Politik Seks di Indonesia

Ketika negara menyatakan bahwa perkosaan anak merupakan kejahatan yang harus diselesaikan dengan hukuman kebiri (Mensos Khofifah),  “tembak saja”  (KPPPA Yohana); sementara cara melihat akar masalahnya “(anak) perempuan jangan jalan sendirian” (Bupati Rejang Lebong) dan “berantas minuman keras, narkoba, dan pornografi (KPAI- Ni’am), dan akhirnya lahir Perppu “Kekerasan Seksual terhadap Anak” berupa hukuman berat, seumur hidup, sampai hukuman mati, ditambah hukuman tambahan seperti pemasangan chip dan kebiri, sesungguhnya kita sungguh-sungguh berada dalam darurat kekerasan  terhadap perempuan.

Dikatakan darurat karena praktis negara tak benar-benar  hadir  karena absennya pemahaman negara soal cara bekerja kekerasan berbasis prasangka  gender, etnisitas, suku, ras, agama, aliran politik, yang manifestasinya bisa berupa kekerasan dan kejahatan seksual.

Tulisan pengantar ini membahas soal bagaimana kekerasan seksual seharusnya diletakkan dalam lanskap politik dan persepsi ketubuhan  yang  meletakkan hubungan-hubungan kuasa dan relasi sosial yang timpang antara (para) pelaku/komunitas/negara  dan korban yang senantiasa terjadi di medan konflik, apapun bentuknya konflik itu. Pendekatan negara sebagaimana diusulkan para menteri,  pimpinan daerah dan kelembagaan non-negara, seperti KPAI, memang populer. Tapi itu  sungguh  jauh dari inti persoalan, apa lagi penyelesaiannya.

Ketika perempuan dalam ancaman kekerasan seksual di ruang publik, dan hukum/negara tidak hadir menjalankan perannya untuk memberi perlindungan berdasarkan hak untuk bebas dari segala ancaman, jangan salahkan jika yang mengambil kesempatan adalah para pedagang asongan surga: “Perempuan balik ke rumah, tutup tubuh kalian.” Gagasan itu seolah menjadi penyelamat yang nyata, konkrit, mudah dicerna, meskipun sesat. Pandangan Wahabi  berbau  Taliban serupa itu  bisa muncul subur bukan karena mereka aktif dan agresif, tapi karena kita membiarkannya mereka masuk dengan mengabaikan pemenuhan hak paling dasar = rasa aman!” ( LM, FB, 9 Mei 2016)

Ancaman kekerasan dan kejahatan seksual yang menyebabkan hilangnya rasa aman di negara merdeka, bagi  saya merupakan suatu penanda bahwa  negara lengah dalam melihat arena-arena konflik, baik konflik di ruang publik maupun di lingkup keluarga yang menjadi landasan terjadinya kekerasan seksual. Sebab kejahatan seksual, sebagaimana terekam dalam pengalaman sejarah modern, merupakan manifestasi dari  situasi konflik yang terkait dengan rasa ketidakadilan menahun dan menyejarah dan sama sekali bukan semata-mata penyaluran hasrat biologis seksual.

Kekerasan seksual, dalam sejarah konflik merupakan “the last resort” dari ekspresi kekalahan dalam konflik yang kehilangan kepercayaan kepada hukum, namun tak sanggup mengatasinya secara ksatria, melainkan dengan cara-cara pengecut.

Ada dua hal yang diurai dalam makalah ini; dua aliran besar dalam isu seks dan seksualitas dan problem maskulinitas dalam budaya patriarki, dan penghukuman kepada pelaku kejahatan seksual sebagai manifestasi dari dua pandangan itu.

Konflik Politik Ketubuhan: Essensialism vs Social Construction

Hukum kebiri menunjukkan sesat pikir paling fundamental dalam melihat isu kejahatan seksual yang seolah-olah urusan penis ngaceng. Dodol betul.” (LM, FB 14 Mei 2016)

Reaksi saya di FB ini atas gagasan pemberian hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. Nyatanya hukuman itu yang dipilih dan disetujui Jokowi  dan telah ditandatangani sebagai Perppu, merupakan bukti keseriusan dan kemarahan negara  atas  praktik kejahatan kelamin ini.

politikSaya kira terlalu kejam untuk menyatakan bahwa Perppu ini menunjukkan pemerintah dihinggapi penyakit tidak percaya diri pada hukum yang ada, apalagi kalau sekadar untuk pencitraan. Hal yang menghawatirkan adalah  jika negara  benar-benar percaya  bahwa pendekatan itu sebagai cara pandang dalam melihat isu ketubuhan dan seksualitas rakyatnya dan memaknai kekerasan seksual.

Dalam membincang isu seksualitas, kita berhadapan dengan dua teori besar: teori esensialisme (essensialism) yang berpendapat asal usul persoalan seks terletak pada kromosom, biological, fisikal yang berhadapan secara diametral  dengan teori social construction  bahwa (aktivitas) seks manusia, berbeda dari binatang,  merupakan konstruksi sosial (pikiran, cara pandang, prilaku relasional)  manusia dan membentuk  konsep “seksualitas”, yaitu aktivitas yang berangkat dari cara berpikir, nilai-nilai, cara pandang, serta bagaimana manusia- lelaki dan perempuan diharapkan untuk bertingkah laku secara seksual. Dalam kata lain, seks (biologis)  manusia membentuk seksualitas yang merupakan konstruk kebudayaan, pemikiran, agama,  politik, dan konstruksi  sosial tentang aktivitas seksual. Dua teori besar ini memiliki konsekuensi yang berbeda dan bahkan bertolak belakang dalam melihat soal kekerasan seksual.

Teori pertama, esensialisme meyakini  bahwa (kejahatan) seksual bersumber dari bawaan kelamin (akibat kromosom, bentuk fisik, gen) yang merupakan bawaan dari lahir (given).  Pendeknya, lelaki melakukan kekerasan seksual akibat  (maaf) “anu”nya  memang bawaanya “ngaceng”; sebaliknya, perempuan diperkosa karena dari sananya “anu”nya berlubang (maaf). Pandangan esensialis ini praktis dianut kelompok agama yang mendasari semua hukum fikihnya berbasis tubuh/kelamin.

Prilaku seks dalam pendekatan pertama digerakan oleh libido yang juga given dan sudah ada dalam tubuh manusia. Libido yang kuat/besar  konon dimiliki oleh sang pemilik kromosom XY alias lelaki. Sebaliknya pada perempuan  libido itu (seharusnya) kecil, tak berhasrat pada seks kecuali terjadi penyimpangan , misalnya, tidak bersunat, atau ada penyimangan kromosom.

