rumah kitab

Merebut Tafsir: Rohingya dan Cara Orang Aceh Menyambut Tamu

Oleh Lies Marcoes

Minggu ini, pantai Utara Aceh kembali kedatangan tamu, para pengungsi Rohingya. Ketika aparat berupaya mengikuti protokol pengaturan pengungsi plus penanganan covid-19, orang Aceh sudah memasak timpan, makanan berbalut daun pisang terbuat dari tepung ketan, santan dan gula merah, penanda mereka siap menerima tamu.

Tahun 2016-2017 untuk pepentingan penelitian tentang perempuan Rohingya di pengungsian, saya mengamati dari dekat tinggal bersama para pengungsi di tenda-tenda mereka. Dari sana saya memiliki catatan tentang cara orang Aceh menghadapi gelombang pengungsi Rohingya yang masuk lewat perairan mereka.

Orang bisa berandai-andai, apa jadinya jika manusia perahu ini berlabuh di tempat lain. Tapi Aceh punya sejarah panjang perjumpaan mereka dengan tamu-tamu yang muncul di kuala dan pantai mereka. Karenanya tak perlu mengajari bagaimana cara orang Aceh menyambut tamu. Mereka adalah anak bangsa yang punya budaya teladan “peumulia jamee” – memuliakan tamu; sebuah laku hidup yang telah mendarah daging dan menyangkut harga diri serta keyakinan mereka. Secara adat, para nelayan Aceh pantang menolak siapapun yang tersesat di tengah laut. Semenanjung Aceh adalah pintu gerbang Nusantara yang senantiasa terbuka bagi kaum rantau dari seluruh penjuru dunia, bahkan sejak berabad silam sebelum kolonial datang dan memanfaatkan keramahan mereka dengan muslihat.

Belakangan, mereka juga mendapat pelajaran penting bagaimana mengelola bencana tsunami. Menerima takdir melepas sanak saudara dan sahabat yang hilang ditelan gelombang, menjamu para tetamu dari berbagai penjuru dunia, berkawan, atau bertengkar dengan para relawan penanggulangan bencana dan bernegosiasi soal damai dari konflik yang menahun. Bahkan pengalaman pahit mereka di masa konflik niscaya juga tak hanya meninggalkan luka, tetapi juga nilai-nilai tentang berbagi di kala sulit. Maka tak heranlah jika ratusan orang Rohingnya yang mereka pandu dari tengah laut hingga ke pantai, mereka sambut sebagai saudara yang hilang. Meski negara Indonesia tak punya perjanjian dengan negara manupun terkait pengungsi, orang Aceh telah mendahuluinya dengan menerima mereka dan bukan mengusirnya.

Namun pada kenyataannya, para pendatang itu bukanlah tetamu biasa yang dapat diajak singgah, sebagaimana dikisahkan dalam tradisi Peumulia Jamee. Dalam laporan kami, antropolog Dr. Reza Idria menuliskan dengan sangat apik budaya Peumulia Jamee sebagai budaya tinggi orang Aceh yang harus berhadapan dengan aturan-aturan baru antar negara. Tunduk pada aturan internasional dan kesepakatan antar negara, para tetamu itu ditetapkan sebagi pengungsi antar negara atau refugees. Dan atas nama aturan, mereka diperlakukan dengan standar baku layanan bagi pengungsi yang diatur oleh lembaga-lembaga internasional, seperti UNHCR atau oleh NGO internasional urusan pengungsi seperti IOM. Konsekuensinya, mereka tak terhindar dari penyeragaman penanganan.

Di pengungsian, mereka diperlakukan sama rata. Itu jelas penting dan prinsip. Namun, pada kenyataannya, warga pengungsi tak sama dan serupa. Minimal mereka beda jenis kelamin, umur, bahkan keadaan fisik, pendidikan, serta asal-usulnya. Dan dengan adanya pengakuan akan keragaman itu, maka perlakuan berbeda dan khusus akan menggenapkan perlakuan yang sama rata, namun belum tentu sama adil.

Untuk urusan pemisahan ruangan berdasarkan jenis kelamin, itu merupakan langkah pertama yang dianggap paling penting di camp manapun. Bagi Aceh, itu lebih utama. Bukan saja untuk kepentingan para pengungsi, melainkan juga demi menghormati semangat penerapan Syariat Islam di Aceh. Namun, sesuai dengan stereotipenya, semua anak-anak disatukan dengan perempuan meskipun tak sedikit mereka datang sebagai keluarga, pasangan suami istri, dengan anak-anak mereka. Bertangki-tangki penyediaan air diletakkan di kamp pengungsi lelaki di bagian depan), dan akibat pemisahan ruang itu telah membatasi akses dan volume air bagi pengungi perempuan. Mereka hanya bisa mengambilnya di sore dan malam hari dari sisa air yang dipakai para lelaki seharian.

Semua warga diberi makanan yang sama, tak terkecuali anak-anak balita atau orangtua. Makanan seragam dan standar seringkali jadi mubazir ketika tak menimbang kebiasaan dan pantangan. Orang Rohingya pantang minum susu. Mereka juga tak menyukai biskuit dan daging. Mereka lebih suka ikan dan sayuran segar. Mendekati perempuan untuk mengetahui apa yang mereka kehendaki agar tanpa menyalahi prinsip perbaikan gizi yang dapat segera memulihkan kesehatan mereka pastilah sangat berguna daripada memaksakan standar internasional yang belum tentu mereka terima.

Perbedaan tradisi dan keadaan melahirkan berbeda kebutuhan. Namun, tanpa pemahaman bahwa kebutuhan perempuan berbeda dari lelaki, kebutuhan anak-anak berbeda dari orang dewasa, orang dengan disabilitas dan non-diabilitas punya kebutuhan yang tak sama, maka penanganan bantuan bisa meleset dari tujuan. Karenanya, menggunakan pendekatan yang paham atas perbedaan itu (antara lain analisis gender dan analisis budaya) adalah keniscayaan karena bantuan adalah hak semua pengungsi tanpa kecuali.

Catatan lama ini mungkin dapat menjadi pertimbangan dalam memperlakukan para pengungsi, memadukan adat orang Aceh menjamu tamu dan tata cara hukum internasional yang sensitif gender dalam memperlakukan refugees.

LiesMarcoes, 27 Juni 2020

Saba Mahmood dan Sumbangan Besarnya dalam Kajian Islam Tentang Perempuan

Oleh Wa Ode Zainab ZT

Melalui The Politics of Piety, Pemikir bernama Sabaa Mahmoud memberi kesegaran dalam diskursus perempuan di dunia

Judul Buku     : The Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject

Penulis            : Saba Mahmood

Penerbit.         : Princeton University Press

Cetakan           : 2005

Tebal               : xvii+233 halaman

ISBN               : 978-0-691-08695-8 dan 0-691-08695-8

Buku The Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject merupakan salah satu referensi utama dalam diskursus feminisme dan gerakan perempuan di dunia [komunitas] Islam. Perempuan kelahiran Pakistan ini memberikan kontribusi teoritis untuk memikirkan kembali relasi antara etika dan politik, agama dan sekularisme, serta kebebasan dan ketundukan. Kita bisa mengatakan bahwa karya ini merupakan sebuah terobosan analisis terhadap budaya politik Islam.

Dalam Politics of Piety, Mahmood menawarkan etnografi gerakan perempuan akar rumput yang berkembang pesat pada masjid-masjid di Kairo, Mesir. Gerakan ini merupakan bagian dari kebangkitan dan reformasi politik Islam di Mesir. Tidak seperti kegiatan Islamis terorganisir lainnya yang berusaha untuk mengubah negara, gerakan perempuan di Mesir ini merupakan gerakan reformasi moral.

Dengan melintasi batas-batas disiplin ilmu humaniora dan ilmu sosial, karya Mahmood ini telah membentuk penyelidikan teoritis dan etnografis tentang agama dan kebebasan, serta warisan kolonialisme, kapitalisme, liberalisme, dan sekularisme dalam konflik kontemporer di Timur Tengah. Politics of Piety layak menjadi bacaan primer bagi siapa pun yang tertarik pada isu-isu gender dan gerakan perempuan di dalam komunitas Muslim.

Buku ini terdiri dari lima bab dan epilog. Bab pertama ialah: The Subject of Freedom (Subjek Kebebasan); Bab Kedua ialah: Topography of the Piety Movement (Topografi Gerakan Kesalehan); Bab Ketiga ialah: Pedagogies of Persuasion (Pedagogi Persuasi); Bab Keempat ialah: Positive Ethics and Ritual Conventions (Etika Positif dan Konvensi Ritual); dan Bab Kelima ialah: Agency, Gender, and Embodiment (Agensi, Gender, dan Perwujudan).

 

Saba Mahmood (w. 2018) ialah profesor antropologi di University of California, Berkeley. Dia menulis beberapa karya lainnya yang concern terhadap isu-isu gender, politik, agama, dan hubungan Muslim dan non-Muslim. Dalam beberapa karyanya, Mahmood melakukan penelitian antropologi agama dan teori politik pada masyarakat Muslim di Timur Tengah dan Asia Selatan.

Antropolog yang menerima gelar PhD dari Universitas Stanford ini menerima berbagai penghargaan dan beasiswa dari berbagai negara. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, seperti Arab, Persia, Turki, Perancis, Portugis, Spanyol, dan lainnya. Salah satu karyanya, Politics of Piety menerima Penghargaan Victordia Schuck 2005. Adapun buah pemikiran Mahmood lainnya antara lain: Religious Difference in a Secular Age: A Minority Report; Is Critique Secular? Blasphemy, Injury, and Free Speech.

