Pos

Suara yang Tertimbun di Balik Industri Ekstraktif di Sulawesi

Di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, tiap pagi, debu dan asap akan menutupi halaman rumah warga desa sekitar. Kehidupan masyarakat berubah drastis sejak industri tambang nikel mulai dijalankan. Sungai yang awalnya sangat jernih kini berubah warna, dan perempuan yang selama ini menjadi penjaga kehidupan rumah dan ladang mereka, harus berjuang lebih keras untuk tetap memastikan bahwa keluarga mereka punya persediaan air bersih yang cukup. Di Sulawesi, khususnya bagian Morowali dan Konawe, industri pertambangan ini bukan hanya mengubah alam, tapi juga cara masyarakat sekitar untuk hidup.

Tercatat bahwa perempuan adalah kelompok yang paling terdampak karena mereka kehilangan ruang untuk hidup, sumber air bersih, dan waktu untuk dirinya sendiri (AEER 2024). Mereka dulunya bergantung pada alam dan sekarang harus bergantung pada air galon dan bahan pangan pabrik. Ironisnya, di balik kata “kemajuan” yang sering digemparkan orang-orang, banyak perempuan yang justru hidup dalam ketidakstabilan dan kerapuhan.

Fakta bahwa tambang membawa pertumbuhan ekonomi tidak dapat dipatahkan. Dalam data World Bank, sektor ini menaikkan PDB lokal hingga 8% di beberapa wilayah Sulawesi. Namun, pertumbuhan ekonomi ini tidak berjalan seimbang. Keuntungan lebih banyak mengalir ke perusahaan besar dan investor asing, sementara masyarakat lokal, khususnya perempuan menghadapi dampak sosial dan ekologis yang berat (Bank 2022).

Banyak dari mereka yang harus melepaskan tempat tinggal dan mata pencaharian yang sudah ada sejak lama. Pencemaran air dan tanah membuat aktivitas harian yang dulunya mudah menjadi semakin sulit dan mahal, dari mencuci hingga menanam sayuran di halaman rumah.

Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks ini jarang sekali terlihat dengan mata kepala. Hal ini hadir secara struktural dan sistematik. Mereka sangat jarang dilibat aktifkan saat terjadi pengambilan keputusan terkait perizinan atau pengelolaan tambang. Ketika perusahaan beroperasi, dampaknya langsung mengenai kehidupan sehari-hari mereka.

Perempuan yang berada di area pertambangan di Sulawesi mengalami double burden karena kehilangan mata pencaharian mereka dan meningkatnya tekanan sosial (Dutt et al. 2007). Pekerjaan domestik mereka tidak dianggap sebagai bagian dari “dampak ekonomi” sektor industri.

Banyak perempuan di Morowali yang baru menyadari pengaruh dari aktivitas pertambangan setelah lahan mereka tidak bisa ditanami dan sumur menjadi kering. Padahal, data dari World Bank dengan jelas mengatakan bahwa hanya sekitar 7,1% tenaga kerja di sektor ini adalah perempuan dan sebagian besar berada di posisi informal atau non-teknis dengan upah yang terbilang rendah. Suara mereka hampir tidak terdengar dalam pengambilan tiap kebijakan, baik itu dari tingkat desa maupun perusahaan. Situasi ini menggambarkan bagaimana industri besar bisa mempersempit ruang hidup perempuan.

Selain itu, fakta bahwa kurangnya transparansi atau keterbukaan dari perusahaan pertambangan juga memperparah keadaan ini. Data Informasi tentang limbah, izin operasi, atau efek jangka panjang terhadap kesehatan sulit diakses, sehingga perempuan kehilangan dasar untuk memperjuangkan hak-haknya (Atikah 2024). Ketertutupan ini menjadi salah satu bentuk kekerasan yang tidak terlihat dan sering kali tidak disadari oleh masyarakat umum.

Meski begitu, di beberapa desa terdampak ada perempuan yang mulai berani untuk bersuara dan melawan dengan cara mereka sendiri. Mereka membentuk sebuah komunitas dan mendokumentasikan dampak lingkungan, menulis laporan komunitas, dan menuntut hak atas air bersih. Ada juga mengembangkan pertanian pertanian organik dan usaha pangan lokal. Dari langkah-langkah kecil itu, muncul harapan baru bahwa perubahan bisa dimulai dari tangan mereka.

Kisah perempuan-perempuan ini mengingatkan bahwa kekerasan tidak selamanya berbentuk fisik. Kadang, kekerasan itu hadir karena ada kebijakan yang menyingkirkan suara dari berbagai pihak, atau lewat pembangunan yang tidak berpihak. Ketika air, tanah, dan suara mereka diabaikan, maka lahirlah kekerasan ekologis, luka yang tidak tampak dan akan terus diingat. Perjuangan mereka penting karena menunjukkan bahwa perempuan bukan hanya korban, tetapi juga agen perubahan.

Membangun sektor industri tanpa melibatkan perempuan sama dengan membangun di atas luka. Dalam membangun, seharusnya kita tidak hanya fokus pada keuntungan saja,  tapi juga tentang kehidupan masyarakat daerah sekitarnya. Perempuan bukan hanya sekadar pihak yang terdampak, tapi bagian penting dari sebuah solusi. Memberi mereka ruang berarti memastikan bumi tetap bisa menjadi rumah. Mengangkat isu ini bukan sekadar soal empati semata. Ini tentang keadilan sosial dan ekologis. Perempuan bukan hanya pihak yang terdampak, tetapi juga penjaga terakhir ruang hidup yang sehat dan berkelanjutan.