Pandangan serupa ini juga berpengaruh cara mereka melihat identitas seksual serta orientasi seksual seseorang yang juga dianggap given. Identitas seks lelaki dan perempuan dalam pandangan esensialis adalah bawaan orok dan dengan begitu orientasinya harus juga ajek. Dalam pandangan kaum esensialis, orientasi seks yang given adalah heteroseksual dan secara sosial seharusnya membentuk heteronormativitas sebagai patokan nilai dan norma. Ketika seserang ternyata tak berorientasi seperti yang “seharusnya” (hetero), kelompok esensialis ini akan menghukumnya sebagai penyimpangan dari yang seharusnya atau menyandang abnormalitas. Orang-orang yang masih punya hati dalam dalam kelompok ini akan menawarkan terapi hormon untuk membentuk keseimbangan hormon yang seharunya agar orientasi seksnya kembali “normal”.

Teori ini dianut banyak kalangan, tak terkecuali para aktivis advokasi hak-hak kaum homoseksual, termasuk keluarganya yang menganggap bahwa ke-homo-an   itu bukanlah  “salah” mereka melainkan bawaan orok.

Dalam pandangan esensialis, kromosom XY, bentuk  penis, ketubuhan lelaki  secara alamiah membentuk “kelelakian” lelaki.  Agar kelelakian itu digunakan secara benar, dibutuhkan panduan hidup, agama,  yang mengajari tata cara kelelakian itu tegak dengan benar, bekerja dengan benar, dan diam secara benar.

Namun sebagai konsekwensi lanjutan dari cara berpikir itu, maka manakala terjadi tindakan perkosaan,  itu sebetulnya merupakan manifestasi dari penyimpangan bekerjanya kelamin namun dianggap sebagai bawaan orok yang  bersifat alamiah dan wajar.

Di sini muncul  paradoks, kekerasan seksual  dianggap kejahatan, namun di lain pihak itu dianggap tindakan wajar sebagai bawaan lahir yang kodrati.  Dan ketika terjadi penyimpangan di mana lelaki mengumbar kejantaan dalam bentuk kejahatan seksual maka solusinya menjinakkan dan menghukum mati kemampuan kromosom dan penis itu; dari sanalah datangnya cara pandang hukuman kebiri itu.

Dalam waktu yang bersamaan, muncul gagasan bahwa maskulinitas/agresivitas ketubuhan lelaki diyakini bersifat alamiah/bawaan orok,   maka cara untuk menghindarinya adalah dengan meminta perempuan sendiri yang  harus membatasi diri dari tingkah laku yang mengundang hasrat seksual kejantanan lelaki.

Sementara teori kedua, social construction,  berangkat dari keyakinan bahwa  adalah benar manusia memiliki seks (biologis/kromosom dan seterusnya ), namun manusia bukanlah binatang yang ajek dalam “mengoperasionalkan” seksnya. Manusia adalah binatang berpikir yang antara lain kemudian berkreasi dengan pemikiran tentang seks (biologisnya/tubuhnya) membentuk seksualitas (bangunan imaginasi,  pandangan, nilai baik buruk, kepantasan), yang kesemuanya adalah hasil olah pikir sebagai manusia.

Dalam pandangan ini seksualitas adalah sebuah konsep tentang bagaimana seks beroperasi. Pada tubuh lelaki ngaceng itu  biologis, hasrat/instinktif , tapi bagaimana ngaceng itu dikelola, disalurkan, dinegosiasikan dalam tatanan sebuah masyarakat. Itu semua terkait dengan pemikiran, cara pandang, dan bagaimana hasrat itu dipersepsikan untuk bertingkah laku  membentuk nilai seksualitas. Di sini  lahir keragaman, tergantung pada nilai, cara pandang, cara pikir  manusia tentang seksuaitas. Masuk ke dalam elemen yang mengkonstruksikannya adalah pandangan keagamaan, di luar politik, ekonomi dan relasi kelas sosialnya.

Dalam pandangan kedua ini, kekerasan seksual karenanya bukan terletak pada penisnya, melainkan bagaimana pemiliknya, agamanya, masyarakat di sekitarnya, negaranya, membangun pandangan soal seksualitas. Dan dalam masyarakat yang  membangun konstruksi gender dan seksualitas yang melahirkan  sifat, karakter, nilai, persepsi bahwa lelaki adalah maskulin, kuat, gagah, perkasa, macho, berani  dan seterusnya, sebaliknya perempuan feminin, lemah, halus, nrimo dan seterusnya, maka seksualitas pun harus diekspreksikan dalam pandangan-pandangan serupa itu.

Jadi ini urusan perkosaan berjamaah bagaimana, tetep nih mau disate penisnya? (LM, FB)

Iya bagaimana itu, Mbak? Ini urusan kepala, urusan perspektif yang mendasar tentang (cara memandang) perempuan. Kok penis yang dikebiri ya! Penis kan implikasi urusan otak yang sangat misoginis. Jadi, ini urusan sesat pikir. Sebaiknya jangan ditularkan ke publik Indonesia. Nanti sesat pikir semua mereka. (Neng Dara, FB)

Mestinya, tak ada yang keliru dengan maskulinitas dan femininitas sebagai produk kebudayaan manusia sejak zaman purba. Maskulinitas dan femininitas ini nyatanya juga diterjemahkan dalam praktik sosial berbasis pandangan keagamaan – lelaki mendapat warisan lebih karena harus melindungi klannya/baninya, kawin sebagai akad kepemilikan buthi (kelamin) karena lelaki mencari nafkah dan seterusnya.  Di era Wild-Wild West di mana maskulinitas membutuhkan wujud kejantanan seperti sifat pemberani dan macho, aka  ekspresi kejantanan/maskulinitas, boleh jadi memiliki konteksnya. Namun dalam perkembangan peradaban, seksualitas pun ikut masuk sekolah. Lahir nilai-nilai kepantasan baru dan terus berkembang mendefinisikan kembali maskulinitas lelaki. Kekerasan seksual itu buruk, bukan tanda kegagahan, memperkosa itu bentuk penindasan yang menunjukkan adanya relasi timpang antara pelaku dan korban. Kekerasan seksual adalah bentuk penyerangan kepada intergritas perempuan dengan memanfaatkan kelamin sebagai sasaran penyerangan dan penaklukkan.

Dengan cara pandang serupa itu, penghukuman berupa pemasangan chip kepada pelaku kejahatan pedofilio atau hukuman kebiri dan hukuman mati bukanlah hukum yang tepat karena hukum serupa itu mengabaikan seluruh fakta bahwa seksualitas bukan soal tubuh biologis, melainkan soal kontsruksi maskulinitas sesat yang dikultuskan.