Kritik terhadap Sarjana Barat

Secara teoritis, buku ini memeriksa wacana Aristotelian tentang etika yang mempengaruhi tradisi Islam dan pemikiran kontinental. Selain itu, menganalisa teori antropologis yang melibatkan teori tentang praktik dan fenomena budaya. Dengan cara ini, Mahmood menginterogasi hubungan antara praktik tubuh dan bentuk tubuh, di satu sisi, di lain sisi terkait dengan imajinasi etis dan politis. Sementara itu, pada saat yang sama, dia mempertanyakan pemisahan domain etika dan politik.

Pada magnum opusnya tersebut, Mahmood mengakui transformasi dirinya sendiri dalam konteks penelitian dan pengalaman. Terutama interaksinya dengan para tokoh gerakan masjid perempuan tersebut, serta sebagian besar perempuan yang berpartisipasi dalam gerakan ini dari berbagai latar belakang pendidikan, status sosial, dan ekonomi.

Selain itu, Mahmood menginterogasi alat investigasi sarjana Barat saat menjadikan perempuan di dunia Islam sebagai objek kajian. Dalam buku ini, Mahmood melawan anggapan tentang pandangan liberal untuk terbebas dari subordinasi. Teori Mahmood memungkinkan adanya pemisahan realisasi otomatis dari kehendak otonom dan agensi dari infrastruktur diskursif dan politik progresif.

Dalam konteks ini, dia berupaya memperkenalkan perbedaan wacana hak asasi manusia di Barat dan pertimbangan perempuan Muslim sendiri tentang martabat mereka sebagai manusia. Sehingga, buku ini meyakinkan para pembaca Barat [yang merupakan audiens dari Mahmood] bahwa setiap wacana yang didasarkan pada ide-ide epistemologis dan filosofis Barat, serta term-term yang digunakan [misalnya agensi, kebebasan, dan fundamentalisme Islam] dalam meneliti perempuan Muslim atau gerakan perempuan di dunia Islam harus ditelaah kembali.

Dia pun mengkritisi pandangan Barat yang menganalisa gerakan perempuan di dunia Islam tanpa menghasilkan pemahaman yang komprehensif dan objektif. Mahmood sebagai seorang sarjana, dalam penelitiannya berusaha memahami latar belakang dan motivasi mereka yang terlibat dalam gerakan semacam itu. Pemikiran kontroversialnya ini mendobrak penelitian ilmiah terkait dengan perempuan Muslim yang selama ini dilakukan oleh sarjana Barat.

Refleksi dan Proyeksi

Buku ini membahas tiga pertanyaan utama, sebagaimana diungkapkan sendiri oleh Mahmood (hal.198). Pertama, bagaimana gerakan reformasi moral membantu kita memikirkan kembali pandangan liberal politik normatif? Kedua, bagaimana kepatuhan perempuan terhadap norma-norma patriarkal pada inti dari gerakan-gerakan seperti itu mempropagandakan asumsi-asumsi utama dalam teori feminis tentang kebebasan, hak pilihan, otoritas, dan subjek manusia? Ketiga, Bagaimana suatu pertimbangan perdebatan tentang penjelmaan ritual keagamaan di antara kaum Islamis dan kritik sekulernya membantu kita memahami hubungan konseptual antara bentuk tubuh dan imajinasi politik?

Tampaknya proyek Mahmood dapat berjalan seiring dengan paradigma negosiasi, yang sama sekali tidak terbatas pada konfirmasi atau subversi norma. Dengan demikian, dia menawarkan katalog dari relasi antara subjek dan norma. Menurut katalog tersebut, norma sebenarnya tak hanya bisa diafirmasi dan dinegasi, tetapi juga dicita-citakan.Terkait dengan norma yang berlaku pada masyarakat, dia berpandangan bahwa norma mempengaruhi tindakan individu maupun kelompok.

Paradigma yang diperkenalkan oleh Mahmood juga mengkritisi kerangka teori kekuasaan sebagai negosiasi, yakni melipatgandakan pondasi pembacaan demoralisasi proses subjektivitas yang diselenggarakan oleh kerangka neo-liberal. Dalam hal ini, Mahmood secara eksplisit membahas pemikiran Foucault, memperkenalkan refleksinya tentang etika. Dia juga memberikan pembacaan yang tegas dan afirmatif, yang berefek pada diri, terutama terhadap perilaku.

Menurutnya, kesalahan yang acap kali kita lakukan dalam menganalisis kerumitan gerakan ini apabila melakukan penelitian melalui lensa perlawanan. Sehingga, pembacaan seperti itu tak mampu melihat dimensi kekuatan dari gerakan ini dan transformasi yang telah ditimbulkannya dalam bidang sosial dan politik. Salah satu dampak nyata gerakan ini di Mesir, secara de facto, menyebabkan hambatan besar bagi proses sekularisasi. (Hal.174)

Dalam karyanya terkandung kompleksitas Islam, perempuan Muslim, gerakan perempuan, dan gagasan identitas. Sebagaimana dikemukakan pada Bab 1, Mahmood mengakui efek signifikan gerakan perempuan tersebut terhadap otoritas berbagai norma, intitusi, dan struktur dominan. Lebih jauh, Mahmood berpendapat tentang pentingnya mengelola hubungan antara politik dan etika yang selama ini kerap dipisahkan dalam kajian [penelitian] politik di Barat.

Sebagaimana termaktub dalam epilognya, Mahmood mengungkapkan tantangan yang telah dijalaninya, “Tidak ada studi tentang politik Islam yang ditulis oleh akademi Barat yang dapat menghindari kritik kontemporer tentang perilaku etis dan politik Islam, serta asumsi sekuler-liberal yang menghidupkan kritik ini.”

Inilah langkah ilmiah yang patut diapresiasi, yang mana penelitian dilakukan tanpa dominasi peneliti dalam meneliti suatu objek kajian. Dan, tentu saja menjadi salah satu sumbangan cukup besar bagi diskursus pemikiran kontemporer terkait relasi Islam-Perempuan dalam khazanah pengetahuan Islam yang terus berkembang.[]

 

*Analisis ini hasil kerjasama islami.co & Rumah KitaB* 

Sumber: https://islami.co/saba-mahmood-dan-sumbangan-besarnya-dalam-kajian-islam-tentang-perempuan/

Komentar Sinis Perempuan Aktif di Publik & Kenapa Islam Membenci Itu

Oleh Sarjoko S

 

Bagaimana perempuan di luar rumah justru menjadi ajang sinisme?

 

Masih banyak komentar sinis mengenai posisi perempuan di ruang publik kita yang sangat maskulin. Terutama ketika menyangkut perjuangan kesadaran gender, sebagian orang masih berkomentar bahwa perempuan hanya memperjuangkan hal-hal yang menguntungkan dirinya saja.

Apakah perempuan mau untuk sekadar mengangkat galon?

Pertanyaan tersebut kerap penulis jumpai ketika mendiskusikan persoalan kesetaraan gender. Cukup beralasan di satu sisi. Karena faktanya ada sebagian perempuan yang juga menganggap bahwa peran tertentu adalah peran laki-laki. Misalnya di sebuah acara pengajian, bagian dari divisi perlengkapan dianggap sebagai divisinya laki-laki. Sementara perempuan selalu menempati divisi-divisi yang dianggap feminin seperti penerima tamu atau konsumsi.

Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan perempuan menghadapi tantangan internal dan eksternal yang sama kuatnya. Di Barat, fenomena untuk menolak kesetaraan juga pernah terjadi. Backlash, begitu banyak disebut oleh pengkaji feminisme, didasari pada anggapan bahwa sebenarnya laki-laki dan perempuan sudah setara. Hanya saja laki laki dan perempuan memiliki posisi dan peran sosial masing-masing.

Di Indonesia perlawanan terhadap gerakan feminisme di antaranya ditandai kemunculan gerakan seperti Indonesia tanpa feminis. Gerakan tersebut dilakukan oleh perempuan yang merasa bahwa struktur lama—yang coba didobrak oleh para feminis—dianggap sudah sangat baik dalam menjaga ‘keseimbangan sosial’. Dominasi laki-laki dianggap sebagai sebuah kodrat ilahiyah yang tak perlu diotak-atik lagi. Hal ini tentu menjadi tantangan besar bagi gerakan kesetaraan gender.

Jika kita telusuri lebih jauh, gerakan kesetaraan gender masih terhitung seumur jagung sejarah manusia. Di buku-buku tentang feminis, gerakan untuk memperjuangkan ruang bagi perempuan baru muncul di tahun 1800-an. Sebelum itu perempuan hidup dalam era yang secara umum kelam, meski pun beberapa perempuan tercatat menjadi simbol kedigdayaan suatu negeri.

Sebagai contoh kita lihat sejarah Inggris, salah satu negara monarki tertua di dunia. Sejak berdiri di tahun 774, Inggris baru memiliki pemimpin perempuan di tahun 1141 ketika Ratu Matilda mengklaim tahta yang kemudian hanya bertahan beberapa bulan saja. Politik Gereja yang memihak pada laki-laki menjadi salah satu sebabnya.

Bagaimana dengan Islam? Hal yang sama tidak jauh berbeda. Islam menyebar melalui jalur monarki dengan beragam penaklukan. Dalam sistem monarki selalu menempatkan laki-laki sebagai pewaris tahta. Penulis rasanya tidak pernah membaca ada pemimpin perempuan di dinasti-dinasti besar Islam.

