Jika Berdosa, Saya yang Tanggung Dosanya

“JIKA BERDOSA, SAYA YANG TANGGUNG DOSANYA”
Siti Aminah Tardi

Salah satu kasus perkosaan terhadap anak yang memberikan pelajaran penting bagi saya adalah perkosaan terhadap anak perempuan berusia 15 tahun, mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki dan menghadapi tawaran perkawinan paksa dari pengacara dan keluarga tersangka.

Korban diperkosa hanya berjarak dua gang dari rumahnya. Malam itu ia meminjam buku pelajaran. Di tengah jalan dua lelaki bersepeda motor mencegatnya, memaksa naik motor, membawanya ke tempat pembuangan sampah dan diperkosa. Tersangka memperkosa karena cintanya ditolak dan berpikir dengan memperkosanya ia bisa menikahi korban. Sebaliknya korban tidak segera cerita kepada keluarga karena takut dan tidak mau dikawinkan. Ia juga takut kedua saudara perempuannya akan mengalami hal serupa karena pelaku mengancam akan memperkosa dua saudara perempuannya. Terlebih pelaku mengetahui kapan mereka akan pulang menggunakan kereta KRL.

Kekerasan seksual baru terungkap ketika kehamilan korban memasuki usia 8 bulan. Bayangkan selama itu, anak ini menanggung bebannya sendiri. Ia hanya bisa cerita kepada sahabatnya. Sekolahnya menjadi kacau, walau tidak dikeluarkan dari sekolah, ia kerap tidak masuk sekolah.

Saat kasus ini terungkap, keluarga pelaku tentu datang ke keluarga korban dan menawarkan ‘damai’ dengan cara mengawinkan korban dengan pelaku. Narasipun dibangun bahwa keduanya sudah berpacaran dan korban kerap datang ke rumah pelaku. Sang Ayah sempat goyang, sang anak tetap kukuh tidak mau dikawinkan.

Proses hukum berjalan. Korban dimintai keterangan satu hari setelah melahirkan. Saya dan patner yang juga suami mulai mendampingi ketika ada perlambatan di Kepolisian, dan korban dimintai keterangan dengan ‘mempersalahkan’ korban yaitu narasi bahwa hubungan seksual dilakukan karena berpacaran. Sebangun dengan narasi dari pelaku dan keluarganya.

Setiap persidangan, keluarga pelaku mengerahkan anggota ormas yang secara tidak langsung untuk membangun rasa takut pada korban dan keluarganya yang pendatang.
“Bu Amik…bagaimana jika kita nikahkan saja keduanya” begitu tawaran pengacara tersangka di ruang tunggu pengadilan. Dalam posisi demikian, biasanya saya mendatangi para ‘pendukung’ tersangka dan mengeluarkan kepedasan

“Korban kan tidak mau…kita selesaikan secara hukum saja Pak?” jawabku ketika itu

“Proses tetap berjalan bu, mungkin membantu mengurangi hukuman. Tapi kan ada anak bu Amik…anak itu anak klien saya, kita tidak boleh memutuskan hubungan anak dengan ayahnya, tidak boleh memutus nasab. Apalagi anak perempuan, kalau menikah ia membutuhkan wali. Kita, bu Amik juga berdosa kalau menghalanginya” kurang lebih begitu alasannya

“Betul, perkosaan ini menghasilkan anak. Tapi maaf, ibunya yang lebih berhak atas anak ini….secara hukum ia tidak punya hubungan dengan ayahnya. Silahkan saja ajukan penetapan pengakuan anak….Bapak tahu itu. Jika menolak menikahkan korban dengan pelaku, kemudian dianggap memutus nasab berdosa, “SAYA YANG AKAN TANGGUNG DOSANYA” rasanya saat itu saya menjawab dengan getar kemarahan.

Iya, jika itu berdosa, biar saya yang menanggung, bukan korban yang sudah demikian menderita.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.