Memberi mereka hak suara dalam narasi pembangunan berarti membersamai dan memastikan bahwa industri tidak hanya menggerakkan ekonomi, tapi juga menjaga martabat dan hak-hak warga yang terdampak.

 

Referensi:

AEER. 2024. “The Impact of Nickel on the Lives of Women in the Morowali Nickel Smelter Circle.” AEER (Aksi Ekologi Dan Emansipa Rakyat). 2024. https://www.aeer.or.id.

Atikah, Gita Ayu. 2024. “TRANSPARENCY IN CORPORATE REPORTING: Assessment of Mining Companies in Indonesia.”

Bank, World. 2022. “Sulawesi Development Diagnostic : Achieving Shared Prosperity Sulawesi Development Diagnostic.” World Bank Group. Washington, D.C. https://documents.worldbank.org.

Dutt, Lahiri, Kuntala, Mahy, and Petra. 2007. “Impacts of Mining on Women and Youth in Indonesia : Two Mining Locations.” Canberra. https://internationalwim.org.

Ketika Bumi dan Tubuh Perempuan Sama-sama Terluka

Di berbagai wilayah industri ekstraktif yang ada di Indonesia, perempuan menanggung dampak paling berat dari hilangnya ruang hidup atas tanah dan sumber air akibat konsesi tambang yang ada di sekitarnya. Mereka juga yang tentu akan merasakan dan menghadapi tekanan ekonomi, sosial, hingga kekerasan yang sering kali tak terlihat.

Namun di tengah situasi itu, perempuan tidak berhenti pada peran sebagai korban. Kehidupan sehari- hari mereka yang tak lepas dari keberadaan tanah dan air membuat perempuan berada di garis terdepan perlawanan. Mereka semakin sulit untuk mencari air, kehilangan ladang-ladang pertanian akibat alih fungsi lahan, menanggung biaya pangan yang juga kian meningkat, serta harus memastikan keluarga mereka tetap hidup di tengah lingkungan yang kian rusak.

Kekerasan yang dialami oleh perempuan di sekitar kawasan tambang merupakan bentuk kriminalisasi yang tak hanya berwujud pukulan atau ancaman fisik. Ia menyelinap secara halus menembus batas-batas tubuh, ruang serta budaya. Ketika sumber air tercemar limbah industri dan tanah kehilangan kesuburannya, beban kerja domestik perempuan pun secara bersamaan akan semakin bertambah. Ketika lahan pertanian telah berganti menjadi lubang-lubang tambang, perempuan pun akan kehilangan ruang produktifnya. Kemudian, ketika suara mereka sering kali terabaikan dalam musyawarah atas nama pembangunan, di situlah wujud dari kekerasan kultural sedang berlangsung.

Tubuh perempuan dan tubuh bumi sama-sama dieksploitasi dalam logika yang serupa, keduanya dipandang sebagai sumber daya yang bisa diambil, dikendalikan, dan dieksploitasi tanpa batas. Namun di tengah luka dan kehilangan itu, tumbuh pula keberanian, resistensi perempuan dan aksi perlawanan ekologis yang menunjukkan bahwa dalam aktivitas ekstraktif, perempuan tidak berhenti sebagai korban. Mereka justru berdaya membangun solidaritas kolektif, menjadikannya sebagai sumber kekuatan untuk melawan ketidakadilan yang merampas ruang hidup mereka.

Kekerasan perempuan dalam industri ekstraktif dan bagaimana wujud perlawanan perempuan terhadapnya merupakan sebuah fenomena sosial-ekologis yang mengingatkan saya pada sebuah buku yang pernah saya baca. Buku ini menampilkan realitas sosial yang diterbitkan oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) berjudul Berontak Sebagai Syarat Kehidupan: Kebengisan Industri Tambang di Mata Perempuan Kepulauan (2023).

Membaca buku ini, saya menemukan sebuah pola yang sama di berbagai daerah industri tambang. Perempuan merupakan sosok yang berdiri paling depan ketika ruang hidup mereka terancam. Dari Amungme hingga Wae Sano, dari Sangihe hingga Wadas dan Dairi, mereka menolak logika yang sama bahwa alam dan tubuh perempuan bisa dieksploitasi tanpa batas.

Perlawanan Perempuan terhadap Industri Ekstraktif di Berbagai Daerah

Di Tanah Amungme, Papua Tengah, sosok Yosepha Alomang merupakan sebuah simbol perlawanan terhadap kehadiran PT Freeport sejak akhir 1960-an. Ia menggugat perusahaan hingga ke pengadilan di New Orleans, Amerika Serikat. Yosepha bahkan pernah ditahan dan disiksa, tapi tetap berdiri teguh, menganggap bahwa gunung, sungai, dan tanah sebagai tubuhnya sendiri. Baginya, melindungi tanah berarti melindungi martabat manusia.

