18 Desember 2017: Workshop KUPI

5 Desember 2017: Acara di KOMNAS Perempuan

PROGRAM BERDAYA: Untuk mengurangi praktik perkawinan anak dengan memberdayakan peran pengambil kebijakan, pemimpin komunitas dan keluarga

Upaya pengurangan praktik perkawinan anak melalui revitalisasi lembaga formal dan non-formal, pemberdayaan peran tokoh masyarakat serta keluarga di daerah perkotaan wilayah Bogor, Cirebon, Makassar, dan Jakarta Utara.

Rumah KitaB bekerjasama dengan Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ2) mengadakan
workshop pengenalan program dan team up untuk program BERDAYA di hotel Royal Padjadjaran, Bogor, 2-3 Agustus 2017.
Lies Marcoes, penanggungjawab program mengatakan bahwa angka perkawinan anak di Indonesia meningkat. Mengutip data BPS dan UNICEF, satu di antara empat (1: 4) perempuan kawin sebelum mencapai 18 tahun. Salah satu elemen kunci dari praktik ini adalah kelembagaan-kelembagaan yang menjadi pintu masuk berlangsungnya perkawinan anak.

“ Penelitian Rumah Kitab di sembilan daerah menunjukkan, pemimpin formal, non-formal menjadi kunci upaya pencegahan praktik ini, sebab di tangan merekalah perkawinan anak dapat berlangsung atau ditolak” demikian direktur Rumah Kitab menegaskan dalam pembukaan.

 

Dalam workshop tersebut hadir seluruh koordinator lapangan dan asisten mereka yang berjumlah delapan orang. Selain itu materi workshop dikuatkan nara sumber seperti Ir. Dina Nurdinawati, MA dari IPB yang menyajikan hasil survey Rumah KitaB, Rahima, dan UNICEF di Sumenep dan Probolinggo. Survey dengan responden hampir 1000 orang ini melihat perbedaan signifikan di antara kedua wilayah itu terkait praktik kawin anak dan menegaskan pentingnya bekerja dengan para lelaki baik di kelembagaan formal maupun non-formal. Karena ujung tombak dari program ini adalah sosialisasi media, tiga nara sumber untuk isu ini turut bicara; Civita dari Matabiru yang membagi website Jaringan Remaja Sehat yang dikelola Jaringan AKSI dan Rumah Kitab, Mulyani Hasan, wartawan senior dan koordinator program BERDAYA di Sulawesi Selatan dan Mira Renata, program officer pengelolaan Media Komunikasi AIPJ2.

Menyadari bahwa pemilihan lokasi penelitian juga terkait dengan upaya pencegahan radikalisme yang menyasar keluarga dan anak perempuan. Woskhop ini membahas dengan sangat mendalam logika berpikir keterhubungan fundamentalisme dan praktik perkawinan anak. Salah satu tahapan paling penting dalam workshop ini adalah penentuan indikatir perubahan yang dipandu oleh Lia Berliana Marpaung gender spesialis dari AIPJ2 dan Ibu Lies Marcoes dari Rumah KitaB. Dengan menggunakan staregi Gender Analysis Pathway yang dimandatkan Bappenas, Rumah Kitab mendesain indikator dengan menggunakan tangga perubahan Akses Partisipasi Manfaat Kontrol.
Tangga Perubahan ini juga digunakan sebagai parameter yang dapat diukur. Tangga perubahan itu meliputi:

Pernikahan remaja di Sulawesi Barat: Antara ‘takut zina’ dan solusi atas ‘kepanikan orang tua’

Seorang mempelai pria di India menikahi mempelai perempuan yang masih di bawah umur pada 2006 lalu. Meski India sudah menetapkan bahwa batas minimum usia perempuan untuk menikah adalah 18 dan laki-laki pada usia 21, namun praktik menikah di bawah umur masih terjadi.

Foto-foto pernikahan antara dua remaja asal Polewali Mandar, Sulawesi Barat, menjadi viral dan mendapat perhatian khusus dari warganet.

KUA setempat menyatakan bahwa pernikahan keduanya harus dicatatkan berdasarkan putusan Pengadilan Agama, namun seorang pengamat menyatakan bahwa kekhawatiran orang tua atas pergaulan anak tak bisa jadi alasan untuk menikahkan.

Dua remaja tersebut, APA (17) dan AP (15), masih bersekolah di di kelas dua dan satu SMA.