Kutuk Maskulintas dan Ketidakhadiran Negara         

Dunia yang patriarkis adalah penjara abadi bagi para lelaki.
Betapa berat menjadi seorang lelaki: menangis saja tabu. Kalah itu memalukan. Menganggur dan mengurus rumah tangga, itu akhir zaman. Ditolak cinta oleh perempuan? Alangkah nista.
(Baginya) Perempuan itu layak diberi pelajaran yang takkan pernah sanggup ia lupakan! Tindak kekerasan seksual adalah “the last resort” yang diakomodasi oleh sebuah budaya dan sebuah sistem (maskulinitas patriakh) yang mampu menghancurkan generasi demi generasi. Senjata makan tuan! (Jane Ardaneshwari, FB, 18 Mei 2016).

Siti Maimunah dari Sajogyo Intsitute menggambarkan dengan sangat jernih tentang kasus YY dalam konteks kemiskinan yang menyejarah di Rejang Lebong. Intinya adalah, para lelaki dan anak lelaki luar biasa didera untuk tetap tegar sebagai maskulin dalam lanskap politik ekonomi yang mengekspoitasi ruang hidup mereka habis-habisan sejak zaman Kolonial ketika buruh perkebunan dihadirkan hingga kini ketika tanah-tanah dikupas, digali, dan diekploitasi untuk industri ekstraktif. Dalam situasi ekonomi yang berubah namun tata nilai yang terjadi justru makin ketat/konservatif  sebagai mekanisme pertahanan sebagaimana dikemukakan Geertz dalam involusi  pertanian/kebudayaan, para lelaki muda harus menunjukkan kejantanan mereka tanpa ada peluang untuk menunjukkan kejantanan sejati mereka akibat kemiskinan akut, tanpa pendidikan, tanpa hukum.

Kekerasan seksual berupa perkosaan atau perkosaan berjamaah dalam sejarah Indonesia merupakan mekanisme pengecut yang juga dilakukan negara atau badan non negara seperti dalam sejarah konflik-konflik di Indonesia. Dalam PRRI,  DOM,  Mei 98, atau dalam konflik perebutan tanah kekerasan seksual dan perkosaan merupakan mekanisme yang digunakan untuk penaklukkan dan penghancuran mental lawan negara.

Walhasil kita kini berada dalam situasi darurat ketika negara alhirnya pasrah pada bentuk  penghukuman yang mungkin poluler namun sesngguhnya terjerembab kedalam rezim  seks biologis akut.

Dengan ditandatanganinya Perppu kebiri kimia hari ini oleh Presiden menandakan bahwa, kekerasan seksual tidak dilihat sebagai konsep penyerangan atas tubuh manusia melalui tindakan seksual, melainkan semata-mata soal libido–yang sebetulnya adalah mitos belaka. Kedua, kekerasan seksual tidak dilihat sebagai diskriminasi gender atau kekerasan berbasis gender, sebab hanya reaksi atas serangan seksual pada anak-anak, yang padahal kekerasan berbasis gender rentan terjadi pada anak-anak perempuan, selain itu tidak adanya perhatian pada perempuan dewasa menunjukkan bahwa persepsi atas kejahatan kemanusiaan ini hanya berlaku pada anak-anak. Ketiga, suntik kebiri sebetulnya adalah terapi yang menjadi bentuk rehabilitasi, bukan efek jera. Keempat, sejumlah ilmuwan dan lembaga negara hak asasi manusia diabaikan ketika memiliki analisis khusus tentang perspekitf kejahatan kemanusiaan bahwa kebiri bukan peraturan yang tepat, justru terjebak pada salah kaprah atas kasus kekerasan seksual. Terakhir, revolusi mental dalam program Nawacita tidak memiliki konsep yang jelas, sebab aturan kebiri justru tidak mengubah mental pelaku sebab dipikirnya hanya soal kelamin saja. Revolusi mental tidak tampak pada kebijakan yang tak menggunakan logika. Semakin tenggelam dan presiden dan kabinetnya masih terbata-bata dalam menerjemahkannya ke dalam aturan dan program. Semua hanya diputuskan berdasarkan suara terbanyak yang sangat konvensional–jauh dari makna revolusi. Jauh dari makna pembaruan. Sayang sekali. (Mariana Amruddin, FB, 25 Mei 2016).

Kekecewaan sebagaimana dikemukakan aktivis perempuan Mariana Amruddin niscaya tak berlebihan. Bagi saya,  hukuman tubuh, hukuman mati, dan kebiri untuk kejahatan seksual hanya pantas terjadi dalam negara yang pasrah dan kehilangan akal atas terjadinya ketidakadilan; negara tak sanggup mengatasi situasi kemiskinan akut, pendidikan buruk, agama yang kehilangan inti ajarannya, penegakan keadilan kendor, keluarga kocar kacir akibat sistem sosial yang morat marit, ikatan-ikatan keluarga hancur oleh perubahan perubahan sosial ekologis yang dahsyat, dan kegagalan dalam memaknai maskulinitas sejati. []

Seminar Pendidikan Islam di STAI Al-Aulia Bogor

RABU, 18 Mei 2016, BEM STAI (Sekolah Tinggi Agama Islam) Al-Aulia Cibungbulang Kabupaten Bogor mengadakan seminar dengan tema “Pendidikan Islam Masa Depan”. Acara yang dibuka langsung oleh Ketua STAI Al-Aulia, KH. Komaruddin Adnawi, Lc., ini dimaksudkan untuk memahami bagaimana pendidikan Islam dan tantangannya di masa yang akan datang.

Pembicara dalam seminar ini di antaranya adalah Mukti Ali yang diundang khusus oleh panitia untuk mewakili Rumah KitaB yang telah berhasil menyusun buku terkait pendidikan, yaitu “Kumpulan Bahan Ajar Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren”. Pembicara lainnya yaitu Mohammad Shofan (peneliti dan tim penulis buku Pendidikan Karakter Paramadina, yang juga salah satu dosen di STAI Al-Aulia), dan Ibu Sarwenda (praktisi pendidikan dan dosen STAI Al-Aulia).

Seminar ini dimoderatori oleh Ustadz Saepullah. Ia menyatakan bahwa pendidikan merupakan suatu usaha untuk memahami perkembangan peradaban. Silaturrahim yang diajarkan Nabi Muhammad, bukan hanya bermakna ‘bertemu dengan orang lain’, tetapi seharusnya dimaknai sebagai ajaran bagaimana suatu peradaban dapat bertemu dengan peradaban-peradaban lain.