Kemudian di Pulau Sangihe, Maria dan kelompok Save Sangihe Island mengorganisir warga untuk menolak tambang emas PT Tambang Mas Sangihe. Mereka tak hanya turun ke jalan, tapi juga menggugat secara hukum hingga Mahkamah Agung dan berhasil memenangkan tuntutan. Di tengah intimidasi dan kriminalisasi, mereka tetap bertahan dengan keyakinan sederhana: menjaga tanah adalah menjaga masa depan anak-anak mereka.

Beralih ke Jawa Tengah, Wadon Wadas menolak penambangan batu andesit untuk proyek Bendungan Bener. Mereka menanam pohon, menganyam besek sebagai simbol ketahanan ekonomi, hingga menggelar doa bersama di jalan untuk menghadang aparat. Solidaritas antarperempuan menjadi tembok yang menjaga desa dari ketakutan, bahkan ketika mereka dilabeli ‘antipembangunan’.

Sementara di Flores, Mathildis Felni dan perempuan-perempuan di Wae Sano menolak proyek panas bumi yang mengancam sumber air mereka. Mereka menolak suap dan janji palsu, menulis surat ke Bank Dunia agar menghentikan pendanaan, dan terus bersuara demi kehidupan yang damai dan aman bersama lingkungan.

Di Sumatera Utara, terdapat Parulian Tambun memimpin perlawanan perempuan di Dairi melalui ritual budaya Mangandung, ratapan yang menjadi ekspresi politik. Ia menyadarkan perempuan di desanya akan bahaya tambang seng yang mencemari air dan tanah. Bagi Parulian, menangis bukan tanda lemah, tapi cara untuk menghidupkan kembali suara perempuan yang terlalu lama dibungkam.

Benang Merah Perjuangan Perempuan

Meski datang dari wilayah dan budaya yang berbeda, tetapi perjuangan mereka terhubung oleh benang merah yang kuat. Mereka sama-sama mempertahankan ruang hidup atas tanah, air, udara, dan budaya dari perampasan industri ekstraktif. Mereka berjuang bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk generasi mendatang agar masih bisa menanam dan minum air bersih.

Mereka menghadapi krisis multidimensi: ekologis, ekonomi, sosial, dan budaya, tapi tetap memilih berdiri di garis depan, bahkan di tengah struktur masyarakat yang patriarkis. Dalam perjuangan itu, kekerasan sering menjadi konsekuensi. Yosepha disiksa dan dipenjara, Imel dari Wadas ditangkap, Maria dan rekan-rekannya diintimidasi, tapi tidak satu pun berhenti melawan. Mereka sadar, diam berarti menyerahkan kehidupan kepada ketidakadilan.

Perlawanan perempuan-perempuan melawan industri ekstraktif ini ibarat sebuah orkestra pertahanan. Setiap tokoh memainkan instrumen yang berbeda, ada yang menempuh jalur hukum, ada yang berorasi dalam bahasa budaya, ada yang menenun solidaritas melalui dapur umum dan doa bersama. Tapi mereka memainkan lagu yang sama yakni menjaga harmoni antara manusia dan bumi. Mereka adalah penjaga kehidupan, menolak membiarkan akar-akar generasi mendatang dicabut oleh mesin tambang.

Perlawanan perempuan terhadap tambang bukan sekadar kisah lokal, melainkan sebuah cermin bahwa di tengah sistem yang eksploitatif, kehidupan selalu mencari jalan untuk bertahan.

 

Bacaan lebih lanjut:

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Berontak Sebagai Syarat Kehidupan: Kebengisan Industri Tambang di Mata Perempuan Kepulauan. Jakarta: JATAM, 2023.

 

Tambang dan Kemaslahatan Semu

Polemik tentang tambang kembali mencuat setelah Kompas TV menyiarkan perdebatan antara Ulil Abshar Abdalla, sebagai perwakilan dari PBNU–salah satu ormas yang menerima konsesi tambang dari pemerintah, berhadapan dengan aktivis lingkungan dari Greenpeace Ikbal Damanik. Ulil berada di posisi berseberangan dan masih konsisten mendukung pertambangan.

Menurut Ulil, sejatinya tambang (mining) tidaklah buruk. Tambang memiliki banyak manfaat dan kemaslahatan (multiple maslahat). Yang buruk adalah praktik penambangannya, semisal  tak memperhatikan aspek lingkungan, keberlanjutan, maupun aspek sosial. Ulil menyebutnya “bad mining”.

Ulil masih menggunakan teori kemaslahatan untuk melegitimasi dan membenarkan penambangan. Karena itu, dalam artikel pendek ini saya  akan mencoba menelusuri bagaimana teori kemaslahatan ini digunakan oleh para ulama diawali dengan merumuskan sebuah  pertanyaan mendasar: apa itu kemaslahatan dan kemaslahatan seperti apakah yang dimaksud para ulama?

Najmuddin al-Thufi mendefinisikan kemaslahatan sebagai “kenikmatan” (lazzat) atau sesuatu yang bisa mendatangkan kenikmatan. Kebalikannya adalah mudarat, yaitu “penderitaan” atau  sesuatu yang bisa menyebabkan penderitaan. Definisi ini masih terlalu umum, sehingga Abi Ishak al-Syatibi berusah meringkas dan mengerucutkan bahwa kemaslahatan adalah segala sesuatu yang kembali pada tegaknya kehidupan dan kesempurnaan hidup manusia.

