Pos

https://pixabay.com/photos/hands-pregnant-woman-heart-love-2568594/

Cerita Kehamilan Kedua di Masa Covid-19

Oleh: Nurasiah Jamil

Saat saya menulis ini, Alhamdulilah saya sudah sehat kembali dari keterpaparan Covid-19. Saat ini saya sedang menanti kelahiran anak saya yang kedua. Sekitar 5-6 bulan lalu saya terpapa virus itu. Meskipun telah sembuh, hati saya tidak sedang sehat. Saya sedih dan cemas; sebentar lagi saya akan melahirkan, angka orang yang terpapar virus corona semakin naik dan variannya makin ganas. Di antara mereka ada yang seperti saya terpapar Covid ketika dalam keadaan hamil.

Melalui tulisan ini saya ingin menceritakan perjuangan melawan Covid-19 di saat kehamilan kedua saya, serta perjuangan dua  orang sahabat saya yang sama-sama terkena Covid – 19 di saat sedang hamil. Salah satu dari kami sampai hari ini masih berjuang untuk kesembuhannya.

Pekerjaan dan Resiko Keterpaparan Covid_19

Saya bekerja di NGO yang memiliki kebijakan sangat berpihak kepada perempuan. Di kantor saya penerapkan work from home sudah diterapkan sejak pemerintah ditemukannya pasien yang terpapar virus Covid 19  dan mengumukan tentang protokol pencegahan virus sejak Maret 2019 lalu. Namun karena LSM tempat saya bekerja berhubungan yang masyarakat dampingan, sesekali ada kegiatan pendampingan yang mengharuskan para POnya  seperti saya turun ke lapangan  meskipun  cukup jarang. Jika ternyata  harus turun langsung ke lapangan dari kantor sudah ada peraturan yang jelas untuk memprioritaskan  keamanan dengan seketat mungkin menjalankan protokol kesehatan.

Atas dasar alasan itu lima bulan lalu saya turun ke lapangan. Saya tinggal di wilayah Kabupaten Bogor sementara lapangan dampingan saya di Kabupaten Cianjur.  Untuk menghindari bertemu dengan orang banyak dalam perjalanan ke lapangan saya berangkat naik motor diantar suami dengan membawa Sausan anak sulung kami. Cuaca  cukup extrem di mana hujan dan panas  bergantian setiap hari.

Sekarang saya ingin bercerita tentang Rina sahabat saya yang pertama. Ia bekerja sebagai tenaga kesehatan di sebuah pusat kesehatan masyarakat di Jakarta. Tentu dia tidak bisa bekerja WFH, sebaliknya justru ia dan temannya menjadi orang di garda terdepan di saat pandemi ini. Suaminya pun bekerja dari kantor di Jakarta juga.

Sahabat saya yang kedua Indri. Ia bekerja di Dinas Kesehatan di wilayah Bogor. Sesekali WFH dan WFO, suaminya juga tenaga kesehatan di wilayah yang sama.

Inilah ragam pekerjaan saya bersama dua sahabat saya.

Kami bertiga, oleh alasan dan  sebab yang berbeda-beda punya pengalaman terpapar Covid-19 sementara kami ber tiga sedang hamil bahkan salah satu dari kami sudah hamil  tujuh menjelang delapan bulan.

Perjalanan terpapar Covid

Di antara teman-temn di kantor dan di rumah, saya adalah orang pertama yang terkena Covid-19.  Saat itu di akhir Februari 2021  saya sedang   antara bulan ke dua menuju tiga bulan. Tentu saja saya dan teman-teman se kantor sangat terkejut dan cemas meskpun tidak pernah kontak dengan mereka. Seperti saya, mereka cemas dengan resiko akibat dari keterpaparan itu.

Saya, terus terang,  tidak tahu darimana virus itu saya dapatkan. Namun yang pasti saya kehujanan dan mungkin imun saya drop sehingga virus dengan mudah masuk ketika sedang menyelenggarakan training di wilayah Cianjur tentang penguatan kelembagaan untuk pencegahan perkawinan anak.  Saat itu saya merasa  tidak enak badan, padahak training baru  memasuki hari kedua .  Merasa bahwa sudah cukup ketat menjalankan protokol pencegahan saya sama sekali tak curiga. Namun karena “tak enak badan “ itu terus muncul dan penciuman hilang tiga hari berikutnya saya melakukan tes usap. Benar saja saya dan anak saya positif, sedangkan suami tidak terkena.

