Catatan Gus Jamal: Agama Terorisme
Jika ada orang mengatakan terorisme tak memiliki agama sekaligus menolak mengaitkan tindakan terorisme dengan agama tertentu, mungkin ia sebetulnya tak setuju dan menolak keras terorisme berbasis agama. Ia juga tak mau kesucian agamanya dikotori ajaran dan tindakan terorisme.
Namun, penolakan tersebut tak sepenuhnya bisa dipercaya. Mengapa? Pernyataannya tak berbanding lurus dengan kenyataan. Saya yakin, —- mudah-mudahan keyakinan saya tak keliru —- mayoritas umat Islam tak setuju terorisme sebagai ajaran agama (Islam). Meskipun begitu, kita tak bisa menyangkal ada orang seperti Imam Samudera, pelaku dan terpidana mati Bom Bali, yang setiap kali mendatangi persidangan dengan wajah sumringah selalu memekikkan takbir . Setelah meninggal, jenazahnya pun disambut dan diarak ratusan orang seperti kembalinya syuhada dari medan peperangan.
Ketika terjadi aksi bom bunuh diri di Sarinah (Bom Sarinah), saya mewawancarai Ibunya Muhazzan, salah seorang pelaku bom bunuh diri dari Indramayu. Tanpa sedikitpun rasa penyesalan, ibunya Muhazzan meyakini anaknya itu sudah berada di surga dikelilingu bidadari. Bahkan ia bangga telah melahirkan seorang martir (syuhada) yang diharapkan nanti akan memberikan syafaat (pertolongan) kepada ibunya ke surga.
Mereka semua pasti akan menyangkal kalau tindakannya bukan bagian dari ajaran agama. Ada banyak hadis maupun kutipan ayat yang jika dibaca sepintas (pembacaan tekstual) akan mendukung dan melegitimasi tindakan mereka.
Lantas, siapakah yang paling berhak dan memiliki otoritas mewakili suara Tuhan? Sepenjang sejarahnya, umat manusia seringkali dikotori pertumpahan darah memperebutkan Tuhan.
Mungkin, sekali-kali kita harus jujur mengakui bahwa sebagian umat Islam meyakini terorisme sebagai bagian dari ajaran Islam. Empat tahun silam, Rumah KitaB meneribtkan satu buku penting utk memahami fenomena ini: “Inspirasi Jihad Kaum Jihadis”. Buku hasil diskusi ttg kitab-katab yang ditulis para Jihadis ini mengurai dan memetakan akar dan asal usul (geneologi pemikiran) pemikiran dan tokoh ideolog Jihad dalam Islam — dari Ibnu Taymiyah hingga Aman Abdurahman. Jika membaca buku ini, rasanya sulit mengatakan terorisme tak memiliki agama.
Memang kita tak bisa melihat fenomena terorisme hannya dari satu kacamata (kacamata kuda). Fenomena terorisme begitu rumit dan kompleks. Ada banyak lapisan realitas yang perlu diurai dan ditafsirkan. Cara pandang keagamaan saja tak cukup dan tak akan memadai. Seorang Marxis akan melihat ini sebagai fenomena ekonomi (infrastruktur). Agama hanyalah bagian dari suprastruktur. Freudian akan membacanya sebagai fenomena psikologi akibat impuls-impuls seksual yang menyembul dari alam bawah sadar. Inilah kenapa para teroris itu berburu bidadari di surga. Dan seterusnya…
Yang pasti, kita tak bisa menyederhanakan persoalan. Terorisme harus didekati dengan pelbagai macam pendekatan, salah satunya agama. Saya percaya, sebagaimana Karen Amstrong, bahwa fundamentalisme (sebagai akar dari ekstrimisme) ada dalam setiap agama. Ia ibarat duri dalam daging. Hari ini kita berhadapan dengan orang-orang beragama tanpa rasa kemanusiaan. Nauzu billah min zalik.
Salam,
Jamaluddin Mohammad
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!