Karena maskulinnya sistem monarki, tak mengherankan apabila teks-teks keagamaan juga diproduksi secara maskulin. Hal ini tak lepas dari intervensi kuat seorang sultan terhadap teks agamanya. Karenanya, ulama yang berseberangan dengan kemauan sultan akan mendapat hukuman, mulai dari bui hingga eksekusi.

Sejarah yang demikian, ditambah dengan faktor pembagian ruang yang menempatkan laki-laki sebagai pihak yang kuat dan perempuan yang lemah, membuat imajinasi kita tentang dunia sangat maskulin. Segala hal yang terlihat berkuasa disimbolkan dengan lelaki. Posisi penting seperti hakim, ulama, menteri dan lainnya selalu sebagian besar dari kelompok laki-laki.

Akhirnya kita terkesima apabila menemukan perempuan yang memegang peranan penting.

‘Tuh, perempuan sebenarnya bisa jadi menteri.’ 

‘Nah, kan. Perempuan bisa juga jadi CEO.’

‘Meski perempuan, dia bisa juga lho jadi ketua.’

Sesuatu yang dikagumi biasanya adalah sesuatu yang tidak biasa terjadi. Kekaguman atasnya menyiratkan masalah serius.

Hal ini penulis sadari ketika berkunjung di Aceh pada akhir 2018. Di sana penulis menemukan banyak sekali perempuan yang memegang peran penting dalam perjuangan sejarah Aceh. Sebut saja Tjuk Nyak Dhien, Keumalahayati, Sultanah Safiatuddin, dan lain sebagainya.

Penulis sangat mengagumi sosok Laksamana Malahayati yang disebut sebagai laksamana perempuan pertama di dunia. Ia memimpin pasukan laut  bernama Inong Balee yang berisi para janda. Malahayati membentuk pasukan itu karena suaminya tewas dalam pertempuran. Ia kemudian mengajak perempuan yang bernasib sama untuk membentuk armada laut yang kuat.

Penulis terkagum-kagum karena pasukan Malahayati pernah mengalahkan pasukan Kerajaan Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman. Namun penulis kemudian merenung dan merasakan kekecewaan. Mengapa penulis sangat bangga dengan pencapaian Malahayati, namun merasa biasa saja dengan keberhasilan banyak tokoh lelaki yang memenangkan pertempuran?

Ya, karena selama ini perempuan hidup dalam belenggu. Jika ada perempuan yang lepas dari belenggu maka dianggap sebagai sebuah keajaiban. Sayangnya, tidak semua orang bisa menangkap bahwa sejarah dicatat untuk menjadi inspirasi. Kebebasan ruang bagi perempuan semakin lama justru semakin dipersempit, baik oleh kelompok laki-laki atau pun perempuan itu sendiri.

Apa pasalnya? Banyak orang terus berupaya ‘menyadari’ bahwa perempuan adalah makhluk domestik. Sehingga pembagian peran perempuan terbatas pada hal-hal yang berada ‘di dalam rumah’. Di titik ini penulis masih bisa menerima. Banyak sekali Bu Nyai di pesantren yang memegang peranan domestik ini.

Peran domestik bukanlah sesuatu yang mudah. Justru peran domestik di pesantren ini menjadi sesuatu yang sangat vital mengingat para kiai biasanya tidak memiliki ‘pekerjaan tetap’. Hari-harinya dihabiskan untuk belajar dan mengajar. Bu Nyai inilah yang justru menghidupi keluarganya dengan mengelola toko dan usaha lain.

Jika diperhatikan, para kiai di pesantren-pesantren pun sebenarnya menjalani profesi domestik atau mendomestifikasi dirinya seumur hidupnya. Sejak kecil seorang gus (sebutan untuk anak kiai) biasanya dimasukkan ke pondok pesantren yang jauh dari rumahnya. Setelah dinyatakan cukup, seorang gus ditarik kembali oleh abahnya, lalu diminta langsung terjun di pesantren yang dikelola oleh keluarganya sepanjang hidupnya.

Domestifikasi menjadi hal yang perlu ditentang apabila dimaknai bahwa perempuan tidak bisa berperan di ruang sosial karena identitas perempuannya. Apalagi jika disokong oleh pemahaman bahwa perempuan adalah makhluk yang lebih rendah daripada laki-laki. Soal pemilihan ruang hal ini sepenuhnya harus diserahkan pada kesadaran individu.

Bagi penulis, perjuangan kesetaraan gender secara substantif bertujuan untuk mendobrak pola pikir yang timpang. Ketimpangan ini diterima karena menjadi doktrin apabila didukung dengan teks-teks yang dipahami secara subordinatif. Hal ini melahirkan belenggu yang menindas. Nah, perjuangan kesetaraan ini lebih pada penghancuran belenggu yang menindas satu identitas itu. Wallahua’lam.

*Analisis kerjasama Islami.co & Rumah KitaB*

 

Sumber: https://islami.co/komentar-sinis-perempuan-di-luar-publik-kenapa-islam-membenci-itu/

Benarkah Ada yang Berubah dari Solidaritas Keagamaan Kita?

Oleh Kalis Mardiasih

Apakah benar, lewat donasi dan lain-lain, cara kita beragama kita telah benar-benar berubah?

 

Kemarin malam, saya bergabung dalam obrolan warga online yang diadakan oleh The Conversation dan Lab Tanya. Tema obrolannya: Solidaritas Lintas Religi di Masa Pandemi. Ini entah ke berapa kali saya terlibat dalam obrolan bertema sama. Apa yang biasanya muncul dalam obrolan bertema agama di masa pandemi?

Biasanya masing-masing perwakilan dari agama akan menceritakan apa yang berubah dari pelaksanaan ibadah mereka. Jamaah Kristen dan Katolik biasa memaknai kedatangan ke gereja untuk alat ukur kualitas iman, ternyata bisa menjalankan tradisi baru ibadah dari rumah saja. Kemudian memberi pemaknaan bahwa iman itu letaknya ada di hati dan pada kepedulian kita kepada sesama. Teman-teman Hindu dan Budha juga menyesuaikan diri dalam perayaan Nyepi dan Waisak. Demikian juga teman-teman pemeluk kepercayaan kepada Tuhan YME.

Dalam Islam, tentu saja kita bisa bercerita banyak hal yang serupa. Bagaimana masjid menyesuaikan diri dengan beragam kompleksitasnya. Bagaimana pesantren menyesuaikan diri. Bagaimana peran patron atau tokoh dalam sebuah identitas tertentu dalam agama amat besar pengaruhnya kepada para pengikut. Debat perihal solat jumat, solat idul fitri dan juga soal haji.

Lebih dari itu, akhir-akhir ini saya ingin melihat hal lain. Jika pertanyaan yang diajukan adalah benarkah krisis kesehatan global ini menjadikan perubahan pada situasi keberagamaan dan toleransi? Saya kira pertanyaan itu tidak bisa dijawab terlalu cepat.

Tentu saja saya langsung berpikir dari titik terjauhnya: nasib minoritas kelompok berbasis agama di masa krisis.

Pengungsi Syiah Sampang, misalnya, masih bernasib tak jelas sejak sekira tahun 2011. Mereka tinggal di rumah susun yang satu ruangnya ditempati belasan orang. Tentu saja sulit mengakses kegiatan ekonomi, politik dan sosial karena ada Perda soal aliran sesat yang belum dicabut sangat menstigma mereka. Pendidikan anak-anaknya praktis sempat terputus dan tentu saja hingga hari ini paling-paling hanya ada pendidikan darurat.

Belum lagi menyoal trauma yang mereka alami. Ketika mengingat ratusan rumah dibakar lalu mereka terusir dari kampungnya hingga hari ini. Semoga saja pendampingan psikis anak-anak di pengungsian cukup lancar.

Jika Pemerintah memberikan bantuan sosial lewat nama-nama Kepala Keluarga yang terdata dalam Program Keluarga Harapan, apakah kelompok minoritas yang sudah mengalami masa krisis sejak 8 tahun lalu ini terdata juga? Dialog-dialog sudah terus dilakukan sampai ke level Gubernur, tapi sepertinya belum ada jawaban yang jelas untuk masa depan mereka.

Di masa krisis ini, kelompok-kelompok Islam juga banyak mengumpulkan donasi lewat berbagai campaign. NU dan Muhammadiyah memiliki satgasnya masing-masing.

Pandangan subjektif saya yang lain, lembaga-lembaga pengumpul dana umat yang namanya cukup dikenal, meskipun tetap bekerja untuk covid19, tapi rasanya tidak seheboh ketika mereka mengemas isu lain. Ambil contoh, ketika bergejolak isu Palestina, Rohingya, Uyghur. Biasanya spanduk mereka ada di tiap kilometer dengan gambar-gambar yang spontan mengetuk hati para dermawan, belum lagi budget-budget yang mereka keluarkan untuk iklan di televisi dan media lainnya. Banyak riset yang melaporkan bahwa dana umat untuk isu-isu konflik itu tentu sangat fantastis.

Kelompok Islam kota juga pernah terbukti dapat mengumpulkan dana yang amat besar ketika memanfaatkan sentimen perasaan diasingkan, diusir, dizalimi. Menarik untuk bertanya, bagaimana perasaan solidaritas semacam itu ketika kini dihadapkan kepada permasalahan yang lebih kompleks perihal masa depan kesehatan global dan pikiran-pikiran baru dalam menghadapi krisis pangan global yang akan mengubah gaya hidup secara personal dan komunal.