Lain lagi dengan sahabat saya Rina, ia melakukan test usap rutin karena kebutuhan untuk cek di pusat layanan kesehatan masyarakat, namun ia merasa “kecolongan” ketika menengok ibunya dan ternyata positif hingga akhirnya dia juga tertular. Beruntung anak dan suaminya aman tidak terpapar. Ia terkena virus sekitar bulan Maret 2021 pada saat kehamilan 3 bulan.

Kami berdua terkena virus itu ketika varian delta belum menyebar luas, namun sampai sekarang ketika sudah sembuh saya tidak pernah tahu saya terpapar virus yang mana. Gejalanya tak beda dari flu pilek biasa, tanpa demam yang berarti hanya penciuman dan pengecap rasa memang hilang.

Sahabat saya yang kedua Indri terpapar virus corona tak lama setelah ayah mertuanya meninggal. Ia terpapar bersama suaminya yang sama-sama tak menyadari bahwa salah satu dari mereka telah terpapar. Namun sangat beruntung  anaknya negatif. Berbeda dari kami berdua, Ia terkena virus ketika varian delta sudah menyebar dan saat itu usia kehamilan 7-8 bulan pada bulan Juli 2021. Mertuanya meninggal dan positif covid, sahabat saya dinyatakan positif setelah beberapa hari mertuanya meninggal.

Di antara kami bertiga, tidak ada yang tahu persis perjalanan virusnya didapat darimana, tapi kami sudah mendapatkannya.

Perjuangan Mengatasi  Virus  Covid-19

Seperti telah dijelaskan di atas saya  terkena virus ketika sedang menyelenggarakan training di Cianjur. Lembaga tempat saya bekerja telah bekerja sama dengan Pemda Kabupaten dan Kota Cinajur sejak beberapa tahun sbeleumnya. Hubungan kerja kami sangat baik. Sehingga  ketika menetahui saya positif hal pertama yang saya lakukan adalah melapor ke satgas pencegahan Covid_19 Kabupaten yang dihubungkan ke Satgas Covid  tingkat Desa.

Untuk sekedar diketahui  orang tua saya orang Cianjur dan saya  masih memegang KTP Cianjur. Setelah mendengarkan penjelasan saya tentang gejala berupa batuk, demam, flu, sakit tulang dan anosmia (hilang penciuman dan pengecapan), saya langsung disarankan isolasi mandiri ke pusat isolasi yang disediakan Pemda Cianjur. Apalagi saya sedang hamil muda dan dinilai memerlukan pemantauan tenaga kesehatan. Tanpa basa-basi saya menerima tawaran tersebut sekaligus untuk menghindari penularan di keluarga. Selama isolasi delapan hari gejala yang sejak awal hadir itu hanya berkurang sedikit saya. Ini bisa dimaklumi karena kehamilan saya, saya tidak mengonsumsi obat-obatan selain vitamin, jadi proses penyembuhan berlangsung lama mengandalkankekuatan dan daya tahan  tubuh sendiri.

Sebelumnya anak saya diikutkan isoman. Namun karena saya tidak bisa istirahat akhirnya diputuskan kami menjalani perawatan secara terpisah. Sausan (nama anak saya) dikirim ke rumah orang tua untuk didampingi ayah dan neneknya sambil menerapkan protokol pencegahan agar virus dari anak saya tidak menyebari di rumah orang tua saya. Terpisah jauh dari keluarga selama 14 hari itu sungguh berat.  Suami saya hampir tiap hari menengok, kami hanya bisa saling sapa dan ngobrol lewat jendela dari lantai duasementara suami saya ada di pelataran di lantai satu. Demikianlah kami seperti pasangan yang sedangan menjalani pingitan sebelum menikah

Situasi saya bereda dengan sahabat saya Rini. Ia sampai harus dirawat di Rumah Sakit. Itu karena  ditemukan gangguan pembekuan darah dan setiap hari sampai 10 hari di RS ia harus disuntik obat agar tidak terjadi pembekuan darah. Karena ada ada penyerta lain tentu ia juga harus memakan obat tambahan lain. Untuk menguatkannya saya sedapat mungkin menayakan keadaannya melalui WA bahkan sesekali telpon untuk mendengar perkembangannya secara langsung.

