Maqashid Syariah Lin Nisa’, Metodologi Hukum Islam yang Berpihak Kepada Perempuan

DALAM satu bulan ini Rumah KitaB mengadakan roadshow di beberapa tempat untuk menguji materi buku Maqasid Syariah Lin Nisa’ (MSLN). Setelah kegiatan di Pesantren Gedongan Cirebon, Jawa Barat dan Kampus IPMAFA, Pati, Jawa Tengah, pada Selasa, 21 Februari 2023 diadakan di Kampus PTIQ Jakarta yang dikemas dalam acara seminar nasional bertajuk “Maqashid Syariah Lin Nisa’: Sebuah Perspektif dan Metodologi Hukum Islam yang Berpihak Kepada Perempuan dan Kelompok-kelompok Rentan”.

Hadir sebagai pemantik dan pembicara utama dalam uji materi buku ini adalah Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.Ag., Rektor Institut PTIQ dan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, K.H. Ulil Abshar Abdalla, M.A., Ketua LAKPESDAM PBNU, dan Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm., dosen Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta dan pengampu Ngaji KGI. Acara yang dihadiri sekitar 30 orang peserta ini diadakan di Ruang Auditorium Lt. 2, Institut PTIQ Jakarta.

“Buku ini merupakan hasil dari beberapa kegiatan diskusi terbatas dan ditulis ulang oleh tim kajian Rumah KitaB, yaitu Achmat Hilmi, Jamaluddin Mohammad dan Roland Gunawan,” kata Achmat Hilmi membuka sambutan sebagai Direktur Kajian Rumah KitaB. Menurut Hilmi, buku ini merupakan bukti komitmen dan keberpihakan Rumah KitaB terhadap perempuan dan kelompok rentan. Dalam melakukan kerja-kerja advokasi terhadap perempuan dan kelompok rentan, Rumah KitaB selalu menggunakan argumentasi-argumentasi keagamaan. Ini merupakan ciri sekaligus pembeda dengan lembaga lain meskipun bekerja dalam isu yang sama.

Sebagai lembaga riset pengetahuan sosial-keagamaan, Rumah KitaB juga banyak menerbitkan buku-buku hasil penelitian lapangan maupun penelitian pustaka (riset teks-teks keagamaan). Rumah KitaB selalu menggunakan pendekatan Maqashid Syariah dan analisis gender. Kedua pendekatan ini kerap digunakan Rumah KitaB secara bersamaan. Ini bisa dilihat dari beberapa publikasi ilmiah Rumah KitaB, seperti buku “Fikih Kawin Anak” atau “Fikih Perwalian”. Pendekatan Maqashid Syariah dan analisis gender sangat mewarnai isi kedua buku tersebut.

“Buku MSLN yang akan diterbitkan Rumah KitaB ini mencoba menawarkan metodologi dan kerangka pembacaan teks yang mengawinkan Maqasid Syariah dan teori gender,” kata Jamaluddin Mohammad membuka dan mengantarkan isi buku ini.

Menurutnya, Maqashid Syariah bukanlah teori baru. Teori ini sudah dikembangkan cukup lama oleh para ulama Ushuliyyun (ahli ushul fikih) sejak Abad Pertengahan, seperti al-Juwaini, al-Ghazali, al-Syatibi, Ibn Asyur hingga ulama-ulama kontempores saat ini. Yang awalnya menginduk dan menjadi bagian dari pembahasan ushul fikih hingga menjadi disiplin ilmu yang independen (‘ilm mustaqill).

Belakangan, seperti disampaikan Ulil Abshar Abdalla, trend penggunaan Maqasid Syariah meningkat dan tak terhindarkan seeiring dengan kebuntuan ulama dalam memecahkan persoalan-persoalan kontemporer yang tak ada presedennya dalam tek-teks hukum (fikih) Abad Pertengahan. “Di sinilah kelebihan dan nilai penting buku ini,” ujar Ulil.

K.H. Nasaruddin Umar mengaku senang dan sangat mengapresiasi buku ini. Umat Muslim memerlukan terobosan-terobosan dan pemikiran-pemikiran baru, sebagaimana tawaran buku ini,” ujar Imam Besar Masjid Istiqlal ini. Dalam melakukan analisis keagamaan juga perlu menggunakan analisis gender karena teks-teks keagamaan, termasuk al-Qur`an, banyak dipengaruhi ideologi patriarkhi. Contohnya, kata Nasaruddin, dalam struktur Bahasa Arab, kata ganti Tuhan (dhamir) sendiri menggunakan kata ganti laki-laki.

Karena itulah, kata Dr. Nur Rofiah, perempuan jangan hanya dijadikan sebagai perspektif, tetapi perlu juga dijadikan sebagai subjek. Selama ini perempuan hanya dijadikan objek laki-laki. Perempuan dianggap setengah laki-laki. Dalam dunia laki-laki, termasuk dunia teks yang diciptakan laki-laki, kemanusiaan perempuan tidak pernah utuh. Kehadiran dan eksistensi perempuan hanya sebagai pelengkap laki-laki.

Dosen Pasca Sarjana PTIQ ini mewanti-wanti dalam membaca teks-teks keagamaan agar melibatkan pengalaman perempuan, baik pengalaman biologis maupun pengalaman sosial. Agar tidak terjadi ketidakadilan dan diskriminasi terhadap perempuan. Perempuan harus dilihat sebagai manusia utuh sebagaimana laki-laki.[JM]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.