Masyarakat Islam yang mudah membangun masjid bahkan dapat mengumpulkan dana hanya dalam waktu semalam, kini mendapat tantangan bagaimana mengubah masjid sebagai bangunan yang memiliki dampak sosial juga menjawab persoalan krisis lingkungan di masa depan.

Apakah situasi krisis kesehatan dan krisis ekonomi juga krisis kekerasan rumah tangga akibat dampak dari Covid 19 ini efeknya tidak sedahsyat konflik-konflik di negeri yang jauh sehingga spanduk-spanduk pengumpulan dana umatnya tak lebih heboh?

Demikian beberapa pertanyaan yang sempat melintas.

Di sosial media, selain menyaksikan banyak sekali gerakan solidaritas kelompok warga, kita juga terkadang disuguhi dengan pernyataan dan tingkah laku sosok-sosok dengan simbol agama lewat berbagai pernyataan dan aksi mereka.

Respons warganet sepertinya tak ada yang berubah untuk hal ini. Tokoh tertentu dengan pernyataan yang tak sesuai common sense, akan diviralkan dengan makian. Sebaliknya, tokoh tertentu yang melakukan aksi nyentrik dan simpatik, akan gampang populer dan dipuja-puji.

Cacian antar kelompok sekaligus pujian antar kelompok beragama masih tetap berlangsung.Dan rasanya malah tak ada yang berubah di masa krisis. Beberapa juga tetap diframing dengan bumbu politik identitas untuk menyanjung atau menyerang kelompok tertentu.

Yang paling saya nanti-nantikan tentu saja adalah ceramah-ceramah agama dari para tokoh yang bukan hanya tentang kesabaran atau ujian, tapi sadar potensi krisis iklim dan lingkungan di masa depan lalu menuju kepada kesadaran bahwa udara, tanah dan air yang meliputi manusia sehari-hari adalah wujud kasih Allah kepada kita, tapi mereka semua sungguh bukan milik kelompok dengan warna tertentu atau partai tertentu.

Wallahu a’lam.

 

*Analisis ini kerjasama Islami.co & RumahKitaB*

 

Sumber: https://islami.co/benarkah-ada-yang-berubah-dari-solidaritas-keagamaan-kita/

rumah kitab

Merebut Tafsir: Ngaji Seksualitas

Saya merasakan ada paradoks bahkan cenderung ke arah sengketa (dispute) ketika agama ( Islam) bicara soal seksualitas. Tidak ada pembahasan paling detail dalam bidang kajian agama dibandingkan hal-hal yang terkait dengan tema seksualitas. Dalam Kitab Kuning tema itu dibahas sejak kitab tingkatan paling dasar hingga tingkat luhur. Di luar bisik-bisik dari teman sepermainan, isu seksualitas sebetulnya paling gamblang saya dapatkan di madrasah sore ketika ngaji kitab Safinah di bawah bimbingan langsung 101 dari Ajengan Amud- ajengan di mesjid kami. Kala itu saya sudah kelas 2 SMP. Di bawah bab thaharah (bersuci), sebuah tema yang paling depan dalam seluruh kitab-kitab fikih, saya membaca bab tentang alat kelamin hingga hukum bersenggama. Sangat detail!

Namun dalam waktu yang bersamaan, atas nama moral, isu seksualitas begitu sulit dibahas secara terbuka bahkan cenderung ditabukan. Dalam pengelompokan ilmu fiqih, tema seksualitas masuk ke dalam rumpun fiqih hukum keluarga yang cenderung menjadi rumpun ibadah yang tertutup untuk direformasi.

Tahun 2017, Rumah KitaB menyelenggarakan serial diskusi soal keragaman seksualitas dalam kajian kitab klasik. Hal itu dimaksudkan untuk menengok ulang apa saja yang terdapat dalam khazanah keagamaan klasik tentang tema itu. Terus terang kajian ini didasari oleh keheranan karena tema itu begitu lekat dengan kehidupan perempuan, dengan fungsi-fungsi reproduksinya yang menentukan kelanjutan hidup dan peradaban manusia, tetapi tema itu lenyap dalam pembahasan soal hak-hak reproduksi yang berangkat dari otonomi perempuan atas tubuhnya.

Ngaji Seksualitas itu dilakukan sekali dalam sebulan, dihadiri oleh 7 sampai 10 para pembaca dan pecinta kitab klasik, berlangsung hampir sepanjang tahun. Sangat mencengangkan bagi saya bahwa pandangan-pandangan dan argumentasi yang bersifat diskursif dalam kitab klasik soal seksualitas begitu kaya, luas, ragam, terbuka dan jauh dari watak judgemental. Dari pengalaman itu saya menyimpulkan bahwa tampaknya, sumber masalah ketabuan bicara seksualitas bukan pada terbatasnya khasanah pemikiran Islam melainkan pada hilangnya tradisi pemikiran yang terbuka akibat meluasnya pendekatan yang lebih berwatak jurisprudensi dan kanunik. Kodifikasi hukum mengubah cara berpikir dari tradisi keilmuan fikih yang terbuka, ragam, tidak mengikat, menjadi tertutup, seragam dan mengikat.

Khazanah Islam terkait isu seksualitas sangat luas, demikian juga metodologi untuk memahaminya. Namun tradisi pemikiran klasik Islam yang sejatinya sanggup melahirkan pemikiran yang luas ragam dan terbuka itu secara historis mandeg dan redup tatkala umat Muslim masuk ke era penjajahan. Penjajahan ini bukan saja mematikan tradisi pemikiran Islam dengan watak eksploratif dan progresif, melainkan menundukkan cara berpikir itu menjadi kanunik, berwatak hukuman dan tertutup.

Pada kenyataannya seluruh negara-negara Islam mengalami penjajahan yang sangat dipengaruhi oleh tradisi hukum yang curiga dan tertutup dalam membahas isu seksualitas. Padahal hukum pada kenyatannya bukanlah sebuah nilai yang netral dan terbuka, melainkan bias dan tertutup serta bersifat mengikat.

Isu seksualitas pada kenyataannya terus berkembang. Karenanya ia juga harus terbuka pada pandangan-pandangan yang dapat menjawab problem-problem terbarukan. Hal ini hanya dimungkinkan ketika sistem itu bersemai dan bersemi dalam masyarakat yang demokratis. Malangnya negara-negara Islam paska kolonial terperosok pada sistem politik yang cenderung otortarian, partiarkh dan moralis dan itu berpengaruh kepada bangunan epistimologi keagamaanya termasuk fikih.

Padahal jika dilihat dalam teks-teks klasik, pandangan Islam tentang seksualitas sebetulnya jauh dari cara pandang serupa itu. Namun ketika memasuki era kontemporer, isu seksualitas dalam Islam telah mengambil tradisi Barat klasik. Ini tentu tak dapat dipisahkan dari masuknya sistem hukum negara penjajahan yang bercokol lama di dunia Islam. Artinya pembahasan isu seksualitas cenderung lebih dekat dengan cara pandang hukum yang kaku sebagaimana berlaku dalam sistem hukum kolonial ketimbang mengambil diskursus Islam klasik yang bersifat terbuka ragam dan tidak judgemental.

Menyadari bahwa isu seksualitas terus berkembang dan perkembangan itu membutuhkan pemikiran -pemikiran baru maka kita mesti juga terbuka untuk membahasanya. Pada waktu yang bersamaan dalam isu seksualitas dan isu keluarga lainnya, umat Islam memiliki peluang untuk mengambil akar diskursus Islam klasik yang tersedia dengan menggunakan metodologi yang juga tersedia sebagaimana juga dilakukan di masa lampau. Karenanya jalan yang dapat ditempuh adalah menggali kembali khazanah pemikiran klasik dengan pendekatan-pendekatan yang terbarukan seperti melihat isu seksualtas dari perspektif keadilan hakiki (istilah Dr Nur Rofiah) dengan memperhatikan persoalan ketimpangan gender di dalamnya.

Dengan cara itu, khasanah kekayaan Islam dapat digunakan untuk kemajuan peradaban dan kemanusiaan yang dapat ditunjukkan dalam pembahasan isu yang paling penting dalam relasi antar manusia: isu seksualitas. Ngaji Seksualitas! Siapa takut?

Lies Marcoes, 21 Juni 2020.

Bagaimana Proses Penyingkiran ‘manusia’ Berbasis Gender Terjadi di Sekitar Kita?

Konstruksi gender-seksualitas terjadi dan kita tidak sadar

Oleh Ust. Ahmad Z. El-Hamdi

Sebarapa sering seksualitas menjadi diskursus yang dibicarakan secara terbuka tabu dibebani dengan tabu dan ketakutan? Membicang seksualitas rasanya memiliki beban ketakutan yang sebanding dengan mendiskusikan ateisme. Jika ateisme jelas-jelas menempatkan dirinya sebagai antitesis dari teisme yang merupakan pondasi utama dan satu-satunya atas seluruh keyakinan keagamaan, seksualitas telah lama dinarasikan sebagai kekuatan jahat yang membangkang atas tatanan ketuhanan, dari mana kesengsaraan manusia di dunia bermula. Seluruh kejahatan dan kesengsaraan manusia di dunia dikonstruksi sebagai pembangkangan seksualitas manusia terhadap tatanan kebenaran (logos) Tuhan. Kecuali beberapa tafsir kelompok feminis-progresif, kisah Adam-Hawa secara konstan dibaca dalam bingkai ini.

