Cerita Kehamilan Kedua di Masa Covid-19
Oleh: Nurasiah Jamil
Saat saya menulis ini, Alhamdulilah saya sudah sehat kembali dari keterpaparan Covid-19. Saat ini saya sedang menanti kelahiran anak saya yang kedua. Sekitar 5-6 bulan lalu saya terpapa virus itu. Meskipun telah sembuh, hati saya tidak sedang sehat. Saya sedih dan cemas; sebentar lagi saya akan melahirkan, angka orang yang terpapar virus corona semakin naik dan variannya makin ganas. Di antara mereka ada yang seperti saya terpapar Covid ketika dalam keadaan hamil.
Melalui tulisan ini saya ingin menceritakan perjuangan melawan Covid-19 di saat kehamilan kedua saya, serta perjuangan dua orang sahabat saya yang sama-sama terkena Covid – 19 di saat sedang hamil. Salah satu dari kami sampai hari ini masih berjuang untuk kesembuhannya.
Pekerjaan dan Resiko Keterpaparan Covid_19
Saya bekerja di NGO yang memiliki kebijakan sangat berpihak kepada perempuan. Di kantor saya penerapkan work from home sudah diterapkan sejak pemerintah ditemukannya pasien yang terpapar virus Covid 19 dan mengumukan tentang protokol pencegahan virus sejak Maret 2019 lalu. Namun karena LSM tempat saya bekerja berhubungan yang masyarakat dampingan, sesekali ada kegiatan pendampingan yang mengharuskan para POnya seperti saya turun ke lapangan meskipun cukup jarang. Jika ternyata harus turun langsung ke lapangan dari kantor sudah ada peraturan yang jelas untuk memprioritaskan keamanan dengan seketat mungkin menjalankan protokol kesehatan.
Atas dasar alasan itu lima bulan lalu saya turun ke lapangan. Saya tinggal di wilayah Kabupaten Bogor sementara lapangan dampingan saya di Kabupaten Cianjur. Untuk menghindari bertemu dengan orang banyak dalam perjalanan ke lapangan saya berangkat naik motor diantar suami dengan membawa Sausan anak sulung kami. Cuaca cukup extrem di mana hujan dan panas bergantian setiap hari.
Sekarang saya ingin bercerita tentang Rina sahabat saya yang pertama. Ia bekerja sebagai tenaga kesehatan di sebuah pusat kesehatan masyarakat di Jakarta. Tentu dia tidak bisa bekerja WFH, sebaliknya justru ia dan temannya menjadi orang di garda terdepan di saat pandemi ini. Suaminya pun bekerja dari kantor di Jakarta juga.
Sahabat saya yang kedua Indri. Ia bekerja di Dinas Kesehatan di wilayah Bogor. Sesekali WFH dan WFO, suaminya juga tenaga kesehatan di wilayah yang sama.
Inilah ragam pekerjaan saya bersama dua sahabat saya.
Kami bertiga, oleh alasan dan sebab yang berbeda-beda punya pengalaman terpapar Covid-19 sementara kami ber tiga sedang hamil bahkan salah satu dari kami sudah hamil tujuh menjelang delapan bulan.
Perjalanan terpapar Covid
Di antara teman-temn di kantor dan di rumah, saya adalah orang pertama yang terkena Covid-19. Saat itu di akhir Februari 2021 saya sedang antara bulan ke dua menuju tiga bulan. Tentu saja saya dan teman-teman se kantor sangat terkejut dan cemas meskpun tidak pernah kontak dengan mereka. Seperti saya, mereka cemas dengan resiko akibat dari keterpaparan itu.
Saya, terus terang, tidak tahu darimana virus itu saya dapatkan. Namun yang pasti saya kehujanan dan mungkin imun saya drop sehingga virus dengan mudah masuk ketika sedang menyelenggarakan training di wilayah Cianjur tentang penguatan kelembagaan untuk pencegahan perkawinan anak. Saat itu saya merasa tidak enak badan, padahak training baru memasuki hari kedua . Merasa bahwa sudah cukup ketat menjalankan protokol pencegahan saya sama sekali tak curiga. Namun karena “tak enak badan “ itu terus muncul dan penciuman hilang tiga hari berikutnya saya melakukan tes usap. Benar saja saya dan anak saya positif, sedangkan suami tidak terkena.
Lain lagi dengan sahabat saya Rina, ia melakukan test usap rutin karena kebutuhan untuk cek di pusat layanan kesehatan masyarakat, namun ia merasa “kecolongan” ketika menengok ibunya dan ternyata positif hingga akhirnya dia juga tertular. Beruntung anak dan suaminya aman tidak terpapar. Ia terkena virus sekitar bulan Maret 2021 pada saat kehamilan 3 bulan.
Kami berdua terkena virus itu ketika varian delta belum menyebar luas, namun sampai sekarang ketika sudah sembuh saya tidak pernah tahu saya terpapar virus yang mana. Gejalanya tak beda dari flu pilek biasa, tanpa demam yang berarti hanya penciuman dan pengecap rasa memang hilang.
Sahabat saya yang kedua Indri terpapar virus corona tak lama setelah ayah mertuanya meninggal. Ia terpapar bersama suaminya yang sama-sama tak menyadari bahwa salah satu dari mereka telah terpapar. Namun sangat beruntung anaknya negatif. Berbeda dari kami berdua, Ia terkena virus ketika varian delta sudah menyebar dan saat itu usia kehamilan 7-8 bulan pada bulan Juli 2021. Mertuanya meninggal dan positif covid, sahabat saya dinyatakan positif setelah beberapa hari mertuanya meninggal.
