Membaca Kembali Kisah Kaum Luth di dalam Al-Qur`an (1/2)

NABI Luth ibn Harran adalah keponakan Nabi Ibrahim. Ia lahir di Irak bagian barat dan masih dalam wilayah Basrah, tepatnya di Desa Baabal. Setelah ayahnya meninggal, ia bersama pamannya, Ibrahim, pergi ke sebuah tempat yang diapit dua sungai bernama Qawra atau Jazirah Ibn Umar yang dikelilingi sungai Tigris. Kemudian pindah ke Kan’an, Suriah, hingga menetap di Yordania bagian Timur dekat Laut Mati di sebuah tempat bernama Sodom. Hingga hari ini sejahrawan tak pernah tahu persisi di mana letak desa tersebut, karena minimnya bukti-bukti sejarah.[1].

Kisah Nabi Luth berbincang-bincang dengan kaumnya tercatat di dalam al-Qur`an. Allah Swt. berfirman,

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِين. أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُونَ السَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِي نَادِيكُمُ الْمُنْكَرَ فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا ائْتِنَا بِعَذَابِ اللَّهِ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِين. قَالَ رَبِّ انْصُرْنِي عَلَى الْقَوْمِ الْمُفْسِدِينَ. وَلَمَّا جَاءَتْ رُسُلُنَا إِبْرَاهِيمَ بِالْبُشْرَى قَالُوا إِنَّا مُهْلِكُو أَهْلِ هَذِهِ الْقَرْيَةِ إِنَّ أَهْلَهَا كَانُوا ظَالِمِينَ. قَالَ إِنَّ فِيهَا لُوطًا قَالُوا نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَنْ فِيهَا لَنُنَجِّيَنَّهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ. وَلَمَّا أَنْ جَاءَتْ رُسُلُنَا لُوطًا سِيءَ بِهِمْ وَضَاقَ بِهِمْ ذَرْعًا وَقَالُوا لَا تَخَفْ وَلَا تَحْزَنْ إِنَّا مُنَجُّوكَ وَأَهْلَكَ إِلَّا امْرَأَتَكَ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ. إِنَّا مُنْزِلُونَ عَلَى أَهْلِ هَذِهِ الْقَرْيَةِ رِجْزًا مِنَ السَّمَاءِ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ

Dan [ingatlah] ketika Luth berkata kepada kaumnya, ‘Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang teramat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu. Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki (sodomi), menyamun (begal jalan), dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu? Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan, ‘Datangkanlah kepada kamu azab Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.’ Luth berdoa, ‘Ya Tuhanku, tolonglah aku [dengan menimpakan azab] atas kaum yang berbuat kerusakan itu.’ Dan tatkala utusan kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim membawa kabar gembira, mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami akan menghancurkan penduduk negeri (Sodom) itu; sesungguhnya penduduknya adalah orang-orang yang zhalim. Ibrahim berkata, ‘Sesunggunya di kota itu ada Luth.’ Para malaikat berkata, ‘Kami lebih mengetahui siapa yang ada di kota itu. Kami sungguh-sungguh akan menyelamatkannya dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya. Ia adalah termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan tatkala dating utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, ia merasa susah karena [kedatangan] mereka, dan [merasa] tidak punya kekuatan untuk melindungi mereka dan mereka berkata, ‘Janganlah kamu takut dan jangan [pula] susah. Sesungguhnya kami akan menyelamatkan kamu dan pengikut-pengikutmu, kecuali istrimu, [karena] ia adalah termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).’ Sesungguhnya kami akan menurunkan azab dari langit atas penduduk kota ini karena mereka berbuat fasik,” [QS. al-Ankabut: 28 – 34].

Nabi Luth diutus untuk membenahi moralitas penduduk Sodom. Selain homoseksual, mereka suka merampok dan berbuat kemungkaran sebagaimana yang tercatat dalam QS. al-Ankabut: 28 – 34, “Mengapa kalian suka berbuat keji (fâhisyah), perbuatan yang tak pernah dilakukan orang-orang sebelum kamu?” tanya Nabi Luth pada penduduk Sodom. Sebagian mufassir (ulama tafsir) menafsiri “fâhisyah” dalam ayat ini sebagai perbuatan sodomi,[2] sebagian lagi menafsirkan sebagai adbâr al-rijâl (anus laki-laki).[3] Ini dipertegas ayat setelahnya, “Bukankah kalian mendatangi (menggauli, melampiaskan nafsu seksual) laki-laki, bukan perempuan?” Penggunaan kalimat tanya dalam ayat ini, menurut ahli tafsir, mengandung makna pengingkaran sekaligus celaan (al-inkâr wa al-tawbîkh).[4]

Penduduk Sodom merespon pertanyaan Nabi Luth dengan mengusirnya dari desa tersebut dan menantang agar dikirimkan azab Allah Swt. kepada mereka. Tak lama setelah pengusiran Nabi Luth beserta keluarga dan pengikutnya, al-Qur`an menceritakan bahwa Allah Swt. menghujani penduduk Sodom dengan batu.

