Konsultasi Publik: “Rancangan Peraturan Mahkamah Agung Tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Nikah”

Oleh: Jamaluddin Mohammad

 

DALAM 14 tahun terakhir permohonan dispensasi nikah naik 20 kali lipat yang ditahun 2005 sebanyak 631 perkara menjadi 13.880 perkara di tahun 2018. “Angka tersebut kemungkinan akan terus bertambah setelah DPR setuju usulan pemerintah untuk merevisi batas usia minimal bagi perempuan untuk menikah dari 16 tahun menjadi 19 tahun,” kata Muhamad Syarifuddin, Wakil Mahkamah Agung RI Bidang Yudisial, ketika membuka Acara “Konsultasi Publik Rancangan Peraturan Mahkamah Agung Tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Kawin” (24/09) di Hotel Ashley Jakarta.

Acara yang dihelat AIPJ-2 dan Mahkamah Agung ini dalam rangka mendengar masukan dan pendapat masyarakat terkait penyususnan Draft Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) tentang Dispensasi Nikah. Perma ini terdiri dari 6 Bab dan 21 Pasal. Tujuannya, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2, antara lain untuk melindungi dan memenuhi hak-hak anak.

Diskusi publik ini diawali pembacaan draft PERMA secara bergantian oleh dua perwakilan dari Pokja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung RI, yaitu Nirwana dan Lelita Dewi. Sebagai penanggap sekaligus pembanding Lisa Worohastuti dari Bappenas. Acara ini dihadiri oleh perwakilan dari berbagai unsur baik pemerintah maupun masyarakat.

Penyusunan PERMA ini, menurut Nirwana, semata-mata agar para hakim seragam dalam memutuskan pengajuan dispensasi nikah. Perma ini semacam panduan dan pedoman bagi hakim dalam memutuskan perkara dispensasi nikah.

Lisa mengapresiasi dan menyambut baik rancangan PERMA ini. Menurutnya, PERMA ini menguatkan kepentingan terbaik anak sekaligus menerapkan prinsip non-diskriminasi dan hak asasi manusia. Rancangan PERMA juga sudah progresif dan memberikan ketegasan untuk pelaksanaan.

Lisa juga ingin memastikan bahwa PERMA ini betul-betul memberikan perlindungan maksimal kepada anak telah terlaksana sesuai UU Perlindungan Anak, serta penegasan persetujuan dan pemahaman baik anak maupun orangtua terhadap risiko perkawinan sudah holistik. Kedua hal ini akan membantu hakim dalam menimbang seluruh substansi dengan kehati-hatian demi kepentingan terbaik bagi anak.[JM]

 

 

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.