Dari tafsir seksis atas kisah Adam-Hawa ini juga lahir pengabsahan atas seluruh kesakitan perempuan terkait dengan siklus seks biologisnya. Haid, kesakitan karena melahirkan, hingga kesengsaraan perempuan dalam menyusui bayinya diyakini sebagai bentuk hukum atas perempuan yang dianggap sebagai biang keladi pemberintakan seksualitas manusia terhadap Tuhan. Laki-laki turut serta menanggung kesengsaraan hidup di dunia karena terperangkap dalam perdaya perempuan. Sejak awal, perempuan telah diletakkan sebagai pihak penanggung dosa-dosa manusia.

Kisah Adam-Hawa ini juga akhirnya menjadi sumber utama bagaimana seksualitas dikonstruksi. Di balik pemberontakannya terhadap tuhan, kisah Adam-Hawa menjadi blue print normatif bagi pendekatan esensialis atas seksualitas manusia. Dorongan seks yang dianggap normal adalah heteroseksual yang bertujuan untuk prokreasi. Setiap penyimpangan dari pola ini dianggap sebagai patologi. Seksualitas manusia yang nrmal hanya dan hanya jika terjadi antara laki-laki dan perempuan. Di samping itu, seksualitas manusia semata-mata untuk tujuan menghasilkan keturunan (pro-kreasi). Setiap aktivitas seksual yang dilakukan untuk tujuan kesenangan (rekreasi) dianggap sebagai abnoramitas yang melawan kodrat.[1]

Dari sinilah penyingkiran terhadap berbagai orintasi seksual non-hetero bermula. Non-heteroseksual didefinisikan sebagai menyimpang (deviant), tidak alami (unnatural), buruk dan bukan laki-laki atau perempuan sesungguhnya. Apa yang disebut dengan seks alamiah-kodrati adalah hubungan seksual antar-lain jenis.

 

Seksualitas

 

Seks dan seksualitas adalah bagian penting dari kehidupan nyaris semua orang. Ia menjadi sumber penting kesenangan, motivasi sebuah tindakan, dan perekat sebuah hubungan, terutama ketika ia dikaitkan dengan kehidupan psikologis dan emosional seseorang. Sekalipun demikian, seks dan sekuslaitas juga kerap menjadi sumber kecemasan, kecanggungan, rasa malu, kesakitan, bahkan konflik interpesonal.[2]

Sekusialitas merujuk pada kecenderungan, preferensi, kebiasaan dan minat seseorang terkait dengan aktivitas seksual, biasanya—sekalipun tidak harus—dalam konteks interpersonal. Seksualitas juga sering terkait dengan orientasi seksual seseorang. Konsep seksualitas merujuk pada interrelasi antara orientasi seksual (kepada siapa/apa seseorang tertarik secara seksual), perilaku seksual (jenis-jenis aktivitas seksual yang dilakukan seseorang), dan identitas seksual (bagaimana seseorang memilih menggambarkan dirinya). Karena itu, seksualitas tidak semata-mata kategoris bilogis, namun merembes, memengaruhi, dan tidak terpisahkan dari gender, identitas agama, kelas, etnis, dan lainnya.[3]

Pendekatan esensialis atas seksualitas mengabaikan kekuatan sosial dan sejarah yang membentuk seksualitas dan tidak mengakui keragaman identitas dan dorongan seksual. Ide bahwa ada satu esensi seks yang benar (a true essence of sex), sebuah pola yang tersembunyi yang ditakdirkan oleh alam itu sendiri banyak dipertanyakan. Pandangan esensialis dianggap bersifat simplistis karena mereduksi pola hubungan dan identitas seksual yang kompleks ke semata-mata faktor biologis.[4] Seluruh elemen seksualitas memiliki sumbernya di tubuh dan pikiran, tapi kapasitas tubuh itu hanya mendapatkan maknanya dalam konteks relasi sosial tertentu.[5]

Michel Foucault menyatakan bahwa tidak ada kebenaran tunggal tentang seks dan bahwa berbagai diskursus—hukum, agama, kedokteran dan psikiatri—telah memproduksi pandangan tertentu tentang tubuh dan kesenangannya, seperangkat sensasi, kesenangan, perasaan dan perilaku tubuh yang kita sebut dengan hasrat seksual. Inilah wacana-wacana yang membentuk nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan seksual kita serta makna yang kita berikan pada tubuh. Seks bukanlah semata-mata entitas biologis yang dikuasai oleh hukum alam, tapi satu ide spesifik dalam budaya dan periode sejarah tertentu. Seks dan bagaimana kita memahaminya dikreasi melalui definisi dan kategori-kategori.

Oleh karena itu,  dia menegaskan bahwa seksualitas adalah efek wacana. Seksualitas sebaiknya tidak dipandang sebagai sesuatu yang terberi secara alamiah yang dikendalikan oleh kekuatan, atau sebagai wilayah buram yang diungkap oleh pengetahuan secara bertahap. Seks adalah nama yang terbentuk secara historis, bukan realitas alamiah yang susah dipahami, melainkan sebuah jaringan besar di mana stimulasi tubuh, intensifikasi kenikmatan, desakan wacana, formasi pengetahuan tertentu, penguatan kontrol dan resistensi saling berkaitan satu sama lain.[6]

Jadi, seksualitas itu terkonstruksi. Kategori-kategori seksual yang kita terima, peta berbagai horison yang mungkin dan yang dianggap sebagai natural, kokoh dan  pasti sesungguhnya adalah label-label yang bersifat historis dan sosial. Kita tidak bisa mereduksi kompleksitas realitas seksualitas ke dalam satu esensi tunggal.

 

Waria: Kisah Penyingkiran Berbasis Gender dan Seksualitas

Waria bisa dikatakan sebagai titik pertemuan antara “pelanggaran” konstruksi mainstream atas gender dan seksualitas. Dilihat dari performanya, menjadi waria berarti melanggar konstruksi gender mainstream di mana orang yang memiliki seks biologi jantan (male) seharus maskulin, tapi waria adalah manusia jantan (male) yang feminin. Sebagai manusia jantan (male), mestinya dia memiliki ketertarikan seksual kepada manusia betina (female), tapi karena dia merasa seorang perempuan, maka dia memiliki ketertarikan kepada manusia jantan (male).

“Pelanggaran” ini membuat waria menjadi manusia yang unchategorical. Dari sinilah kisah penyingkiran waria dimulai. Kisah waria adalah kisah manusia pinggiran dengan sekian alur hidup yang menyedihkan karena diskriminasi yang berlapis. Kisah waria lari dari keluarganya juga adalah kisah yang sangat akrab bagi telinga kita. Waria dianggap sebagai aib keluarga. Oleh karena itu, maka orang tua dan lingkungan keluarga berusaha sekuat tenaga untuk menyeret anaknya untuk tetap berlaku seperti laki-laki. Seperti laki-laki di sini berarti maskulin, perkasa, tidak boleh gemulai dan kemayu. Jika seorang anak gagal memenuhi tuntutan patron gender seperti ini, maka yang seringkali terjadi adalah kekerasan terhadap anak. Jika lingkungan keluarga yang selama ini menjadi ruang nyaman seorang anak ketika mendapati dirinya terancam telah berubah menjadi ancaman itu sendiri, maka pilihan yang tersedia adalah lari.

Penyingkiran juga terjadi di sekolah. Kalau ada siswa yang bertingkah kemayu, maka dia akan menjadi objek ejekan di lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah tidak pernah menjadi ruang nyaman bagi para waria. Tidak mengherankan jika sangat sedikit jumlah waria yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Kalau ada waria yang berhasil menyelesaikan sekolahnya  sampai perguruan tinggi, maka hampir dipastikan si waria tersebut dipaksa untuk tetap tampil sebagai laki-laki, di mana setiap kemayu­-nya muncul, dia harus bersiap menerima ejekan dan hinaan.

Waria tersingkir dari dunia pekerjaan adalah tema tua yang sejak awal menjadi paket dari cerita perjalanan waria itu sendiri. Ketika waria melamar pekerjaan, syarat yang ditetapkan adalah tidak boleh gemulai, kalau tetap kemayu maka ancamannya adalah pemecatan.[7]

Apa yang terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan pekerjaan ini sesungguhnya adalah cermin dari norma gender masyarakat secara umum. Norma gender masyarakat kita tidak memungkinkan ada ruang bagi komunitas yang bernama waria. Masyarakat kita hanya memberi tempat bagi dua jenis identitas gender, laki-laki dan perempuan. Hanya identitas laki-laki dan perempuanlah yang diakui dalam tata hubungan sosial. Laki-laki berarti maskulin, sedang perempuan berarti feminin.

Keterasingan waria dari masyarakat umum bisa dijelaskan melalui pola perilaku gender yang ditentukan oleh sebuah budaya. Wacana dominan dalam kebanyakan budaya, termasuk Indonesia, hanya mengakui dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin ini mengacu pada keadaan fisik alat reproduksi. Klasifikasi ini kemudian diikuti oleh perilaku gender yang diharapkan atas orang yang berjenis kelamin laki-laki dan orang yang berjenis kelamin perempuan. Perilaku khas gender tertentu (gender specific behaviour) dan peran gender (gender roles) ditentukan atas klasifikasi seks tersebut.

Sebuah budaya yang dengan ketat menetapkan hanya ada dua jenis kelamin bisa dibayangkan juga hanya akan menetapkan dua perilaku dan peran gender. Maskulin ditetapkan sebagai perilaku gender yang harus dimiliki bagi laki-laki, sedang bagi perempuan, ia harus bersifat dan bersikap feminin. Konformitas gender adalah keadaan ideal di mana seseorang mengikuti kaidah perilaku gender yang digariskan oleh budayanya. Nonkonformitas gender adalah keadaan di mana seseorang tidak mengikuti, baik secara sadar atau tidak, kaidah itu.

