Keadilan Iklim bagi Perempuan

Saat ini, krisis iklim sedang terjadi di berbagai belahan dunia. Bagi generasi milenial dan Gen Z, krisis iklim merupakan ancaman paling berbahaya bagi kelangsungan hidup mereka di masa depan. Karena itu, negara-negara sepakat untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celsius dibandingkan suhu pra-industri agar laju krisis iklim tidak semakin parah.

Sayangnya, meskipun sudah ada kesepakatan global tersebut, menurut Climate Action Tracker (2023), suhu bumi saat ini sudah lebih panas 1,3 derajat Celsius dibandingkan suhu pra-industri. Artinya, bumi hampir melewati ambang batas aman kenaikan suhu global.

Ilmuwan di The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) memperingatkan bahwa jika suhu bumi melewati ambang batas aman 1,5 derajat Celsius dan terus naik melewati 2 derajat Celsius, intensitas dan frekuensi bencana alam serta kerusakan ekosistem akan meningkat.

Saat ini saja, di Indonesia bencana alam sering terjadi dan sering diasosiasikan sebagai konsekuensi logis dari krisis iklim. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang tahun 2023 terdapat 4.940 kejadian bencana alam di seluruh Indonesia, mulai dari gempa, banjir, angin puting beliung, longsor, dan lain sebagainya. Sedangkan BMKG pernah menyatakan bahwa 7 dari 10 bencana di Indonesia terkait dengan perubahan iklim.

Ulah Manusia

Krisis iklim yang saat ini terjadi tidak lain disebabkan oleh ulah manusia. Polusi dan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktivitas manusia merupakan faktor utama terjadinya krisis iklim, baik itu di sektor energi, limbah rumah tangga, industri, transportasi, lahan, maupun kehutanan. Selain itu, gaya hidup konsumtif yang mengeksploitasi sumber daya alam juga turut memperparah krisis ini.

Allah SWT juga telah memperingatkan bahwa bencana dan kerusakan yang terjadi diakibatkan oleh tangan-tangan manusia. Melalui surah Ar-Rum ayat 41, Allah SWT menyatakan:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Semesta sudah memberikan peringatan melalui dua cara: peringatan tekstual dari kitab suci dan peringatan langsung lewat bencana alam. Karena itu, manusia dan para pemimpin dunia semakin menyadari bahwa krisis iklim memang benar-benar sedang terjadi dan dibutuhkan langkah nyata untuk mengatasinya.

Setiap tahun, para pemimpin dunia bertemu dalam konferensi Conference of the Parties (COP) untuk membahas solusi krisis iklim. Tahun ini, COP ke-29 berlangsung di Azerbaijan. Hingga COP ke-29, berbagai keputusan telah dihasilkan untuk menanggulangi laju krisis iklim, termasuk kesepakatan untuk meninggalkan bahan bakar fosil seperti batu bara dan beralih ke sumber energi terbarukan seperti tenaga surya. Di Indonesia sendiri, sektor energi merupakan kontributor terbesar emisi gas rumah kaca, sekitar 727,33 juta ton CO2e (KLHK, 2022).

Pelibatan Perempuan

Meskipun dampak krisis iklim sudah dirasakan, sayangnya banyak masyarakat yang belum menyadari bahwa bencana tersebut merupakan akibat dari krisis iklim. Dari kalangan umat Islam sendiri, istilah krisis iklim seperti transisi energi masih kurang familiar. Berdasarkan survei Purpose bertajuk Climate Action Through The Eyes of Indonesian Muslims, isu lingkungan hanya menempati urutan ke-6 sebagai topik prioritas bagi masyarakat Muslim di Indonesia.

Artinya, masyarakat masih minim informasi dan pengetahuan tentang krisis iklim. Di sinilah peran perempuan sangat penting untuk menyebarkan kesadaran cinta lingkungan. Perempuan, sebagai madrasah pertama dalam keluarga, berperan memberikan pendidikan kepada generasi penerus bangsa agar peduli pada lingkungan. Jika aksi peduli lingkungan berhasil di lingkup keluarga, keberhasilan itu dapat meluas ke tingkat masyarakat, desa, kota, hingga negara.

Namun, di saat yang sama, perempuan adalah kelompok yang menanggung beban berlipat akibat krisis iklim. Selain menjalankan peran ganda sebagai pengurus rumah tangga dan pendamping suami, perempuan sering kali harus menghadapi dampak langsung dari krisis ini. Misalnya, jika terjadi kekeringan, perempuan yang paling bertanggung jawab atas urusan dapur. Dalam situasi bencana, mereka juga harus memikirkan keselamatan diri sekaligus anak-anak mereka.

Oleh karena itu, kebijakan yang diambil harus mempertimbangkan keadilan iklim untuk melindungi kelompok rentan seperti perempuan. Keadilan iklim berarti memastikan transparansi dan melibatkan semua kelompok, termasuk perempuan, dalam pengambilan kebijakan terkait krisis iklim. Dalam keadilan ini, distribusi risiko dan manfaat harus dilakukan secara setara.

Pemerintah perlu memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menduduki posisi strategis dalam birokrasi. Di Indonesia, baik di pemerintahan maupun swasta, hanya sedikit perempuan yang berada di posisi manajerial. Oleh karena itu, pengarusutamaan gender harus menjadi prioritas dalam upaya mengatasi krisis iklim. Dengan begitu, perempuan terdampak dapat menyuarakan kebutuhan mereka, sehingga solusi yang dihasilkan lebih relevan dan efektif.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.