Mukti Ali, sebagai pembicara pertama, menjelaskan bahwa pendidikan Islam di Indonesia sudah ada semenjak ratusan tahun yang silam, yang diselenggarakan di masjid, mushalla (langgar, tajug, surau), madrasah, dan pesantren. Mulanya metode pengajarannya masih sangat natural dan tradisional, dengan menggunakan metode bandongan, sorogan (sang murid membacakan kata perkata kitab di hadapan sang guru), dan hafalan, yang kemudian dilembagakan menjadi pesantren. Dalam perkembangannya, pesantren menggunakan sistem klasikal dan kurikulumnya tetap menggunakan kitab kuning, kekayaan khazanah Islam klasik, yang masih dipertahankan sampai hari ini oleh pesantren-pesantren NU, disebutnya pesantren salaf-tradisional. Kelebihan pesantren yaitu para kiyainya berhasil living (menghidupkan) nilai-nilai luhur Islam dari khazanah klasik yang disinergikan dengan nilai-nilai local wisdom (kearifan lokal). Inilah yang sebagiannya dijelaskan dalam buku “Kumpulan Bahan Ajar Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren”.

“Perkembangan selanjutnya, muncul pesantren yang menamakan dirinya sebagai pesantren modern. Terdapat dua pengertian tentang pesantren modern, yaitu sebagian mengartikan modern dalam arti mensinergikan pesantren dengan sekolah umum, dan akhirnya di lingkungan pesantren terdapat sekolah umum SDI, SMPI, MTS, MAN, dan sejenisnya, dan bahkan sampai kampus sebagaimana yang ada di Pesantren Al-Aulia. Dan sebagian yang lain mengartikan modern dalam arti memasukkan materi atau mata pelajaran yang bersifat kebaruan, seperti kitab karya ulama masa kini, dan ditekankan pada pelajaran bahasa Asing, Arab dan Inggris,” tutur Mukti Ali.

Mukti Ali melanjutkan, persoalan muncul ketika pesantren modern yang dalam arti yang kedua, dengan memasukkan materi pelajaran kitab karya ulama masa kini yang notabene kitab yang mengajarkan kekerasan, masuknya unsur ideologisasi ke dalam kurikulum, dengan tujuan tertentu, misalkan jihad yang dimaknai hanya perjuangan fisik, maka pembelajaran dalam lembaga pendidikan tersebut akan lebih menekankan perjuangan fisik dan tidak memberikan perkembangan pengetahuan dan wawasan kepada para santri, makna modernnya menjadi terdistorsi. Karena rupa-rupanya, sebagian kalangan mengartikan modern sebagai masa atau zaman kekinian, misalkan materi kitab karya ulama masa kini. Padahal, modern itu semestinya tidak dalam arti masa kini, melainkan dalam arti muntaj al-afkar (sebuah produk pemikiran) yang bersifat membangun, konstruktif dan berkontribusi terhadap kebaikan dan kemajuan bagi peradaban umat manusia. Jika dari masa klasik terdapat produk pemikiran yang konstruktif, maka dapat dikatakan sebagai modern. Tetapi sebaliknya, jika dari masa kini terdapat produk pemikiran yang destruktif, merusak, maka itu tidak bisa dikatakan modern. Dalam istilah Arab, masa kini identik dengan al-mu’âshirah dan modern identik dengan al-hadâtsah.

Selain mengamati materi pelajaran atau kurikulum pesantren, Mukti Ali juga menjelaskan pentingnya metodologi pembelajaran. Pepatah Arab mengatakan “al-tharîqah ahammu min al-mâddah,” (metode lebih penting dari materi). Artinya, materi adalah sesuatu yang penting, tetapi metode lebih penting, sebab materi akan ditentukan oleh metode yang digunakan. LVE (Living Values Education) merupakan metode mutakhir yang bisa dijadika metode alternatif bagi dunia pendidikan pesantren, sebagaimana Rumah KitaB dan Paramadina sudah memulainya dengan menuliskan buku tentang pendidikan karakter berbasis tradisi pesantren.

Sementara itu, Moh. Shofan, pembicara berikutnya, menjelaskan bahwa problem pendidikan Islam sangat kompleks, bukan hanya karena siswanya sering tauran akan tetapi adanya muncul stigma bahwa pendidikan Islam cenderung tidak toleran. Permasalahan yang lain adalah problem pendekatan, kurikulum apakah hanya menyelesaikan tugas di sekolah atau ditujukan supaya siswa dapat memahami persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat. Pendidikan seharusnya merujuk dengan pendekatan sejarah, dimana sejarah membuktikan bahwa pendidikan seharusnya merupakan pertemuan peradaban dari segala bidang. Sehingga pendidikan islam bukan hanya berbicara Islam yang hanya dilihat dari sisi teks saja, akan tetapi bahwa Islam bersinggungan dengan peradaban yang lain seperti Barat.

Ibu Sarwenda, pembicara lainnya, mengemukakan bahwa pendidikan seharusnya lebih menekankan kepada pengalaman empiris, karena pengalaman tidak bisa dipelajari, akan tetapi harus dirasakan. Guru sebagai pendidik mempunyai pengaruh terhadap kehidupan siswa. Seorang dokter, ketika ada satu orang yang sakit, ia hanya bisa menyembuhkan satu orang, akan tetapi seorang pendidik dapat menyelamatkan satu orang akan tetapi dapat berakibat menyelamatkan satu generasi, karena dari situ akan ada generasi selanjutnya.[]

Pengantar Monografi 9 Kajian Perkawinan Usia Anak di 5 Provinsi di Indonesia

Judul
Pengantar Monografi 9 Kajian Perkawinan Usia Anak di 5 Provinsi di Indonesia

Penulis
Lies Marcoes
Nurhady Sirimorok

Editor
Lies Marcoes

Penerbit
Yayasan Rumah Kita Bersama

Tahun
2016

Jumlah halaman
65 halaman

Monografi ini mengantarkan bagaimana kerangka berpikir dan kerangka kerja penelitian di sembilan wilayah penelitian dioperasionalkan. Tentu saja sesuai dengan kemahiran dan ketekunan para peneliti masing-masing, hasil penelitian dari sembilan daerah yang didokumentasikan para peneliti dalam serial monografi yang diterbitkan secara terpisah akan diperoleh penggambaran yang lebih utuh dan mendalam.

Secara garis besar, penelitian yang dapat Anda dalami dari monografi itu sampai pada kesimpulan bahwa praktik perkawinan anak merupakan sebuah tragedi kemanusiaan namun berlangsung sunyi. Terjadi sebagai implikasi yang sangat masif dari proses pemiskinan struktural yang berakar pada perubahan-perubahan ruang hidup, sumber kehidupan akibat krisis ekologi dan agraria di lingkup pedesaan.

Anomali HTI

HIZBUT Tahrir (HT) ini ibarat Ashabul Kahfi. Mereka tertidur selama ratusan tahun dan begitu terbangun mereka tak sadar, bahkan menyangka hanya tertidur satu atau setengah hari.

