Serial Kajian

Serial Kajian “Islam Ramah Perempuan” – Perempuan dan Kepemimpinan

Perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya dilakukan oleh pejuang laki-laki saja, tetapi juga kaum perempuan. Beberapa tokoh perempuan yang ikut terlibat dalam pertempuran dalam melawan penjajah, misalnya seperti Cut Nyak Dien, Martha Christina Tiahahu, dan masih banyak lainnya. Selain terjun di medan pertempuran, mereka mendirikan banyak organisasi perempuan sejak awal abad ke-20. Mereka meraih kemerdekaan Indonesia dengan cara memajukan status perempuan pribumi di bidang sosial, politik, dan pendidikan.

Namun, perempuan, yang berpartisipasi secara luas dalam kemerdekaan dan menanggung akibat yang besar dalam pengungsian, pelecehan, kehilangan, penangkapan, menjadi janda dan martir, saat ini, setelah puluhan tahun kemerdekaan terus-menerus berkorban, berada dalam posisi bergantung pada janji-janji politik yang terkait dengan partai-partai “hitam”, sambil terus menunggu sinyal-sinyal revolusi dan perubahan, mempersiapkan landasan bersama pihak-pihak yang memiliki pengalaman luar biasa dalam sejarah modern, serta bekerjasama dengan para aktivis untuk mengaktifkan gerakan revolusioner besar-besaran yang bergerak melalui pesan-pesan di media sosial yang melintasi batas-batas negara.

Meskipun terdapat titik balik yang sulit dalam situasi Indonesia saat ini terkait keamanan dan kemanusiaan, dan meskipun terdapat puluhan juta laki-laki dan perempuan yang hidup miskin, sebagian besar dari mereka adalah perempuan karena perempuan biasanya merupakan pihak paling lemah yang menanggung akibat paling besar dalam setiap krisis. Terlebih saat ini kita lebih banyak “diperintah oleh harapan” untuk menempuh jalan yang amat sangat sulit menuju Indonesia yang bebas dan merdeka dalam hal manusia, tanah, dan politik.

Revolusi tidak akan selesai kecuali jika disertai dengan program-program yang tegas untuk memberikan kebebasan kepada umat manusia di Indonesia, terutama perempuan, di semua tingkat sosial, serta kesetaraan konstitusional dan hukum dengan laki-laki dalam hal hak dan kewajiban.

Oleh karena itu, konstitusi masa depan di Indonesia, dan serangkaian undang-undang yang akan muncul darinya, harus menekankan kebebasan perempuan dan menghormati privasi, tubuh, pikiran, dan perasaan mereka, serta memasukkan semua itu ke dalam seluruh undang-undang dan perundang-undangan, yang memungkinkan penegakan hukum dengan mengaktifkan perangkat-perangkat dan institusi-institusi secara paralel, dan menetapkan pencegahan hukum dan sanksi bagi siapa pun yang terus melanggar hak-hak ini dengan alasan apa pun.

Konstitusi yang diusulkan juga harus menekankan hak perempuan untuk mengambil tindakan politik, dan untuk berpartisipasi dalam posisi utama pengambilan keputusan dengan mencalonkan diri dan memegang posisi apa pun di pemerintahan, termasuk presiden, menteri, dan pejabat-pejabat di bawahnya, juga parlemen, serta posisi yudisial di peradilan sipil dan peradilan konstitusi.

Sejarah Islam memperlihatkan peran besar perempuan dalam pemerintahan dan politik. Betapa besar ketidaktahuan masyarakat terhadap fakta-fakta dalam sejarah, bahkan di masa kini, yang merupakan sebuah kejutan di modernitas, dan banyak ditentang oleh kaum konservatif saat ini di dunia Islam. Diperkuat oleh pandangan-pandangan dari luar yang tidak memadai mengenai iklim sosial dan politik sehingga menghasilkan tren ekstremisme dan fanatisme yang terus menggerus moderasi dan toleransi.

Islam tidak melarang perempuan menjadi pemimpin. Literatur Islam sarat dengan nama-nama ratu dan pionir yang meninggalkan jejak mereka di dalam sejarah, seperti Ratu Arwa binti Ahmad al-Shulaihi, Fathimah al-Zahra, Khadijah binti Khuwailid, Putri al-Mustakfi Billah, Maryam, putri Imran, Syajarat al-Durr, Shah Jahan, dan tokoh-tokoh perempuan terkemuka lainnya dalam sains, bisnis, politik, dan pemikiran.

Sementara sejarah modern di benteng demokrasi, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa perempuan Amerika baru memperoleh hak pilih pada tahun 1920, tidak ada perempuan yang menduduki jabatan tinggi politik hingga awal tahun 1930-an, dan hingga saat ini mereka masih menderita diskriminasi jika mereka menunjukkan persaingan dengan laki-laki di bidang yang dianggap sebagai bidang profesional. Rata-rata gaji direktur eksekutif perempuan di Amerika 40% lebih rendah dibandingkan gaji direktur eksekutif laki-laki, padahal perempuan mempunyai pengalaman profesi yang sama dengan laki-laki.

Karena perubahan sosial dan politik hanya dapat terjadi melalui kerja-kerja intelektual, ilmiah, dan pendidikan untuk memulihkan dan mengubah asumsi dan gagasan yang stagnan, maka dalam konteks ini perlu ditekankan konstanta politik, moral, dan hukum yang menjadi inti dari perubahan sosial dan politik untuk memberikan penghargaan kepada perempuan Indonesia atas gerakan mereka melawan tirani, subordinasi dan fanatisme. Di sini akan disebutkan beberapa di antaranya:

  • Memastikan partisipasi efektif perempuan dalam kerja-kerja politik dengan menjamin 50% partisipasi perempuan dalam pemerintahan di seluruh lembaga negara.
  • Memberdayakan dan mendukung perempuan dalam kerja-kerja politik dengan membekali mereka dengan keterampilan dan kualifikasi kepemimpinan yang diperlukan.
  • Memastikan partisipasi perempuan sebesar 50% dalam pertemuan internasional, dan dalam komite negosiasi, rekonsiliasi dan perdamaian sipil, serta dalam komite penetapan konstitusi.
  • Melindungi perempuan secara sosial dan hukum dari pemaksaan ideologis (agama atau politik), menerapkan UU TPKS untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga dan pelanggaran seksual, memberlakukan sistem sosial untuk melindungi mereka dari kerugian ekonomi akibat hilangnya pencari nafkah, mengkriminalisasi perkawinan anak di bawah umur, serta menyebarkan kampanye kesadaran yang membantu memastikan bahwa pelecehan dan pemerkosaan merupakan kejahatan yang pelakunya harus dimintai pertanggungjawaban di hadapan hukum dengan sanksi yang maksimal.

Terakhir, revolusi politik harus disertai dengan revolusi kebudayaan untuk melawan stagnasi otoriter dengan aksi-aksi reaksioner. Revolusi kebudayaan yang merupakan bantuan dan anak sungai bagi revolusi politik untuk melawan bentuk-bentuk tirani, dan pembebasan politik yang diinginkan hanya dapat dicapai secara paralel dengan tren perubahan masyarakat yang melawan semua penghambat gerakan revolusi, terutama di bidang politik, yaitu penafian partisipasi perempuan yang merupakan separuh aktif masyarakat.[]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.