Di antara kami bertiga, tidak ada yang tahu persis perjalanan virusnya didapat darimana, tapi kami sudah mendapatkannya.
Perjuangan Mengatasi Virus Covid-19
Seperti telah dijelaskan di atas saya terkena virus ketika sedang menyelenggarakan training di Cianjur. Lembaga tempat saya bekerja telah bekerja sama dengan Pemda Kabupaten dan Kota Cinajur sejak beberapa tahun sbeleumnya. Hubungan kerja kami sangat baik. Sehingga ketika menetahui saya positif hal pertama yang saya lakukan adalah melapor ke satgas pencegahan Covid_19 Kabupaten yang dihubungkan ke Satgas Covid tingkat Desa.
Untuk sekedar diketahui orang tua saya orang Cianjur dan saya masih memegang KTP Cianjur. Setelah mendengarkan penjelasan saya tentang gejala berupa batuk, demam, flu, sakit tulang dan anosmia (hilang penciuman dan pengecapan), saya langsung disarankan isolasi mandiri ke pusat isolasi yang disediakan Pemda Cianjur. Apalagi saya sedang hamil muda dan dinilai memerlukan pemantauan tenaga kesehatan. Tanpa basa-basi saya menerima tawaran tersebut sekaligus untuk menghindari penularan di keluarga. Selama isolasi delapan hari gejala yang sejak awal hadir itu hanya berkurang sedikit saya. Ini bisa dimaklumi karena kehamilan saya, saya tidak mengonsumsi obat-obatan selain vitamin, jadi proses penyembuhan berlangsung lama mengandalkankekuatan dan daya tahan tubuh sendiri.
Sebelumnya anak saya diikutkan isoman. Namun karena saya tidak bisa istirahat akhirnya diputuskan kami menjalani perawatan secara terpisah. Sausan (nama anak saya) dikirim ke rumah orang tua untuk didampingi ayah dan neneknya sambil menerapkan protokol pencegahan agar virus dari anak saya tidak menyebari di rumah orang tua saya. Terpisah jauh dari keluarga selama 14 hari itu sungguh berat. Suami saya hampir tiap hari menengok, kami hanya bisa saling sapa dan ngobrol lewat jendela dari lantai duasementara suami saya ada di pelataran di lantai satu. Demikianlah kami seperti pasangan yang sedangan menjalani pingitan sebelum menikah
Situasi saya bereda dengan sahabat saya Rini. Ia sampai harus dirawat di Rumah Sakit. Itu karena ditemukan gangguan pembekuan darah dan setiap hari sampai 10 hari di RS ia harus disuntik obat agar tidak terjadi pembekuan darah. Karena ada ada penyerta lain tentu ia juga harus memakan obat tambahan lain. Untuk menguatkannya saya sedapat mungkin menayakan keadaannya melalui WA bahkan sesekali telpon untuk mendengar perkembangannya secara langsung.
Situasi kami berdua juga berbeda dengan pengalaman Indri. Ternyata saturasinya sempat drop padahal dalam keadaan hamil besar. Dokter kemudian mengambil tindakan sectio cesaria agar anaknya bisa tertolong. Ia terpaksa harus masuk ruang intensive care unit karena kondisinya semakin lemah. Alhamdulilah anak yang lahir selamat meskipun kondisi Indri sempat menurun sehingga dilakukan upaya donor plasma konvalesen dan juga pemberian obat gammarras guna meningkatkan imun dalam tubuh bagi yang terpapar Covid-19. Ketika saya menulis cerita ini, alat ventilator Indri sudah dilepas yang menunjukkan ada tanda-tanda yang menggembirakan untuk proses kesembuhannya.
Kehamilan pada saat PandemiSungguh tidak mudah bagi kami bertiga dan sebagian besar perempuan lain menjalani kehamilan di masa pandemi ini. Apalagi sampai terpapar virus corona. Kondisi kehamilan sebetulnya menciptakan daya tahan alamiah. Namun adanya virus Covid-19 bagi kebanyakan perempuan hamil dapat menyebabkan turunnya imunitas. Menurut berita melalui media CNN Indonesia disampaikan oleh Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) mencatat sebanyak 536 ibu hamil dinyatakan positif Covid-19 selama setahun terakhir. Dari jumlah tersebut, tiga persen di antaranya dinyatakan meninggal dunia dan 4.5 persen masuk ICU. Persentase tersebut diperkuat oleh studi lainnya yang menggambarkan bahwa seseorang yang sedang hamil memiliki risiko lebih besar dan berat ketika terkena covid.
Meski gejala awal yang terjadi relatif sama, namun dari pengalaman kami bertiga efek covid-19 ini berbeda kepada setiap orang. Melalui tulisan ini ingin mengajak semua orang untuk tetap menerapkan protokol kesehatan agar terhindar dari virus corona ini dan meminta doa dari pembaca untuk kelancaran persalinan saya dan sahabat serta seluruh perempuan yang sedang hamil di masa pandemi dan juga untuk kesembuhan sahabat saya yang saat ini masih di ICU semoga Allah angkat penyakitnya dan diberikan umur yang panjang untuk menjaga anaknya yang telah dilahirkan.