Pos

Frieda’s Case dan Kontroversi Aborsi di Indonesia: Membaca dari Kacamata Feminisme

Film Frieda’s Case (di sini) bukan sekadar karya seni sinematik, melainkan juga ruang kontemplasi tentang bagaimana tubuh perempuan diperebutkan oleh hukum, moralitas, dan politik. Mengangkat kisah seorang perempuan yang mengalami kehamilan akibat perkosaan, film ini menggugat konstruksi sosial dan hukum yang sering kali lebih fokus mengatur tubuh perempuan dibanding memberi perlindungan.

Dari perspektif feminisme, Frieda’s Case adalah potret ketidakadilan berlapis. Perempuan korban tidak hanya mengalami trauma akibat kekerasan seksual, tetapi juga dipaksa menanggung stigma, beban hukum, dan pilihan mustahil yang sering kali lebih menyakitkan daripada kejadian itu sendiri. Feminisme (di sini) telah lama mengkritisi bagaimana tubuh perempuan dijadikan medan pertempuran moral. Dalam Frieda’s Case, kita dapat melihat bagaimana keputusan perempuan atas tubuhnya sendiri menjadi sesuatu yang “diperdebatkan” oleh orang lain –dokter, aparat, bahkan keluarga.

Pertanyaannya, siapa yang seharusnya memiliki otoritas atas tubuh Frieda? Jawaban feminis jelas: dirinya sendiri. Namun realitas sosial dan hukum kerap berkata lain.

Kontroversi Regulasi Aborsi di Indonesia

Film Frieda’s Case memperlihatkan bagaimana tubuh korban perkosaan direduksi menjadi objek moralitas negara. Aborsi bukan lagi soal pemulihan trauma, melainkan soal kepatuhan hukum. Di sinilah terlihat bagaimana patriarki bekerja: mengatur tubuh perempuan seolah-olah mereka tidak mampu mengambil keputusan sendiri.

Kontroversi seputar Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 (di sini) tentang Pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menunjukkan bagaimana kebijakan negara masih menempatkan perempuan dalam posisi dilematis terkait hak atas tubuhnya, terutama dalam kasus aborsi akibat pemerkosaan.

Ketentuan aborsi dalam PP No.28/2024 sebenarnya dimaksudkan sebagai jalan tengah: aborsi legal dalam kondisi darurat medis dan korban perkosaan. Namun, ketentuan bahwa hanya polisi yang dapat memberikan “legitimasi” terhadap status korban menuai kontroversi. Faktanya, banyak korban yang enggan melapor ke polisi karena takut tidak dipercaya, dipermalukan, atau justru mengalami viktimisasi ulang.

Komnas Perempuan (di sini) mengkritik bagaimana syarat administrasi yang rumit seperti ini kerapkali semakin menyulitkan akses korban terhadap layanan aborsi aman. Pada akhirnya, alih-alih dilindungi, korban justru berujung pada aborsi tidak aman, yang besar relevansinya dengan risiko kesehatan dan keselamatan jiwa.

Aktivis HAM menilai aturan ini problematis dan merupakan bentuk regresi terhadap hak reproduksi perempuan, karena: 1) Membebani korban: Alih-alih dipermudah, korban dipaksa melalui proses hukum yang panjang dan melelahkan; 2) Mengabaikan realitas sosial: Banyak korban perkosaan memilih diam karena takut stigma, atau tidak percaya pada aparat; dan 3) Meningkatkan risiko aborsi tidak aman: Ketika jalur legal dipersempit, korban bisa beralih ke praktik ilegal yang membahayakan nyawa.

Sejumlah pihak kini mendesak agar regulasi ini direvisi. Namun sampai artikel ini ditulis, belum ada sinyal kuat dari pemerintah untuk melakukan perubahan. Artinya, jalan terjal bagi korban masih panjang.

Feminisme sebagai Kacamata Kritis

Konsep reproductive justice (di sini) yang berkembang dalam feminisme kulit hitam Amerika menawarkan lensa penting. Bagi Loretta Ross dan aktivis lainnya, keadilan reproduksi bukan hanya soal akses aborsi, tetapi juga hak perempuan untuk:

  1. Memutuskan kapan dan apakah ingin punya anak,
  2. Memiliki anak dalam kondisi yang aman, dan
  3. Membesarkan anak dalam lingkungan yang layak.