Lantas kemaslahatan seperti apakah yang dimaksud dan diakui oleh syariat? Imam al-Ghazali membagi kemaslahatan dalam tiga macam: pertama, kemaslahatan yang diakui dan disebut secara eksplisit oleh syariat; kedua kemaslahatan yang tak diakui dan dibatalkan oleh syariat (mulgho), dan ketiga kemaslahatan yang tak disebut oleh syariat, baik diakui ataupun dibatalkan. Yang terakhir disebut “maslahat mursalah”.

Jenis kemaslahatan yang pertama, menurut al-Ghazali, adalah kemaslahatan yang kembali kepada lima hak dasar manusia atau yang lebih dikenal dengan dharuriyat al-khams, yaitu hak hidup (hifzu al-nafs), hak kepemilikan atas harta (hifzu al-mal), hak berpikir dan berpendapat (hifzu al-aql), hak berketurunan (hifzu al-nasl) dan hak berkeyakinan (hifzu al-din).

Dalam tulisan ini saya menyebut kemaslahatan yang tak diakui oleh syariat sebagai psudo kemaslahatan (kemaslahatan semu atau palsu). Karena, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, kemaslahatan tidak boleh bertentangan dengan nash ataupun ijmak ulama.

Jadi, kemaslahatan yang dimaksud oleh syariat memiliki ukuran dan parameternya sendiri. Kecuali kemaslahatan yang tak pernah disinggung oleh syariat, maka parameternya bisa dirumuskan berdasarkan ijtihad manusia. Inilah yang disebut “maslahah mursalah”. al-Ghazali tak mau mengakui kemaslahatan model ini.

Di dunia ini memang tak ada sesuatu yang sepenuhnya maslahat ataupun sepenuhnya mudarat. Al-Quran dalam Surat al-Baqarah 219 mengakui bahwa judi dan khamr memiliki sejumlah manfaat (kemaslahatan). Hanya saja mudaratnya lebih besar dibanding maslahatnya, sehingga Allah SWT melarang keduanya. Nah, dalam menimbang maslahat/mudarat berlaku kaidah “dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbul masalih”, menolak kemafsadatan didahulukan daripada mengambil kemaslahatan. Jadi, menghindari kemudaratan (kerusakan) haruslah lebih diperioritaskan meskipun di dalamnya ada kemaslahatan.

Saya pikir kaidah ini berlaku dalam menimbang dan melihat persoalan tambang. Meskipun tambang memilki banyak manfaat (kemaslahatan) bagi manusia, apakah manfaat sebanding dengan mudaratnya? Padahal kita tahu dari pelbagai riset bahwa industri ekstraktif lebih banyak menimbulkan bencana dan kerusakan lingkungan.

Belum lagi jenis tambang tertentu, semisal batubara, malah menghasilkan polusi, pencemaran lingkungan dan menyebabkan pemanasan global. Walaupun kita tak bisa menampik bahwa batubara memiliki manfaat sebagai sumber energi bagi umat manusia. Namun, manfaat itu tak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan olehnya. Jadi, kembali pada kaidah di atas, menghindari kerusakan harus lebih diperioritaskan daripada mengambil kemaslahatan.

Dari Surga Menjadi Neraka: Kritik Pertambangan Nikel di Raja Ampat

Kerusakan lingkungan merupakan permasalahan serius yang dihadapi oleh dunia, termasuk Indonesia. Baru-baru ini publik dibuat gelisah dengan munculnya aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat. Raja Ampat mendapat julukan sebagai surganya Indonesia oleh dunia karena Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata, melainkan rumah bagi ribuan spesies laut, hutan tropis, dan komunitas adat yang hidup berdampingan dengan alam. Dengan aktivitas penambangan, memunculkan penolakan dari banyak pihak karena pasti akan sangat merusak ekosistem yang ada.

Raja Ampat Surga Indonesia

Siapa yang tidak tahu Raja Ampat? Sebuah destinasi wisata yang sangat terkenal. Bahkan berbondong-bondong orang ingin menginjakkan kaki di Raja Ampat. Destinasi yang terletak di ujung barat Papua Barat Daya ini menjadi tempat bagi ribuan spesies. Raja Ampat memiliki lebih dari 500 spesies terumbu karang, 1.500 spesies ikan, serta berbagai jenis biota laut langka seperti penyu belimbing, dugong, hiu karpet (wobbegong), dan pari manta raksasa.

Raja Ampat memiliki daya tarik yang khas bagi para wisatawan. Siapa pun yang sudah menginjakkan kaki di sana, tidak akan mau untuk meninggalkannya. Banyak sekali hal yang bisa dilakukan di kepulauan seluas kurang lebih 71.605 km² ini, misalnya diving, mengunjungi pulau-pulau kecil dan masih banyak lagi. Karena memiliki keindahan yang sangat sempurna, UNESCO mengakui Raja Ampat sebagai bagian dari Geopark dunia.

Keberadaan destinasi alam Raja Ampat ini tidak hanya membawa dampak yang menguntungkan bagi negara secara umum, tetapi juga bagi masyarakat lokal. Bagi masyarakat lokal, hal ini membawa dampak yang menguntungkan karena banyak wisatawan yang memakai jasa mereka. Jasa yang dipakai berupa penginapan, restoran, jasa transportasi, dan lain-lain. Selain itu, masyarakat juga mendapat keuntungan dari usaha UMKM yang dijalankan.