Dunia telah berubah. Islam bukan lagi sebuah imperium besar yang dipimpin oleh seorang kaisar, al-Imâm al-A’zham. Secara geopolitik, dunia tak lagi dibagi dalam dua blok besar (bipolar): Negara Islam (dâr al-islâm) dan Negara Kafir (dâr al-kuffâr/dâr al-harb). Yang dulu termasuk Imperium Islam, sejak runtuhnya Turki Utsmani, sudah terkotak-kotak ke dalam negara-negara kecil berdaulat (nation-state). Lantas, mungkinkah disatukan kembali dalam Khilafah Islamiyah? Lihat saja hari ini Jazirah Arab sudah tercabik-cabik dalam kekacauan dan kehancuran.

Jika melihat fakta-fakta yang terjadi di belahan dunia Islam sendiri, Khilafah Islamiyah merupakan konsep utopis. Sebagai sebuah cita-cita politik ia masih mungkin. Sayangnya, Khilafah Islamiyah hanya berhenti pada tataran ide dan sangat sulit direalisasikan, sama seperti cita-cita Karl Marx mendirikan “Masyarakat Tanpa Kelas”. Khilafah Islamiyah hanya cocok dijadikan sebuah spirit dan ideologi perlawanan terhadap ketertindasan dan ketimpangan global, misalnya, bukan sebagai sistem kekuasaan.

Klaim Hizbut Tahrir bahwa Khilafah Islamiyah berasal dari Islam dan digunakan oleh Nabi Muhammad Saw. ternyata tidak terbukti dalam sejarah. Ada beberapa argumen yang mematahkan klaim ini. Pertama, Nabi Muhammad Saw. tak pernah mewarisi sistem politik tertentu dan tak menunjuk siapa penggantinya. Buktinya, sepeninggal beliau, para sahabat disibukkan dengan suksesi kepemimpinan. Kedua, suksesi kepemimpinan era sahabat sendiri tak menganut sistem tunggal. Abu Bakr al-Shiddiq dipilih melalui Ahl al-Hall wa al-Aqd (formatur), sedangkan Utsman dipilih melalui penunjukan pemimpin sebelumnya (Wilâyah al-Ahd). Pasca Khulafa al-Rasyidun, dunia Islam menganut sistem kerajaan (Umayyah, Abbasiyah, hingga Turki Ustmani). Jika Khilafah Islamiyah dianggap sebagai sistem baku dan warisan Nabi Muhammad Saw. tentunya sistem itu tak pernah berubah sepanjang masa.

Hizbu Tahrir Indonesia (HTI)

Pengikut Hizbut Tahrir meneriakkan ‘Khilafah Islamiyah’ di Indonesia. Mungkinkah negara-negara Arab mau tunduk pada kekuasaan non-Arab? Konflik Sunni-Syi’ah saja tak bisa disembuhkan, apalagi sampai berebut kekuasaan. Agaknya, hampir mustahil mengharap persatuan negara-negara Islam, baik di Timur Tengah maupun Asia. Organisasi-organisasi Islam saja hampir tak berkutik menghadapi krisis yang dihadapi umat Muslim saat ini. Apalagi sampai mendirikan “negara bersama” yang disebut Khilafah Islamiyah itu.

HTI masih diuntungkan di negeri ini. Meskipun tak setuju dengan demokrasi, karena dianggap sistem tâghût (bukan syariat Islam), HTI tetap menikmati iklim demokrasi. Mereka dibiarkan hidup dan diberi hak hidup oleh negara, walaupun sesungguhnya anti-negara. HTI harusnya bersyukur karena di tanah kelahirannya sendiri, bahkan di banyak negara, dianggap sebagai organisasi terlarang. Saya sendiri tak begitu mengerti dengan konstitusi negara ini: ada sebuah organisasi anti-negara tetapi dipelihara dan dibiarkan tumbuh subur oleh negara sendiri. Apakah negara sedang bermain api?

Jika HTI ingin merebut dan menguasai negeri ini secara konstitusional, bertarunglah secara jantan dengan mendirikan sebuah partai politik dan mengikuti Pemilu. Kuasailah parlemen (DPR) dan ubahlah konstitusi dan UUD negeri ini agar sesuai dengan cita-cita HTI—minimal sebagai uji coba mendirikan Khilafah Islamiyah di negara Indonesia. Jangan-jangan, sebagai sekenario kedua, HTI sedang menyiapkan sebuah revolusi![]

Workshop Penulisan Bahan Ajar Berbasis Tradisi Pesantren di FKDT-TEGAL

KAMIS, 5/05/2016, pukul 13.00-17.00 WIB, di hotel Plaza, FKDT (Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah), gabungan antara pengurus FKDT Kota Tegal, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Brebes mengadakan “Workshop Penulisan Bahan Ajar Berbasis Kitab Kuning dan Tradisi Pesantren”. FKDT adalah sebuah lembaga persatuan para guru, kiyai, ustadz Madrasah Diniyah Takmiliyah yang tersebar di Indonesia.

Pembicara dalam acara ini adalah Mukti Ali, peneliti Yayasan Rumah KitaB. Sebelum acara dimulai, ketua FKDT Kabupaten Brebes sekaligus salah seorang pengurus FKDT Wilayah Provinsi Jawa Tengah, KH. Ahmad Sururi, SPd.I., memberikan sambutannya, yang mengatakan bahwa workshop ini penting diadakan dilatar belakangi oleh keprihatinan dari sebagian besar para guru Diniyah terkait dengan buku-buku bahan ajar Madrasah Diniyah yang acap kali tidak menggunakan rujukan kitab-kitab kuning yang ada di Pesantren. Padahal anak-anak murid Madrasah Diniyah itu pasca lulus diproyeksikan melanjutkan ke pendidikan Pesantren. Sehingga meniscayakan adanya kesinambungan antara Madrasah Diniyah (MADIN) dengan Pesantren. Agar terjadi kesesuaian dan kesinambungan antara MADIN dan Pesantren jalan satu-satunya adalah menyesuaikan dan penyelarasan bahan ajar yang dipelajari di MADIN dan di Pesantren.

Oleh karena itu, Rumah KitaB diundang untuk memaparkan tentang bagaimana cara menulis buku bahan ajar Madrasah Diniyah dengan menggunakan bahan referensi kitab kuning. Sebab Rumah KitaB konsisten mengkaji kitab kuning dan khazanah Islam klasik. Terlebih lagi, Rumah KitaB telah menerbitkan buku yang berjudul “Kumpulan Bahan Ajar: Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren”, yang baru-baru ini didiskusi dan dibedah oleh KH. Ahmad Musthofa Bisri (Gus Mus), KH. Husein Muhammad, dan Ustadz Ahmad Hilmi di Pesantren Jombang. Spirit buku ini sama dengan cita-cita para guru FKDT (Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah) yang menginginkan membangun pendidikan yang berbasis kitab kuning dan tradisi pesantren.