Dari kacamata ini, jelas bahwa regulasi di Indonesia belum berpihak pada korban. Negara masih sibuk menjaga moralitas, tapi lupa pada esensi: memberikan ruang aman bagi perempuan untuk menentukan hidupnya sendiri. Aturan baru menunjukkan bahwa hak reproduksi perempuan masih dipandang sebagai ancaman, bukan hak yang sah.

Relevansi “Frieda’s Case” di Indonesia Hari Ini

Menonton Frieda’s Case dalam konteks Indonesia hari ini terasa seperti bercermin. Film ini bukan hanya tentang Frieda sebagai individu, melainkan juga tentang ribuan perempuan lain yang mengalami dilema serupa: terjebak di antara trauma, stigma, dan regulasi yang tidak berpihak. Dalam diskursus feminisme, film ini dapat dibaca sebagai call to action. Ia menuntut kita untuk bertanya:

  • Apakah hukum kita sungguh-sungguh berpihak pada korban?
  • Mengapa suara perempuan seringkali diragukan dan harus divalidasi oleh pihak ketiga?
  • Apakah negara masih menempatkan tubuh perempuan sebagai objek kontrol, bukan subjek yang berdaulat?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan arah perjuangan hak reproduksi perempuan di Indonesia.

Dari Layar ke Ruang Publik

Frieda’s Case menunjukkan betapa pentingnya seni dan film sebagai medium advokasi. Ia mengguncang kesadaran, memprovokasi perdebatan, dan membuka ruang bagi perspektif feminis untuk masuk ke ruang publik.

Di sisi lain, kontroversi PP No. 28/2024 memperlihatkan bahwa perjuangan feminis di Indonesia masih panjang. Tubuh perempuan masih diperlakukan sebagai objek moral dan hukum, bukan sebagai ruang otonom yang penuh martabat.

Di tengah situasi ini, feminisme menawarkan pandangan yang tegas: korban berhak mendapatkan perlindungan, akses pada layanan kesehatan yang aman, dan kebebasan menentukan nasib reproduksinya tanpa intervensi yang merugikan.

Film seperti Frieda’s Case penting bukan hanya untuk dilihat, tetapi juga untuk dijadikan inspirasi dalam mendorong perubahan regulasi yang lebih adil gender. Karena pada akhirnya, persoalan ini bukan hanya tentang Frieda atau perempuan mana pun, melainkan tentang apakah kita, sebagai masyarakat, sungguh menghormati hak asasi setiap manusia atas tubuhnya sendiri.

Kekerasan yang Diwariskan: Refleksi Film “Pengepungan di Bukit Duri”

Pekan ini, film “Pengepungan di Bukit Duri” sudah menembus satu juta penonton. Film karya Joko Anwar ini memang sudah dinanti oleh banyak orang, terutama penikmat film Joko Anwar. Ada yang menarik dari setiap film yang dibuatnya, yaitu menyimpan tanda tanya untuk didiskusikan secara publik. Sebelumnya di Netflix, Joko Anwar juga menghasilkan series “Nightmares and Daydreams” yang sarat dengan kritik sosial.

Karenanya, film terbaru ini pun dinanti kehadirannya dengan semangat kritisisme terhadap kondisi bangsa yang kian carut-marut. Bagi beberapa kalangan, termasuk yang saya saksikan sendiri, film ini terlampau luas mengekspos adegan kekerasan. Memang adegan ini bisa memicu adrenalin penonton. Kita diajak dag dig dug bareng selama dua jam di bioskop. Berasa dikejar ketakutan, kekhawatiran, dan boom terjadilah pertumpahan darah bertubi-tubi. Di satu sisi, film ini berhasil menyihir penonton untuk tidak mengantuk karena ketegangannya. Emosi yang dibangun dengan potret kebencian terhadap etnis Tionghoa juga sangat mendebarkan.