Waria merupakan nonkonformitas gender karena ia melanggar klasifikasi peran gender yang sudah digariskan. Dia adalah laki-laki secara biologis, namun penampilan fisiknya menantang terang-terangan atas norma-norma gender. Waria sedang menentang definisi tentang pria dan wanita. Mereka menggoyahkan tata peradaban yang telah dibangun di atas definisi ketat tentang laki-laki dengan kelelakiannya dan perempuan dengan keperempuanannya. Karena sikapnya yang menentang inilah maka selalu ada ruang yang memisahkan mereka dengan masyarakat umum.

Keadaan waria yang terbuang seperti ini menggiring mereka pada situasi tak ada pilihan. Terbuang dari keluarga, tidak diterima di lingkungan sekolah dan kerja, tersingkir dari masyarakat, adalah fakta keberadaan hidup seorang waria. Dalam situasi ini, semua yang dilakukan oleh waria bisa dikatakan hanya sekedar untuk bertahan hidup. Beruntung jika seorang waria mendapatkan pekerjaan yang layak dan memadai. Namun, kebanyakan mereka tidak memiliki pekerjaan yang layak untuk tetap bertahan hidup. Bisa dikatakan tidak ada pilihan pekerjaan yang tersedia bagi komunitas ini. Tidak mengherankan jika hampir di berbagai kota, kita melihat para waria menjadi pengamen jalanan di siang hari dan menjadi pekerja seks di malam hari. Hampir di setiap kota memiliki tempat yang bisa dianggap sebagai lokus kehidupan komunitas waria: salon-salon kecantikan, pemondokan kumuh, dan tempat pelacuran.[8]

Struktur sosial-budaya-politik-agama telah sempurna menggiring komunitas waria ini ke dalam situasi hidup yang mencekam. Keluarga, masyarakat dan negara secara bersama-sama menciptakan situasi yang tidak memungkinkan mereka untuk memiliki akses pekerjaan seperti orang lain. Ketika mereka pada akhirnya berada dalam situasi hidup yang memilukan ini, mereka semakin dipojokkan dengan stigma yang berlapis. Jika stigma awal hanya mengarah pada status kewariaan mereka, maka sekarang mereka mendapatkan penghujatan atas kepelacurannya dan kegelandangannya.[9]

Kesempurnaan penyingkiran ini semakin menemukan momentumnya ketika agama yang selama ini dipuja sebagai tempat berlindung bagi mereka yang teraniaya dan tersingkirkan tidak memberikan apa-apa, tapi justru menjadi bagian dari agen yang turut meminggirkan, menista dan mendiskriminasi mereka. Agama yang ke mana-mana mendaku dirinya sebagai pemberi kasih tampak di mata waria sebagai teror yang tanpa henti. Teror itu bisa betul-betul berwujud dalam bentuk serangan fisik orang-orang yang mengaku sebagai pencinta dan pembela agama,[10] maupun teror psikologis akibat ajaran agama yang terus-menerus diindoktrinasi kepada semua orang tentang kedosaan waria. Indoktrinasi bahwa waria adalah dosa menjadi teror spikologis yang menghantui ke mana pun waria pergi. Bahkan ketika seorang waria hendak beribadah berdasarkan perintah agamanya pun dia harus melampaui perang batin yang luar biasa, karena hatinya selalu diberondong pertanyaan apakah ibadahnya diterima oleh Tuhan ataukah tidak hanya karena dia adalah waria.[]

[1] J. Weeks, Sexuality (London: Tavistock, 1986), 13.

[2] Roger Willoughby, “Key Concept: Sexuality,” dalam Dave Trotman, dkk (eds.), Education Studies: The Key Concepts (New York: Routledge, 2018), 88-9.

[3] Ibid., 87.

[4] Weeks, Sexuality, 15.

[5] Ibid.

[6] M. Foucault, The History of Sexuality (Middlesex: Penguin, 1988), 105-156.

[7] Ariyanto & Rido Triawan, Hak Kerja Waria: Tanggung Jawab Negara (Jakarta: Arus Pelangi & Friedrich Ebert Stiftung, 2007).

[8] Endah Sulistyowati, “Waria: Eksistensi dalam Pasungan,” dalam Srinthil, 5 (Oktober 2003).

[9] Dalam banyak hal, negara ini menyamakan antara pengamen dengan gelandangan. Tidak heran ketika ada operasi terhadap gelandangan, banyak para pengamen yang terangkut serta.

[10] Banyak ditemui komunitas waria atau kegiatan waria diserang oleh orang-orang yang mengaku membela agama dengan alasan waria adalah manusia pendosa.

*Analisis ini kerjasama Islami.co & Rumah KitaB*

Sumber: https://islami.co/bagaimana-proses-penyingkiran-manusia-berbasis-gender-terjadi-di-sekitar-kita/

rumah kitab

Merebut Tafsir: Covid-19 – Mengambil Jarak “Yes”, Mengucilkan “No”

Oleh Lies Marcoes

Kompas TV memberitakan, ratusan warga mencegat ambulans bahkan dengan ancaman hendak membakarnya dan mengeluarkan paksa jenazah warga yang wafat terpapar covid-19. ( Kompas TV, 17 Juni 2020). Rupanya mereka tak menghendaki warga mereka yang wafat itu dikuburkan dengan prosedur sebagai jenazah covid- 19. Mereka telah melihat dan menerka-nerka betapa berat risiko yang akan dialami warga jika prosesi penguburan dilakukan dengan prosedur covid-19. Mereka akan terus diawasi petugas kesehatan dan gugus tugas covid-19, dan kampung mereka mungkin akan di-lockdown. Akibatnya mereka akan dilarang ke luar rumah/kampung. Mereka merasa mungkin akan dijauhi warga kampung lain bahkan tidak diberi akses melintasi jalan kampung-kampung lain. Bukan hanya akan mengalami pengucilan, pengakuan akan adanya warga yang wafat akibat covid-19 akan berdampak pada terbatasnya akses mereka untuk beraktivitas secara wajar termasuk dalam mencari nafkah.

Di tempat lain, dalam berita yang berbeda, satu keluarga dan para kerabatnya membawa pulang paksa jenazah covid-19 dari sebuah rumah sakit dan dipulasara ulang sesuai keyakinan agamanya. Mereka khawatir pemulasaraan jenazah di rumah sakit itu tak sesuai dengan tata cara agama yang mereka anut mengingat ketika pemulasaraan tak disaksikan pihak keluarga. Mereka juga tak terima jenazah dimasukkan ke dalam peti sesuai yang diasosiasikan dengan tata cara pemulasaraan agama lain. Keluarga itu khawatir mereka akan dikucilkan akibat pemulasaraan jenazah yang tidak sesuai dengan tata cara agama yang diyakini.

Dua peristiwa itu menurut saya membutuhkan solusi. Sebab “pengambil alihan” jenazah serupa itu sangat berisiko. Dikabarkan, 15 orang yang terlibat dalam proses memandikan dan mengkafani jenazah itu kemudian dinyatakan positif covid-19 dan kampung tempat mereka tinggal menjadi klaster yang diawasi.

Ketika kuliah di Medical Anthropology di Amsterdam kami membahas tema-tema serupa ini dalam pelajaran epidemiologi yang dilihat dalam isu kebudayaan. “Sakit” ternyata tak sekadar keadaan fisik seseorang yang tidak sehat, tetapi di dalamnya terdapat nilai-nilai tradisi, adat, budaya, dan cara pikir yang menyebabkan penyakit itu melahirkan persoalan lain, antara lain prasangka dan stigma.

Stigma paling tua dialami oleh penderita kusta atau lepra. Dalam sejarahnya, penyakit kusta atau lepra di Eropa, Timur Tengah, Afrika dan India dan kemudian menyebar di banyak negara tak terkecuali Indonesia. Penyakit ini muncul bersamaan dengan era kolonialisme di abad ke 19. Bakterinya pertama kali ditemukan oleh ilmuwan Swedia tahun 1837. Lalu lintas orang antar benua dalam kerangka kolonialisme telah pula membawa ragam penyakit yang disebabkan oleh bakteri seperti lepra. Pada kenyataannya ini bukan sekadar penanganan penyakit yang disebabkan oleh bakteri “leprae” itu tetapi menghadapi bencana lain yang disebabkan oleh stigma dan ketakutan. Guna mengatasi penyebaran serta sebaliknya menghentikan “perburuan” kepada penderita lepra, upaya pengendaliannya dilakukan pemerintahan kolonial dengan membangun rumah sakit khusus lepra. Ini merupakan sebuah model yang meniru penanganan lepra oleh sebuah ordo dalam agama Katolik yang membangun koloni-koloni Rumah Kusta di pulau-pulau terpencil. Untuk mengurangi stigma dan pengucilan kadang-kadang rumah khusus lepra ini disebut “Rumah Lazar”, mengambil nama Santo Lazarus yang diyakini sebagai pelindung bagi para penderita lepra.

Melampaui isu penyakit, lepra kemudian menjadi sebuah istilah untuk menggambarkan watak kebencian rasial. Lepra digunakan sebagai metafora yang menggambarkan alasan untuk membenarkan pelenyapkan pisik atau politik kelompok lain yang dianggap “liyan” dengan basis ras, etnis, atau pembeda-pembeda lainnya. Meskipun penyakit lepra kini telah dapat dikendalikan dengan pengobatan dan karantina, tetapi metafora kebencian dengan menggunakan istilah lepra terus dipakai sebagai alasan untuk melenyapkan pihak lain.

