Diskusi Bersama Para Penyuluh Agama Kabupaten Cianjur, Rumah KitaB Mendorong Pemenuhan Hak-hak Anak
SELASA, 12 September 2023 Rumah KitaB menyelenggarakan diskusi buku “Fikih Hak Anak: Menimbang Pandangan Al-Qur’an, Hadis dan Konvensi Internasional untuk Perbaikan Hak-hak Anak” bersama para penyuluh agama Kab. Cianjur di Hotel Gino Feruci Cianjur.
Dalam kegiatan ini Rumah KitaB menghadirkan dua narasumber, yaitu Eka Ernawati dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan K.H. Jamaluddin Mohammad yang merupakan salah satu penulis buku.
Kegiatan diawali dengan sambutan Direktur Kajian Rumah KitaB, Achmat Hilmi, Lc., M.A. yang menyampaikan bahwa di antara tujuan terselenggaranya acara ini adalah untuk mendukung implementasi regulasi yang merupakan salah satu capaian program Rumah KitaB pencegahan perkawinan anak di Cianjur. Regulasi yang dimaksud adalah Perbup tentang Pencegahan Perkawinan Anak (No. 10/2020) dan Pencegahan Kawin Kontrak (No. 38/2021).
“Cianjur merupakan salah satu wilayah kerja Rumah KitaB yang paling menarik. Di sini semua pihak terlibat dan memberikan dukungan. Dan berkat itu, kerja Rumah KitaB di sini telah mendorong lahirnya Perbup mengenai pencegahan perkawinan anak dan larangan kawin kontrak. Diskusi buku Fikih Hak Anak ini ditujukan untuk mengawal implementasi kedua regulasi tersebut,” tuturnya.
Kasi Bimas Islam Kantor Kementerian Agama Kab. Cianjur, Drs. H. Asep Khaerul Mu’min, M.Pd. menyampaikan bahwa Kementerian Agama sangat berkepentingan dengan diskusi buku “Fikih Hak Anak“, khususnya untuk menambah pengetahuan dan membuka wawasan para penyuluh agama di Kab. Cianjur. Sebab mereka yang terjun ke masyarakat memberikan informasi, edukasi, advokatif dan konsultasi.
“Sebagaimana diketahui bersama bahwa fungsi para penyuluh ini adalah informatif, edukatif, advokatif, dan konsultatif. Semakin banyak pengetahuan dan informasi yang mereka peroleh, maka semakin baik mereka menjalankan fungsi-fungsi tersebut di masyarakat, terutama dalam rangka mengawal implementasi regulasi tentang larangan kawin kontrak dan pencegahan perkawinan anak,” ungkapnya.
Asep menambahkan bahwa Kementerian Agama Kebupaten Cianjur dengan Rumah KitaB sudah seperti “bestie” atau teman dekat. Kerjasama sudah lama dilakukan di mana Kementerian Agama Cianjur banyak dibantu oleh Rumah KitaB, khususnya dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Rumah KitaB sering melakukan kegiatan di Cianjur, mulai dari pelatihan penguatan kapasitas anak, pengurus PATBM, dan juga diskusi buku-buku yang terbitkan Rumah KitaB.
Peneliti Senior Rumah KitaB, K.H. Jamaluddin Mohammad, menyatakan bahwa buku “Fikih Hak Anak” mencoba mempertemukan antara hukum internasional yang sudah diratifikasi menjadi hukum nasional di Indonesia (UU Perlindungan Anak) dengan norma agama. Norma agama di sini mencakup tiga hal: pertama, fikih yang merupakan kumpulan pendapat ulama (aqwal al-‘ulama). Kedua, al-Qur’an. Ketiga, hadits.
“Selama ini seolah terjadi kontestasi hukum antara hukum negara dan hukum agama. Dua hukum ini seakan saling berebut pengaruh. Nah, buku ini mencoba mempertemukan keduanya untuk saling melengkapi dan menyempurnakan. Karena keduanya tentu saja memiliki keterbatasan, sehingga sangat perlu dipadukan,” jelasnya.
Menurut Jamal, di antara keterbatasan hukum agama, karena norma yang berlaku sesungguhnya dinamis, bahwa yang baik dipraktikkan di masa lampau belum tentu kompatible dengan konteks masa kini. Misalnya, di dalam fikih, wali boleh memaksa anaknya untuk dikawinkan (haqq al-ijbar). Fakta ini memperlihatkan bahwa fikih memposisikan anak sebagai objek tanggungjawab orang. Tidak memposisikan anak sebagai subjek yang punya hak untuk memilih.
“Di dalam al-Qur’an sudah ada nilai-nilai universal perlindungan anak. Misalnya mengenai hak hadhanah (pengasuhan), hak mendapatkan pendidikan yang baik, dan seterusnya. Nilai-nilai ini perlu digali, diambil dan kemudian dijadikan legitimasi teologis bagi perumusan hukum-hukum positif nasional untuk pemenuhan hak-hak anak di masa kini dan mendatang,” jelasnya.
Eka Ernawati, S.H. menyatakan keprihatinnya pada kenyataan masih banyaknya anak yang menjadi korban kekerasan. Berdasarkan data KPPPA 2022, 57,5% korban kasus kekerasan adalah anak. Sebanyak 21, 241 anak di Indonesia menjadi korban kekerasan.
“Berbagai upaya sudah dilakukan, misalnya dengan mengeluarkan undang-undang perlindungan anak. Undang-undang banyak, tetapi tidak serta merta bisa mengurangi kekerasan terhadap anak. Masih banyak yang menjadi korban pemerkosaan, pelecehan, pencabulan, kawin paksa dan kawin anak, bullying, dan seterusnya,” ungkapnya.
Kalau dilihat dari sisi usia, lanjutnya, jumlah paling tinggi anak menjadi korban kekerasan adalah berusia antara 13 – 17 tahun. Usia remaja, usia gemilang, usia di mana mereka masih ingin terus belajar dan berkembang, tetapi mereka mengalami kekerasan, sehingga masa depan mereka terhambat bahkan hancur akibat dampak buruk kekerasan terhadap kesehatan dan mental mereka. Pelakunya yang paling banyak adalah orang-orang terdekat, seperti pacar, teman, saudara, dan bahkan orangtua anak, yang menunjukkan ruang aman bagi anak sekarang ini semakin menyempit.[RG]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!