Situasi kami berdua juga berbeda dengan pengalaman Indri. Ternyata saturasinya sempat drop padahal dalam keadaan hamil besar. Dokter kemudian mengambil tindakan sectio cesaria agar anaknya bisa tertolong. Ia terpaksa harus masuk ruang intensive care unit karena kondisinya semakin lemah. Alhamdulilah anak yang lahir selamat meskipun kondisi Indri sempat menurun sehingga dilakukan upaya donor plasma konvalesen dan juga pemberian obat gammarras guna  meningkatkan imun dalam tubuh bagi yang terpapar Covid-19.  Ketika saya menulis cerita ini, alat ventilator Indri sudah dilepas yang menunjukkan ada tanda-tanda yang menggembirakan untuk proses kesembuhannya.

Kehamilan pada saat PandemiSungguh tidak mudah bagi kami bertiga dan sebagian besar perempuan  lain menjalani kehamilan di masa pandemi ini. Apalagi sampai terpapar virus corona. Kondisi kehamilan sebetulnya menciptakan daya tahan alamiah. Namun adanya virus Covid-19 bagi kebanyakan perempuan hamil dapat menyebabkan turunnya imunitas. Menurut berita melalui media CNN Indonesia disampaikan oleh Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) mencatat sebanyak 536 ibu hamil dinyatakan positif Covid-19 selama setahun terakhir. Dari jumlah tersebut, tiga persen di antaranya dinyatakan meninggal dunia dan 4.5 persen masuk ICU. Persentase tersebut diperkuat oleh studi lainnya yang menggambarkan bahwa seseorang yang sedang hamil memiliki risiko lebih besar dan berat ketika terkena covid.

Meski gejala awal yang terjadi relatif sama, namun dari pengalaman kami bertiga efek covid-19 ini berbeda kepada setiap orang. Melalui tulisan ini ingin mengajak semua orang untuk tetap menerapkan protokol kesehatan agar terhindar dari virus corona ini dan meminta doa dari pembaca untuk kelancaran persalinan saya dan sahabat serta seluruh perempuan yang sedang hamil di masa pandemi dan juga untuk kesembuhan sahabat saya yang saat ini masih di ICU semoga Allah angkat penyakitnya dan diberikan umur yang panjang untuk menjaga anaknya yang telah dilahirkan.

 

Wabah Corona Geser Tradisi Pesakh dan Ramadan

Ketika umat Yahudi bersiap merayakan Pesakh berjarak, kaum muslim menantikan bulan Ramadan yang lain dari biasanya. Dewan fatwa Al-Azhar di Mesir mengaku menunggu arahan WHO sebelum menerbitkan fatwa soal ibadah Ramadan.

Suasana pasca ibadah salat Jumat di Masjid Istiqlal di tengah bulan Ramadan, 2019.

Suasana pasca ibadah salat Jumat di Masjid Istiqlal di tengah bulan Ramadan, 2019.

 

Pandemi corona menempatkan umat beragama di dunia dalam situasi limbung. Tiga perayaan penting Islam, Kristen dan Yahudi di awal tahun ini diyakini akan berlangsung senyap, tanpa interaksi sosial.

Ketika umat Kristen dan Yahudi bersiap merayakan Paskah secara berjarak, umat Islam menantikan datangnya bulan Ramadan dengan sikap was-was. Pasalnya wabah COVID-19 bisa berarti tertundanya ibadah puasa.

“Kami menunggu apa yang diputuskan Kementerian Kesehatan dan para dokter. Artinya kami juga menunggu keputusan WHO,“ kata Sekretaris Jendral Majelis Fatwa al-Azhar (Dar- al-Ifta), Syeikh Khaled Omran dalam sebuah laporan eksklusif stasiun berita Jerman, ARD.

Dar al-Ifta sudah menyiapkan ragam fatwa untuk menyesuaikan praktik ibadah di bulan Ramadan dengan arahan badan kesehatan dunia tersebut. Jika WHO menganjurkan orang tidak berpuasa lantaran bisa memperlemah sistem kekebalan tubuh, “maka umat harus membayar puasa yang tertinggal setelah krisis berlalu,” imbuh Syeikh Omran.

Meski berdampak baik untuk daya tahan tubuh dalam jangka panjang, puasa dikhawatirkan akan memperbesar peluang penularan dalam situasi wabah.