Dalam sejarah penyakit-penyakit menular, stigma seringkali muncul lebih ganas dari penyakitnya itu sendiri. Hal ini terjadi pada orang dengan HIV misalnya. Freddie Mercury penyanyi legendaris itu harus menyembunyikan penyakitnya hingga hari-hari menjelang kematiannya. Meskipun stigma pada orang dengan HIV tak sekuat pada orang dengan penyakit lepra, tetapi orang harus berpikir beribu kali untuk menyatakan secara publik bahwa seseorang mengidap HIV atau bahkan penyakit yang dianggap biasa saja seperti TBC. Prosedur inform concern kemudian diberlakukan untuk menjaga kerahasiaan seseorang dengan penyakit yang disandangnya.

Stigma lahir bersama mitos dan prasangka. Begitu kuatnya stigma sehingga pihak keluarga pun kerap ikut termakan oleh stigma itu. Mereka melakukan penyangkalan-penyangkalan atau menutup-nutupi jika di dalam suatu keluarga terdapat orang sakit dengan jenis penyakit yang gampang kena stigma. Pengalaman mengajarkan, dampak dari stigma lebih berat dari penyakit itu. Mereka akan dikucilkan, dijauhi dan dimusuhi bahkan dalam waktu yang lama. Sebaliknya pihak keluarga juga menderit rasa malu atau wirang baik oleh asal usul penyakit atau penyebabnya. Kebiasaan memasung orang dengan gangguan kejiwaan merupakan salah satu bentuk untuk menutupi wirang itu. Begitu juga dengan menyembunyikan anggota keluarga yang mengalami disabilitas fisik atau mental.

Perasaan wirang dalam kaitannya dengan penyakit adalah sebuah prilaku wajar jika mengingat tekanan-tekanan sosial yang dialami meskipun tidak dapat dibenarkan. Sering juga rasa itu merupakan bentuk dari sikap pengecut pada orang sehat di sekitar orang yang sakit. Mereka agaknya tak membayangkan akibatnya yang berlapis-lapis yang akan mereka hadapi jika mereka tak menutupinya.

Saya ingat waktu kecil di kampung, kami dibuat gempar oleh kematian seseorang yang tinggal di gubuk penyimpanan kayu bakar di tengah ladang. Pihak keluarga rupanya menyembunyikan lelaki tua yang merupakan kerabat yang numpang di keluarga itu karena ia menderita TBC akut. Keluarga itu sangat takut tak dapat menggunakan sumur warga. Lebih dari itu mereka malu bahwa dalam keluarga itu ada yang sakit TBC, penyakit orang miskin. Adik kelas saya waktu SMP, meninggal akibat pendarahan dalam upaya orang tuanya menggugurkan kandungan dari hubungan di luar perkawinan. Ia baru 13 tahun ketika itu. Pihak keluarganya telah menyembunyikannya tanpa membawanya ke dokter ketika ia mengalami pendarahan hebat dengan alasan malu.

Perasaan malu, atau takut akan stigma serta dampaknya berupa pengucilan yang disebabkan suatu penyakit ternyata tak hanya dialami oleh sebuah keluarga tempat penderita berasal. Dalam kasus covid-19, perasaan takut diasingkan, berdampak luas kepada warga yang kemudian melahirkan penyangkalan-penyangkalan kolektif. Dalam situasi yang berbeda, hal serupa dilakukan oleh penguasa atas nama stabilitas politik dan ekonomi

Dalam situasi ini, penanganan covid-19 membutuhkan bukan hanya informasi bagaimana penyakit bisa menular dilawan dan diatasi, tetapi juga kejujuran.

Diperlukan penerangan-penerangan yang dapat mengubah cara pandang orang terhadap covid-19 agar tak melahirkan stigma dan pengucilan. Dalam makna ini, penanganan covid-19 jelas tak hanya oleh Kementerian Kesehatan, melainkan oleh para pihak yang terhubung langsung dengan masyarakat seperti Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama. Di sini pula efektivitas cara kerja LSM yang bekerja dalam isu penanggulangan diskriminasi dan ujaran kebencian dapat dibuktikan. Demikian halnya para ahli kebudayaan harus ikut rawe-rawe rantas! Mengambi jarak “yes”, mengucilkan “no”!

Lies Marcoes, 18 Juni 2020.

.

PEREMPUAN ITU SEPARUH JIWA

Oleh Kyai Husein Muhammad

April 2018 aku menulis makalah untuk acara bedah buku berjudul “Imraatuna fi al-Syari’ah wa al Hayah”, karya Thahir al Haddad, feminis Tunisia. Diselenggarakan oleh Yayasan Rumah KitaB. Tulisan itu cukup panjang, 7 hlm. Berikut ini adalah bagian akhir.

Mengakhiri tulisan singkat ini saya ingin menyampaikan kalimat-kalimat al-Haddad yang indah dan mengesankan. Ia menulisnya dalam mukaddimah buku ini: “Imra-atuna fi al-Syari’ah wa al-Mujtama’” (Perempuan dalam syariat dan masyarakat kita).

Perempuan adalah ibu manusia. Dialah yang mengandungnya di dalam perutnya dan mendekapnya dalam pelukannya. Lalu dialah yang menyusuinya dan memberinya makan dari darah dan hatinya.

Perempuan adalah pasangan yang penuh kasih, yang melayani makan pasangannya manakala lapar, yang menemaninya saat ia gelisah dalam kesepian. Dialah yang rela mengorbankan kesehatan dan waktu istirahnya demi memenuhi kebutuhannya, yang menangkal kesulitan dan bahaya manakala datang. Dialah yang memeluknya dengan penuh kasih, hingga ia tak lagi berduka dan bersedih hati. Dialah yang selalu membuatnya bergairah menapaki jalan kehidupan

Perempuan adalah separuh jiwa bangsa dan umat manusia dengan potensinya yang besar dalam seluruh aspek kehidupan

Bila kita merendahkannya dan membiarkannya menjadi hina dina, maka itu adalah bentuk perendahan dan penghinaan kita atas diri kita sendiri dan kita rela dengan kehinadinaan kita.

Bila kita mencintai dan menghormati dia serta bekerja untuk menyempurnakan eksistensinya, maka sesungguhnya itu bentuk cinta, penghormatan dan usaha kita menyempurnakan atas eksistensi kita sendiri.

09 April 2018
HM

5 DALIL MUBADALAH

Oleh Kyai Husein Muhammad

Tadi sore aku mengawali acara HBH Mubadalah yang berlangsung sukses luar biasa. Inilah yang aku sampaikan.

Mubadalah itu fenomenal. Saya bermimpi ia kelak akan jadi Trend Dunia. Ia sama dengan apa yang disebut sebagai The Golden Rule. al-Qanun al-Dzahabi, Aturan Emas.

Seluruh agama, etika kemanusiaan dan tradisi spiritual menghimbau kita untuk selalu memperlakukan semua orang lain sebagaimana kita sendiri ingin diperlakukan.

Basisnya adalah Cinta kasih (Compassion). Islam menyebutnya sebagai “Rahmah”. Ia mendorong kita untuk bekerja tanpa lelah, menghapus penderitaan sesama manusia, meletakkan orang lain sebagaimana meletakkan diri sendiri, menghormati kesucian setiap manusia lain serta memperlakukan setiap orang tanpa kecuali dengan kesetaraan, keadilan dan kehormatan mutlak.

Mubadalah bermakna kesalingan, resiprokal. Paling tidak ada lima dalil yang mendasari relasi Mubadalah ini.

لَا تَكْمُلُ الْمَحَبَّةَ بَيْنَ اثْنَيْنِ حَتَّى يَقُولَ كُلٌّ لِلآخَرِ : اَنْتَ اَنَا

1. Cinta dua orang tak bisa sempurna sampai masing-masing mengatakan “kau adalah aku yang lain”.

Husein Manshur al Hallaj mengatakan:

مزجت روحك روحی كما تمزج الخمر بالماء الزلال
واذا مسك شيء مسنی فاذا انت انا فی كل حال

Ruhmu menyatu dalam ruhku
Bila sesuatu menyentuhmu
Ia menyentuhku
Maka kau adalah aku
Dalam segala

فَبِمَا أَنَّ كُلَّ إِنْسَانٍ يُرِيدُ أَنْ يُحْتَرَمَ اِخْتِيَارُهُ فَيَنْبَغِي أَنْ يَحْتَرِمَ اِخْتِيَارَ اْلآخَرِينَ،

2. Oleh karena tiap orang ingin pilihan/pandangan hidupnya dihargai, maka seyogyanya dia menghargai pilihan/pandangan hidup orang lain.

وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا …

3. “Cintailah orang lain sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri. Maka kau seorang mukmin yang baik”.

عَامِلِ النَّاسَ بِمَا تُحِبُّ اَنْ يُعَامِلُوكَ
وَلَا تُعَامِلْ النَّاسَ بِمَا لَا تُحِبُّ اَنْ يُعَامِلُوكَ

4. Perlakukan orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan. Dan jangan perlakukan orang lain dengan cara yang tidak kau inginkan untuk dirimu sendiri

لَا تَحْتَقِرْ اَحَداً. وَلَا شَيْئاً فَاِنَّ اللهَ لَا يَحْتَقِرُهُ حِينَ خَلَقَهُ

5. Jangan rendahkan siapapun dan apapun, karena Tuhan tidak merendahkannya saat menciptakannya.

Tetapi
Pola relasi kesalingan tersebut hanya bisa dijalankan manakala kehidupan bersama ini didasarkan pada prinsip kesetaraan dan keadilan, bukan cara pandang subordinasi dan dominasi satu atas yang lain.

