Flexing
Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon
SEBUAH ayat di dalam al-Qur`an berbunyi,
وقرن فى بيوتكن ولا تبرجن تبرج الجاهلية الاولى
Sebagian ulama memahami ayat ini sebagai perintah “merumahkan perempuan”. “Qarna” atau “qirna” pada QS. al-Ahzab: 33 itu maknanya “qarar” artinya tinggal atau menetap. Juga “wiqar” yang berarti “wibawa”. Terjemahan literalnya adalah “tinggal dan menetaplah di dalam rumah.
Jika membaca konteks diturunkan ayat ini (asbab al-nuzul), ia merupakan nasihat kepada istri-istri Nabi Saw. Sepotong ayat ini tak bisa dipahami terpisah dengan ayat-ayat sebelumnya karena masih saling terkait dan merupakan satu kesatuan. (Ayat 28-34).
Ayat ini turun berkenaan dengan sifat-sifat manusiawi istri-istri Nabi Saw. yang juga ingin hidup dan tampil mewah, memakai pakaian dan perhiasan mahal seperti istri-istri raja, sebagaimana trend dan gaya hidup orang-orang kaya Jahiliyah yang suka sekali pamer harta kekayaan kepada orang lain (flexing). Al-Qur`an menyebutnya “tabarruj”. Tabarruj, kata al-Syaukani, artinya menampakkan/memperlihatkan aurat (zinah) dan perhiasan (mahasin) di muka umum. Tabarruj juga memiliki makna “berjalan dengan angkuh dan sombong” (tabakhtar) atau berjalan lenggak-lenggok a la super model di atas catwalk.
QS. al-Ahzab: 28-34 menasihati istri-istri Nabi Saw. agar berprilaku hidup sederhana. Mengingat Nabi Saw. dan keluarganya lebih dari sekadar publik figur. Umat butuh keteladanan (uswah hasanah) dari pemimpin-pemimpinnya. Sunnah seperti ini yang seharusnya ditiru pemuka-pemuka agama saat ini.
Saya pikir, inilah pesan penting serangkaian ayat ini: keteladanan dan kesederhanaan. “Qarna” pada ayat itu tidak harus dimaknai rumah dalam arti sebenarnya. Rumah di sini bisa jadi metafora dari kehidupan pribadi atau privasi. Ini adalah perintah untuk menjaga privasi/kehidupan pribadi. Harta kekayaan merupakan privasi yang tak pantas dan tak patut dipamer-pamerkan. Aib.
Ayat ini relevan dan kontekstual menyikapi fenomena flexing di kalangan keluarga pejabat, artis, pemuka agama, atau orang-orang kaya.
Di abad media sosial ini, prilaku narsistik difasilitasi dan diberikan panggung melalui pelbagai platfom media sosial yang selanjutnya melahirkan masyarakat tontonan.[]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!