Selamat Jalan Kiyai Multifungsi, KH. Makhtum Hannan *)

Oleh: Afif Rivai **)

SUNGGUH saya sangat kaget ketika mendapat kabar via seliweran SMS maupun lewat media sosial wafatnya KH. Makhtum Hannan. Saya mendapat kabar hari sabtu pukul 8.00 pagi beberapa jam setelah Kang Makhtum tutup usia. Mungkin rekan yang mengirim info ke saya sebelum pukul itu, namun karena saya sedang membawakan acara di RCTV maka ponsel di silent. Dari beberapa kerabat dekat yang memberi info ke saya, pimpinan Pondok Pesantren Masyaariqul Anwar Babakan Ciwaringin ini wafat pada sabtu 21 Januari 2017 tepat pukul 06.35 pagi BBWI. Beliau wafat di usia 78 tahun.

Saya beberapa kali bertandang ke rumah beliau ngobrol ngalor-ngidul yang tak formal. Walau obrolan tak formal, namun sesekali saya bertanya soal berbagai hal yang menyerempet soal umat, NU dan seterusnya. Dalam optik saya, sosok Kang Makhtum adalah sosok Opinion Leader. Sangat berbeda mencolok ketika Kang Makhtum memimpin Istighosah dengan beliau saat di rumah. Selain mengajar, dalam aras ini beliau, lazimnya seorang Kiyai, setiap harinya sibuk melayani masyarakat dari berbagai kalangan yang sowan ke beliau untuk sekedar konsultasi, keperluan dan kepentingan lainnya. Di tengah berbagai kesibukannya, beliau masih menyempatkan untuk ngeladeni setiap kali siapa pun yang ingin ketemu beliau. Yang saya ketahui, di hampir setiap orang yang konsultasi, beliau selalu memberi motivasi agar menjadi pribadi-pribadi yang kuat dan pantang menyerah. Pada sisi ini, menurut saya, sosok Kang Makhtum bisa dikatakan sebagai motivator handal.

Dari mulai pejabat, pengusaha, pedagang, petani, pengurus organisasi, mahasiswa, bahkan tamu-tamu dari luar negeri. Umumnya, mereka meminta nasehat, masukan, dan do’a agar segala tujuan dan kepentingannya tercapai. Pendekatan yang digunakan oleh Kiyai Makhtum adalah hikmah melalui berbagai pendampingan kepada yang tadi saya sebutkan di muka. Di samping itu, beliau mendirikan Jamiyah Hadiyu dan Istighasah. Kegiatan ini terus berkembang dan tersebar di seluruh wilayah Ciayumajakuning. Bahkan jejaringnya sudah tersebar pula di Jawa maupun luar Jawa. Beberapa kali saya mengikuti kegiatan Istighosah Kubro setiap malam Jumat yang bertempat di Maqbarah KH. Abdul Manan. Kegiatan ini diikuti oleh ribuan orang dari pelbagai pelosok desa dan luar daerah. Sepengetahuan saya, kegiatan Istighosah tersebut semua tamu undangan beserta jama’ah selalu dijamu dengan makan malam. Semua biaya untuk menyiapkan segala jamuan itu berasal dari beliau sendiri tanpa memohon bantuan dari jama’ah.

Pertemuan saya dengan beliau hampir setiap tahun di acara yang di helat oleh DKM Masjid di Desa kelahiran saya Tegalgubug Lor. Hampir setiap tahun pula beliau yang memimpin Istghosah dalam rangka tahun baru Islam. Sampai saat ini, saya masih belum puas menemukan jawabannya, mengapa Kang Mahtum selalu menyempatkan untuk hadir di acara tersebut. Padahal, saya percaya, bersamaan dengan itu tak sedikit undangan dari daerah lain yang menginginkan beliau untuk memimpin Istighosah. Kebiasaan beliau ketika menghadiri acara tahun baru Islam yang digelar di Masjid Jami Al-Ibrohimiyah Desa Tegalgubug Lor datang dengan KH. Zamzami Amin—penulis buku Babankana yang menjelentrehkan tentang sejarah Pondok Pesantren Babakan serta rembetannnya ke Perang Kedongdong. Ada noktah yang bisa saya petik dari beliau ketika beberapa kali bertandang ke rumahnya. Sebuah karakter yang menurut hemat saya perlu dicontoh yaitu kesederhanaan. Tak menampakan sama sekali bahwa beliau dekat bahkan sering diundang oleh pejabat-pejabat penting. Hemat saya, lebih dari itu, sifat tawadhu’ dari beliau yang tak pernah menunjukan sebagai sosok yang memiliki pengetahuan yang tinggi dibuktikan dengan murid-muridnya bertebaran di berbagai pelosok bahkan Kiai-kiai yang ada di Babakan Ciwaringin tidak sedikit menjadi muridnya. So pasti, setiap kali saya bertemu, beliau berujar “biasa yang selalu datang ke saya adalah masyarakat yang curhat maupun sedang mengalami masalah”. Namun beliau selalu konsisten, selalu menemui siapa pun yang datang ke rumahnya.