Di Indonesia, Abdul Moqsith Ghazali, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, menilai puasa tetap wajib, “kecuali uzur,” kata dia kepada DW. Pengecualian diberikan bagi pasien COVID-19, di luar pengecualian berpuasa pada umumnya.

Sejauh ini lembaga fatwa Nahdlatul Ulama itu belum memberikan arahan baru terkait kewajiban berpuasa. Lain halnya soal tradisi mudik yang kini dianjurkan untuk dibatalkan untuk meredam penyebaran wabah.

Arus mudik jelang lebaran tahun ini berpotensi menjadi pemandangan langka, menyusul himbauan agar tidak pulang ke kampung oleh pemerintah daerah.

Arus mudik jelang lebaran tahun ini berpotensi menjadi pemandangan langka, menyusul himbauan agar tidak pulang ke kampung oleh pemerintah daerah.

 

Sementara itu Kementerian Awqaf di Mesir yang bertanggungjawab atas semua institut keagamaan telah melarang praktik berbuka puasa bersama dan pembagian sedekah di area masjid.

“Kami mengimbau semua pihak yang biasa mengadakan acara berbuka puasa bersama agar memberikan makanan dan uang langsung kepada kaum miskin tahun ini,“ tulis kementerian dalam sebuah pernyataan.

Al-Azhar sendiri telah menerbitkan sederet panduan kebersihan untuk umat muslim selama bulan Ramadan, “kami meyakini tidak ada pemisahan antara agama dan ilmu pengetahuan. Penemuan sains kami anggap sebagai pesan Allah kepada umat manusia,” kata Omran.

“Kami melihat krisis ini sebagai ujian Ilahi. Kami yakin, Allah ingin mendorong seluruh umat manusia agar bekerjasama dan saling membantu,” pungkasnya.

Debat soal Pesakh Berjarak

Kelonggaran serupa diberikan oleh petinggi Yahudi di Israel untuk perayaan Pesakh yang jatuh antara 8 hingga 16 April mendatang. Wabah corona memaksa para Rabi mengabaikan aturan ketat pelaksanaan ritual dalam agama Yahudi dan mendorong agar umat merayakan Pesakh secara berjarak, lewat internet.

Israel saat ini mencatat sekitar 6.500 kasus COVID-19 dan melarang penduduk keluar dari rumah kecuali untuk keperluan mendesak.

Perayaan Serder, atau ritual makan malam Pesakh di Israel.

Perayaan Serder, atau ritual makan malam Pesakh di Israel.

Seorang pengusaha lokal bahkan menyumbangkan 10.000 komputer kepada kaum manula agar mereka bisa merayakan Seder bersama keluarga lewat sambungan video. Seder adalah ritual makan malam bersama pada hari-hari Pesakh.

Namun tidak semua bahagia atas kelonggaran baru di tengah wabah corona. Pemimpin dua komunitas Yahudi Ortodoks terbesar, Ashkenazin dan Sephardim, menolak perayaan Pesakh lewat sambungan video.

“Rasa kesepian itu menyakitkan dan kita harus bereaksi terhadapnya, mungkin dengan melakukan percakapan video pada malam sebelumnya, tapi bukan pada hari rayanya sendiri,“ tulis pemimpin kedua komunitas, David Lau dan Yitzhak Yosef dalam sebuah keterangan pers yang dilansir AFP.

Seorang pakar gerakan ortodoks Yahudi di Bar Ilan University, Kimmy Caplan, mengatakan sikap keras para rabi yang enggan menerima perubahan terkait wabah Corona tidak mengejutkan.

“Secara umum, sikap kaum Ortodoks dalam banyak isu adalah bahwa kita tidak beradaptasi pada perubahan sosial, jika bertentangan dengan perintah agama,“ kata dia. Para rabi, lanjutnya, “tidak mengubah hukum lantaran situasi sosial.“

Contoh terbaik adalah penggunaan kendaraan bermotor dalam perayaan Sabat yang diizinkan oleh banyak rabi Yahudi, kecuali mereka yang beraliran ortodoks, kata Caplan lagi.

rzn/vlz (ARD, AFP, RTR, AP)

 

Sumber: https://www.dw.com/id/wabah-corona-geser-tradisi-pesakhdan-ramadan/a-53027003?fbclid=IwAR24EJstEgiuepoXSJWb9Bb9MxZ7nAxRO6W-bWKqHO_Rywy2mAaOUaThOXA