Benarkah Kaum Sufi Merendahkan Perempuan? Menggugat Sufisme Patriarkhis
Oleh: Abqari Hisan Ali
Sufisme patriarkhis juga membuat wajah sufisme terlihat diskriminatif. Beberapa sufi menjauhi perempuan karena stigma mereka yang buruk terhadap perempuan. Perempuan dianggap sebagai gambaran neraka yang harus dihindari oleh seorang sang wali dalam ujian kesabaran atau gangguan-gangguannya.
Diskursus terkait eksistensi perempuan umumnya cenderung dipandang sebelah mata dalam hal otoritas ke-ulamaan. Persoalan stigma masyarakat terkait kapasitas keilmuan perempuan dianggap lebih rendah dibanding laki-laki masih menjadi persoalan serius, karena kuatnya stereotype itu. Di lingkungan komunitas, ulama laki-laki dipandang lebih alim dan lebih layak disebut sebagai ulama dibanding perempuan.
Sebutan keulamaan perempuan hanya sampai di sebutan “ustazah”, tidak seperti ulama laki-laki, yang dipanggil dengan sebutan “kyai”. Pandangan diskriminatif ini pada akhirnya lebih memberikan ruang publik untuk ulama laki-laki, dan mengecilkan peran keulamaan perempuan.
Norma gender terkait ruang perempuan di dalam rumah juga berpengaruh pada pembedaan penempatan ulama laki-laki dan ulama perempuan. Ulama laki-laki dikonstruksikan sebagai ulama kelas satu yang diperbolehkan mengakses ruang publik, sementara ulama perempuan hanya mengakses murid-murid perempuan dan anak-anak. Ulama laki-laki lebih besar aksesnya kepada beragam jamaah, karena dia mengakses ruang publik lebih banyak (dominan).
Dominasi maskulinitas ini biasanya terjadi dalam realitas praktik keagamaan masyarakat tradisional dan juga konservatif. Pandangan norma gender dalam masyarakat juga menjadi persoalan, perempuan dianggap lebih baik beraktivitas dalam ruang domestik, dan hanya membawakan materi terkait fiqhu al-nisa (fikih perempuan) yang mensosialisasikan narasi-narasi pandangan keagamaan yang diskriminatif gender.
Padahal fakta sejarah di masa Nabi justru berkebalikan, perempuan-perempuan seperti Aisyah justru punya panggung luar biasa dalam jalur periwayatan hadits-hadits Nabi. Bahkan, kehadiran Aisyah sebagai ulama perempuan sangat penting terkait hadits-hadits Nabi yang berbicara khusus terkait persoalan peribadatan dan muamalah perempuan. Bahkan baru-baru ini, terdapat hasil penelitian dari Muhammad Akram Nadwi dari India, membuktikan bahwa terdapat Sembilan ribu lebih ulama perawi hadits perempuan yang tidak dicatat dalam sejarah. Penulisan sejarah yang lebih banyak membicarakan keulamaan laki-laki, dan menutup akses informasi terhadap sejarah keulamaan perempuan.
Tidak tercatatnya lebih dari sembilan ribu ulama perempuan itu karena penulisan sejarah di abad pertengahan justru didominasi secara politis oleh laki-laki. Cara pandang penulis sejarah yang patriarkis juga turut mempengaruhi hasil akhir produk-produk sejarah yang hanya mencantumkan nama-nama besar ulama laki-laki. Inilah yang mempengaruhi bentuk dunia Islam saat ini, maskulin dan dilengkapi dengan beberapa produk pandangan keagamaan diskriminatif, termasuk dalam dunia tasaawuf.
Kajian terkait ketidak adilan gender ini, akhirnya juga masuk ke dalam ruang spiritualitas sufisme. Terdapat penolakan yang keras terhadap kaum hawa yang terlibat dalam dunia sufisme mengingat status dan pemikirannya terbatas dalam rumah tangga dan “bakti terhadap seorang suami.”
Asumsi yang sering muncul dalam dunia sufisme ialah terkait lembaga perkawinan yang cenderung dipandang sebagai penghambat perjalanan spritualitas para pegiat sufisme, terutama di level mahabbah atau kecintaan luhur pada Tuhan. Problem utamanya adalah norma agama itu, yaitu “Selama suami mengizinkan”, maka perempuan diperbolehkan mendalami spiritualitasnya. Misalnya perempuan harus membatalkan ibadah berpuasa sunnah bila suami memintanya untuk membatalkannya. Perjalanan ritus peribadatan yang paling sederhana, seorang perempuan harus meminta “Izin suami”.
Karena lembaga perkawinan dianggap sebagai penghambat, beberapa sufi perempuan memilih tidak menikah. Sehingga muncul pertanyaan; “Apakah seorang sufi perempuan harus hidup membujang atau sebaliknya?” Lembaga perkawinan dipandang dapat menjauhkan cinta yang sesungguhnya kepada sang Maha.
Kemudian, sufisme patriarkhis juga membuat wajah sufisme terlihat diskriminatif. Beberapa sufi menjauhi perempuan karena stigma mereka yang buruk terhadap perempuan. Perempuan dianggap sebagai gambaran neraka yang harus dihindari oleh seorang sang wali dalam ujian kesabaran atau gangguan-gangguannya. Terdapat juga ungkapan pemimpin sufi menganjurkan anggotanya untuk kawin, karena ada sebuah ungkapan yang menyebutkan bahwa kesengsaraan yang menunggumu akan membimbingmu ke jalan Tuhan agar lebih dekat.