Hemat saya, ditengah gaya hidup hedonisme dan konsumerisme saat ini, Sosok beliau yang sederhana, komunikasi langsung tanpa sekat dengan berbagi kalangan patut dijadikan contoh oleh siapa pun termasuk publik figur serta pejabat. Dalam catatan saya, beliau masuk dalam struktur tertinggi di PBNU yakni sebagai satu dari sembilan ulama Ahlul Halli Wal Aqdi yang diberikan mandat untuk memilih Rois Syuriah PBNU pada saat Muktamar di Jombang beberapa waktu yang lalu. Pendek kata, beliau merupakan salah satu dari sembilan Kiai khos yang dimiliki Indonesia.

Seingat saya, pernah beliau dalam obrolannya mengatakan bahwa dirinya bukan Kiai dan dengan siapa pun memang tidak pernah mengatakan dirinya seorang Kiai. Beliau sering mengatakan dirinya adalah “premannya Kiyai”. Ketika menyebut demikian saya kaget. Terus saya kejar tentang nomenklatur, “premannya Kiyai” beliau artikan sebagai orang yang selalu menjaga Kiai atau khodimnya Kiyai. Beliau juga sering keliling ke masyarakat diiringi dengan memberikan bantuan kepada anak-anak dan orang tua yang beliau jumpai. Di samping itu, Kang Makhtum juga rutin memberikan santunan kepada anak-anak yatim baik di lingkungan Pesantren maupun di luar daerah.

Pernah dalam suatu ketika, ketika saya sowan ke rumah beliau. Bersamaan dengan itu ada yang sedang bertanya dan berkonsultasi. Beliau selalu mengatakan bahwa dirinya merupakan orang yang masih jauh dari bersih, masih kotor sehingga tak layak untuk dicontoh. Perkataan demikian selalu beliau keluarkan ke setiap orang yang bertandang ke rumahnya. Ketika menerima tamu pun beliau, tak pernah memilih dan membedakan. Semuanya beliau hadapi dengan santun dan keramahan. Dan berulangkali juga beliau sampaikan ke saya bahwa harta benda yang dimilikinya lebih cenderung semuanya dianggap sebagai titipan yang harus digunakan untuk kepentingan umat.

Sungguh kepergian beliau adalah kehilangan bagi saya, duka dan kehilangan yang mendalam juga bagi keluarga beliau, keluarga besar Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, NU serta umat Muslim. Percikan gagasan serta pikiran-pikiran Kang Makhtum akan tetap saya kenang. Selamat jalan, semoga Kang Makhtum dikumpulkan bersama dengan orang-orang al-shalihin wa al-muttaqin, AminN/em>. Wallahu’alam

*) Penulis adalah Pemikir Sosial-Keagamaan dan penulis lepas di berbagai Media Massa
**) Tulisan ini dimuat di Harian Radar Cirebon 3 Maret 2017

Jakarta Syariah dan Kemungkinannya

SAYA ingin memberi tanggapan kepada pandangan yang begitu pesimistis atas situasi Islam di Indonesia. Buat saya menganggap Jakarta akan menjadi “negara bagian” yang menerapkan syariah apalagi akan menjadi wilayah serupa Nigeria yang dikuasai Bokoharam, itu sebuah analisis yang terlalu simplifikasi, naif dan cenderung tuna sejarah.

Bahwa Islam kanan menguat, itu menurut saya sejalan belaka dengan menguatnya Kristen kanan di belahan manapun di dunia. Amerika Eropa sedang menghadapi situasi serupa. Jadi anggapan itu sama saja dengan khayalan bahwa Jakarta akan menjadi wilayah subur Kristenisasi karena banyaknya kelompok-kelompok dalam aliran Kristen yang watak kelompoknya getol berdakwah.

Menguatnya arus kanan merupakan tren global yang terjadi baik Islam maupun Kristen. Itu terjadi di mana-mana dan itu pula yang bisa menjelaskan kemenangan Trump. Tren ini secara sederhana menjelaskan situasi psikologis keterkejutan dan ketakutan oleh ekses kapitalisme yang berdampak sangat jauh pada ketidakpastian. Padahal orang butuh kepastian dalam kehidupan yang mengerikan, dan cara pulang yang sederhana adalah balik ke primordialnya, agama, karena agama mereka anggap menawarkan kepastian.

