Kiai Syakur
[Tulisan ini untuk memperingati 7 hari wafatnya Kiai Syakur]
Oleh: Jamaluddin Mohammad
KIAI Syakur Yasin (1948-2024) bukanlah kiai sembarangan. Bukan pula kiai yang diasuh dan dibesarkan media sosial. Kekiaian Kiai Syakur melalui proses panjang, bukan produk instan.
Rihlan intelektual Kiai Syakur dimulai dari Pesantren Jagasatru, Kota Cirebon, asuhan Habib Syaikh. Ayahanda Kiai Syakur, Kiai Yasin, merupakan orang kepercayaan Habib Syaikh. Setelah Habib Syaikh meninggal pada 1964, ayahnya menitipkan kepada Kiai Sanusi di Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon. Di sini kecerdasan serta kealiman Kiai Syakur mulai tampak menonjol sehingga mencuri perhatian salah satu gurunya, Kiai Amrin Hannan, untuk dinikahkan dengan putrinya bernama Masriyah Amva.
Meski sudah menikah, gairah intelektualnya tetap menyala. Tahun 1971, atas rekomendasi Kiai Idham Kholid dan Subhan ZE, Kiai Syakur melanjutkan studi ke Irak. Di Irak ia bertemu Gus Dur, Kiai Muzamil Basyuni dan Kiai Masyhuri. Namun, baru sekitar satu tahun, ia pindah ke Syiria sampai tahun 1974. Kemudian pindah ke Libya meneruskan S2 sampai 1978. Studi doktoralnya ia selesaikan di Tunisia pada 1991. Pada 1985 ia menempuh pendidikan postdoktoral di Oxford University di London.
Atas permintaan ibunya, Ny. Zaenab, Kiai Syakur kembali ke tanah airnya. Sebelum pulang ke tanah kelahirannya dan mendirikan pesantren di Indramayu, Kiai Syakur sempat tinggal di Jakarta. Meskipun secara intelektual semakin matang dan mewah, namun kurang beruntung secara ekonomi. Inilah salah satu penyebab rumah tangganya berantakan. Ia bercerai dan memilih pulang ke kampung kelahirannya.
Kiai Syakur ”banting stir” mendalami hikmah, membuka majelis dzikir dan uzlah. Inilah pertama kali saya mengenal Kiai Syakur. Ia merupakan kiai pesantren yang menjalani laku spiritual dan seorang ahli hikmah. Setiap hari, di majelisnya yang sederhana, ia menerima banyak tamu. Tamu dari segala kalangan, kebanyakan berasal dari lapisan masyakat paling bawah. Satu persatu menghadap Kiai Syakur, membawa persoalan dan kepentingan masing-masing. Di akhir obrolan, biasanya Kiai Syakur akan menuliskan sesuatu pada secarik kertas bertuliskan Arab dengan tinta merah, kemudian digulung dan dimasukkan ke dalam botol air mineral yang di bawa oleh tamu.
Selain kegiatan menerima dan menampung keluh kesah dan curhatan tamu, Kiai Syakur memiliki majelis zikir dan uzlah di hutan dan tepi pantai. Setiap minggu majelis ini kselalu penuh dipadati masyarakat. Mereka mengikuti ”tarekat” Kiai Syakur. Namun, Kiai Syakur sendiri menolak dirinya disebut mursyid dan kegiatannya disebut tarekat. Konsepnya mirip tarekat Akmaliyahnya Siti Jenar. Tarekat tanpa mursyid, karena setiap orang adalah mursyid bagi dirinya sendiri.
Selain memenuhi undangan ceramah di masyarakat, Kiai Syakur membuka pengajian rutinan di pesantrennya. Pengajian mingguan ini diikuti santri dan masyarakt umum. Ia membuka pengajian tafsir ”Fî Zhilâl al-Qur`ân” karya Sayid Qutb, kitab tasawuf ”al-Hikam” karya Ibnu Athaillah al-Sakandari dan ”Raaitullah” Mouthofa Mahmoud. Pengajian Kiai Syakur ini bisa dinikmati masyarakat Cirebon dan sekitarnya melalui radio Risalah FM.