Tambang Nikel Bukanlah Investasi Baik

Penolakan adanya tambang nikel di Raja Ampat bukanlah tanpa alasan. Akan banyak kerugian yang mengancam jika tambang nikel tetap dilanjutkan di wilayah destinasi Raja Ampat. Pertambangan nikel secara besar-besaran akan menimbulkan kondisi yang negatif bagi lingkungan dan ekosistem. Tentu ini akan merugikan wilayah yang terkena tambang, karena selain kerugian finansial juga kerugian ekosistem.

Salah satu dampak negatif dari pertambangan nikel adalah hilangnya tempat satwa yang beraneka ragam. Mereka kehilangan tempat tinggal dan tempat mencari makan. Sebagai contoh yang sudah terjadi adalah pertambangan nikel di Halmahera yang membuka lahan dengan menebang 5.331 hektar hutan tropis. Hal ini tentu sangat merugikan mengingat yang terkena dampaknya tidak main-main.

Dampak lain dari pertambangan nikel adalah pencemaran lingkungan seperti air, udara, dan tanah. Selain berdampak bagi satwa yang ada, pertambangan nikel juga berdampak bagi kehidupan masyarakat sekitar. Dengan adanya proyek pertambangan nikel tentu akan menyebabkan pencemaran yang sangat besar terhadap lingkungan yang biasa digunakan oleh masyarakat. Secara tidak langsung ini juga mengancam kehidupan manusia.

Penguatan Hukum dan Undang-undang

Dalam kenyataan, Indonesia mempunyai sejumlah hukum yang mengatur tentang perlindungan lingkungan. Memang tidak spesifik mengarah pada pertambangan nikel, tetapi bisa menjadi landasan yang perlu untuk diperhatikan dalam menjaga lingkungan. Undang-undang yang dimiliki oleh negara Indonesia juga berkaitan dengan hak masyarakat sebagai adat.

Misalnya dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam undang-undang tersebut dengan sangat jelas dan tegas menekankan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berkewajiban menjaga kelestarian lingkungan. Undang-undang lainnya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang tersebut menegaskan perlunya menjaga ekosistem hidup yang ada. Hal ini juga mengarah pada perlunya menjaga kelestarian ekosistem di Raja Ampat.

Dari beberapa perundang-undangan yang ada, sangat jelas bahwa setiap orang memiliki kewajiban untuk menjaga kelestarian alam ciptaan. Penguatan hukum menjadi penting karena berkaitan dengan proses penambangan yang sering kali menimbulkan kerusakan yang tidak sedikit bagi lingkungan dan ekosistem. Dalam hal ini negara memegang peran penting, karena negaralah yang berhak untuk menentukan konstitusi. Negara juga harus bisa tegas dalam menentukan undang-undang menyangkut kelestarian alam. Selain itu juga negara harus tegas dalam memberikan sanksi kepada perusahaan yang terbukti merusak alam.

Bergandeng Tangan Menjaga Bumi

Persoalan mengenai isu pertambangan nikel di Raja Ampat bukanlah isu yang sepele. Ini adalah masalah besar. Jika tidak diselesaikan, maka hal ini akan berdampak kepada banyak pihak, tidak hanya kepada manusia tetapi lebih jauh kepada alam dan keanekaragaman hayati yang ada. Raja Ampat tidak hanya memiliki nilai keindahan dalam hal alam, tetapi juga dalam budaya dan spiritualitas yang sangat kuat.

Sangat dibutuhkan seruan kolektif dan aspiratif dari berbagai pihak. Raja Ampat bukanlah milik satu golongan atau kelompok, tetapi milik Indonesia dan sekaligus milik dunia. Semua pihak memiliki tanggung jawab untuk menjaganya. Walau bagaimana pun, kita tidak bisa membiarkan surga dunia yang ada di Indonesia ini hancur begitu saja karena ulah oknum yang rakus akan kekayaan. Menjaga bumi bukanlah sebuah pilihan, tetapi sebuah kewajiban yang harusnya tertanam dalam setiap diri manusia. Mari kita saling bergandeng tangan menyerukan aspirasi untuk menjaga Raja Ampat bumi kita dari perusak-perusak yang rakus.

Ilusi Kemaslahatan dalam Bisnis Tambang

Keputusan dua organisasi masyarakat berbasis agama, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah (MU), untuk menerima izin pengelolaan tambang dari pemerintah menarik perhatian masyarakat. Dua ormas yang terkenal memiliki banyak perbedaan itu akhirnya satu suara: mereka sama-sama terlibat dalam aktivitas bisnis tambang. Wajah kedua ormas yang selama ini dikenal dengan perannya di masyarakat dalam berbagai bidang pun seketika berubah.

Nahdlatul Ulama sebagai ormas pertama yang menerima tawaran tersebut dikritik habis-habisan mengenai kapasitas dan kapabilitas organisasi dalam bisnis tambang. Reaksi masyarakat semakin membuncah ketika Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, terang-terangan mengungkapkan alasan penerimaan izin tambang untuk kebutuhan pendanaan program dan infrastruktur NU.

