap kuat bisa kehilangan seluruh kekuatannya, misalnya akibat turbulensi politik baik karena kerusuhan, perang atau bencana yang tak terkendali.

Basis kekerasan seksual adalah kehendak untuk menguasai korban dengan mengoperasionalkan sebesar-besarnya power yang dimiliki atau yang sedang dipertarungkan.

Ini artinya, jikapun terjadi dalam relasi terbalik dari posisi timpang itu di mana yang lemah melakukan kekerasan kepada yang kuat, kita dapat melihatnya dalam dua setting yang berbeda.

Di kasus kekerasan individual hal itu biasanya terjadi karena pelaku tidak benar-benar kenal dan tidak mengetahui posisi sosial korbannya. Dalam situasi itu, power yang digunakan adalah kekuatan yang paling primitif, yaitu kekuatan fisik dan ancaman penghilangan nyawa. Ini misalnya terjadi dalam kekerasan perkosaan diiringi tindakan kriminal dan pembunuhan oleh pelaku yang tidak mengenali korbannya.

Dalam seeting yang kedua, sejumah referensi yang saya baca menunjukkan bahwa jungkir-baliknya reasi kuasa itu biasanya terjadi dalam peristiwa konfik yang tak terkendali. Dalam situasi serupa itu, hubungan kuasa antara pelaku dan korban menjadi kacau atau minimal status quo. Mereka yang selama itu dianggap lebih kuat bisa seketika kehilangan kuasanya. Misalnya dalam situasi konflik etnis/suku/ras/agama atau konflik lain yang berhadap-hadapan secara masif atau dalam kerusuhan.

Dalam situasi serupa itu pembalikan relasi power bisa dimungkinkan dan mendorong tindakan kekerasan oleh pihak yang selama ini dianggap pihak yang lemah karena kekerasan seksual merupakan cara efektif untuk menunjukkan pengambil-alihan power itu.

Karenannya ketika salah satu pihak yang semula dianggap rendah/lemah bisa memiliki kuasa lebih, secara teori mereka akan sanggup melakukan kekerasan, termasuk kekerasan seksual sebab posisinya telah terbalik. Namun ciri dari model kekerasan serupa itu biasanya dilakukan secara bergerombol sebagai bentuk penyerangan massal. Sebab tujuannya bukan untuk pelampiasan birahi melainkan untuk penaklukan.

Uraian ini sekali lagi menjelaskan bahwa dalam situasi apapun kekerasan seksual senantiasa memainkan relasi kuasa di ranah yang luas sekali. Namun penjungkirbalikan keadaan di mana pihak yang lemah sanggup melakukan kekerasan hanya mungkin terjadi dalam setting relasi makro yang tidak stabil dan kacau tanpa kendali.

Uraian ini juga menjelaskan bahwa relasi kuasa adalah bentukan keadaan dan tidak selamanya ajek dan stabil. Dan satu hal yang patut dicatat, kekerasan seksual adalah sebuah cara yang paling brutal yang jika tidak dianalisis secara tepat dapat tersesat ke dalam argumen maskulin patriarkis.

Argumen dimaksud adalah menganggap wajar tindakan kekerasan seksual kepada perempuan sebagai cara untuk menaklukkan lawan, atau pembalasan atas pelecehan/kekerasan seksual bertujuan untuk menjaga martabat dan harga diri. Ketika analisisnya terjebak ke dalam argumen seperti itu, maka kita telah kehilangan esensi dari pemahaman tentang kekerasan berbasis gender.

Jadi jika hipotesis ini disempitkan kepada kasus CP, apakah J tidak kenal CP? Atau apakah pada saat kejadian, sedang berangsung penjungkirbalikan power sehingga J sanggup melakukan tindakan kekerasas seksual kepada orang yang dianggapnya ibu atau majikannya sendiri?[]

 

30 Agustus 2022

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.