Dari sini pikiran-pikiran ”nakal” dan berani Kiai Syakur mulai dikenal masyarakat luas. Sampai-sampai kiai-kiai di kampung yang selama ini menjaga ”keseimbangan berpikir umat” mulai banyak mengkritik dan antipati terhadap pemikiran-pemikiran Kiai Syakur yang non-mainstream dan mengusik kemapanan pemikiran ulama tradisional, salafu as-salih.
Pikiran-pikiran Kiai Syakur mulai tersebar seantero jagat berkat orang-orang dekat Kiai Syakur yang membuatkan channel Youtube dan membentuk tim media khusus untuk menyiarkan ceramah dan kegiatan Kiai Syakur. Kiai Syakur semakin digemari, memiliki banyak pengikut dan popularitasnya meroket. Juga tidak sedikit hatters yang ingin menjatuhkannya. Pikiran-pikiran Kiai Syakur dianggap kontroversial. Bukan hanya oleh masyarakat awam, bahkan oleh orang yang selama ini kita kenal sebagai kiai.
Padahal, sependek pengetahuan saya, Kiai Syakur tak pernah mengada-ada. Pembicaraannya selalu berbasis data dan keilmuan. Salah satunya yang kemudian viral dan mengundang caci maki adalah ceramahnya di Mabes Polri tentang moderasi beragama. Kiai Syakur mengatakan bahwa di zaman Nabi Saw. relasi dengan umat Nasrani terjalin cukup dekat dan harmonis. Terbukti di dalam kakbah sendiri dulunya terdapat lukisan Maryam dan Yesus (Nabi Isa as.). Cerita ini, kata Kiai Syakur, terdapat di kitab ”Akhbâr Makkah” yang ditulis al-Azraq (Kiai Syakur menyebut al-Wahidi).
Setelah saya telusuri kebenaran klaim Kiai Syakur ini, saya mendapati ada di Bab ”Mâ Jâ`a fî Dzikri Binâ`i Quraysy al-Ka’bah fî al-Jâhilîyyah”. Di situ dituturkan bahwa pada saat pembebasan kota Makkah (Fathu Makkah), Nabi menghancurkan ratusan berhala (patung). Sampai-sampai Nabi Saw. sendiri enggan memasuki Ka’bah karena di dalamnya dipenuhi gambar/lukisan: lukisan malaikat, lukisan Ibrahim, lukisan pohon, juga lukisan Maryam dan Yesus. Nabi Saw. meletakkan kedua telapak tangannya di atas gambar Maryam dan Yesus, kemudian berkata: ”Hapus semua lukisan di tembok Ka’bah kecuali lukisan ini.”
Tak hanya lukisan Maryam dan Yesus, sebagaimana diriwayatkan al-Azraq dari Ibnu Juraih, bahwa sebelum Ka’bah direnovasi pada zaman Ibnu Zubair akibat banjir, tepatnya di samping pilar dekat pintu Kakbah, terdapat patung Maryam sedang memangku Yesus.
Cerita ini juga dikutip al-Dzahabi dalam ”Târîkh al-Islâm”. Meskipun di akhir penjelasan al-Dzahabi meragukan otentistas riwayat ini karena ada perawi yang diragukan. Juga, sekelas sejarawan Ibnu Hisyam sendiri di ”Sîrah Nabawîyyah” tak meriwayatkan kisah ini.
Terlepas dari kebenaran cerita tersebut, menunjukkan bahwa Kiai Syakur tidak asal bicara, mencari sensasi, apalagi mengada-ada. Wawasan serta pengetahuan Kiai Syakurlah yang menyebabkan ia dituduh kontroversial, Mereka yang miskin literasilah yang seringkali mendapat panggung di media sosial. [bersambung]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!