Menurut Sumaila, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Mapilli, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, keluarga pasangan ini sudah mengurus berkas pernikahan sejak Oktober 2017 lalu, namun kantor KUA sempat menolak pendaftaran pernikahan, karena keduanya masih di bawah umur.

Batas usia minimum bagi pria untuk menikah di Indonesia adalah 18 tahun, sementara perempuan 16 tahun.

Setelah KUA mengeluarkan surat penolakan, oleh petugas, keluarga pasangan remaja tersebut diarahkan ke Pengadilan Agama setempat. Pengadilan Agama kemudian mengeluarkan keputusan yang “memerintahkan KUA hadir untuk mengawasi dan mencatatkan pernikahan” tersebut sesuai dengan aturan.

Fajrudin, penghulu yang memproses berkas dan kemudian menikahkan pasangan remaja tersebut, menyatakan bahwa proses komunikasi dengan keluarga serta mempelai sudah terjadi sejak mereka mengajukan berkas. Dan menurut Fajrudin, dia sempat menanyakan, kenapa pasangan remaja ini dinikahkan meski masih muda.

Menurut Fajrudin, keluarganya menyatakan, “Ada kekhawatiran dari orang tua bahwa anaknya berbuat zina, karena sudah sama-sama sering (pergi) ke luar”.

“Itu alasannya kenapa saya arahkan ke pengadilan,” ujarnya saat dihubungi BBC Indonesia, Senin (27/11).

India adalah salah satu negara dengan jumlah pernikahan anak tertinggi. (GETTY IMAGES)

Menurut Fajrudin, KUA tempat dia bertugas “sudah biasa” menikahkan remaja. “Tidak sering juga, tapi biasa. Setahun mungkin ada 10. Tapi biasanya perempuannya yang umur 15, suaminya 20, tapi ini kan unik karena dua-duanya di bawah umur dan sama-sama harus ke pengadilan. Biasanya cuma salah satu saja,” kata Fajrudin.

“Secara penglihatan saja unik, karena calon pengantin laki-laki fisiknya kecil, tapi dari jumlah, banyak kejadian seperti ini. Memang face-nya si pengantin laki-laki (seperti anak) kecil,” tambahnya.

Sebelumnya, pada Juli 2016, dalam laporan bersama yang diluncurkan oleh BPS dan UNICEF, tercatat indikasi pernikahan anak terjadi di hampir semua wilayah Indonesia.

Beberapa provinsi yang memiliki angka pernikahan anak tertinggi ada di Sulawesi Barat dengan 34 persen, Kalimantan Selatan dengan 33,68 persen, dan Kalimantan Tengah dengan 33,56 persen. Persentase tersebut berarti satu dari tiga anak perempuan di provinsi-provinsi itu menikah di bawah umur.

Takut zina

Bagi peneliti pernikahan anak Lies Marcoes, alasan bahwa keluarga “takut zina dan nama tercoreng” menjadi yang paling sering muncul dalam pernikahan anak.

“Keluarga seperti tidak punya pilihan karena anak-anak sekarang kan bergaul, tidak ada anak yang tidak bergaul. Tetapi kelihatannya orangtua tidak memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang bagaimana mengelola pergaulan itu. Di daerah-daerah urban, di mana ruang bermain anak hilang, ruang ekspresi remaja tidak ada, anak-anak mencari ruangannya, misalnya pergi dari lingkungannya, tetapi orangtua kan tidak tahu mereka ke mana. Yang muncul adalah kekhawatiran. Ketika anak sudah pacaran, tetangga mulai bergosip, itu sudah tekanan yang besar buat orangtua (untuk menikahkan),” ujarnya saat dihubungi BBC Indonesia, Selasa (28/11).

Aksi anti-pernikahan anak yang digelar oleh Amnesty International di Roma pada 2016 lalu.

GABRIEL BOUYS/AFP/Getty Images

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Rumah Kita Bersama, lembaga yang dipimpinnya, tentang pernikahan anak, Lies menemukan bahwa statistik pernikahan anak terjadi di wilayah-wilayah di mana terjadi krisis ekonomi dan krisis tanah, termasuk di Sulawesi Barat, tempat pernikahan pasangan APA dan AP terjadi.

Dengan krisis ekonomi atau lahan yang terjadi, sosok laki-laki yang biasanya berperan secara ekonomi dan sosial dengan pekerjaan yang berhubungan dengan lahan kini kehilangan tempat menegaskan perannya tersebut, dan mewujudkannya dengan menjadi semakin puritan dalam menjaga moral keluarga.