Selanjutnya Mukti Ali selaku pembicara tunggal menjelaskan tentang cara menulis ulang bahan ajar MADIN dengan berbasis kitab kuning dan tradisi pesantren. Menulis ulang ini penting sebab ada sebuah ironi dan ambivalen di hampir semua MADIN, pelajaran agama (diniyah) malahan dijadikan sebagai Mulok (muatan lokal). Materi pelajaran yang ada dalam buku-buku ajar bagi anak-anak didik disajikan dengan acuan referensi yang kabur dan liar. Sehingga ada banyak kasus disusupi oleh “penumpang gelap” dalam upaya mendakwahkan ideologinya melalui bahan ajar. Menyelamatkan bahan ajar sama dengan menyelamatkan anak-anak didik dari kampanye ideologi para penumpang gelap yang membenci negaranya. Dalam beberapa kasus, ditemukan bahan ajar yang isinya kampanye radikalisme dan anti NKRI. Ini sebuah keprihatinan.

Akan tetapi, untuk menulis ulang bahan ajar harus menggunakan metode alternatif agar sistematis. Mukti menawarkan metode LVE (Living Values Education) yang petama kali digagas oleh Tomas Licona, pakar pendidikan kenamaan USA. LVE merupakan teori pendidikan menghidupkan nilai-nilai. Dalam teori ini hendak menegaskan bahwa pendidikan tidak sekedar teori di menara gading, akan tetapi sekaligus juga dengan menghidupkan nilai-nilai luhur yang dihidupkan dalam praktik dan keteladanan. LVE meniscayakan mencari dan menyuguhkan nilai-nilai luhur yang dipraktikkan dan dijadikan acuan dan pandangan hidup. Pendidikan harus bisa membentuk karakter anak didik dengan nilai-nilai luhur.

Kenapa LVE? Karena para peneliti Rumah KitaB telah berhasil menulis buku “Kumpulan Bahan Ajar: Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren” dengan menggunakan metode LVE. Jelasnya, metode LVE dengan berbasis kitab kuning dan tradisi pesantren. Kitab Kuning (KK) adalah kanon yang menyimpan nilai-nilai luhur Islami hasil interpretasi cermat dan mendalam para ulama atas al-Qur`an dan hadits. Kitab Kuning (KK) diposisikan sebagai referensi utama dalam merumuskan bahan ajar, karena sudah siap saji, sebuah produk yang terpercaya, ditulis oleh ulama al-salaf al-shâlih dan terperinci. KK juga sebagai kitab yang diajarkan di pesantren, telah berhasil dihidupkan, living, oleh para kiyai dan santri dalam tradisi pesantren.

Sistematika alternatif menulis ulang buku ajar madrasah diniyah berbasis kitab kuning dan tradisi pesantren. Buku ajar MADIN kalau boleh dikategorisasikan menjadi dua tipologi, yaitu pertama, ilmu alat atau bahasa, seperti Nahwu, Sharf, Balaghah. Dan kedua, ilmu agama. Boleh dibilang seluruhnya bukanlah Mulok, akan tetapi bersifat internasional.

Sistematikanya, jika dalam penulisan ilmu alat dengan merujuk KK seperti al-Jurumîyyah, Alfîyyah Ibn Mâlik, dan sejenisnya. Dan sebisa mungkin memberikan contoh formasi kalimat yang berbasis nilai luhur, seperti formasi kalimat “Nashara Zayd ‘Amran” (Zaid menolong Umar), bukan formasi kalimat “Dharaba Zayd ‘Amran” (Zaid memukul Umar). Diulas secara gamblang dan mudah dipahami serta adaptif dengan kemampuan anak-anak didik. Bisa menggunakan ilustrasi gambar bagi anak-anak didik TK atau Diniyah kelasi 1, 2 dan 3.

Sedangkan sistematika penulisan buku ajar agama yang non-ilmu bahasa adalah harus dengan merujuk KK. Dibahasakan dengan lugas, terperinci dan dapat dipahami. Dalam mengutip KK harus bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang relatif benar dan dipahami. Berbasis values, nilai-nilai. Dan berbasis tradisi pesantren, seperti sejarah dan teladan para kyai yang dapat dipetik nilai-nilainya yang dapat dijadikan pelajaran dan sinergis dengan KK. Buku ajar bisa disusun oleh satu tim yang satu orientasi. Dan forum ini bisa memulainya.

Pada sesi diskusi, Ustadz Solihun, ketua FKDT Kabupaten Tegal, menjelaskan bahwa selama ini bahan ajar buku MADIN di Kota dan Kabupaten Tegal ditulis dengan menggunakan bahasa Arab Pegon. Akan tetapi masih belum maksimal menggunakan kitab kuning sebagai referensinya.

Kiyai Jazuli Purnomo, bendahara FKDT Brebes, juga menjelaskan sambil menyerahkan buku bahan ajar MADIN Brebes, bahwa selama ini bahan ajar MADIN Brebes masih belum merujuk ke kitab kuning. Sehingga formasinya hanya masih menggunakan rujukan al-Qur`an dan hadits tanpa ada penjelasan lebih lanjut melalui kitab kuning.

Mukti Ali kemudian merespon membenarkan keluhan dari Ustadz Solihun dan Kiyai Jazuli Purnomo dengan melihat buku bahan ajar yang diserahkan Kabupaten Tegal dan Brebes, memang masih minim merefer kitab kuning. Sehingga penjelasannya pun masih kurang terinci, dan sebagai bahan ajar yang bersifat dasar pun masih belum mencapai targetnya karena isinya masih terlalu umum. Jalan satu-satunya, ditulis ulang oleh satu tim yang bisa mengakses kitab kuning dengan baik dan memasukkan pengetahuan kitab kuning ke dalam bahan ajar, lanjut Mukti.[]

Demi Menjaga Kesucian

Judul
Demi Menjaga Kesucian

Penulis
Roland Gunawan

Editor
Lies Marcoes

Tahun
2016

Penerbit
Yayasan Rumah Kita Bersama

Jumlah halaman
115 halaman

Praktik kawin anak memang masih banyak dijumpai di masyarakat Sumenep. Remaja atau bahkan anak-anak sudah menikah, sementara usianya masih jauh di bawah batasan minimal perkawinan sebagaimana diatur dalam UU No. 1 tahun 1974.Di tataran permukaan, alasan yang mengemuka adalah karena anak sudah suka sama suka, orang tua tinggal merestui, aparat tak punya pilihan selain melaksanakan niat dan hasrat baik itu.

Dilihat dari situasi itu seolah-olah agency perkawinan anak ada pada anak itu sendiri. Penelitian ini menemukan sejumlah persoalan mengapa anak perempuan hanya melihat perkawinan sebagai pilihan.

