Relasi Kuasa Timpang, Kekerasan Seksual Mengancam
Kekerasan seksual bisa terjadi oleh dan kepada siapa saja. Artinya, semua orang tanpa memandang status berpotensi menjadi pelaku maupun korban kekerasan seksual. Akhir-akhir ini, banyak sekali kasus kekerasan seksual dilakukan oleh orang-orang berseragam yang memiliki status sosial tinggi. Besar faktornya adalah relasi kuasa menjadi modus terjadinya kekerasan seksual yang polanya amat kompleks. Pelaku kekerasan seksual memperkosa dan menyakiti perempuan dan anak perempuan di rumah, sekolah, kampus, pesantren, rumah sakit, bahkan di tempat-tempat ramai sekali pun.
Baru-baru ini mencuat kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum dosen, polisi, TNI, dokter, serta kiai. Seorang guru besar di Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada (UGM), Prof. Edy Meiyanto diberhentikan karena kasus kekerasan seksual terhadap mahasiswanya melalui pendekatan akademik saat bimbingan.
Kemudian Maret lalu, pemerkosaan dilakukan oleh prajurit TNI, Jumran terhadap jurnalis perempuan media online, Kalimantan Selatan, Juwita. Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja menjadi predator seksual dengan merekam video kekerasan seksual yang ia lakukan terhadap anak perempuan di bawah umur 5 tahun.
Baru-baru ini kasus pemerkosaan dilakukan oleh dokter residen Priguna Anugrah Pratama yang melakukan modus menyuntikkan obat bius kepada korban dan melancarkan aksinya saat korban tak sadarkan diri. Disusul MSF adalah dokter kandungan di Rumah Sakit Malangbong, Garut, Jawa Barat yang melakukan pelecehan seksual kepada korban saat pemeriksaan USG terhadap seorang perempuan hamil.
Relasi Kuasa Timpang
Kekerasan seksual merupakan masalah sosio-struktural yang dapat terjadi di mana pun, baik di ruang publik maupun domestik. Tapi, mencegah maupun menangani kasus kekerasan seksual juga menjadi tugas dan kewajiban bersama warga negara, masyarakat, maupun pemerintah. Dalam kasusnya, banyak diderita oleh perempuan dan anak yang sering kali dianggap sebagai subyek yang lemah. Dari banyaknya kasus, relasi kuasa yang timpang, sistem yang seolah-olah membiarkan mereka kebal hukum, dan ketidakseimbangan relasi gender laki-laki dan perempuan menjadi kesamaan dari semua pelaku yang membawa status dan jabatan sosial.
Menurut Michael Foucault, kekuasaan merupakan satu dimensi dari relasi. Artinya, di mana ada relasi, di sana ada kekuasaan. Dan kekuasaan selalu teraktualisasi melalui pengetahuan. Sebab pengetahuan selalu memiliki efek kuasa. Nahasnya, pengetahuan oleh siapa saja dapat dimanipulasi untuk mengendalikan orang lain.
Relasi kuasa gender inilah yang menempatkan laki-laki sebagai dominan dan perempuan sebagai subordinat. Dalam posisi pelaku sebagai pihak dominan, kekerasan seksual bukan hanya sekadar nafsu yang tak dikendali, tapi juga soal pengaruh kuasa yang timpang tersebut. Sistem yang meyakini perempuan dalam posisi subordinat dan kuasa yang lemah menghendaki laki-laki sebagai pelaku yang menindas perempuan. Saat kondisi sadar ataupun tidak, persepsi privilege tersebut alih-alih untuk memberikan keamanan, justru sikap yang muncul adalah kesempatan bertindak kekerasan seksual.
Penyebab ini juga berkenaan dengan struktur sosial yang inheren dengan relasi kuasa. Struktur sosial inilah yang memainkan peran kunci dalam kasus kekerasan seksual yang mencakup norma, nilai, maupun hierarki yang ada dalam masyarakat atau komunitas. Titik masalahnya saat struktur sosial memberikan toleransi terhadap ketidaksetaraan gender, merendahkan perempuan, atau membenarkan dominasi laki-laki, lingkungan universitas, rumah sakit, menjadi rentan terhadap kekerasan seksual. Sehingga, nyaris seperti tak ada ruang aman ketika situasi dari norma-norma mendukung ketidaksetaraan dapat memberikan pembenaran kepada pelaku untuk bertindak secara agresif kepada korban.
Kasus yang merambah dalam berbagai tempat bahkan yang disinyalir sebagai ruang aman pun lantas menjadi kesempatan untuk pelaku. Rumah sakit, pesantren, sekolah, maupun tempat transportasi sekalipun. Sehingga, terdapat pemahaman bahwa kondisi di ruang pengembangan intelektual yang melibatkan interaksi kekuasaan, konstruksi sosial, dan keberadaan kekuasaan dapat menjadi tempat yang memfasilitasi terjadinya kekerasan seksual. Oleh sebab demikian, kekuasaan yang timpang dan tidak adanya pemahaman prinsip dan nilai kemanusiaan antara dosen dengan mahasiswa, guru dengan siswa, polisi dengan masyarakat, dokter dengan pasien, memungkinkan terjadinya kejahatan yang tidak diinginkan.
Dalam hubungan hierarki sosial, peluang untuk penyalahgunaan kekuasaan meningkat. Misalnya, kita melihat relasi kuasa pada kasus yang terjadi antara dokter dan pasien. Pasien akan mengikuti arahan dokter karena sedari awal ia menganggap bahwa dokter yang memegang penuh tindakan kebenaran yang harus diupayakan. Otoritas dokter ini menyumbang kekuatan dominan dalam relasi kuasanya. Sehingga, pasien kemudian seakan mewajarkan tindakan dokter karena pemegang otoritas atas kebenaran itu. Sikap patuh, tidak melawan, berposisi subordinat merupakan perilaku yang secara “tidak sadar” menjadi nilai sosial yang dianggap pantas.
Tak hanya Kesadaran, Hukum Harus Lebih Ketat
Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Inayah Rohmaniyah, merespons kasus kekerasan seksual yang saat ini marak terjadi bahwa ketika terjadi kekerasan seksual, hakikatnya pelaku telah menghilangkan sisi kemanusiaannya berupa nalar kritis. Perbuatan yang melecehkan atau menganiaya seseorang dapat dilakukan pelaku ketika tidak adanya kesadaran untuk berpikir dengan baik. Sehingga seperti tidak ada beda antara manusia dengan binatang ketika nalar kritis tidak mampu digunakan untuk mengendalikan sesuatu.
Budaya patriarki yang menjadi sumber bias gender seharusnya menjadi kesadaran penuh bahwa tak seharusnya dinormalisasi. Akibatnya, terjadilah perlakuan yang sifatnya merendahkan perempuan baik fisik maupun psikologis. Selain itu, hukum harus lebih tegas dan berat tanpa memandang jabatan atau status sosial. Institusi pun harus berpihak dan menjamin keamanan untuk korban.
Penting untuk tiap institusi baik universitas, pesantren, rumah sakit, kantor polisi, hingga kementerian memiliki lembaga yang terdiri dari sistem pelaporan aman untuk korban maupun saksi, berpihak melindungi korban bukan pada reputasi institusi, dan dipastikan pelaku diberi sanksi yang tegas. Untuk demikian, pendidikan gender tak hanya formalitas pengetahuan saja, tapi penting menjadi kesadaran penuh untuk menciptakan ruang aman dan inklusif, serta mewujudkan perilaku baik berkesalingan yang melihat dan memperlakukan laki-laki maupun perempuan dengan kemanusiaan yang hakiki.