Selang dua bulan setelah NU menerima izin pengelolaan tambang, Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan Islam yang sama besarnya pun menyusul. Harapan masyarakat yang sudah terlanjur percaya bahwa Muhammadiyah tidak akan terlibat dalam bisnis yang memiliki rekam jejak buruk bagi kondisi lingkungan dan sosial itu pun pupus. Respon masyarakat terhadap organisasi masyarakat berbasis agama pun berubah, seolah tak ada lagi harapan.

Citra Ormas Agama: Tidak Responsif terhadap Masalah yang Mendesak

Selama ini, ormas agama di Indonesia memiliki arti tersendiri karena perannya dalam kehidupan masyarakat. Jika dilihat dari sejarahnya, kedekatan kedua ormas dengan masyarakat sejalan dengan kontribusi mereka terhadap sejarah politik di Indonesia. Baik NU maupun Muhammadiyah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan kemerdekaan serta perjalanan menjaga stabilitas politik berbasis demokrasi di Indonesia. Hingga akhirnya, kedua organisasi tersebut fokus terhadap perannya dalam menjaga demokrasi dan menyebarkan nilai-nilai Islam yang moderat serta toleran kepada masyarakat.

Namun, lambat laun, seiring dengan semakin kompleksnya masalah yang dihadapi oleh masyarakat, citra ormas tak lagi begitu dekat di masyarakat. Dilansir dari riset Hamzah Fansuri melalui The Conversation, terlalu fokusnya kedua ormas tersebut pada isu politik menyebabkan popularitasnya menurun di masyarakat, terutama di kalangan masyarakat perkotaan. Masyarakat menganggap bahwa keberadaan ormas agama tidak mampu merespons permasalahan sehari-hari yang dihadapi, termasuk salah satunya masalah lingkungan. Sehingga, pengaruh kedua ormas ini pun tidak dirasakan dan mengalami penurunan.

Kedua ormas yang jumlah pengikutnya mencapai ratusan juta itu juga dikenal dekat dengan lingkaran elite politik. Menurut artikel peneliti Greg Fealy, NU memiliki citra yang dekat dengan politik kekuasaan pemerintah. Bahkan, menurut peneliti asal Australia tersebut, hubungan pemerintah dengan NU adalah bentuk jebakan politik. Pemerintah pun memberikan banyak keuntungan yang malah dinikmati oleh NU. Sedangkan Muhammadiyah tidak nampak menonjol, bahkan seolah-olah bersikap oposisi, namun tidak banyak menyampaikan kritik terhadap pemerintah.

Masyarakat pun pada akhirnya tidak menemukan ruang untuk permasalahan yang sedang dihadapi, yang berkaitan dengan masalah sehari-hari yang kian lama kian kompleks sebab dan dampaknya. Masalah lingkungan merupakan satu dari masalah sehari-hari yang harus dihadapi oleh masyarakat di tengah banyaknya kerusakan alam dan ancaman krisis iklim.

Bisakah Ormas Membawa Kemaslahatan dalam Bisnis Tambang?

Dalam rilis pers pernyataan Muhammadiyah yang siap mengelola tambang melalui unggahan Instagramnya, Muhammadiyah menyatakan bahwa pertimbangan menerima izin pengelolaan tambang dalam poin pertama adalah sebagai bentuk pemanfaatan kekayaan alam untuk kemaslahatan dan kesejahteraan hidup material dan spiritual.

Pengelolaan tambang, dalam hal ini tambang batu bara, memang bermanfaat untuk kebutuhan energi serta kondisi ekonomi. Di sisi lain, rentetan masalah yang berdampak jangka panjang tidak sepadan dengan manfaat yang dihasilkan. Apalagi, ketergantungan terhadap batu bara semakin mengakar dan berdampak buruk bagi berbagai bidang. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), watak industri tambang yang destruktif justru akan menimbulkan banyak permasalahan baik dari segi lingkungan, hukum, sosial, maupun ekonomi.

Walaupun ada kepercayaan bahwa industri tambang bisa “bersih” dan “berkelanjutan”, kepercayaan itu masih berada pada tahap kemungkinan. Dilansir dari laman National Geographic, masih banyak teknologi baru yang memerlukan waktu bertahun-tahun untuk diterapkan pada skala komersial yang lebih besar. Belum lagi dari segi kebijakan undang-undang dan faktor lain yang tidak sejalan dengan dampak buruk yang dirasakan umat manusia.

Batu bara merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui (non-renewable resource). Dalam prosesnya, siklus pengelolaan tidak dapat berkelanjutan karena ketika habis maka akan mencari area baru, yang mana membutuhkan banyak ruang sehingga banyak lahan hidup masyarakat hingga hutan pun ditebang.

Dari segi dampak buruk terhadap lingkungan, bisnis tambang batu bara konvensional masuk sebagai aktivitas manusia yang paling merusak dunia. Peningkatan emisi karbon yang menyebabkan suhu bumi meningkat, banjir dan tanah longsor akibat deforestasi, pencemaran air dan udara, serta kehilangan lahan bagi ragam hayati dan hewani adalah rentetan masalah lingkungan yang menyengsarakan.

Selain itu, bisnis tambang yang hingga kini masih berjalan masif juga bertolak belakang dengan komitmen Indonesia dan berbagai negara di dunia dalam menurunkan emisi karbon. Indonesia sendiri menjadi salah satu negara yang berkomitmen menurunkan emisi untuk memperlambat laju suhu agar tidak naik lebih dari 1,5 derajat dalam Perjanjian Paris 2016. Bahkan, Indonesia dalam berbagai konferensi, salah satunya dalam Conference of Parties 26 tahun 2021, menyatakan target nol emisi karbon (Net Zero Emission) pada tahun 2060.