Ibn Manzhur menjelaskan arti kata fâhisyah dari berbagai sumber dan digunakan di berbagai kondisi. Sebagian ahli bahasa Arab mengidentikkan kata fâhisyah dengan perbuatan cabul (seperti perzinaan dan sodomi); sebagian menggunakan untuk arti setiap perbuatan perempuan yang keluar rumah tanpa izin suami; sebagian menggunakan untuk arti segala perbuatan yang dapat melukai baik hati maupun fisik; sebagian menggunakan untuk arti segala perbuatan yang menjijikkan baik ucapan maupun tindakan.[5]

Menurut Imam Fakhruddin al-Razi dalam “al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghayb”, bahwa sodomi dianggap sebagai perbuatan keji diukur berdasarkan ukuran orang kebanyakan. “Secara akal sehat, kebanyakan orang pasti menolaknya,” kata al-Razi. Menurutnya, ada beberapa alasan kenapa orang menolak sodomi dan menganggapnya sebagai perbuatan keji.

Kebanyakan orang, kata al-Razi, mengharapkan anak dan keturunan. Dan itu hanya bisa diperoleh melalui hubungan badan antara laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, syahwat harus disalurkan pada tempat yang tepat. Syahwat (nafsu seksual) diciptakan bukan semata untuk senang-senang (rekreasi) tetapi memiliki tujuan mulia yaitu berketurunan (prokreasi). Jika syahwat digunakan hanya untuk senang-senang, maka tak ada bedanya dengan binatang.[6]

Senada dengan al-Razi, Musthafa al-Maraghi berpendapat bahwa kesalahan penduduk Sodom karena mereka hanya menuruti dan mengumbar syahwat (birahi) untuk kesenangan sesaat. Padahal, katanya, laki-laki menginginkan perempuan bukan semata karena dorongan birahi (desire), melainkan juga karena tujuan berketurunan, menjaga spesies manusia agar tidak punah. Inilah salah satu alasan kenapa perilaku seksual sejenis dilarang di dalam Islam.[7]

Dari kisah Nabi Luth ini para ulama mengambil sebuah kesimpulan, bahwa perilaku seksual sejenis dihukumi haram. Adapun hukumannya, para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Malik harus dirajam (dilempari batu sampai mati), sama seperti yang diterima penduduk Sodom (hujan batu) (QS. Hud: 82). Sedangkan menurut Atha, al-Nakha’i dan Ibn Musayyab cukup dipenjara dan dimasukkan ke panti sosial (ta`dîb). Abu Hanifah memilih ta`zîr, sementara al-Syafi’i di-hadd sebagaimana hadd-nya pelaku zina. Hukuman paling berat adalah dibakar atau dilempar dari ketinggian. Yang berpendapat bahwa perilaku seksual sejenis tidak di-hadd atau dibunuh, mereka mengacu pada QS. al-Furqan: 68 – 70. Juga berpegang pada hadits Nabi Saw. yang menyatakan, “Tidak halal darah orang Muslim kecuali tiga hal: kufur, zina, atau membunuh.” Perilaku seksual sejenis tak termasuk dalam tiga hal tersebut.[8] Dan berbagai pendapat ulama yang lain yang sudah dijelaskan di atas.