“Jika orangtua sudah mendesak ke pengadilan, kami takut anak kami sudah pacaran, pasti (izin akan) diloloskan oleh pengadilan agama,” ujar Lies.

Kongres Ulama Perempuan Indonesia, yang dihadiri antara lain oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan Wakil Ketua DPD GKR Hemas pada April 2017 lalu, salah satunya merekomendasikan agar pernikahan anak dihapuskan.

Tetapi jika pengadilan agama maupun KUA tetap menolak, para orangtua akan beralih ke pemimpin agama atau kyai yang akan bersedia menikahkan. Dan dengan situasi ini, menurutnya, intervensi soal pernikahan anak bisa diberikan lewat KUA, pengadilan agama, maupun pemimpin agama.

“Karena mereka adalah yang memutuskan untuk menikahkan atau tidak, pemberdayaan justru harus pada mereka, tentang apa sih bahayanya pernikahan bagi anak, dan sebagainya,” katanya.

Selain itu, menurutnya, negara juga harus bersedia untuk “bersikap terbuka pada fakta dan realitas bahwa anak-anak ini sudah bergaul”.

“Masa malu sih memberikan pendidikan tentang seksualitas, bukan seks ya, tapi seksualitas, tentang bagaimana bernegosiasi, bagaimana berteman dengan sehat, itu kan pendidikan life skill yang harusnya itu penting banget,” tambahnya.

Pada 2015 lalu, Mahkamah Konstitusi sudah menolak menaikkan batas usia minimal perempuan untuk menikah dari 16 tahun ke 18 tahun dalam UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974.

Dalam pertimbangan putusannya, anggota majelis hakim Konstitusi saat itu, Patrialis Akbar, mengatakan tidak ada jaminan peningkatan batas usia akan mengurangi masalah perceraian, kesehatan, serta masalah sosial.

Data BPS pada 2013 menyebutkan bahwa anak perempuan berusia 13 dan 15 tahun yang menikah sekitar 20% dari jumlah pernikahan keseluruhan, sementara yang menikah di usia antara 15 dan 17 tahun diperkirakan mencapai 30%.

Di kalangan pegiat keselamatan perempuan dan anak-anak, angka-angka ini berarti membiarkan anak perempuan mengalami kematian dan kecacatan sebagai resiko perkawinan dan melahirkan pada usia kanak-kanak.

Sumber: http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-42133942

Menyelamatkan anak-anak pejihad asing ISIS yang terlantar

Selama beberapa tahun terakhir, puluhan ribu pejihad asing memutuskan untuk bergabung dengan kelompok militan yang menamakan diri Negara Islam atau ISIS di Irak dan Suriah.

Sebagian besar berasal dari Rusia -dan ada sekelompok pejihad dari Indonesia- yang juga membawa keluarganya.

Kini dengan ambruknya kekhalifahan yang pernah mereka deklarasikan di Irak maupun Suriah, nasib keluarga para petarung ISIS itu menjadi tidak jelas.

Di ruang sarapan pagi sebuah hotel mewah di ibu kota Irak, Baghdad, di tengah-tengah para pengusaha dan tamu internasional, kehadiran empat anak dengan wajah pucat terasa janggal.

Anak-anak berusia tiga hingga enam tahun itu melahap mangkuk sereal atau bubur gandum dengan penuh semangat namun hening.

Jelas mereka bukan sedang berlibur.

Dua perempuan duduk bersama mereka, salah seorang menggendong bayi. Berbeda dengan keempat anak itu, kedua perempuan tampaknya merupakan warga Irak dan bahasa tubuh mereka jelas berjarak dengan anak-anak itu, yang tampak bingung dan curiga.

Tiba-tiba, beberapa pria berjas di meja sebelah melirik arloji mereka kemudian berdiri dan berjalan ke arah perempuan serta anak-anak tadi, yang segera mengikuti dari belakang sembari menelusuri koridor hotel berlantai marmer itu.

Di luar sudah ada dua mobil besar menunggu.

Petugas keamanan dengan pakaian loreng dan kaca mata hitam berkomunikasi lewat walkie talkie sambil membawa anak-anak itu masuk mobil bersama dengan salah seorang perempuan yang menggendong bayi. Kedua perempuan tadi adalah pembantu yang dibayar.

Para pengawal ikut masuk, menutup pintu, dan konvoi kedua mobil lepas melaju menuju bandara.

Yang saya saksikan tadi adalah warga Rusia, diplomat Rusia, dan agen intelijen yang menjemput warga muda negara mereka dari gelombang besar pascaperang Irak untuk dibawa pulang.

