Kisah Ratu Bilqis di dalam Al-Qur`an
AL-QUR`AN menyebut banyak kisah perempuan, menceritakan tentang kepahlawanan mereka, ketabahan mereka dalam menghadapi kesulitan, usaha mereka untuk berbuat kebajikan, pengakuan mereka terhadap kebenaran, dan seterusnya. Terlalu banyak, dan tidak akan cukup untuk disebutkan di sini. Cukup kita tahu bahwa Musa as. selamat dari pembunuhan karena campur tangan istri Fir’aun. “Dan istri Fir’aun berkata, ‘[Ia] adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kau membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia sebagai anak,” [Q.S. al-Qashash: 9].
Isa as. adalah kemuliaan dari Allah Swt. kepada ibundanya, Maryam, sebagai imbalan atas kesuciannya, kesabarannya dalam beribadah, dan ketaatannya kepada Tuhan, sebagaimana diceritakan al-Qur`an: “Dan Maryam, putri Imran, yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan ia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan kitab-kitab-Nya; dan ia termasuk orang-orang yang taat,” [Q.S. al-Tahrim: 12].
Khadijah binti Khuwailid adalah perempuan yang mendukung dan menguatkan Nabi Muhammad Saw. saat pertama kali beliau menyampaikan wahyu. Ia berkata kepada beliau: “Demi Allah, Allah tidak akan pernah mempermalukanmu.”
Di sini akan berbicara tentang Ratu Saba yang disebut-sebut bernama Bilqis. Allah menceritakan tentang perempuan ini terkait hubungannya dengan Sulaiman as.. Di dalam cerita itu disebutkan beberapa situasi yang menunjukkan kecerdasan dan kebijaksanaan Ratu Bilqis serta kemampuannya mengambil alih tampuk kekuasaan Kerajaan Saba.
Pertama, diangkatnya Bilqis sebagai ratu bagi bangsa Yaman di masa itu adalah bukti meyakinkan bahwa ia merupakan sosok yang cerdas, bijaksana, dan berwibawa. Kalau tidak, mereka tidak akan pernah mengangkatnya menjadi ratu. Hal ini sudah menjadi kebiasaan di kalangan orang-orang Arab sejak dahulu kala. Kalau Bilqis tidak punya kemampuan itu, tidak ada alasan bagi bangsa Yaman untuk menjadikannya sebagai pemimpin negara.
Kedua, ketika membaca surat dari Sulaiman as., Bilqis tidak terprovokasi oleh perintahnya untuk menyerah. Sebaliknya, ia sangat mengaguminya dan senang dengan isi surat tersebut. Itulah sebabnya ia menyebut surat itu “mulia” (karîm). “Ia (Bilqis) berkata: ‘Hai para pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia,” [Q.S. al-Naml: 29], yang berarti sangat berharga dan penting. Hal ini menunjukkan bahwa ia jauh dari kesombongan, keangkuhan, dan kecongkakan.
Ketiga, ketika membacakan surat Sulaiman as. kepada para menteri dan pembantunya, Bilqis tidak langsung memberikan perintah untuk berperang, melainkan dalam kata-katanya terkandung sesuatu yang mendorong mereka untuk memberikan pendapat dan pertimbangan. Ketika ia menggambarkan surat tersebut sebagai “mulia” dan ketika ia menyebut pengirimnya dengan namanya saja (Sulaiman) tanpa menganggapnya sebagai musuh atau semacamnya, mereka memahami hal itu, karena mereka adalah orang-orang yang bijaksana dan cerdas.
Keempat, penyerahan Bilqis bukan karena kepengecutan atau ketakutan kepada Sulaiman as., melainkan karena ia merasakan di dalam hatinya kebenaran nabi ini dan nasihatnya. Ketika ada keraguan di dalam hatinya, ia mengujinya untuk menghilangkan keraguan itu.
Kelima, Bilqis adalah teladan paling baik dalam musyawarah dan tak pernah memaksakan pendapatnya. Ia tidak langsung mengeluarkan perintah untuk menyerah atau berperang. Sebaliknya, ia mengumpulkan rakyatnya dan bermusyawarah dengan mereka. Hal ini menjadi jaminan bagi dirinya sendiri akan konsekuensi dari setiap tindakan dan langkah yang diambilnya. Bisa dibayangkan seandainya yang memimpin bangsa Yaman pada saat itu adalah seorang laki-laki (raja), bagaimana pendapatnya dan apa akibatnya?!
Keenam, ketika melihat rakyatnya memasrahkan kepadanya untuk mengambil keputusan, “Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan [juga] memiliki keberanian yang sangat [dalam peperangan], dan keputusan berada di tanganmu: maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan,” [Q.S. al-Naml: 33], Bilqis menunjukkan keengganan untuk berperang. Ia tidak memilih jalan itu demi rakyatnya, yang memperlihatkan tingkat kecerdasan dan kebijaksanaannya yang tinggi. “Ia (Bilqis) berkata: ‘Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia terhina,” [Q.S. al-Naml: 34].
Ketujuh, perkataannya itu menunjukkan ketajaman pikirannya, kedalaman kasih sayangnya, dan keteguhan tekadnya untuk menjaga kehormatan seluruh rakyatnya. Juga menunjukkan bahwa ia bersikap realistis, sebab ia yakin Sulaiman as. pasti akan mengalahkannya bila ia memilih berperang.
Kedelapan, perkataan rakyatnya kepadanya: “Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan [juga] memiliki keberanian besar [dalam peperangan], dan keputusan berada di tanganmu: maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan,” [Q.S. al-Naml: 33] adalah bukti bahwa Bilqis dipandang lebih mempunyai keunggulan dibandingkan kaum laki-laki di masanya dalam hal kecakapan pikiran dan mental. Rakyatnya menyatakan kepadanya bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan dan keberanian yang besar, tetapi, “Masalahnya terserah padamu. Pilihlah apa yang menurutmu paling tepat dan baik hasilnya.”
Kesembilan, Bilqis yakin bahwa Sulaiman bukan hanya seorang raja, melainkan juga seorang nabi yang mendapatkan petunjuk (wahyu) dari langit. Tetapi ia sedikit ragu mengenai hal itu, sehingga ia merasa perlu untuk mengujinya, seperti yang dikisahkan di dalam al-Qur`an saat ia berkata, “Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu,” [Q.S. al-Naml: 35].
Imam al-Qurthubi berkata, “Inilah di antara kecemerlangan pandangan dan perencanaannya, yaitu, ‘Aku akan mencoba memberi orang ini hadiah berupa barang-barang berharga, dan aku akan mengalihkan perhatiannya dengan urusan kerajaan. Jika ia seorang raja duniawi, ia akan puas dengan harta, dan kita akan mempelakukannya sesuai dengan itu. Namun, jika ia seorang nabi, harta itu tidak akan menyenangkannya, dan ia akan terus menuntun kita pada urusan agama sampai kita beriman kepadanya dan mengikuti agamanya, maka aku kirimkan kepadanya hadiah yang besar.”
Kesepuluh, Bilqis secara sukarela datang kepada Sulaiman as. setelah yakin akan kenabiannya, dan ia mengakui kezhalimannya terhadap dirinya sendiri karena telah menyembah makhluk yang tidak dapat memberikan manfaat atau bahaya. “Ia (Bilqis) berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zhalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam,” [Q.S. al-Naml: 44]. Di zamannya, tidak ditemukan kematangan pikiran yang lebih sempurna dari ini.
Ratu Bilqis dipandang berhasil memimpin bangsanya menuju kemakmuran dan kesejahteraan, dengan segala kebijaksanaan dan kemampuannya, yang menunjukkan kecemerlangan pikiran dan kombinasi sifat-sifat baiknya. Sehingga Allah mengabadikan sejarahnya di dalam al-Qur`an dan memberikan petunjuk kepada bangsanya melalui dirinya.[]