Tapi saya masih menganggap ancaman itu bagi Indonesia—dalam bahasa Gus Dur, seperti gambar setan yang lama-lama takut jadi setan beneran. Pilar Islam sipil Indonesia itu NU dan Muhammadiyah, dan itu teruji sejak masa penjajahan hingga kini. Produksi pengetahuan Islam Indonesia (masih) berpusat di pesantren-pesantren dan IAIN/UIN; di sanalah gagasan-gagasan tentang hak-hak rakyat, hak hak perempuan bahkan tentang kaum minoritas orinetasi seksual bisa dibicarakan bahkan diperjuangkan.

Mazhab Asyari’ah adalah mazhab paling dominan dalam tradisi pemikiran fikih Islam Indonesia dengan watak toleran dan akomodatif. Tradisi mayoritas Islam Indonesia itu masih menghormati nyadran/ziarah kubur, slametan, mudik lebaran, dan bahkan makin diglorifikasikan oleh industri pariwisata dan kemakmuran ekonomi. Dan warga Betawi umumnya NU yang menghormati tradisi. Gerak Islam Indonesia itu ada pada aktivitas ritual dan sosial yang pelaku utamanya adalah kaum perempuan.

Perempuan adalah agensi paling penting dalam menentukan ke arah mana Islam akan di bawa. Ketika kalangan “syariat” memaksakan perempuan berjilbab, praktik itu tak pernah tunggal makna dan penerapannya. Ada yang untuk menutup uban, ada yang untuk menaikan elektabilitas, ada yang buat kepantasan, untuk cari uang, ikut tren mode, ada yang untuk keamanan—di luar yang benar-benar menganggap itu urusan syar’i.

Penerapan syariat Islam secara legal, membutuhkan kekuasaan politik di parlemen. Mau mengandalkan siapa? Partai berhaluan Islam tak pernah secara eksplisit menuntut dan memperjuangkan penerapan syariat Islam. Katakanlah PKS yang dari pengkaderannya begitu rapi memakai sistem sel memanfaatkan jaringan usroh sejak era Soeharto. Nyatanya mereka tak pernah sanggup mengungguli PDIP dan Golkar.

Gagasan Islamisasi sistem keuangan seperti ekonomi syariah nyatanya selalu disandera atau ditelikung oleh kapitalisme—maka jadilah bank Syariah. Idiom-idiom syariah tak pernah sampai ke intinya yang dibayangkan para penggagasnya, karena mudah sekali dibelokkan menjadi simbol-simbol atau partikularnya.

Studi-studi tentang mereka memperlihatkan bahwa dalam kelompok mereka sendiri ikatannya sangat rapuh terfragmentasi. Meski pakai simbol jubah yang sama di dalamnya terjadi rebutan panggung karena mereka pada dasanya pengemis dan pemulung remah-remah rezeki umat dengan cara halus atau kasar. Yang pakai cara kasar mereka tahu bagaimana memeras orang-orang pemilik usaha namun melakukan pelanggar hukum dan bisa diperas dan diancam.

Kekuasaan ekonomi Indonesia bukan ada pada mereka, tetapi pada sejumlah kecil konglomerat. Bahkan orang pun curiga mengapa pejuangan rakyat seperti terkait perusakan lingkungan karena oknum di dalam negara lebih berpihak kepada mereka daripada kepada Tanah Airnya.

Jika kita percaya kekuatan sebuah gerakan apapun terletak pada seberapa kuat ideologinya, di sana tak ada ideologi tunggal, yang ada hanya tukang teriak “take beer” yang suaranya jadi menggelegar karena digaungkan ulang oleh media.

Hal lainnya, Indonesia adalah negara kepulauan bukan kontinental dan di dalamnya bukan satu corak keagamaan. Makin plural sebuah wilayah/negara makin sulit ideologi Islamisme beroperasi. Di atas itu semua mereka bukan yang paling tertindas di negeri ini yang merasa paling terzalimi. Sebaliknya mereka adalah penerima manfaat dari corak Islam Indonesia yang terbuka dan demokratis yang memungkinkan mereka bisa hidup di sini.

Namun bahwa kalangan yang tergoda menerapkan syariat Islam makin kuat itu harus benar-benar dilihat dan diperhitungkan sebagai ujian demokrasi. Bukan hanya sejauh mana negara mampu mengendalikan mereka sebagai ancaman tetapi sejauhmana negara sanggup menerapkan keadilan. Sebab orang tertarik menerapkan syariat Islam juga karena mereka percaya tak ada yang sanggup menerapkan keadilan sebagaimana mereka lihat sehari-hari.

