Pos

Menata Kembali Sudut Pandang Muslim dalam Melihat Sampah

Sampah adalah sisa bahan atau benda yang dihasilkan dari kegiatan sehari-hari manusia berbentuk padat. Berdasarkan definisi tersebut, sampah adalah hasil akhir dari aktivitas manusia itu sendiri. Kata “sampah” sebenarnya tidak serta merta mengandung arti negatif, sebab apabila dikelola dengan baik, akan memberikan manfaat tertentu. Meskipun demikian, pengelolaan sampah masih menjadi masalah umat manusia saat ini, terutama sampah anorganik (plastik, kaca, pakaian, dan sebagainya).

Data terbaru 2023 menyebutkan bahwa timbunan sampah di Indonesia selama setahun mencapai kurang lebih 31,9 juta ton. Jika dibandingkan dengan ukuran hewan terbesar di bumi saat ini, yaitu paus biru yang beratnya kurang lebih 190 ton, setidaknya sampah kita setara dengan 168 ribu paus biru. Mengagumkan bukan?

Timbunan sampah yang luar biasa ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Yang sangat krusial adalah minimnya literasi tentang pengelolaan sampah. Setiap rumah tangga atau keluarga tidak dibekali dengan baik bagaimana cara mengolah sampah, sehingga banyak masyarakat yang menggantungkan sepenuhnya kepada TPS sebagai pembuangan akhir atau lebih parah lagi membuangnya secara sembarangan. Tentu hal ini sangat mengkhawatirkan, bahkan beberapa TPS yang saya temui telah tutup karena kewalahan mengelola timbunan sampah yang ada.

Sebagai negara mayoritas Muslim, seharusnya persoalan sampah ini bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Misalnya, menggunakan pendekatan nilai-nilai Islam sebagai salah satu solusi mengatasi permasalahan pengelolaan sampah atau setidaknya meringankan beban sampah yang dari tahun ke tahun selalu bertambah jumlahnya.

Di kalangan agamawan sendiri, isu sampah belum menjadi isu bersama. Padahal, keterlibatan tokoh agama, peran masyarakat Muslim, juga lembaga pendidikan Islam dalam mendorong pemahaman nilai-nilai Islam dalam pengolahan sampah sangatlah penting. Sebagaimana contoh adanya GRADASI (Gerakan Sedekah Sampah Indonesia) yang dipusatkan di masjid-masjid. Gerakan ini bisa menjadi solusi bahwa masjid tidak hanya menjadi tempat ritual yang bersifat individual, namun juga sebagai pusat ibadah sosial dan lingkungan.

Islam sendiri sebetulnya memberikan perhatian khusus terhadap sampah dan dampaknya terhadap lingkungan, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an QS Ar-Rum ayat 41, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Firman Allah SWT ini jelas menyatakan bahwa kerusakan lingkungan adalah akibat perbuatan tangan manusia sendiri. Salah satu penyebabnya adalah gaya hidup hedonis dan konsumtif, sehingga produksi sampah dan limbah terus menumpuk dari hari ke hari.

Dalam ayat lain, Allah melarang segala jenis perbuatan yang menyebabkan kerusakan lingkungan, sebagaimana disebut dalam QS Al-Qasas ayat 77, “…, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”, QS Al-A’raf ayat 56, “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik …”, dan QS Al-Baqarah ayat 60, “…, makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah dan janganlah melakukan kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan”. Dari sini jelas bahwa sampah yang kita hasilkan adalah tanggung jawab kita sebagai umat Muslim dalam mengamalkan perintah larangan berbuat kerusakan di bumi.

Kedua, bila ditinjau dari maqashid syariah, salah satu tujuan syariat adalah menekankan pada keselamatan jiwa (hifzu al-nafs). Sampah yang tidak dapat dikelola berpotensi mengganggu kesehatan masyarakat. Kejadian seperti ini sudah pernah terjadi saat wabah kolera menyerang Jawa Timur dan Jakarta pada abad ke-20. Pada abad ke-19, kolera menyerang di Indonesia bahkan sampai Eropa. Wabah ini salah satunya disebabkan kurangnya sanitasi dan pengelolaan sampah yang baik, sehingga mencemari lingkungan, terutama air minum.

Sebagaimana prinsip ma la yudroku kulluh la yutraku kulluh, kita sebagai umat Islam harusnya tahu diri, apabila kita tidak dapat memperbaiki semua kerusakan yang telah nampak ini setidaknya kita tidak memperparah dengan bertanggung jawab atas sampah yang berasal dari diri sendiri dan keluarga terdekat.

Termasuk juga prinsip la dharara wa la dhirar yakni dilarang berbuat yang merugikan siapa pun. Imam Abu Hamid Al-Ghazali pernah menerangkan dalam kitabnya Asna Al-Mathalib Syarh Raudlatu At-Thalibin, bahwa meninggalkan sabun di kamar mandi umum dan menyebabkan seseorang terpeleset dan celaka, maka wajib bertanggung jawab atas perbuatan tersebut. Maka apabila ditarik dalam perilaku membuang sampah sembarangan atau abai terhadap sampahnya serta mencelakakan orang lain, wajib baginya untuk bertanggung jawab atas perbuatan tersebut.

Terakhir, dalam memandang sampah melalui perspektif tauhid ataupun tasawuf, kita harus benar-benar memahami siapa diri kita dan apa tugas kita di bumi ini. QS Hud ayat 61 berbunyi, “…, dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, …”, QS Al-Baqarah ayat 30 berbunyi, “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan (manusia) khalifah di bumi ….”, QS Az-Zariyat ayat 56, “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”.

Melalui ayat-ayat di atas, tentu kita harus memahami fungsi manusia bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab untuk mengelola dan memimpin bumi ini, serta tunduk dan beribadah kepada Allah SWT sebagai hamba. Menanamkan kembali tanggung jawab manusia terhadap sampah-sampah yang dihasilkan merupakan pengejawantahan nilai-nilai Islam. Sebagaimana tagline GRADASI, “ecodeen, clean our heart clean our earth”.