Muhammad Asad menjelaskan penafsiran seputar kata ‘fâhisyah’, dengan mengatakan bahwa sebagian mufasir mengartikan kata fâhisyah yang di sini diterjemahkan menjadi immoral conduc atau perbuatan dursila dengan perzinaan atau persetubuhan di luar nikah dan, karena itu, berpendapat bahwa ayat ini telah di-nasakh (dibatalkan) dengan QS. al-Nur: 2, yang menetapkan cambuk seratus kali bagi masing-masing pelaku zina. Namun asumsi tak berdasar ini harus ditolak. Sebab, di samping tidak mungkin bagi kita untuk mengakui bahwa ada salah satu ayat al-Qur`an yang dibatalkan oleh ayat lain, ungkapan fâhisyah tidak dengan sendirinya mengandung arti persetubuhan di luar nikah (zina): kata ini menunjukkan setiap hal yang sangat tidak sopan, tidak pantas, tidak senonoh, cabul, atau menjijikkan baik dalam ucapan maupun perbuatan, dan sama sekali tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran seksual saja. Jika dibaca dalam konteks ini, dan bersama-sama dengan QS. al-Nur: 2, jelaslah bahwa ungkapan fâhisyah di sini menunjukkan perbuatan yang tidak bermoral (immoral, dursila), yang tidak mesti sama dengan zina (persetubuhan di luar nikah), sehingga dapat ditebus dengan taubat yang tulus (berbeda dengan perbuatan zina yang terbukti, yang dapat dikenai hukuman cambuk).[9]

Asad juga menyatakan, bahwa dalam setiap kasus tuduhan pelanggaran atau penyimpangan perilaku seksual al-Qur`an menyaratkan bukti langsung berupa empat orang saksi (padahal dalam setiap kasus hukum lainnya hanya dipersyaratkan dua orang saja) sebagai syarat mutlak untuk menjatuhkan hukuman.[10]

Selain persoalan sodomi, ada juga persoalan azab yang banyak dibincangkan oleh umat Muslim modern. Pertanyaannya adalah, apakah azab Tuhan yang ditimpakan kepada kaum Nabi Luth semata-mata karena mereka pelaku sodomi? Atau azab Tuhan kepada mereka karena alasan-alasan lain yang paling mendasar selain sodomi?

Allah Swt. berbicara tentang azab-Nya yang ditimpakan bukan hanya kepada kaum Nabi Luth, tetapi juga pada kaum Nabi Nuh dan kaum nabi-nabi yang lain. Sebagaimana dikisahkan di dalam al-Qur`an tentang kisah kaum Nabi Nuh yang dihempas banjir bandang dan tsunami semesta yang membinasakan. Allah Saw. berfirman, “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kamunya, lalu ia berkata, ‘Wahai kaumku, sebahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagi kalian selain-Nya.’ Sesungguhnya [kalau kalian tidak menyembah Allah], aku tahut kalian akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat). Pemuka-pemuka kaumnya berkata, ‘Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata.’ Nuh menjawab, ‘Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikitpun, tetapi aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan kepada kalian amanat-amanat Tuhanku dan aku memberi nasihat kepada kalian, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kalian ketauhui.’ Dan apakah kamu [tidak percaya] dan heran bahwa telah datang kepada kamu peringatan dari Tuhanmu dengan perantaraan seorang laki-laki dari golonganmu agar dia memberi peringatan kepadamu dan mudah-mudahan kamu bertakwa dan supaya kamu mendapat rahmat? Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta [mata hatinya],” [QS. al-A’raf: 59 – 64].

Allah Swt. menggambarkan kisah-kisah umat-umat para nabi terdahulu, yang bukan hanya enggan menerima seruan tauhid para nabi, tetapi juga mengingkari kenabian. Bahkan sebagian mereka membunuh para nabi yang menyeru agama tauhid. Mereka tetap berada dalam kekufuran, ditambah dengan perilaku-perilaku zhalim lainnya.

Nabi Nuh as. mengajak kaumnya untuk menyembah hanya kepada Allah Swt. Bukan semata-mata tidak menerima ajakan agama tauhid, lebih dari itu mereka menyesat-nyesatkan, menghina dan menistakan Nabi Nuh as. Akibatnya mereka ditenggelamkan oleh tsunami besar, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah.

Nabi Hud as. juga menyeru dan mengajak kaumnya pada agama tauhid yang sama. Mereka bukannya menerima ajakan Nabi Hud as., melainkan justru membodoh-bodohkan dan melecehkan nabi. Akibatnya Allah menghancurkan seluruh kaum Nabi Hud as., tanpa tersisa seorang pun. Kaum Nabi Shalih as. juga dihancurkan dengan gempa besar (al-rajfah), mereka mati di bawah reruntuhan bangunan-bangunan yang mereka dirikan. Kaum Nabi Syuaib as. juga dihancurkan dengan gempa besar, akibat kekufuran dan kezhaliman-kezhaliman yang lain.