Jadi ini tantangan kepada negara “sekuler” untuk membuktikan keadilan itu bisa dicapai di dunia tanpa harus menjadi “tentara Tuhan” untuk mendapatkan bidadari di surga. Ini juga merupakan tantangan kepada pendidikan Islam, serta ormas Islam yang sejak awal telah bersikukuh pada khittah NKRI.

Kepolisian Indonesia, utamanya BNPT dan Densus 88, dengan segala tantangannya terus nenumpas teroris berideologi Islamisme yang beroperasi dengan kekerasan dan melawan hukum. Ujaran kebencian dalam berdakwah atau diturunkan dalam spanduk dan lain-lain, jika itu telah diatur dalam hukum sebagai perbuatan kriminal, tentu kita menunggu keberanian aparat negara untuk menindaknya.[]

Sumber: https://indonesiana.tempo.co/read/109115/2017/03/15/lies.marcoes/syariatisasi-dan-kemustahilannya-lies-marcos

Merebut Tafsir 7: Hari Tua

SORE tadi, bicara berjam-jam dengan seorang sahabat yang kuanggap adik sendiri. Banyak hal yang dibicarakan; secara timbal balik bicara soal kehidupan sebagai orang tua tunggal, pekerjaan, anak-anak, kesehatan dan tentu soal yang sangat pribadi serta mimpi dan pengharapan.

Di satu titik kami pun membahas umur yang terus merayap. Bukan soal kematian yang terlalu dicemaskan (insya Allah), tapi justru menghadapi hidup. “Sampai kapan kita harus bekerja Mbak?”. Sebagai perempuan lajang di usia beranjak tua kami berdua tentu bersyukur bahwa kami masih bekerja, masih menerima bayaran dan masih dicari orang. Memang untuk mempertahankan itu niscaya tidak gampang, butuh stamina ektra dalam usia yang merambat dan charger stamina yang tak selalu bisa didongkrak. Tapi nasib jutaan perempuan lain bagaimana? Tak mandiri secara ekonomi, tak bekerja lagi dan tak menyiapkan bantal ganjalan.

Pada perempua dan lelaki niscaya ada persoalan yang tak sama menghadapi masa tua. Lelaki secara kultural dituntut lebih besar untuk mencukupi nafkah keluarga- istri, anak dan kerabat. Dalam kehidupan berpasangan, meski ada, jarang yang tetap melajang setelah terjadi perpisahan (entah cerai atau diceraikan Tuhan). Lelaki punya peluang untuk mencari pengganti yang tentunya bisa melayani kebutuhannya sebagai manusia, minimal meladeni dan menemani sisa hidupnya. Karenanya amat jarang lelaki yang akan memilih usia pasangan lebih tua, minimal setara umumnya lebih muda. Tapi tatkala mereka tak bekerja dan telah masuk purna bakti apalagi tanpa pensiun, kehidupan lelaki tua niscaya tak lebih ringan dari perempuan. Status pencari nafkah bukankah lebih melekat kepada mereka? Ketika tak lagi bekerja apa guna mereka? Begitu kira-kira.

Pada perempuan jika masih ada anak dan kerabat, mereka lebih bisa diterima. Orang Aceh bilang perempuan itu peurumoh “yang empunya rumah”. Minimal ia punya tempat. Terkait mencari pasangan itu juga berbeda dari lelaki. Sebab, jika pun hendak mencari pasangan lagi, niscaya akan mencari yang lebih tua, mapan minimal seusia. Memilih yang mapan secara finansial jelas menjadi kriteria, tapi mana ada lelaki siap kecualiperempuan itu pemilik warisan tujuh turunan atau pintar mempersona sebagai mitra. Sebab pada akhirnya memang persoalan hidup sehari-hari yang berbiaya yang harus senantiasa dihadapi dan diatasi.

Secara budaya dan psikologis, orang tua akan mengandalkan masa depannya pada anak- anak. Padahal mereka juga tahu bahwa anak-anak juga punya prioritas-prioritas kehidupannya sendiri. Jadi secara praktis setiap orang tua memang harus menyiapkan kehidupannya sendiri untuk melalui masa tuanya. Untuk itu mereka harus bekerja sampai tua dan sempat menabung.

Sejumlah orang tua memiliki investasi dan tabungan entah itu dari hasil usahanya di waktu muda, atau warisan dari orang tua mereka. Namun pada praktiknya, dalam tradisi kita, sangat jarang orang tua yang memanfaatkannya demi dirinya sendiri. Aneh rasanya, ada orang tua yang menjual rumah untuk bersenang-senang sendiri. Sebaliknya sangat biasa, orang tua yang hidupnya prihatin meskipun memiliki aset yang tak kecil. Rumah tinggalnya misalnya. Semua yang dimilikinya selalu diorinetasikan bagi masa depan anak-anaknya. Dan ketika orang tua meninggal mereka menjualnya.