Tegasnya :

“Perjuangan untuk mewujudkan kesetaraan gender dimaksudkan sebagai dasar dan jalan menuju terciptanya hubungan kesalingan (Resiprokal) antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Ia adalah relasi saling menghormati, saling menolong/bekerjasama untuk kebaikan (ta’awun ala al birr), saling melindungi, saling berbuat baik dan santun, (“Mu’asyarah bil Ma’ruf”), saling mencinta dan saling membahagiakan. Di atas tema besar inilah perjuangan dan pergulatan (mihwar) kehidupan bersama manusia, laki-laki dan perempuan berakhir”.

17. 06.2020
HM

AL-MUNQIDZ DAN PROBLEM KEBERAGAMAAN KITA

Juara Umum #Kuis Ngaji Ihya

Oleh: Dzul Fahmi

Mahasiswa program S2 UIN Jakarta, Santri Pesantren Luhur Ash- Shaqafah Jakarta

 

 

Adakah tema spesifik dalam kitab al-Munqidz min ad-Dlalāl karya Imam al-Ghazali yang penting untuk kita hadirkan hari ini ?

 

Saya tak bisa menjawabnya. Setiap tema dalam kitab itu memiliki urgensi dan relevansinya masing-masing. Namun yang menarik perhatian saya, al-Munqidz tak sekedar buku yang memuat autobiografi perjalanan hidup tokoh pada umumnya. Lebih dari itu, al-Munqidz adalah kitab “sakti”, sebab meski ditulis di abad pertengahan, al-Munqidz mengurai sejumlah problem keberagamaan yang kita hadapi di era kontemporer.

 

Siapapun yang membaca al-Munqidz dengan seksama, ia akan mendapati Imam al-Ghazali sebagai sosok yang hadir di hadapan kita, berdialog secara komunikatif, dan hendak memecah kebuntuan problem beragama kita di abad 21.

 

Ulama kelahiran Thus itu mengungkap sejumlah gejala, yang sepertinya telah, sedang, dan akan terus ada dalam setiap kehidupan beragama, meski dengan pakaian yang berbeda-beda.  Fenomena itu menjadi semacam siklus yang terus menerus terulang.

 

Jika dibiarkan, gejala tadi pada gilirannya akan merugikan eksistensi agama itu sendiri. Karenanya, dalam al-Munqidz, al-Ghazali dengan cermat menganalisanya, serta memberi obat penawarnya. Inilah alasan terkuat kenapa al-Munqidz masih terus relevan dibaca sampai kapanpun.

 

Apa saja gejala sosial beragama yang dideteksi oleh al-Ghazali dalam al-Munqidz ? Mari kita ikuti secara seksama, sembari melakukan refleksi atas kehidupan beragama kita hari ini.

 

Pertama, mimpi buruk yang kita saksikan dalam kehidupan nyata hari ini adalah tercerabutnya otoritas segala sesuatu dari para pakar di bidangnya. Revolusi internet mengubah segalanya. Kita memasuki sebuah era yang disebut Tom Nichols dalam judul bukunya dengan istilah “The Death of Expertise”, matinya kepakaran.

 

Inilah zaman dimana setiap orang bisa “merasa” menjadi pakar dalam hal apa saja. Posisi pakar digantikan dengan mesin pencari informasi. Untuk mengetahui hakikat virus misalnya, manusia tak mau bersusah payah merujuk pada pakar virologi. Segala informasi yang berseliweran di dunia maya, asal sesuai dengan hasrat pribadi, dianggap sebagai kebenaran.

 

Hal itu menjadi musibah ketika merembet ke bidang agama. Kita menyaksikan fenomena yang miris di negeri ini : dimana para ulama yang menimba ilmu puluhan tahun kehilangan taringnya. Sosok ulama dengan mudah dicaci maki bahkan oleh mereka yang belum fasih melafalkan huruf hijaiyah. Sebaliknya, rujukan agama diambil alih oleh para ustadz muda yang menguasai retorika media sosial, meski ilmunya tak seberapa. Belum lagi, fenomena ustadz yang membuka sesi tanya jawab dengan menjawab pertanyaan apa saja yang diajukan kepadanya, dari agama, ekonomi, konspirasi, budaya, hingga politik.

 

Fenomena ini yang sedari dulu diwanti-wanti oleh Imam al-Ghazali. Ia menyebutnya sebagai bencana dahsyat (afatun ‘adzimah). Penyakit semacam ini hanya bisa dihilangkan dengan beragama secara cerdas, dimana segala sesuatu dikembalikan kepada pakar di bidangnya. Al-Ghazali memberikan kaidah emas sebagai berikut :

 

الحاذق في  صناعة واحدة ليس يلزم أن يكون حاذقا في كل صناعة

 

“Kepakaran seseorang dalam satu bidang tertentu, tidak meniscayakan ia menjadi pakar di segala bidang”

 

Kaidah ini sungguh amat mudah diterima akal sehat. Seorang profesor di bidang pertanian misalnya, bisa jadi awam di bidang kedokteran. Guru besar ilmu kedokteran, bisa jadi awam di bidang ilmu ekonomi. Dan begitu seterusnya. Sebuah prinsip yang juga mendapat legitimasi dari hadis Nabi, “Ketika sebuah urusan diserahkan kepada selain ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”.

 

Kedua, al-Ghazali dalam al-Munqidz mendeteksi gejala kronis yang bisa menghinggapi setiap umat beragama tanpa terkecuali. Apa itu ? Yaitu penyakit tidak adil (‘adam al-inshaf) dalam menilai seorang yang berada di luar madzhab atau golongannya. Gejala yang ditimbulkan dari penyakit ini adalah menggeneralisir benar dan salah sebuah pendapat melalui identitas pengucapnya. Jika dari kelompok kita, pasti benar. Jika dari luar golongan kita, pasti salah.

 

Al-Ghazali memberikan ilustrasi menarik : adalah sebuah kebodohan, jika ada seorang Nasrani berkata “Nabi Isa adalah Utusan Allah”, lantas kita secara membabi buta menolak pernyataan tersebut, hanya gara-gara yang mengucapkan adalah seorang Nasrani.

 

Al-Ghazali menyebut pengidap penyakit ini sebagai dhuafa al-‘uqul (orang-orang yang lemah nalarnya). Bagi al-Ghazali, kebenaran tetaplah kebenaran, meski diucapkan oleh orang yang kita pandang sesat sekalipun. Sebaliknya, kesalahan tetaplah kesalahan, meski diucapkan oleh tokoh besar yang kita puji dan kagumi. Beliau berkata :

 

العاقل يعرف الحق ثم ينظر في نفس القول : فإن كان حقا قبله سواء كان قائله مبطلا أو محقا

 

“Orang bernalar sehat selalu menilai sebuah pendapat dari substansinya, jika benar, maka pasti diambil, terlepas siapapun pengucapnya”

 

Orang yang cerdas, lanjut al-Ghazali, akan berusaha mencari kepingan emas yang tersembunyi di sela-sela lipatan tanah yang kotor dan menjijikkan.

 

Wasiat Imam Al-Ghazali ini tak akan pernah usang sampai kapanpun. Saya berani mengatakan bahwa ucapan al-Ghazali berabad-abad yang lalu itu adalah kunci yang membuka sekian banyak problem beragama kita hari ini.

 

Mengapa umat Islam hari ini terpuruk dalam perpecahan yang menyedihkan, sehingga kita kalah di segala bidang ? Salah satunya  karena kita merasa kebenaran kerap dimonopoli oleh orang-orang di kelompok kita. Pengikut kelompok lain seakan salah semua, tak mengandung kebenaran sedikitpun.

 

Hal yang sama juga bisa kita terapkan dalam konteks kehidupan antar-agama dan keyakinan. Prinsip al-Ghazali harusnya menjadikan kita sebagai penganut agama yang inklusif : bergenggaman tangan bersama-sama menuju kemajuan peradaban, dengan tanpa memandang sekat agama dan ideologi.

 

Lagi-lagi, prinsip Imam al-Ghazali tersebut mendapat preseden yang kuat dari sabda Nabi Muhammad Saw dalam hadisnya :

 

شهدت في دار عبد الله بن جذعان حلفا لو دعيت به في الإسلام لأجبت

 

“Aku telah menyaksikan di rumah Abdillah Bin Judz’an sebuah akad perjanjian, yang andai hari ini aku diajak (sebagai delegasi Islam), pasti aku akan menyambutnya”

 

Sabda tersebut diucapkan Baginda Nabi sebagai apresiasi terhadap perjanjian bersejarah yang pernah terjadi antara kaum musyrikin Mekkah, untuk bergotong-royong menolak kezaliman dan menghentikan peperangan. Seakan Nabi ingin menegaskan : “Aku sungguh siap menyambut ajakan kebaikan dari siapapun, selagi membawa misi kemanusiaan yang universal”.

 

Persis di titik inilah,  saya mendapati kitab al-Munqidz min ad-Dlalāl sesuai dengan judulnya, yaitu penyelamat kita dari kesesatan cara beragama yang salah.

 

Wallohu a’lam bis shawab.