Malam itu saya melihat lagi kelima kakak beradik tadi di siaran stasiun TV Rusia pada saat mengakhiri perjalanannya, dipandu menuruni tangga pesawat oleh salah seorang pria yang tadi duduk di meja sebelah saat sarapan pagi.

Di bawah lampu kilat kamera, anak-anak itu tampak bingung saat diserahkan kepada keluarga mereka yang menyambut dengan penuh kegembiraan. Dan pria tadi, yang berusia 50-an tahun dengan badan tinggi tampak gelagapan saat diwawancara karena berupaya mengatasi emosinya yang meluap.

Nama dia Ziyad Sabsabi, seorang politikus Rusia dan merupakan utusan Presiden Chechnya, Rusia selatan, untuk kawasan Timur Tengah. Republik Chechnya, yang merupakan bagian dari Rusia, berpenduduk mayoritas umat Muslim.

Malam sebelumnya, saya duduk bersamanya di sofa sebuah hotel. Dia memperlihatkan gambar dan video di telepon genggamnya berupa anak laki-laki dan perempuan di rumah yatim piatu di Baghdad. Dari sanalah anak-anak itu diambil: beberapa berhasil diselamatkan namun masih banyak yang hilang.

Dia menangis ketika berbicara tentang anak-anak itu.

Mereka adalah anak-anak dari para pria yang meninggalkan negara mereka untuk bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah dan belakangan tewas atau dinyatakan bersalah maupun terlibat dalam kejahatan yang mengerikan.

Namun seperti ditanyakan pejabat itu berulang-ulang, ‘Apa yang salah dilakukan anak-anak itu?’

Ibu mereka, tuturnya, adalah para perempuan muda Muslim yang diperdaya para suaminya untuk bergabung dengan ISIS. Mereka tampaknya menduga akan diajak untuk berlibur -atau suaminya mendapat kerja- di Turki namun kenyataannya dibawa melintasi perbatasan ke Suriah atau Irak.

Kini, seiring dengan kekalahan ISIS di medan perang, sebagian besar dari para suami itu sudah tewas atau dipenjara sementara istri dan anak mereka hilang tanpa bekas. Ratusan keluarga dari pejihad asing ISIS ditahan di Irak namun belum semua nama mereka diungkapkan.

Kelima anak yang saya lihat tadi awalnya dibawa ke rumah yatim piatu dan Ziyad Sabsabi berhasil mengidentifikasi mereka. Lewat perundingan panjang, dia mendapat izin agar anak-anak yang tergolong beruntung itu bisa dipulangkan.

Yang lainnya? Saya berbicara lewat telepon dengan beberapa perempuan paruh baya di Chechnya yang putus asa menanti berita tentang putri dan cucu mereka.

Banyak perempuan dan anak-anak asal Chechnya yang tidak diketahui keberadaan setelah pejihad asing ISIS -yang merupakan suami/ayah mereka- tewas atau ditangkap.

Salah seorang saya panggil Zamira. Putrinya, Seda, menelepon secara rutin selama dua setengah tahun, awalnya dari Suriah -tempat dia tinggal bersama suami pejihadnya. Setelah suaminya itu tewas, Seda menelepon dari Irak, tempat tinggalnya bersama suami kedua.

Namun pasukan Irak bergerak maju ke pusat kota Mosul pada bulan Juli dengan bom yang menghujani kota itu dan tidak pernah ada lagi telepon. Zamira tidak tahu apakah putrinya dan dua cucu kecilnya masih hidup atau sudah mati.

Zamira tidak meragukan kalau putrinya tidak bersalah. “Seda mencoba berulang kali untuk membujuk suaminya pulang,” tegasnya, “Namun begitu mereka di sana, mereka terperangkap.”

Jika Seda kelak memang bisa ditemukan, pemerintah Rusia mungkin tidak sepakat karena beberapa janda petarung ISIS ditangkap begitu tiba kembali di kampung halamannya.

Sementara pemimpin otoriter Chechnya, Ramzan Kadyrov, menegaskan bahwa memulangkan anak-anak itu merupakan sebuah kehormatan walau mungkin butuh waktu bertahun-tahun.

Di hotel di Baghdad, Sabsabi -utusan Kadyrov tadi- kembali ke misinya: menelusuri rangkaian wajah-wajah malaikat yang dia cari sambil mengusap lagi air matanya yang lain.

Sumber: http://www.bbc.com/indonesia/dunia-42272192

Rumah KitaB bersama Oslo Coalition