Menurut NRDC, salah satu upaya untuk mengurangi dampak buruk lingkungan yang dirasakan adalah dengan mengembangkan sumber energi terbarukan dalam skala yang lebih besar. Sumber energi terbarukan (renewable energy) merupakan sumber energi yang tersedia oleh alam dan dapat dimanfaatkan secara terus-menerus. Pertanyaannya adalah, jika memang ingin berkontribusi untuk kemaslahatan, mengapa tidak terjun saja dalam bisnis atau program yang berkaitan dengan energi terbarukan?

Padahal, Muhammadiyah memiliki program 1000 Cahaya untuk memilih sumber energi bersih untuk bidang usahanya seperti sekolah, kampus, masjid, hingga badan amal. Pun juga NU yang memiliki program Pesantren Hijau yang mendorong pesantren-pesantren untuk melek teknologi dan pemasangan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya). Bukankah ini upaya yang bertolak belakang dengan nilai-nilai agama untuk menjaga alam dan tidak berbuat kerusakan?

Dengan ini, melihat watak bisnis pertambangan, dampak, serta kontradiksi atas komitmen pemerintah dan berbagai negara di dunia yang berupaya mengurangi gas emisi karbon, keberadaan ormas agama dalam pusaran bisnis tambang justru akan menghilangkan sisi kebermanfaatan nilai (maslahah) dalam perannya di bidang agama. Selama ini, kemaslahatan hanya berfokus pada manfaat dan nilai. Padahal, menurut Al-Khawarizmi, maslahah tidak hanya berkaitan dengan manfaat, tetapi juga upaya memelihara prinsip-prinsip hukum Islam dengan menolak bencana/kerusakan/hal-hal yang dapat merugikan manusia.

PERDEBATAN DI KALANGAN NAHDLIYIN

Isu tambang di kalangan NU bukan  hanya sekadar isu [ apalagi “gosip”], tapi bisa memantik polemik serius, berlarut, bahkan bisa melewati pagar: perbincangannya tidak hanya di kalangan dan berlatar belakang nahdliyyin.

Bagi saya, ini merupakan penanda dinamika intelektual di kalangan NU masih hidup dan terus menyala. Setidaknya, NU memiliki resources intelektual berlimpah. Meskipun maqam saya masih sebatas penonton, saya merasa cukup terhibur dan bisa memuaskan dahaga intelektual saya.

Inilah mengapa percakapan di kalangan nahdliyin selalu menarik karena berbasis pengetahuan dan keilmuan dan tidak selalu berakhir dengan kesepakatan [konsensus; ijma]. Terkadang mauquf [deadlock] atau dibiarkan tetap “gelap”.

Sama seperti  diskusi “pernasaban”  yang hampir sudah dua tahun tapi masih tetap menyala —— terutama di medsos. Bahkan tidak hanya berbasis kitab kuning, wacananya sudah melebar melibatkan disiplin keilmuan lain seperti filologi, DNA, dll.

Sebagian kalangan menganggap diskusi ini sebagai diskusi recehan, menjijikkan alias tidak penting. Namun, bagi sebagian orang ini menyangkut pertarungan dan perebutan “pengetahuan” [will to knowledge; will to power]. Belum lagi, dalam kultur nahdliyyin, nasab bukanlah sekadar pertalian biologis melainkan sudah menjelma dan membentuk “institusi sosial” [memiliki norma dan sistem nilai sendiri].

Orang yang merasa “nasab” dan “nasibnya”  terancam, berusaha memadamkan api perdebatan dengan menggunakan pendekatan “ketokohan” (otoritas], namun tampaknya belum berhasil karena tidak masuk ke inti persoalan [mahallu syahid].

Saya tidak tahu endingnya seperti apa, saran saya nikmati saja prosesnya dan jangan baper. Sekali lagi, hasilnya tidak harus berakhir dengan konsensus. Wallahu a’lam bishawab.[]

 

Fikih Lingkungan

Di penghujung kekuasaannya Jokowi menerbitkan PP No. 25 Tahun 2024  tentang perubahan atas PP No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Kebijakan ini menimbulkan kontroversi dan polemik di masyarakat dan tak semua Ormas keagamaan menyambut baik atas terbitnya PP ini.

PBNU langsung merespon dan menyambut baik keputusan ini. “Kebijakan ini merupakan langkah berani yang menjadi terobosan penting untuk memperluas pemanfaatan sumber daya-sumber daya alam yang dikuasai negara untuk kemaslahatan rakyat secara lebih langsung,” kata KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya)

Untuk menguatkan pernyataan Gus Yahya, Kiai Ulil Abshar Abdallah menurunkan tulisan sebagai tanggapan sekaligus — saya anggap mewakili — sikap pengurus PBNU terkait polemik konsesi tambang untuk Ormas: Tambang Antara Ideologi dan Fikih (Kompas, 20/06).