Sayangnya, film ini kurang berhasil mengekspos mengapa kebencian itu bisa terjadi? Bagaimana kekerasan itu bisa terus dilakukan? Juga bagaimana pihak pemerintah menyikapi kekerasan tersebut? Film ini hanya membicarakan sisi personal Edwin yang sedang mencari keponakannya yang hilang di Bukit Duri. Tidak banyak menyoroti sisi chaos negara yang bersimbah darah kebencian.

Meski demikian, film ini tetap menarik didiskusikan. Bukan menyoroti apa yang tersurat dari film ini, melainkan apa yang tersirat. Melalui film ini, sang kreator mengajak penonton untuk kritis melihat apa yang tidak diputar di layar lebar.

Ke Mana Orang Tua Mereka?

Selama pemutaran film, penonton hampir tidak melihat sosok orang tua, baik ibu maupun ayah yang terekspos. Alih-alih melihat sosok orang tua, yang dihadirkan justru cerita bobrok orang tua mereka. Ada yang korupsi, main perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, hingga perceraian. Potret orang tua sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak mempunyai elan vital.

Anak yang tidak mendapatkan kasih sayang orang tua sangat rentan terjerumus dalam lubang kekerasan. Pun anak yang sering menjadi korban pelampiasan keganasan orang tua di rumah pun dapat menjadi pelaku di lingkungan masyarakat. Data dari UNICEF pada tahun 2021, sekitar 20,9% anak-anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah. Hal ini sama seperti 30,83 juta anak usia dini di Indonesia, sekitar 2.999.577 anak kehilangan sosok ayah. Bayangkan jutaan anak yang kehilangan sosok panutan amat rentan menjadi pelaku kekerasan berikutnya. Film ini bisa menjadi alarm bagi orang tua untuk memperhatikan masa depan sang anak.

Mana Peran Pemerintah?

Film ini juga absen memotret kehadiran pemerintah sebagai corong utama penyelesaian konflik berdarah di masyarakat. Latar waktu film ini berasal dari tahun 2009 sebagai konflik awal yang memecah kehancuran. Kemudian berjalan ke masa depan di tahun 2027 dengan mengulang konflik yang sama. Kebencian terhadap ras Tionghoa. Artinya ada jeda waktu 18 tahun kebencian terhadap kelompok lian itu terus dipelihara. Tidak ada penyelesaian dan pemulihan yang dilakukan pemerintah selama waktu tersebut.

Abainya pemerintah terhadap kasus kekerasan akan menjadi bom waktu. Saat ada pemantiknya, bom itu bisa meledak. Hari ini, Indonesia sudah masuk pada tahap reformasi setelah menurunkan rezim Orde Baru pada tahun 1998. Proses penurunannya pun dengan menyisakan banyak luka dan korban. Kerusuhan tahun 1998, disebut sebagai latar utama film ini.

Namun, apakah kerusuhan 1998 sudah diselesaikan? Apakah negara sudah hadir memulihkan korban? Apakah semua pelakunya sudah diusut tuntas di pengadilan? Aksi Kamisan yang terus berlangsung hingga detik ini menjadi bukti bahwa korban belum mendapatkan haknya. Di sinilah letak krusial yang perlu diperhatikan. Luka yang tidak dipulihkan dan disembuhkan cenderung akan membuat luka baru. Dalam film, kita menyaksikan orang-orang yang membenci etnis Cina terus saja dirawat oleh waktu. Dalam realitanya, ada banyak kebencian: ras, agama, dan gender. Luka dan kebencian terus diwariskan.

Mengapa Peran Perempuan Sedikit?

Iya, sangat terasa maskulinitas film ini. Mulai dari amukan massa yang dominan laki-laki hingga sekolah di Bukit Duri yang mayoritas pria. Tidak banyak sosok perempuan yang diangkat. Bahkan perempuan dan anak cenderung menjadi korban dalam pusaran kekerasan. Ini menyiratkan satu pesan penting, ketidakhadiran perempuan dalam ruang publik rawan dominasi pria yang berujung kekerasan. Dalam aspek yang lebih luas, spirit feminitas perlu bersanding dengan maskulinitas. Keseimbangan adalah kata kunci agar hidup tertata.

