Didi Kempot: Mistikus Doa
Oleh Mutiara Andalas, SJ
Doa tema kecil yang nyaris tak terdengar dalam tumpukan obituari para pencinta Didi Kempot setelah wafatnya yang sangat dadakan. Penulis termasuk novis dalam pengenalan terhadap baik figur maupun karya Lord Didi. Sebelum The Godfather of Broken Heart akhirnya merajai panggung musik dengan lagu-lagu yang generasi Z dan Alpha mendengarnya, pengenalan penulis terhadap karya masterpiece Didi Kempot tidak langsung melalui para penyanyi cover. Hingga wafatnya, tiada satu lagu pun yang penulis hafal dari awal hingga akhir. Tulisan ini berangkat dari keawaman terhadap Didi Kempot.
Setelah wafat Didi Kempot, penulis tergerak untuk membaca secara spiritual lirik-lirik lagu yang dalam konser-konser besar hampir jarang ia bawakan. Di antara tema-tema besar yang hampir mendekati jenuh dikuliti para sobat ambyar setelah wafatnya, doa merupakan tema yang belum tersentuh. Doa tersirat dalam tema besar Cinta dalam lagu-lagunya. Barangkali karena alasan ini, tema doa mudah terlewatkan dari perhatian sad boys, sad girls. Tema doa menarik perhatian penulis sebagai pemerhati spiritualitas. Didi Kempot bukan pendoa biasa, melainkan mistikus doa.
Doa, menurut almarhum, seringkali telah menjadi aktivitas ‘lambe’. Alih-alih tutur, doa pertama terkait dengan ‘ati’. Kefakiran aksara bukan halangan untuk bersujud di hadapan Allah. “Tiyang alit”, dalam lagu Bakso Sarjana, ‘duweku donga lan puji’. Alih-alih meratapinya, rakyat kecil memiliki ‘kebungahan ati’.
Dalam ‘sajroning batin’, Allah menemukan ‘rasa tresna’ pendoa kepada-Nya. Kepemilikan rasa cinta, bukan kepemilikan aksara, menghantar perjumpaan dengan Allah. Sebagaimana dalam Aku Dudu Raja,
Aku pancen wong sing tuna aksara
Ora bisa nulis, ora bisa maca
Nanging ati iki isih nduwe rasa
Rasa tresna kaya tumrape manungsa
Alih-alih ‘nandur asmara’, pendoa mengalami ‘ketaman asmara’. Menanam asmara yang disirami air mata, dalam Awu Merapi, berujung menjadi lelakon ketersesatan, bahkan ketidaksampaian.
Uwis sewindu aku nggoleki sliramu
Rina wengi… ora ketemu
Neng ngendi papan lan dunungmu
Yen ketemu eba bungahing atiku
Jika cinta yang pendoa tanam dan sirami dengan air mata kepada Allah saja dapat berakhir dengan ketersesatan, bahkan ketidaksampaian, betapa lebih tragis akhir dari kekurangtulusan, apalagi ketidaktulusan, cinta. Hubungan cinta antarmanusia yang seringkali berada pada level ini berujung pada keterputusan. Orang kemudian dapat sekonyong-konyong beralih katresnan dari seseorang ke orang lain. Orang bisa ‘ilang tresnane’, kehilangan cinta terhadap orang yang sebelumnya dia sungguh kasihi. Pada akhirnya, diketahui cinta orang tersebut pada kenyataannya ‘mung ana lambe’, hanya sebatas di bibir.
Meskipun lelakon kehidupan seringkali ‘lali mulih kerep lunga’, dalam doa, kita mengalami Allah senantiasa pergi kembali kepada kita. Kita seringkali berjalan menjauh dari Allah. Kita kehilangan arah jalan kembali. Pulang seringkali merupakan peziarahan panjang. Untuk dapat pulang, kita tidak dapat melakukannya sendiri. Tak hanya menyadari bahwa dalan yang ia telah tempuh berakhir ‘peteng’, ia juga menemukan bahwa ‘atine peteng’. Allah menerangi jalan kehidupan, hati kita sehingga dapat kembali.
Allah merindukan kita. Dalam bahasa relasi antarinsan, manusia menemukan diri dalam hubungan katresnan dengan Allah. Konflik, dalam Pancen Jodho, tidak menceraikan hubungan perjodohan.
Apa wis garise
Yen aku bakal urip karo kowe
Sanajan kerep tukaran
Nanging ati ra nate bubaran
Hubungan cinta antarinsan seringkali kontras dari relasi katresnan Allah terhadap manusia. Cidra, kepalsuan cinta, seringkali merusak kesetiaan katresnan antarinsan. Harapan yang ia sirami untuk hidup bersama dengan pribadi yang dikasihi dalam mahligai perkawinan berakhir dengan perpisahan. Belajar dari kesabaran Allah yang berkenan menanti kepulangan insan, cinta sejati sudi menanti ‘kusumaning ati’. Ketidaksetiaan kekasih, bahkan pasangan hidup, pada sakramen cinta tidak memberikan alasan kepadanya untuk mengobarkan prahara hubungan katresnan, apalagi ikatan perkawinan.
Indah sekali kecintaan insan yang ‘kebak kembang wangi jroning dhadha’ kepada Sang ‘Kusumaning Ati’ hingga lanjut usia. Katresnan kepada-Nya dari hati merupakan mazmur, ratapan pendoa.
Kusumaning ati
Duh wong ayu kang tak anti-anti
Mung tekamu bisa gawe
Tentrem ing atiku.
Didi Kempot mengangkat kenyataan kenelangsaan banyak dari kita dalam hubungan katresnan dengan Sang Kusumaning Ati. Ia mengundang kita untuk menyusuri geografi hati hingga relung terdalam.
Neng ngapa sifatku
Neng ngapa khilafku
Neng ngapa tresnaku
Lan rasa kangenku
Sebagian dari kita memutus hubungan cinta untuk menghindarkan diri dari sakit hati lanjutan karena memandangnya sebagai ‘gegarising pesthi’. Pemutusan hubungan serupa kita lakukan terhadap Sang Kusumaning Ati ketika ‘tega medhot tresna’. Insan meninggalkan ‘tatu’ ketika ‘nglarani ati’ Allah. Allah berkenan hadir sebagai Panglipuring ati yang bersanding bersama insan, sekurang-kurangnya memperdengarkan suara kepadanya untuk memulihkan katresnan yang hampir sirna. Allah menyirami kembali kerinduan kita kepada-Nya yang hampir kering, bahkan “nandur tresna.”
Doa, dalam lagu Aduh Mana Tahan, adalah “menyatunya cinta dua hati yang saling mengikat.” Sebagaimana dalam hubungan katresnan, dua insan saling memohon “tresnamu, wenehna ning aku dhewe”, doa menjadi momen istimewa insan memohon Allah “tresna-Mu, wenehno ning aku dhewe”. Lanjut Didi Kempot dalam lagu Tresna Kowe, “tresnaku ora luntur, ra ana uwong liya.” Sebagaimana doa, requiem Didi Kempot merupakan momentum menyatunya dua hati yang saling mengikat katresnan yang tidak dapat luntur lagi. Jauh dari glorifikasi, penulis menempatkan Didi Kempot sebagai mistikus doa.
Mutiara Andalas, SJ, Pusat Studi Ignasian Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Sumber gambar: https://www.merdeka.com/artis/ucapan-terima-kasih-terakhir-didi-kempot-pada-sobat-ambyar.html
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!