Ketiadaan jaminan tentang masa tua tanpa harus bekerja yang menghasilkan memang mencemaskan. Syukur kalau masih sempat menabung untuk masa tua, jika tidak?

Dalam Islam, ajaran tentang birr al-wâlidayn—berbakti kepada orang tua–sebetulnya sangatlah kuat. Sejumlah ayat menegaskan posisi penghormatan kepada orang tua yang selalu diletakkan tepat setelah kepatuhan kepada Tuhan. Bahkan digamabrkan jika pun mereka mengajak kepada “jalan lain” kewajiban itu tetap melekat. Namun ajaran itu, sejauh bacaan saya, hanya mengandung nilai-nilai normatif, “Tak boleh berkata buruk, tak boleh mengatakan cih!, tak boleh menyakiti hatinya”. Dalam sistem warisan memang ada hak yang juga dihiung, namun secara umum hidup yang dihadapi jauh lebih kompleks. Ini bukan soal hubungan yang persoanal ndividual antara anak dan orang tua melainkan bagaiman menjadi sebuah sistem, “sistem kesejahteraan di hari tua”.

Di negara-negara dengan sistem yang memperhatikan kesejahteraan, tampaknya pemerintahnya memikirkan kesejahteraan yang dapat dirasakan merata oleh orang tua yang telah purna tugas. Panti-panti tak berbayar dengan aktivitas yang sepadan dengan usianya dibangun dengan pemikiran dan program yang matang. Lapangan pekerjaan yang dapat memfasilitasi orang untuk “bekerja sampai tua” juga tersedia dan dipikirkan.

Namun di negara-negara yang tak memperhatikan hal ini, kita sering melihat banyak orang tua yang pada kenyataannya benar-benar terlantar, tak sanggup menyumbang lagi dalam kehidupan, bahkan mungkin kehidupan anak-anaknya dan lalu merasa menjadi beban namun tetap memiliki kebutuhan ekonomi yang makin tidak kecil, apalagi jika sudah mulai sakit.

Tak kalah repot adalah untuk usia-usia “tanggung”—muda tidak tua belum dengan lapangan pekerjaan yang makin sulit di dapat sementara kebutuhan hidup tak dapat ditunda.

Dalam ajaran agama, situasi itu dibebankan kembali kepada anak sebagai bentuk hubungan resiprokal yang seolah niscaya adanya. Tapi bagi anak sendiri, bagaimanakah menjaga kehidupan dengan dua arah panah yang berlawanan – membayar masa lalu dan menyicil masa depan?

Mungkin karena tak tersedianya jaminan masa tua yang pasti, orang lalu mejadi sangat rakus di usia kerja. Dan itu baik-baik saja. Tapi karena tak tersedianya jaminan itu orang lalu memanggap “masuk akal” untuk menabung dan menimbun. Patutlah bersyukur jika kita bekerja di sebuah jaringan kerja yang di dalamnya tak memungkinkan terjadinya korupsi, jika tidak, jalan itu pun ditempuh dengan resiko menanggung kejahatan yang dibawa mati.

Saya melihat ada soal besar di sini, padahal setiap yang lahir niscaya menuju ke sana. Sejahtera dihari tua tanpa meninggalkan beban kepada yang lain. Seharusya ada solusi.[]

Mengenang KH. Makhtum Hannan

ADA kilasan kenangan bersama Romo KH. Makhtum Hannan, sesepuh Cirebon dan pendiri serta pengasuh Pondok Pesantren Masyariqul Anwar Babakan Ciwaringin Cirebon. Tidak lama sebelum beliau wafat, saya mengisi bedah buku “Islam Mazhab Cinta; Cara Sufi Memandang Dunia” bersama Kang Jamaluddin Muhammad, yang diadakan di Aula Pondok Pesantren Masyariqul Anwar Babakan, dan dihadiri ratusan santri beliau. Acara bedah buku ini ternyata ide dan inisiatif beliau, yang tujuannya adalah memberi wawasan lebih kepada para santri dan menanamkan kesadaran akan pentingnya menulis.