Konsep mubadalah yang hari ini banyak disuarakan oleh kelompok feminis Muslim di Indonesia adalah upaya menghapus dominasi pria. Tetapi, menolak dominasi pria bukan dengan cara menciptakan dominasi baru bagi wanita. Melainkan ada kesalingan, pembagian ruang dan tata kelola di masyarakat dan menolak segala bentuk kekerasan.

Idealkah Sekolah di Bukit Duri?

Selain soal dominasi gender, yang perlu disoroti dari film ini adalah konsep pendidikan. Ada banyak cacat pendidikan di Bukit Duri yang menjadi potret buram pendidikan Indonesia hari ini. Pertama soal segregasi pendidikan. Istilah sekolah ‘buangan’ dan ‘unggulan’ menjadi sebab kekerasan di sekolah kian marak terjadi. Mereka yang dianggap bermasalah disatukan dalam satu lingkungan. Konsep semacam ini bukanlah solusi melainkan upaya lari dari akar masalah.

Pendidikan bukan penjara yang menyatukan anak yang ‘bermasalah’. Apalagi sekolah yang berpagar tinggi berkawat duri. Pendidikan yang berbasis ketakutan dan ancaman tidak akan melahirkan kesadaran. Konsep sekolah buangan hanya akan membuat mereka yang terpinggirkan semakin memuncak ekspresi kebenciannya.

Segregasi ini juga bisa dilihat dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Pengumpulan lingkungan berdasarkan etnis suku dan agama tertentu justru kurang sehat untuk menciptakan harmoni. Alih-alih membuka ruang dialog dengan kelompok yang berbeda, hidup dalam lingkungan yang homogen hanya akan melanggengkan kebencian dan stigma.

Selain soal segregasi, tantangan yang nyata dari dunia pendidikan hari ini adalah moral. Siswa tak lagi beretika kepada guru. Dengan mudah membentak bahkan melawan. Pada saat yang sama, guru pun banyak yang tak memberikan keteladanan. Salah satunya motivasi mengajar. Ini bisa dilihat dari tujuan Pak Edwin yang diperankan oleh Morgan untuk mengajar di SMA. Tujuan utamanya adalah mencari keponakannya yang hilang. Tentu tidak sepenuhnya salah. Tetapi motivasi ini akan menentukan bagaimana seorang guru mengajar.

Guru yang hanya menjadikan motif ekonomi untuk mengajar akan berorientasi pada pragmatisme. Ada uang, siswa disayang, tak ada uang, siswa ditendang dari sekolahan. Panggilan menjadi guru adalah nurani untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. ‘Pahlawan tanpa tanda jasa’, demikian ungkapannya.

Mengapa Kekerasan Bisa Terjadi?

Dari film ini, kita belajar bahwa kekerasan itu nyata dan dapat diwariskan. Tetapi mengapa itu bisa terjadi? Film ini memang tidak membahasnya. Film ini justru menampilkan dampak dari kekerasan yang melahirkan kekerasan baru.

Kekerasan bisa terjadi karena berbagai hal. Mulai dari kekosongan sosok orang tua; absennya pemerintah memberikan ruang yang adil; dominasi gender, etnis atau agama tertentu hingga bobroknya dunia pendidikan. Namun, ada satu hal yang pasti bahwa kekerasan itu bukanlah hal baru atau kejadian luar biasa di luar sana yang jauh dari kehidupan kita. Kekerasan adalah realitas keseharian. Boleh jadi karena sudah terlampau sering melihat berita anak membunuh orang tua, guru memperkosa murid, dan kekerasan lainnya; kita menjadi pribadi yang permisif dengan kekerasan.

Kita baru marah dan cemas dengan kebrutalan Jefri dan kawan-kawan di dalam film tersebut. Tetapi kita melihat biasa saja kalau siswa melakukan perundungan, guru memukul hingga babak belur atau hate speech di media sosial. Padahal kebengisan brutal lahir dari kebencian ‘kecil’ yang dinormalisasikan tanpa dipulihkan. Tak akan ada asap kalau tidak ada api dan tidak akan ada api kalau tidak ada bahan bakar. Semua saling berkaitan. Dan bisa jadi, diamnya manusia waras bersuara di ruang publik juga menjadi bahan bakar untuk menyulut api kebencian yang kian besar. Wallahu a’lam.