Menurut Kiai Ulil, studi tentang  lingkungan secara “epistemologis” bisa didekati menggunakan dua pendekatan: ideologi lingkungan dan fikih lingkungan. Yang pertama menganggap bahwa persoalan lingkungan akan selalu berkelindan dengan isu perubahan iklim. Industri ekstraktif, seperti pertambangan, akan mengakibatkan kerusakan lingkungan, tercerabutnya komunitas budaya di sekitar tambang, juga bisa menyebabkan pemanasan global (global warming).

Pendekatan ideologi lingkungan, dalam bayangan Kiai Ulil,  sudah selesai dan tidak perlu perdebatan lagi. Karena semuanya akan bermuara pada isu perubahan iklim. Sehingga, apapun yang menyebabkan atau menyumbang pada perubahan iklim harus dibuang dan ditinggalkan.

Kiai Ulil enggan menggunakan pendekatan ideologi lingkungan karena di samping menutup pintu perbedaan dan perdebatan, juga tidak memberikan celah dan kesempatan kepada PBNU untuk bisa mengelola tambang. Apalagi berupa tambang batubara yang jelas-jelas memberikan dampak serius dan mempercepat pemanasan global.

Kiai Ulil memilih menggunakan pendekatan fikih lingkungan. Fikih lingkungan yang dimaksud Kiai Ulil, sebagaimana dijelaskan dalam tulisannya di laman facebooknya, adalah cara memandang sesuatu, termasuk lingkungan, melalui cara pandang fikih, termasuk di dalamnya ushul fikih dan kaidah fikih.  

Fikih merupakan basis pengetahuan dan pandangan dunia santri. Bagi Kiai Ulil, pembacaan fikih lingkungan lebih mewakili  cara pandang ulama/kiai. Hal ini berbeda dengan cara pandang ideologi lingkungan, pendekatan fikih lingkungan lebih fleksibel, lentur, dan tidak saklek (hitam-putih).

Dalam menghukumi batubara, Kiai Ulil menggunakan kaidah dasar yang dikenalkan Imam Malik, yaitu al-Istishab. Kebolehan sesuatu sebagai hukum asal. Hukum batubara (menambang/menjual-belikan/menggunakan) tidak pernah disebut oleh nash, baik al-Quran dan al-Hadis. Karena itu, hukum yang berlaku adalah dikembalikan kepada hukum asal. Sedangkan hukum asal sesuatu dalam hal muamalah, menurut kaidah, adalah boleh (al-ashlu fi al-mu’amalah al-ibahah). Jadi, batubara dalam dirinya sendiri (lidzatihi) adalah halal.

Selain menggunakan kaidah al-istishab, Kiai Ulil mendasarkan argumentasinya pada kaidah   al-maslahah al-murasalah. Bagaimanapun, kata Kiai Ulil, batubara memiliki manfaat (maslahat) sekaligus mudarat. Tinggal dikalkulasi dan ditimbang lebih besar mana antara manfaat dan mudaratnya. Di sinilah titik perdebatan selanjutnya.

Menurut Abdul Wahab Khalaf, ada dua tiga syarat menggunakan dalil maslahah mursalah. Pertama, kemaslahatan yang dimaksud haruslah kemaslahatan yang hakiki bukan kemaslahatan yang wahmy. Kedua, kemaslahatan itu haruslah kemaslahatan yang bersifat universal bukan kemaslahatan yang hanya dinikmati sekelompok/segelintir orang. Dan ketiga, kemaslahatan itu tidak boleh bertentangan dengan agama.

Jika batubara bermanfaat untuk menghasilkan energi, apakah tidak ada sumber energi alternatif yang tingkat mudaratnya tidak lebih besar dari batubara? Mengingat menurut banyak studi, batubara merupakan sumber energi fosil yang paling banyak menyumbang pemanasan global (global warming). Belum lagi kerusakan lingkungan akibat penambangan batubara ini tidaklah sedikit: penggundulan hutan atau pengusiran pemukiman, mengurangi sumber resapan air, bahaya kesehatan, dll.

Kaidah yang berlaku seharusnya adalah “lil wasail hukmul maqashid” (sarana mengikuti tujuan). Sama seperti hukum rokok. Rokok jelas halal, karena hukumnya tidak ditemukan pada zaman Nabi SAW. Kaidah yang berlaku adalah “istishab”, memberlakukan hukum asal, yaitu halal, sebagaimana hukum batubara. Namun, menurut medis, rokok menyebabkan pelbagai penyakit . Sehingga, menjual rokok seharusnya haram (menurut pendapat ulama yang mengharamkan rokok), sebagaimana haram menjual pisau kepada orang yang akan menggunakannya untuk membunuh. Kecuali kalau kita menganggap bahaya-bahaya tersebut hanya sekadar bualan belaka.

Selain itu, dalam menimbang dan mempertimbangkan kemaslahatan (maslahah muraslah), PBNU tak boleh egois hanya mementingkan diri sendiri dan umatnya, tanpa mempertimbangkan dampak buruk bagi umat manusia secara umum (maslahah amah) dan dampaknya di masa depan.

Karena itu, kebijakan pemerintah memberikan konsesi tambang kepada Ormas hanya menambah mudarat dan dosa ekologi bagi umat manusia. Jika pemerintah ingin memberdayakan ekonomi umat melalui ormas, kenapa harus tambang? Bukankah masih banyak jenis usaha ekonomi yang bermanfaat dan tak menimbulkan mudarat? Wallahu alam bi sawab

(bersambung)