Setelah bedah buku usai, saya berkesempatan makan dan berbincang-bincang bersama beliau tentang banyak hal. Di antaranya tentang kesukaan beliau terhadap dunia tasawuf, mendiskusikan isi buku saya yang dibedah, kisah perlawanan terhadap pembangunan Tol, dan keinginan beliau yang kuat agar santrinya berwawasan luas. Dan salah satu topik yang dibicarakan adalah soal kematian sebagai salah satu tema yang ada di buku “Islam Mazhab Cinta”. Seakan sedang memberi isyarat, Kang Arsyad, salah satu putra Mama KH. Makhthum Hannan, mengatakan kepada saya kalau KH. Makhtum Hannan memesan satu eksemplar buku “Islam Mazhab Cinta” untuk dibaca. Saya merasa tersanjung dan terharu, ternyata beliau adalah sosok kiyai yang tawadhu’ (rendah hati) yang menghargai generasi muda. Dan saya merasa mendapatkan suntikan support untuk terus berkarya.

Pertemuan saya dengan beliau yang kedua kalinya, ketika saya berkesempatan mengikuti acara Bahtsul Masail Pondok Pesantren Se-Jawa dan Madura yang diadakan di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Saya pun kembali berkesempatan makan bersama dan berbincang-bincang serta mendiskusikan banyak hal dengan beliau. Dan ternyata, berbagai kegiatan dan acara yang bernuansa ilmiyah yang digelar di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin tidak lepas dari inisiatif, ide besar dan dukungan Romo KH. Makhtum Hannan. Ini sebuah representasi dari sosok kiyai visioner.

Dua kali secara intensif saya dapat ngobrol bareng bersama beliau. Kesempatan baik itu tidak saya sia-siakan. Sebab bagi saya, ini adalah momen yang sangat berharga bagi saya. Dan saya menyimak dan memahami bahwa beliau adalah sosok kiyai yang teguh pendirian dan idealis pada prinsip. Dalam menghadapi proyek raksas jalan Tol CIPALI (Cirebon-Palimanan) yang awalnya akan membelah lingkungan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, beliau menolaknya dengan tegar. Bersama para kiyai, keluarga besar, dan para santri, beliau memprotes keras kebijakan tersebut. Tidak sedikit dari kalangan pengembang dan pemerintah—baik local maupun pusat—meloby dan mendekati dengan berbagai iming-iming uang yang tidak sedikit agar beliau luluh dan mau mengalah agar Tol CIPALI tetap pada rancangan semula, yaitu membelah lingkungan Pesantren. Akan tetapi semua loby kandas, berbagai pendekatan tersungkur, dan semua iming-iming sedikit pun tak dapat menyentuh hatinya. Protes bembuahkan hasil, dan Tol akhirnya dipindah rutenya membelok dan tidak membelah lingkungan Pesantren.

Ketika sejumlah oknum tokoh masyarakat—baik formal maupun informal—sedang ramai meloby pemerintah agar mengucurkan sumbangan, beliau sebaliknya tampil sebagai tokoh yang menampik sumbangan dari pemerintah yang mempunyai modus agar keinginannya tercapai.

Jauh sebelumnya, ketika saya masih menjadi santri di Pesantren Babakan, saya teringat bahwa beliau adalah salah satu kiyai yang dipanggil dengan sebutan “Mama”, atau lebih tepatnya “Mama Tum”. Panggilan ini menyiratkan relasi kiyai dan santrinya seperti relasi ayah dan anak kandungnya sendiri. Sehingga tidak ada jarak dan menyiratkan sebentuk hubungan yang hangat. Panggilan “Mama” pun sebentuk panggilan yang membumi, sebab beliau bukan kiyai yang GR kalau dipanggil “kiyai”, apalagi panggilan yang berbau Arab seperti Walid, Abuya, atau Buya dan Syaikh yang belakangan sedang nge-trend di kalangan kiyai. Dengan kata lain, “Mama” adalah cermin dari Islam Nusantara.

Saya juga ingat, bahwa beliau adalah kiyai yang mensosialisasikan laga sepak bola api. Setiap tamatan MHS (Madrasah Hikamus Salafiyah), oleh beliau diberi amalan agar tangan dan kakinya tahan dan tidak terbakar ketika memegang bola api. Laga bola api digelar di akhir tahun Pondok Pesantren, yang diadakan di lapangan bola milik masyarakat umum Babakan Ciwaringin. Yang menyaksikan laga bola api bukan hanya kalangan santri, akan tetapi masyarakat setempat dan bahkan masyarakat Cirebon dan sekitarnya pun turut menyaksikan. Terkadang dibuka dengan laga seorang santri yang menyalakan petasan panjang yang melilit di tubuhnya. Sehingga, laga bola api dan petasan ini bukan sekedar laga dan adu kebolehan, akan tetapi juga sebagai syiar Islam sekaligus mempromosikan Pondok Pesantren Babakan. Lantaran yang berminat untuk melihatnya dari berbagai daerah.