Anak Perempuan dalam Ruang yang Terampas

Judul
Anak Perempuan dalam Ruang yang Terampas

Penulis
Nurhady Sirimorok

Penerbit
Yayasan Rumah Kita Bersama

Tahun
2016

Jumlah halaman
69 halaman

Kota Makassar menyaksikan penyempitan ruang material dan perluasan ruang virtual. Di Pasar Pannampu, Pasar Terong, dan Kampung Penggusuran, penduduk tinggal berjejalan di rumah-rumah kecil yang menyempitkan ruang bermain anak-anak, di dalam maupun luar rumah. Kondisi penghidupan di desa yang kian sulit, terutama karena sektor pertanian tanaman pangan yang semakin tidak menjanjikan, membuat penduduk desa terus berdatangan ke kota. Mereka berdesak-desakan di kawasan padat penduduk, termasuk kawasan pasar dan kampung-kampung yang senantiasa mengalami penggusuran.

Salah satu dampak dari situasi penyempitan ruang ini adalah timbulnya keinginan anak-anak untuk mencari ruang yang lebih lapang di luar lingkungan fisik mereka yang sumpek, baik di ruang nyata maupun dunia maya. Di titik inilah pertarungan ruang kekuasaan (power space) terjadi. Anak-anak itu berusaha menciptakan ruang kuasa sendiri (claimed space), untuk mengekspresikan diri menurut kecenderungan alamiah mereka sebagai anak-anak. Tetapi ini segera membentur dinding ruang kuasa lain yang lebih tertutup (closed space), ruang kuasa milik orang dewasa.

Pada anak perempuan, upaya mengklaim ruang yang lebih lapang ini berpengaruh kepada kehidupan mereka. Sebab, orang tua dan pranata masyarakat lainnya pada dasarnya tak memiliki permakluman kepada anak perempuan untuk mencari ruang yang lain kecuali melalui perkawinan. Ruang kuasa itu begitu tertutup bagi mereka. Dengan begitu, reaksi anak-anak perempuan yang ingin menciptakan ruang sendiri memancing reaksi orang dewasa untuk mendesak mereka segera terlibat dalam perkawinkan di usia belia.

Seminar dan Peluncuran Monografi-Film Dokumenter Kawin Anak “Fenomena Kerja Kuasa Tersamar dan Yatim Piatu Sosial”

KAMIS, 21 April 2016, Rumah KitaB menyelenggarakan Seminar dan Peluncuran Monografi-Fim Dokumenter Kawin Anak “Fenomena Kerja Kuasa Tersama dan Yatim Piatu Sosial” di Hotel Bidakara, Ruang Bima, Lt. 2. Acara ini juga untuk merenungkan kembali perjuangan R.A. Kartini; emansipasi pendidikan perempuan ternyata terhambat oleh praktik perkawinan anak perempuan di usia anak-anak.

Acara diisi dengan talkshow sumbangan penelitian dalam menutup kesenjangan informasi dan produksi pengetahuan untuk advokasi kawin anak oleh Dr. Mia Siscawati, Direkstur Pusat Kajian gender UI. Narasumber lain adalah Ibu Nihayah Wafiroh M.A., anggota Komisi IX DPR RI, Bapak Wahyu Widiana, Senior Advisor AIPJ, dan Ibu Nyai Dewi Kholifah, Pengasuh Pondok Pesantren Putri Aqidah Usymuni Sumenep, yang mempraktikan gagasan inovatif mempertahankan santri yang dikawinkan untuk tetap sekolah di pesantren sementara di sekolah umum masih jadi persoalan. Catatan penutup disampaikan oleh Prof. Dr. Machasin, MA., Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, yang mewakili Menteri Agama RI, Drs. H. Lukman Saifuddin yang berhalangan hadir. Acara ini dipandu oleh Ibu Debra yang bertindak sebagai MC.

Empat belas buku yang diluncurkan merupakan hasil penelitian selama satu tahun dalam upaya pemenuhan informasi tentang hambatan dalam pemenuhan hak-hak reproduksi perempuan. Di Indonesia 1 dari 5 perempuan telah hamil di usia 17 tahun yang berarti kawin di ambang usia 16 tahun. Dengan populasinya yang besar, Indonesia masuk dalam 10 besar praktik perkawinan anak di dunia. Empat belas buku tersebut beserta film dokumenter “Memecah Kawin Bocah” diluncurkan oleh Ibu Dra. Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, M. Hum., Ketua Yayasan Puan Amal Hayati.

Direktur Rumah KitaB, Ibu Lies Marcoes dalam sambutannya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh peserta yang berkenan menghadiri acara tersebut. Ia mengatakan bahwa penelitian yang dilakukan Rumah KitaB berusaha mengisi celah yang luput diperhatian dalam penelitian tentang kawin anak yaitu penggunaan argumentasi keagamaan untuk pembenaran perkawinan anak. Dalil agama bukan hanya dipakai kelembagaan agama tetapi juga kelembagaan negara seperti MK saat menolak Judicial Review pasal 7 UU Perkawinan tentang batas usia kawin.

Apresiasi datang dari Ibu Mia Siscawati yang berkenan menyampaikan pandangannya terkait penelitian yang dilakukan Rumah KitaB. Menurutnya, hasil penelitian ini sangat luar biasa, bukan capaian yang kecil, dan akan menjadi rujukan sangat penting bagi para peneliti di lembaga-lembaga lain. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menggabungkan antara pendekatan antropologis dan pendekatan feminis. Pendekatan antropologis memungkinan tim peneliti Rumah KitaB menggali persepsi, cara pandang, dan memahami secara mendalam makna perkawinan anak dari anak-anak perempuan yang menjadi korban, atau anak-anak perempuan yang memilih memasuki perkawinan anak atas kehendak mereka sendiri, atau sudut pandang para orangtua, para sesepuh kampung, para tokoh agama, dan seterusnya. Sementara pendekatan feminis memungkinkan tim peneliti untuk memberi perhatian terhadap situasi yang dihadapi anak-anak perempuan yang menjadi korban perkawinan anak atau pelaku perkawinan anak. Pendekatan feminis tidak hanya menjadikan anak perempuan sebagai narasumber utamanya, tetapi juga erat kainnya dengan pemberdayaan kaum perempuan dan kaum marjinal. Yang paling penting, pendekatan feminis menempatkan anak-anak perempuan korban perkawinan anak atau pelaku perkawinan anak sebagai subyek penelitian dan bukan obyek penelitian. Hal ini tentu saja membuat mereka tampil, membuat mereka ada. Bukan hanya ada di angka, tetapi menjadikan mereka benar-benar fisible.