Kaum Nabi Luth as. juga telah dihancurkan oleh Allah dengan hujan batu dan bumi yang mereka pijak terjungkir balik. Apakah hukuman itu hanya disebabkan perilaku liwâth (sodomi)? Ataukah juga disebabkan kekufuran yang mereka lakukan, sebagaimana umat-umat para nabi yang lain? Bagaimana seandainya kaum Nabi Luth as. hanya melakukan liwâth (sodomi), tetapi menerima seruan tauhid? Akankah mereka diazab seperti yang mereka alami?

Memang dalam ayat-ayat tersebut, al-Qur`an menyebut perilaku mereka dengan tiga ungkapan, yaitu fâhisyah, sayyi`ah, dan khabîtsah yang berakar pada satu arti yaitu sesuatu yang keji, kotor, dan menjijikkan. Dan atas perilaku itu mereka dinyatakan sebagai kaum mujrimûn (berdosa), ‘âdûn-musrifûn (melampaui batas), fâsiqûn (fasik), tajhalûn (bodoh), dan mufsidûn (berbuat kerusakan). Dan atas perilaku itu Allah Swt. menghukum mereka dengan beberapa jenis hukuman, yaitu suara menggelegar (shâ’iqah), hujan batu, dan terbaliknya bumi yang mereka pijak. Larangan disertai ancaman ini menegaskan bahwa al-nahyu (larangan) dalam konteks ini adalah li al-tahrîm (pengharaman).

Dalam beberapa tafsir, seperti di dalam tafsirnya al-Thabari, dinyatakan bahwa azab yang menimpa kaum Nabi Luth as. bukan semata-semata karena perilaku liwâth (sodomi) yang mereka lakukan, melainkan juga terutama akibat kemusyrikan dan pengingkaran kepada Tuhan yang mereka lakukan. Dugaan atau keyakinan bahwa kaum Nabi Luth diazab semata-mata karena perilaku seksual menyimpang adalah keyakinan yang kurang berdasar.

Azab yang ditimpakan kepada kaum Nabi Luth, menurut sebagian besar mufassir, disebabkan bukan karena faktor tunggal, tetapi banyak faktor. Di antaranya, selain mereka tak kunjung beriman, mereka juga melakukan pelecehan dan menantang dengan menekan Nabi Luth as. agar meminta kepada Allah Swt. agar menimpakan azab kepada mereka dengan segera. Permintaan azab ini sebagai bentuk perlawanan dan ketidakpercayaan akut mereka kepada kabar yang disampaikan Nabi Luth as. Di samping itu, mereka adalah orang-orang zhalim dan pelaku berbagai jenis kemaksiatan. Mengganggu para tamu—yang ternyata adalah para Malaikat—dan juga mengusir Nabi Luth beserta pengikutnya dari kota Sodom itu. Sehingga, bahkan istri Nabi Luth as. pun bernasib sama dengan istri Nabi Nuh as., yaitu tidak bisa diselamatkan dari azab Allah, karena ia tidak beriman pada apa yang telah disampaikan suaminya, yakni Nabi Luth as.[11]
_____________________________

[1]. Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al-Manâr (Juz VIII), Mesir: al-Manar, 1298, hal. 511
[2]. Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani, Murâh Labîdz-Tafsîr al-Nawawîy (Jilid II), Beirut: Dar al-Fikr, tt., hal. 156
[3]. Syaikh Jalaluddin al-Mahalli dan al-Syaikh Jalaluddin al-Suyuthi, Tafsîr al-Jalâlayn (Jilid II), Surabaya: Nur al-Huda, tt., hal. 330
[4]. Muhammad Tahir ibn Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr (Vol. VIII), Tunisia: al-Dar al-Tunisia, 1984, hal. 231
[5]. Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab (Jilid VII), Kairo: Dar al-Hadits, 2013, hal. 32
[6]. Fakhruddin al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghayb (Vol. XIV), Beirut: Dar al-Fikr, 1981, hal. 176
[7]. Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghîy (Vol. VIII), Kairo: Maktabah Musthafa al-Bab al-Halabi, hal. 204
[8]. Abu Muhammad Ali ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm al-Andalusi, al-Ishâl bi al-Muhallâ bi al-Atsar (Vol. XII), Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003, hal. 395
[9]. Muhammad Asad, The messege of the Qur’an: Tafsir al-Quran bagi Orang-Orang yang Berpikir, Bandung: Mizan, cet. I, 2017, hal. 128-129
[10]. Ibid., hal. 129
[11]. Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani, Murâh Labîdz-Tafsîr al-Nawawîy (Jilid II), Beirut: Dar al-Fikr, tt., hal. 156

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.