Sebagai kiyai Pesantren, posisi beliau seperti KH. Maksum Jauhari (dikenal dengan panggilang Gus Maksum) di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, sama-sama sosok kiyai ahli hikmah yang mempunyai jaringan luas. Sebab yang datang ke rumah beliau dari berbagai kalangan, dari kalangan masyarakat biasa sampai kalangan pejabat, dari kalangan santri sampai masyarakat abangan. Dengan kata lain, beliau mempunyai dua kaki, kaki yang satu ada di dalam pesantren dan kaki yang lain ada di luar pesantren. Selain mempunyai santri, beliau pun mempunyai umat. Berbagai ritual keagamaan, seperti istighatsah yang diadakan masyarakat Cirebon pada umumnya—seperti istighatsah masyarakat Desa Tegalgubug Lor—adalah binaan beliau. Sehingga posisi beliau yang cukup strategis itu dapat mensosialisasikan Pesantren ke masyarakat luar. Beliau bisa memesantrenkan masyarakat sekaligus memasyarakatkan pesantren.

Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin khususnya dan Cirebon pada umumnya semakin berwibawa dan berkharisma salah satu faktornya adalah adanya beliau. Karenanya, masyarakat Cirebon sangat kehilangan dan berduka atas wafatnya beliau. Sembari berharap ada tokoh baru yang dapat meneruskan perujuangan beliau.[]

Salafi yang Diimajinasikan

Ketika Indonesia sedang hiruk-pikuk menyambut kedatangan Raja Salman bin Abdul Aziz Alu Saud, Raja Arab Saudi, saya langsung terbersit dua hal: investasi duniawi dan investasi ideologi Salafi-Wahabi. Salafi sebagai ideologi akhir-akhir ini banyak dibincangkan, karena banyak golongan dari internal Islam Sunni yang memperebutkan dan mengklaim sebagai kelompok yang paling absah menyandangnya. Tetapi, masing-masing kelompok mengimajinasikan Salafi berbeda-beda antara satu dengan lainnya, sehingga memunculkan tipologi Salafi yang beragam. Bahkan terkadang masing-masing tipologi adalah anti-tesa bagi yang lainnya.

Sekurang-kurangnya ada tiga tipologi salafi. Pertama, Salafi yang diimajinasikan Wahabi. Kalangan Wahabi mengimajinasikan Salafi sebagai kehidupan yang secara periodik terbatas pada masa Rasulullah saw. dan para sahabatnya, sedangkan secara ideologi menggunakan jargon kembali kepada al-Qur`an dan Sunnah secara harfiyah. Pandangan ini dirawat dalam karya-karya Muhammad ibn Abdil Wahab dan penerus serta pengikut setianya, yang terinspirasi oleh pandangan Ibn Taimiyah. Selain cara pandang literalistik, kalangan Salafi-Wahabi juga melarang filsafat, mantiq, dan tasawuf. Ajaran mereka yang paling terkenal adalah anti TBC (Tahayul, Churafat, dan Bid’ah). Semakin seseorang itu steril dari TBC, menurut Wahabi, maka ia semakin salafi.

LIPIA adalah lembaga indoktrinasi Salafi-Wahabi yang ada di Jakarta, dan sekarang Raja Salman bin Abdil Aziz datang ke Indonesia memastikan bahwa LIPIA akan dikembangkan dan dibuka di Surabaya, Medan, dan Makasar. Ini satu tanda akan lebih semarak dan masif lagi penyebaran paham Salafi-Wahabi di Indonesia. Alumnus LIPIA banyak bergerak di bidang pendidikan, seperti pendirian Pondok Pesantren As-Sunnah dan Radio Roja.

Kedua, Salafi yang diimajinasikan oleh kalangan jihadis, yang sejatinya sama persis dengan Salafi yang diimajinasikan kalangan Wahabi. Kalangan jihadis banyak terinspirasi dari paham Salafi-Wahabi dan dikolaborasi dengan paham Ikhwanul Muslimin (IM). Oplosan Salafi-Wahabi dan Ikhwanul Muslimin melahirkan al-Qaidah. Dan perkembangan selanjutnya kalangan Salafi-Jihadi melahirkan ISIS yang jauh lebih ekstrim. Kalangan jihadis garda depan Indonesia diwakili oleh Aman Abdurrahman, seorang alumnus LIPIA Jakarta, yang banyak menerjemah kitab-kitab para tokoh Salafi-Wahabi, di antaranya karya-karya Muhammad ibn Abdil Wahab dan Abu Muhammad al-Maqdisi, juga menguasai kitab-kitab Syaikh Muhammad Salim al-Dausari, memperdalam dan mengkaji lebih lanjut dengan memahami kitab-kitab karya para ulama yang disebutnya sebagai Aimmatu al-Dakwah al-Najdiyyin (para imam dakwah Najd), di antaranya yaitu: kitab “al-Durar al-Saniyyah”, “Fatawa Aimmah al-Najdiyyah”, “Majmu’at al-Rasa`il wa al-Masa`il al-Najdiyyah”, “Majmu’ Muallafat Syaykh Muhammad”, “Mishbah al-Zhalam”, “Minhaj al-Ta`sis”, “al-Qawl al-Fashl Nafis”, “al-Radd ‘ala al-Quburiyyin”, “Kasyfu al-Syubuhat”, “Tawhid al-Khallaq”, dan “Tarikh Najd”.

