Ketika Jihad Dimaknai Jahat

AKSI-aksi terorisme seolah tak pernah habis menghantui umat manusia. Mereka bisa muncul kapanpun dan di manapun tanpa diduga dan bisa menyasar pada siapapun. Mereka mengobarkan “Jihad Global” melawan umat manusia yang tak seideologi dengan mereka. Tak peduli apapun agamanya. Namun, bahasa yang digunakan adalah bahasa agama: Jihad. Benarkah mereka telah mempraktikkan “perang suci”?

Makna Jihad sepanjang sejarah

“Jihad” diambil dari akar kata “mujahadah” yang artinya “berperang demi menegakkan agama Tuhan” (al-muqatalah li-iqamati al-din). Perintah Jihad dalam arti perang (qital) baru dilakukan setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Sebelumnya, umat Muslim disuruh bersabar menerima perlakuan apapun dari orang-orang kafir.

Muhammad bin Qasim dalam “Fath al-Qarib” menjelaskan bahwa Jihad hukumnya fardhu kifayah. Apabila “musuh” masuk dan menyerang negara muslim, jihad tidak lagi fardhu kifayah, melainkan fardhu ‘ayn. Dalam konteks ini, jihad dimaksudkan untuk “melindungi” dan “menjaga” umat Muslim. Jihad ditunjukkan kepada mereka yang nyata-nyata menyerang dan memerangi umat Muslim (kafir harbiy). Sebaliknya, jihad tidak diarahkan kepada mereka yang memilih berdamai dan hidup rukun bersama umat Muslim, semisal kafir dzimmiy (pribumi), kafir musta’man (turis), atau pun kafir mu’ahad (negara yang telah menjalin hubungan diplomatik)

Dalam konteks keindonesiaan, jihad dalam arti berperang pernah dikumandangkan organisasi Nahdlatul Ulama dalam bentuk ”Resolusi Jihad” menghadapi Kolonialisme Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia pada 10 Nopember 1945. Ketika itu, para ulama, kiyai, santri, dan masyarakat berbondong-bondong menuju medan pertempuran untuk berjihad, membela agama dan tanah air.

Namun, sebagaimana yang dikatakan Nabi SAW, jihad dalam makna peperangan/memerangi “musuh Islam” tergolong Jihad kecil (jihad ashghar). Jihad sesungguhnya (jihad akbar) adalah “memerangi hawa nafsu” (mujahadah al-nafsi). Sebab, musuh yang nyata dan sesungguhnya terdapat di dalam setiap orang, yaitu hawa nafsunya. Suatu ketika, sekembali dari medan pertempuran, Nabi SAW berkata kepada sahabat-sahabatnya, “Raja’na min al-jihad al-ashghar ila al-jihad al-akbar,” (kita baru saja kembali dari “jihad kecil” menuju “jihad besar”, yakni memerangi hawa nafsu).

Menurut Abu Bakar dalam “I’anah al-Thalibin”, jihad (berperang) hanyalah sarana (wasilah) untuk mencapai tujuan (maqashid), yaitu memberikan hidayah/petunjuk. Kata Abu Bakar, apabila tujuan tersebut bisa tercapai tanpa melalui jihad, maka itu lebih baik. Sehingga, Zainuddin al-Malibari dalam “Fath al-Mu’in” lebih tertarik mengelaborasi makna Jihad bukan hanya sebatas “berperang”. Katanya, “Daf’u dhararu al-Ma’sumin min al-muslimin wa al-dzimmiyyin wa musta’man al-ja’i” (mencukupi kebutuhan rakyat miskin, baik muslim, dzimmiy, atau musta’man) termasuk kategori jihad. Makna lebih luasnya adalah dengan memberikan jaminan sandang pangan, kesehatan dan pendidikan.

Inilah sebetulnya spirit dan makna jihad yang sesungguhnya. Jihad yang benar adalah jihad yang tidak didasarkan pada kebencian, permusuhan, dan bukan untuk menghancurkan kemanusiaan.

Nabi Muhammad SAW sebetulnya tidak suka cara-cara penyelesaian melalui peperangan. Dalam arti lain, berperang sebetulnya bukanlah tujuan Nabi SAW. Terbukti, dari delapan pertempuran yang diikuti Nabi SAW, hanya satu orang , Ubay bin Khalaf, yang mati ditangan beliau. Dan sebelum berangkat ke medan pertempuran, Nabi SAW selalu berpesan kepada bala tentaranya agar tidak membunuh para rahib-rahib yang tengah beribadah di kuil-kuil mereka, tidak boleh membunuh anak-anak, orang-orang berusia lanjut, mereka yang tidak terlibat dalam perang, merusak pohon dan membunuh binatang.

Pembajakan Makna Jihad

Akhir-akhir ini Jihad muncul dalam makna yang tunggal dan berkonotasi kekerasan. Citra Islam selalu dikaitkan dengan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan sekelompok teroris. Jihad seolah-olah hanya bermakna dan digunakan untuk membenci, memusuhi dan membunuh orang tanpa ampun.

Padahal, sudah sejak lama umat Muslim mengenal dan akrab dengan jihad. Jihad memiliki beragam makna dan penggunaan. Artinya, jihad tidak selalu diartikan dengan “berperang di jalan Allah” (tentunya melalui cara dan metode yang benar seperti yang disebutkan di atas).

Jihad telah dibajak oleh segelintir orang untuk memenuhi ambisi politiknya. Mereka mengatasnamakan agama dan umat Muslim untuk berperang dan melawan Barat. Padahal, mayoritas umat Muslim lebih senang hidup damai, bersahabat, saling menghormati dan menghargai umat dan bangsa lain. Hal ini bisa dibuktikan dengan kehidupan umat Muslim di setiap negara-negara yang mayoritas beragama Islam. Hanya karena ulah segelintir orang, agama dan kehidupan umat Muslim jadi ternodai.

Karena itu, untuk menetralisir kembali makna jihad, umat Muslim harus kembali merebut makna jihad yang sebenarnya. Umat Muslim tidak boleh terjebak pencitraan dan politisasi yang dilakukan kelompok teroris demi tujuan-tujuan politik mereka. Juga harus bisa membuktikan kepada umat lain bahwa jihad tidak untuk melakukan kekerasan apalagi memusuhi kemanusiaan.

Terorisme merupakan musuh bersama (common enemy) umat Muslim yang harus dibasmi secara bersama-sama pula. Tidak ada satupun agama yang memusuhi kemanusiaan. Agama yang anti kemanusiaan adalah musuh kemanusiaan itu sendiri. Wallahu a’lam bi al-sawab.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.