Dengan menggabungkan antara pendekatan antropologis dan feminis, selain menjadikan menempatkan anak-anak perempuan korban perkawinan anak atau pelaku perkawinan sebagai subyek penelitian, tim peneliti Rumah KitaB menurutnya juga berhasil menggambarkan kompleksitas perkawinan anak. Artinya, perkawinan anak tidak hanya dilihat dari satu sebab, misalnya karena tradisi saja, atau karena ekonomi saja, tetapi dilihat dari banyak sebab, sehingga penyelesaiannya pun tidak bisa sederhana atau setengah-setengah. Itulah kekuatan dari penelitian ini.

Pada sesi diskusi, Ibu Nihayatul Wafirah, anggota Komisi IX DPR RI, menyatakan bahwa seluruh elemen di negeri ini punya PR yang sama terkait perkawinan anak. Ia menyebut kasus di Bondowoso, yang menurut data terakhir Februari 2016 angka perkawinan anak mencapai 44%. Ia bercerita tentang pengalamannya mengunjungi salah satu rumah sakit di Bondowoso. Di sana ia banyak menemukan bayi yang lahir tidak sempurna. Menurut para dokter yang bertugas, rata-rata penyebabnya adalah karena para ibu yang melahirkannya belum genap 20 tahun. Jadi, perkawinan anak bukan hanya merampas hak hidup anak-anak perempuan yang menjadi korban perkawinan anak, tetapi juga merampas hak hidup para bayi yang dilahirkan. Maka untuk mengurangi angka perkawinan anak, kajian ulang terhadap UU Perkawinan 1974 sangat perlu dilakukan. Dan hasil penelitian Rumah KitaB kiranya bisa menjadi rujukan penting dalam merumuskan UU baru tentang perkawinan.

Ibu Nyai Hj. Dewi Khalifah, Pengasuh Pondok Pesantren Aqidah Usymuni Sumenep, dalam paparannya menyatakan bahwa fenomena perkawinan anak di Sumenep sebenarnya lebih karena tekanan hidup, terutama tekanan ekonomi. Para orangtua yang anak-anaknya menempuh pendidikan di pesantren punya keinginan kuat agar mereka sekolah sampai lulus atau bahkan sampai kuliah. Namun karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, sebagian mereka memilih untuk menikahkan anaknya. Ketika orangtua ditanya, jawabannya pasti sama, “Saya sebenarnya ingin sekali anak saya itu sekolah sampai selesai, tetapi kendalanya hanya satu, karena tidak ada biaya.” Atas dasar inilah kemudian Nyai Eva berinisiatif memberikan beasiswa kepada para santri yang berasal dari keluarga kurang mampu secara ekonomi.

Pondok Pesantren Aqidah Usymuni, tuturnya, sudah beberapa kali menerima anak perempuan yang kabur dari rumah karena hendak dinikahkan atau bahkan sudah dinikahkan oleh orangtuanya. “Mereka tidak mau dinikahkan, kemudian mereka lari ke sini, dan kami mendengar pengaduan mereka. Ketika orangtuanya datang ke sini, kami beri pengertian agar anaknya disekolahkan di sini dulu sampai selesai SLTA. Kami tanggung semua biaya hidup selama di sini. Karena orangtuanya memang tidak mampu membiayai.”

Di samping itu, Pondok Pesantren Aqidah Usymuni juga memberikan beasiswa kepada istri yang mau melanjutkan studi di STITA (Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Aqidah Usymuni). Menurut Nyai Eva, hal ini ditujukan agar para istri juga ikut kuliah. Sebab di Sumenep, kalau ada satu beasiswa, pasti yang didahulukan untuk mendapatkannya adalah si suami karena dianggap sebagai penopang keluarga. Sementara di STITA, untuk menambah jumlah sarjana perempuan di Kabupaten Sumenep, beasiswa diberikan kepada para istri.

Bapak Wahyu Widiana, Senior Edvisor AIPJ, menyatakan keprihatinannya melihat tingginya angka praktik perkawinan anak di Indonesia. Menurutnya, di antara penyebab perkawinan anak, sebagaimana terlihat di dalam hasil penelitian Rumah KitaB, adalah menyempitnya ruang hidup, ekonomi, sosial, juga menyempitnya ruang imajinasi, kebebasan, dan pemahamaan keagamaan. Oleh karena itu, mengatasinya pun tidak bisa dari satu sisi saja, tetapi dari banyak sisi; ekonomi, pendidikan, perundang-undangan, dan seterusnya. Dari semua penyebab itu, yang paling menonjol adalah pemahaman tak utuh terhadap agama. Misalnya, seorang anak perempuan, yang penting sudah mengalami menstruasi pertama (usia 9 – 11 tahun), maka boleh untuk dinikahkan. Karenanya, ketika pemerintah mengeluarkan UU Perkawinan 1974 yang menetapkan batas usia pernikahan untuk perempuan 16 tahun, menuai protes besar-besaran. Sebagian besar masyarakat kala itu memandang bahwa UU Perkawinan 1974 bertentangan dengan ajaran agama. Pemerintah dengan dukungan para ulama berhasil menyakinan masyarakat bahwa UU Perkawinan 1974 tidak bertentangan dengan ajaran agama, karena kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk kepentingan masyarakat sendiri. Sekarang tuntutan untuk mengubah UU tersebut muncul kembali setelah melihat perkembangan zaman. Nah, pemerintah, sebagai pemegang otoritas tertinggi di negera ini, harus didorong untuk melakukan terobosan baru dengan melibatkan para ulama dan seluruh elemen di masyarakat sebagaimana di tahun 1974 itu.

Prof. Dr. Machasin, MA., yang mewakili Menteri Agama RI, mengucapkan selamat atas peluncuran empat buku hasil penelitian dan satu film dokumenter tentang perkawinan anak. Menurutnya, empat belas buku beserta satu film dokumenter hasil penelitian Rumah KitaB merupakan capaian luar biasa yang menghubungkan antara kajian pandangan keagamaan dan kajian sosial yang relevan dan penting serta dibutuhkan masyarakat Indonesia dewasa ini. Buku “Panduan tentang Penggunaan Argumentasi Keagamaan untuk Menolak Perkawinan Usia Anak-anak”, misalnya, merupakan sumbangan pemikiran yang penting dan relevan di tengah maraknya praktik perkawinan anak, sebagaimana dibuktikan dalam studi-studi Rumah KitaB ini. Panduan seperti itu sangat bermanfaat untuk membantu advokasi penghentikan praktik perkawinan anak ketika alasan yang kerap digunakan untuk membenarkan praktik itu adalah argumentasi keagamaan. Demikian juga buku “Fikih Kawin Anak: Membaca Ulang Teks Keagamaan Perkawinan Usia Anak-anak” yang diterbitkan Rumah KitaB, perlu menjadi referensi bagi para penghulu di seluruh Indonesia agar wawasan mereka bertambah.[]