Ungkapan-ungkapan diatas menurut seorang tokoh pengkaji mistik yaitu Annemarie Schimmel, merupakan kecenderungan dalam tasawuf di zaman klasik yang menyamakan perempuan dengan kemegahan dunia serta tipu dayanya. Esensi jiwa (nafs), mewakili dunia dan godaannya, yang juga sering disandingkan dengan perempuan dengan segala tipu muslihatnya seperti yang pernah diungkapkan Jalaluddin Rumi yang berisi “kejatuhanku yang pertama dan terakhir adalah gara-gara perempuan”. (Schimmel, Annemarie, Mystical Dimension of Islam, The University of North Carolina Press, United States of Amerika (USA), 1975).
Ada sebuah ungkapan yang sangat fenomenal dari seorang sufi terkemuka yaitu Sana’i, menurutnya “Seorang wanita saleh lebih berharga daripada seribu lelaki brandal”, ungkapan wanita “Shaleh” menggambarkan bahwa seorang perempuan shaleh (biasanya shalehah) tentu sangat layak dan bahkan dianggap penting mengingat secara keseluruhan tidak ada batasan seseorang baik laki-laki atau perempuan dalam beribadah kepada Allah mengingat yang menjadi ukuran mutlak ialah ketakwaan, Inna akramakum ‘indallâhi atqâkum (QS al-Hujurat: 13).
Wajah Lain Sufisme di Tangan Perempuan
Peran perempuan dalam dunia tasawuf memiliki andil dan kontribusi penting dalam sejarah tasawuf itu sendiri, seperti halnya seorang Rabi’ah al-Adawiyyah terkait konsep Mahabbah. Mahabbah merupakan persinggahan terakhir dalam maqam kesufian setelah Ma’rifah. Rabiatul adawiyah menjadi sosok awal pembawa ajaran Mahabbah (sikap dan cara pandang tentang cinta ilahiyah) yang hakiki kepada Allah. Cintanya yang begitu dalam terhadap Allah, mampu menafikan segala sesuatu selain Allah, bahkan dia rela tidak menikah, karena menurutnya itu akan memalingkannya cintanya kepada dunia dan melupakan Allah.
Margareth Smith menjelaskan bahwa beberapa rekan sezaman Rabi’ah, perempuan-perempuan suci yang hidup pada akhir abad ke-8 Masehi di Basra dan Siria. Salah satunya ialah Mariam “yang berkobar-kobar semangatnya”, “yang senantiasa menangis, takut, dan menyebabkan orang lain menangis”. Di sisi lain ada juga seorang Putri Abu Bakar al-Kattani seorang ahli mistik, yang kehabisan nafas ketika sedang menghadiri pertemuan dengan Nuri, sufi yang kerasukan ketika berbicara mengenai cinta; tiga lelaki juga meninggal bersamanya pada saat itu.
Adapula yang disamping seorang sufi dan bergelut dalam dunia mistik, juga seorang ahli kaligrafi serta sebagai penyair, seperti Rabi’a dari Siria, istri Ahmad ibn Abi Al-Hawari, yang mengungkapkan pengalaman mistiknya berdasarkan sajak-sajak indah. Pada zaman setelahnya, istri al-Qusyairi, juga yang sering disebut sebagai penyebar Hadis Nabi. Dalam masa pembentukan Islam, Schimmel menyebutkan bahwa ada tokoh yang mengesankan, ia adalah Fatimah dari Nishapur, yang bergabung dengan Dzun-Nun dan Abu Yazid Al-Busthamiy. Fatimah secara terbuka berbicara mengenai mistik dengan kedua tokoh terkenal tersebut. (Abdurrahman Badawi, Dirasat Al-Islamiyyah,Syahidatu Al-‘Isyq Al-Ilahiy; Rabi’ah Al-‘Adawiyyah, Maktabah An-Nahdlah Al-Misriyyah, Cairo – Egypt, Cet. Kedua, 1962).
Dari berbagai gambaran diatas tentunya tasawuf memberikan ruang untuk perempuan berperan aktif dalam kehidupan agama dan kemasyarakatan. Agama pun memberikan beberapa keistimewaan terhadap perempuan, baik dari segi kehidupan bersosial maupun dalam beragama. Perannya sangat penting dalam menopang kehidupan, sebagai pendidik bagi anak-anak serta memberikan keturunan dalam keberlangsungan umat. Hal tersebut senada dengan ungkapan Said Aqil Siroj, yaitu terkait unsur feminin atau maskulin dalam wacana tasawuf bukanlah kendala yang berarti, baik laki-laki maupun perempuan memiliki ruang yang sama dalam ranah ibadah kepada Allah karena fokus utama ialah manajemen hati dalam meniti jalan kehidupan agar lebih indah. Hanya pengalaman-pengalaman sufisme laki-laki yang patriarkhis, membuat diskursus sufisme terlihat maskulin, padahal tidak demikian, diskursus sufisme juga bisa terlihat feminism di tangan Rabiah Al-Adawiyah, dan memperkaya narasi dan kedalaman konsep sufisme dalam peradaban Islam.
Abqari Hisan Ali, Banjarmasin Timur, Kalimantan Selatan. Peserta Pengaderan Kiai Muda Sensitif HAM dan Gender 2021, Rumah KitaB didukung oleh The Oslo Coalition – University of Oslo, Norwegia.
Artikel ini telah terbit di Harakah.id
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!