Aman Abdurrahman yang alumnus LIPA menguasai serta mengamalkan apa yang didapatkan dari doktrin Salafi-Wahabi malahan lebih memilih berbaiat pada ISIS. Pernyataan baiatnya disampaikan dari penjara Nusakambangan. Meski Aman Abdurrahman bukan representasi resmi dari lembaga LIPIA, tetapi ia sudah mencoba menjadi seorang Salafi-Wahabi yang kaffah (total).

Ketiga, Salafi yang diimajinasikan kalangan NU (Nahdlatul Ulama) atau Nahdliyyin. NU mengimajinasikan Salafi secara periodik tidak hanya terbatas pada masa Rasulullah Saw. dan sahabatnya saja, tetapi juga tabi’in (generasi paska shahabat), tabi’i al-tabi’in (generasi kedua paska sahabat), dan para ulama pengikut setia mereka dengan baik. Sehingga bisa dikatakan bahwa kehidupan salaf yang diidealkan oleh NU tidak terbatas pada periode tertentu, akan tetapi yang dijadikan standar adalah nilai luhur yang dihidupkan dari masa ke masa oleh generasi awal Islam dan penerusnya.

Salafi-NU secara ideologis menggunakan ajaran-ajaran yang merujuk pada al-Qur`an, hadits, dan kitab kuning warisan (turats) para ulama terdahulu yang mencoba menjelaskan secara rinci isi al-Quran dan hadits dengan tergambar pada berbagai macam disiplin ilmu keislaman. Sebab mulanya NU memunculkan istilah salaf atau salafiyah adalah untuk pondok pesantren yang masih menjadikan kitab kuning karya ulama klasik Islam sebagai materi dasar pengajian dan kurikulum wajibnya, dengan menggunakan metode pembelajaran tradisional, seperti bandongan, sorogan, pembacaan kitab dengan sistem makna perbaris yang kata perkata diterjemahkan dan diberi tanda baca kedudukan kata secara gramatika Arab.

Secara sosiologis, salaf di kalangan Nahdliyyin diimajinasikan sebentuk kehidupan yang selalu merujuk pada ‘ibarat (penjelasan) yang ada di kitab kuning, menjunjung tinggi hidup sederhana, hidup dengan apa adanya, secara simbolik berkostum dengan menggunakan sarung dan kopiyah, sikap asketik (zuhud), hidup merakyat, tawadhu’ (rendah hati), sopan santun, toleran, adaptif, dan berbagai nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran sufisme.

Kalangan Nahdliyyin, memang cara pandangan dan perspektif keagamaannya lebih didominasi oleh fikih oriented, akan tetapi amaliyahnya justru lebih didominasi oleh sufisme oriented. Sehingga, meski pun dalam fikih misalkan masih ada ajaran yang ‘bias diskriminasi’ agama—dan bahkan terkesan menganjurkan intoleran—akan tetapi ajaran itu ketika dikebumikan di alam realita mengalami pemfilteran dan seterilisasi oleh unsur sufisme yang malahan menganjurkan hidup yang toleran, egaliter dan saling hormat menghormati. Selain itu, sebagian kalangan Nahdliyyin juga sudah mulai berpikir metodis dalam menyikapi realitas dengan memfilter fikih melalui perangkat ushul fikih, maqashid al-syariah, dan qawa’id al-fiqhiyyah yang bersifat metodologis, sehingga dapat berfikir universal.

Salafi yang diimajinasikan kalangan Nahdliyyin lebih support terhadap nilai-nilai kebangsaan, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, dan Pancasila. Sebab Nahdliyyin membolehkan bid’ah hasanah (inovasi yang baik) dan sikap keberagamaannya sudah menyatakan bahwa NKRI sudah final. Sebaliknya Salafi-Wahabi berpandangan bahwa pemerintahan yang tidak berlandaskan penerapan syariat Islam adalah thaghut.[]