Ketika Kontrasepsi Menjadi Alat Kuasa atas Tubuh Perempuan

Tubuh perempuan kerap kali menjadi arena perebutan kepentingan dan kuasa laki-laki. Bahkan perempuan tak pernah benar-benar bebas menentukan tubuhnya sendiri. Salah satu adalah soal penggunaan kontrasepsi.

Kontrasepsi, yang awalnya hanya sebagai alat bantu untuk menata kehidupan keluarga, justru sering dipakai sebagai instrumen kontrol terhadap tubuh perempuan. Seolah-olah urusan reproduksi hanyalah tanggung jawab perempuan.

Akibatnya, perempuan bukan hanya menanggung beban biologis berupa menstruasi, kehamilan, melahirkan, dan menyusui, tetapi juga menanggung beban sosial berupa tekanan untuk mengikuti program Keluarga Berencana (KB).

Program KB di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari narasi pembangunan nasional. Ia lahir dengan semangat untuk menekan angka kelahiran. Hal ini agar laju pertumbuhan penduduk selaras dengan ketersediaan sumber daya. Di satu sisi, tujuan ini bisa dimaklumi. Namun di sisi lain, dalam praktiknya, KB sering disalah gunakan sebagai bentuk intervensi negara terhadap tubuh perempuan.

Banyak perempuan di pedesaan, misalnya, dipaksa menggunakan jenis kontrasepsi tertentu. Kalimat yang sering muncul dari tenaga medis atau bidan desa adalah, “Ya sudah, KB yang cocok untuk ibu adalah pil KB, ibu pakai ini saja.” Padahal seharusnya mereka menjelaskan berbagai pilihan metode kontrasepsi yang tersedia agar perempuan bisa menentukan sendiri yang paling sesuai.

Masalah lainnya, program KB hampir selalu diidentikkan dengan perempuan. Padahal laki-laki juga bisa ber-KB. Sayangnya, sangat jarang laki-laki didorong untuk berpartisipasi, misalnya melalui vasektomi. Akibatnya, seolah-olah yang harus dan bisa dikendalikan hanyalah tubuh perempuan. Pola pikir ini jelas memperlihatkan adanya bias gender dalam sistem sosial kita.

Pandangan KH. Marzuki Wahid: KB Harus Berbasis Keadilan

Dalam salah satu tulisannya berjudul “KB” di Kupipedia.id, KH. Marzuki Wahid memberikan pandangan yang sangat penting. Beliau menekankan bahwa KB harus dilihat dalam kerangka kesalingan (mubadalah). Artinya, keputusan untuk menunda, mengatur, atau membatasi kelahiran bukan hanya tanggung jawab perempuan, melainkan hasil musyawarah dan kesepakatan antara suami dan istri.

Menurut KH. Marzuki, praktik KB yang hanya membebani perempuan adalah bentuk ketidakadilan.

KB seharusnya menjadi upaya bersama untuk mewujudkan keluarga yang sejahtera, sehat, dan bermartabat. Dengan demikian, laki-laki pun memiliki kewajiban untuk turut serta, baik dalam bentuk pemahaman, dukungan, maupun tindakan nyata terkait KB.

Pandangan ini sangat relevan untuk mengkritisi praktik di lapangan, di mana kontrasepsi hampir selalu dilekatkan pada tubuh perempuan. Padahal, jika dijalankan dengan prinsip kesalingan, program KB juga bisa melibatkan laki-laki, misalnya melalui vasektomi.

Tubuh Perempuan Bukan Arena Kuasa

Mengontrol tubuh perempuan lewat kontrasepsi sesungguhnya adalah kelanjutan dari cara masyarakat memandang perempuan objek seksual. Perempuan kerap dilihat sebagai “penghasil keturunan” semata, bukan sebagai manusia seutuhnya dengan hak penuh atas tubuh dan kehidupannya. Akibatnya, setiap pilihan perempuan terkait reproduksi sering dicurigai, dipantau, bahkan diputuskan oleh orang lain. Baik oleh suami, keluarga, aparat desa, tenaga kesehatan, hingga negara.

Dalam cara pandang yang adil gender, tubuh perempuan seharusnya bukan lahan yang bisa dikuasai oleh siapa pun. Karena sesungguhnya perempuan sendirilah yang berhak penuh atas tubuhnya, termasuk dalam urusan reproduksi. Maka dari itu, tugas negara dan masyarakat seharusnya adalah memberikan informasi yang benar, fasilitas kesehatan yang ramah, serta kebijakan yang berpihak pada keadilan.

Dengan demikian, isu kontrasepsi perlu dipahami lebih jauh daripada sekadar alat pengendali jumlah penduduk. Bahkan, ia harus dilihat sebagai sarana untuk memaknai tubuh perempuan dan menata relasi laki-laki dan perempuan secara adil.

Terlebih, pandangan KH. Marzuki Wahid di atas dapat menggeser cara kita memahami KB yaitu bukan lagi soal siapa yang dikontrol, melainkan bagaimana suami-istri bersama-sama menata kehidupan mereka dengan penuh kesalingan, cinta, dan tanggung jawab. Dengan cara pandang ini, tubuh perempuan tidak lagi diposisikan sebagai objek yang dikuasai, melainkan sebagai subjek yang dihormati.

Karena itu, sudah saatnya kita mengubah cara pandang kita terhadap program KB. KB harus dijalankan dalam semangat keadilan, kesalingan, dan penghormatan penuh terhadap tubuh perempuan. Hanya dengan demikian, keluarga sejahtera benar-benar bisa terwujud—yakni ketika hak perempuan atas tubuhnya sendiri dijamin dan dihormati sepenuhnya.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses