Pos

Sabda Hikmah (9): MAKNA ALLAHU A’LAM BIS-SHAWAB

Oleh. Mukti Ali Qusyairi

Kiyaiku di kampung–dan para kiyai kampung pada umumnya–setelah menjelaskan pandangan keagamaan atau setelah ngaji kitab atau ceramah, selalu menyebutkan “wallahu a’lam bis-shawab” (hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran yang sesungguhnya).

Ada salah seorang santri memberanikan diri bertanya, “mohon maaf pak kiyai. Kenapa pak kiyai setiap selesai mengaji atau setelah menyampaikan pendapat keagamaan selalu menyebut wallahu a’lam bis-shawab? Mohon penjelasannya yai”.

Sang kiyai sembari nyeruput teh tubruk menyimak santrinya yang sedang mengajukan pertanyaan dengan khusyuk dan fokus. Kiyai menaruh gelasnya dan memulai menjawab: “Kata wallahu a’lam bis-shawab itu kalau arti secara harfiyahnya kita semua sudah tahu; hanya Allah yang tahu kebenaran yang sesungguhnya. Akan tetapi, sejatinya lebih dari sekedar jargon. Ini adalah upaya tadib (pembiasaan) agar kita selalu ingat bahwa penjelasan yang kita sampaikan hanyalah upaya ‘mendekati’ kebenaran, rendah hati dalam beragama dan menginami serta menghidupkan/living pemilik kebenaran sejati adalah Allah dan kita tak punya otoritas dalam menentukan bahwa pendapat kita mewakili kebenaran Allah. Sebab apa yang kita sampaikan boleh jadi tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah”.

Kiyai kampung pun terus menjelaskan lebih dalam. Ia mengisahkan akhlak para ulama dulu yang sebagian ditulis dalam kitab Ihya Ulumuddin bahwa sebagian ulama menangis tersedu sedan sedih manakala pendapatnya diikuti dan dipakai orang lain. Bukan tangisan bangga, tapi tangisan sedih. Sebab ia takut menanggung tanggungjawab kalau saja pendapatnya salah. Sebagian ulama yang lain, kalau ada yang bertanya tidak langsung jawab, dijawab “saya belum tahu jawabannya”, lalu melakukan kajian terlebih dahulu dan setelah mantap hasil kajiannya baru disampaikan dalam jawaban.

Imam as-Syafii sendiri berkata bahwa pendapatku benar tapi ada kemungkinan mengandung kesalahan. Dan pendapat Anda salah tapi ada kemungkinan mengandung kebenaran.

Bagi orang yang berilmu, tidak mudah dan berhati-hati dalam memberikan jawaban dan pandangan keagamaan. Disebut ikhtiyath. Ini tercermin dalam tradisi Islam tradisional, NU, dalam menjawab satu masalah bisa seharian bahtsul masail. Kalau belum mantap, maka mauquf (belum bisa memberikan jawaban). Dan dibahas hari berikutnya.

Spirit wallahu a’lam bis-sahawab inilah yang menjadikan Islam sebagai agama yang mempunyai kekayaan tafsir, pendapat, pandangan, tradisi, kebudayaan, dan khazanah literasi. Sebab ada ruang untuk menyampaikan pendapat tanpa rasa takut, sebab masing-masing sadar bahwa masing-masing sedang menghampiri dan mendekati kepada kebenaran dengan melalui kajian serius dan sadar betul bahwa kebenaran sejati hanya milik Allah.

Wallahu a’lam bis-shawab.

Jakarta, 7 April 2018.

 

Sabda Hikmah (2): Sinergi duniawiyah dan ukhrawiyah

Oleh. Mukti Ali Qusyairi

Doa yang ringkas, padat, indah, dan mencakup segala hal disebut “doa sapu jagat”. Isinya memohon agar Allah memberikan kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Mengandung segala dan berbagai kebaikan di dunia dan akhirat. Doa ini adalah gambaran serupa harapan dan keinginan semua orang.

Dan doa ini juga adalah pesan mulia bahwa visi Islam adalah menciptakan dan mewujudkan kebaikan dunia dan akhirat. Tak melulu kebaikan akhirat sehingga tak urus dengan kemajuan dunia dan tak melulu kebaikan dunia sehingga ogah-ogahan dengan urusan akhirat. Dunia adalah ladang bercocok tanam atau tempat investasi akhirat. Sehingga kebaikan di dunia harus terwujud, agar merembet pada kebaikan di akhirat.

Teringat pada sabda hikmah yang diungkapkan Al-Syekh al-Qadhi Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashri al-Mawardi, bahwa derajat yang paling agung dan kemanfaatannya lebih menyeluruh atau universal adalah hal yang dapat mengokohkan agama dan dunia dan mengatur kemaslahatan akhirat dan dunia dengan rapih, agar dengan kokohnya agama/ukhrawiyah menjadikan ibadah kita nyaman dan saheh dan dengan mapannya keduniawian kita dapat meraih kebahagiaan dunia-akhirat.

Oleh karena itu, Syekh Al-Mawardi merasa penting soal etika duniawi dan etika ukhrawi. Islam adalah agama yg mensinergikan duniawiyah dan ukhrawiyah.

Jakarta, 29 Maret 2018.

Sabda Hikmah (1): Makhluk Mulia

Oleh. Mukti Ali Qusyairi, Peneliti Rumah KitaB

Hal apa yang menjadikan manusia sebagai makhluk mulia? Tanya seorang sahabat. Bagi kalangan yang bertubuh besar dan seterek, kemuliaan manusia terletak pada tubuh atau fisik yang besar dan seterek. Tapi pernyataan itu dibantah oleh kalangan pemberani dan punya nyali di atas rata-rata, bahwa keberanianlah yang menjadikan manusia mulia, bukan besarnya fisik. Sebab banyak orang yang fisiknya besar tapi tak punya nyali.

Mendadak kalangan yang bertubuh kuat dan kokoh tidak setuju pada kedua golongan itu dan membantah bahwa kuat dan kokohlah faktor yang memuliakan manusia.

Debat kusir itu, menyulut ingatanku pada satu ungkapan indah Hojjatol Islam Al-Imam Al-Ghazali yang meruntuhkan pernyataan jumawa semua golongan tersebut:

“Bukan besarnya tubuh yang menjadikan manusia mulia. Sebab gajah lebih besar daripada fisik manusia. Bukan kekuatan fisik manusia yang menjadikannya mulia. Sebab kuda lebih kuat daripada manusia. Bukan pula keberanian yang menjadikan manusia mulia. Sebab macan lebih punya keberanian daripada manusia. Oleh karena itu, yang menjadikan manusia mulia tak lain dan tak bukan adalah ilmu pengetahuan. Dengan ilmu, manusia bisa mendapatkan derajat mulia.”

Semuanya terdiam, tertunduk malu dengan wajah pucat pasih sembari menyesali perkataan jumawanya masing-masing. Lalu memetik pejalaran berharaga dari sabda hikmah yang disampikan Al-Imam Al-Ghazali tersebut. Dan sadar bahwa di hadapan ilmu pengetahuan, semua yang dibanggakan itu tidak ada artinya.

Ilmu menjadikan kita mengerti bagaimana caranya mendekatkan diri kepadaNya, dan cara kita menjadi baik. Ilmu semacam kompas perjalanan kita, agar tidak salah jalan. Ilmu juga menuntun kita bagaimana caranya meraih keselamatan dan ridhaNya. Dan yang terpenting bahwa ilmu adalah modal terpenting kita untuk membangun peradaban (tamaddun).

Jakarta, 28 Maret 2018.